Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENGERTIAN HADITS, FUNGSI DAN


CONTOH
Dosen pengampu:
Safiuddin, S.Ag

Disusun oleh:
Heny Zulianingsih
NIM : 2022021115

PROGRAM STUDY MATEMATIKA


STKIP HERMON TIMIKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan Kepada ALLAH SWT, karena berkat dan

karunia-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah Agama Islam yang berjudul

“pengertian hadits dan fungsi ”. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan

makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, hal ini dengan keterbatasan

kemampuan dan kedangkalan ilmu yang saya miliki. Dalam kesempatan ini saya

mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman dan kepada pihak yang

membantu sehingga terselesainya makalah ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata

kuliah agama islam yang telah membimbing saya belajar banyak hal berkaitan

tentang mata kuliah agama islam . Akhirnya saya berharap dan berdoa kepada

ALLAH SWT agar makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya sendiri

selaku sebagai penyusun dan umumnya bagi para pembaca makalah ini. Aaamiiin

mimika, 01 Oktober 2022

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam
sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah
keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting
dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran
islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak
menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan didalam
Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu,
hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam
menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an. Ditinjau
dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul
(hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang
tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits
Shahih dan Hasan, sedangkan hadits Maqdud salah satunya adalah hadits
dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas kesahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting,
terutama hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang
lebih kuat. Dalam hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk
mengetahui apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau
tidak.
2. Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut ;
1. Apakah pengertian hadits Shahih, Hasan, dan Dhoif?
2. Apa syarat-syarat hadits Shahih?
3. Apa penyebab hadits Dhoif serta macam-macamnya?
4. Bagaimana tingkatan-tingkatan shahih?
3. Tujuan masalah
1. untuk mengetahui pengertian hadits secara keseluruhan
2. untuk mengetahui syarat dan tingkatan hadits shahih
3. untuk mengetahui penyebab hadits dha’if dan macam-macamnya.
4. Manfaat penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah
ilmu pengetahuan yang telah kita miliki terutama tentang ilmu hadits
mengenai Hadits Shahih, Hasan dan Dhoif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ilmu hadits
Hadits merupakan kalimat musytaq dari kalimat musytaq dari
kalimat hadatsa secara Bahasa yaitu baru, terjadi, sedangkan secara istilah
adalah apa saja yang disandarkan kepada nabi saw baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan dan shifat tabiat dan akhlaqnya.
Didalam pembahasan ilmu mustholabul hadits ada satu pembahasan
mengenai Khobar (hadits) terdapat yang maqbul dan mardud. Khobar
maqbul adalah kebenaran orang yang menyampaikan khobarnya itu lebih
kuat/terpercaya (rajih) serta wajib dijadikan sebagai hujjah (dalil) dan
mengamalkannya. Sedangkan Khobar mardud adalah kebenaran orang
yang menyampaikan khobarnya itu tidak kuat / tidak terpercaya serta tidak
boleh dijadikan sebagai hujjah (dalil). Adapun Khobar maqbul ditinjau
dari perbedaan derajat dibagi menjadi dua yaitu shahih dan hasan.
B. Pembagian hadits sesuai dengan perbedaan derajat
1. Hadits Shahih
a) Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat sahha-
yashihuu-suhhan wa sihhatan artinya sembuh, sehat, selamat dari
cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu apa yang sanadnya
bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit (memiliki
hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa
syadz dan tidak pula cacat.
Imam Al- Suyuti mendefinisikan hadits shahih dengan “hadits
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perowi yang adil
dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah imam
syafi’I memberikan penjelasan tentang Riwayat yang dapat
dijadikan hujah, yaitu:
1. apabila diriwayatkan oleh prowi yang dapat dipercaya
pengalaman agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur
memahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui
perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya: mampu
meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang dia
riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain
dan terlepas dari tadlis( penyembunyian cacat)
2. rangkaian Riwayat bersambung sampai kepada nabi
Muhammad SAW atau dapat juga tidak sampai kepada nabi.
b) Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
Setiap perawinya dalam sanad hadits menerima Riwayat hadits
dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung
demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits
shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama
(para sahabat) yang menerima hadits langsung dari nabi,
bersambung dalam periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus
salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa
jadi rawi yang dianggap putus itu adalah rawi yang dha’if,
sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang
dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaga
sifat muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala
tingkah laku dan hal-hal lain yang dapat merusak harga dirinya.
3) Perawinya Dhabit
Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawinya tersebut
mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
Menurut ibnu Hajar al-Asqalani , perawi yang dhabit adalah
mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang didengarnya,
kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja
manakala diperlukan. Ini artinya, bahawa orang yang disebut
dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau
didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada
orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syadz adalah hadits yang
bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih
tsiqqah perawinya. Maksudnya suatu kondisi dimana seorang
perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya.
5) Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat
penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat
merusak kesahihan hadits. Dikatakan samar-samar karena jika
dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut ;

‫ب ع َْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ُجبَي ِْر‬ ٌ ِ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُدهللاِ بْنُ يُوْ سُفَ قَا َل َأ ْخبَ َرنَا َمال‬
ٍ ‫ك ع َِن ا ْب ِن ِشهَا‬
‫ر “(رواه‬iِ ْ‫الطو‬ ُّ ِ‫ب ب‬ ِ ‫م قَ َرَأ فِي ْال َم ْغ ِر‬.‫ل هللاِ ص‬iَ ْ‫ْت َرسُو‬ ْ ‫ب ِْن ُم‬
ُ ‫ط ِع ِم ع َْن َأبِ ْي ِه قَا َل َس ِمع‬
)‫البخاري‬

“ Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata :


telah mengkabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari
Muhammad bin jubair bin math’ami dari ayah ia berkata : aku
pernah mendengar Rasulullah saw membaca dalam shalatnya
magrib surat at-tur” ( HR. Bukhari, Kitab Adzan)
Analisis terhadap hadits tersebut :
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut
mendengar dari gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhabit, Adapun sifat-sifat para
rawi hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta’dil
sebagai berikut :
a) Abudllah bin yusuf = tsiqat muttaqin
b) Malik bin Annas = imam hafidz
c) Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan hafidz
d) Muhammad bin Jubair =Tsiqt
e) Jubair bin Muth’imi = Sahabat
3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang
lebih kuat serta tidak cacat
c) Klasifikasi Hadits Shahih
1) Hadits Shahih Ii-Dztihi
Hadits Shahih Ii-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh
orang-orang yang adil, dhabit yang sempurna, serta tidak ada
syadz dan ‘illat yang tercela.
2) Hadits Shahih Ii-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya
hanya berkualitas hasan li-ddazatihi, lalu ada petunjuk atau
dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat
menjadi hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan
hadits li-ghairihih “yaitu hadits shahih karena adanya syahid
atau mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi
shahih li-ghairihi”
d) Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan
sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan
sebagai ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-
soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu,
tidak dalam hal-hal yang berhubungan aqidah.
e) Tingkatan hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi
dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perawinya.
Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi
tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
1. Ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi
derajatnmya seperti periwayatannya sanad dari Imam Malik bin
Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah
dimerdekakan) dari ibnu Umar.
2. Ahsan al asanid yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya
dibawah tingkatan pertama diatas. Seperti periwayatan sanad
dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
3. Ad’af al asanid yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya
lebih rendah dari tingkatan kedua. Seperti periwayatan Suhail
bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi
tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut;
1. Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq
‘alaih)
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja
4. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-
Bukhori dan Muslim
5. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-
Bukhori saja
6. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan
Muslim saja
7. Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-
Bukhori dan Muslim dan tidak mengikuti persyaratan
keduanya, seperti Ibnu Khunzaimah, Ibnu Hibban, dll
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara
berurutan sebagai berikut:
1. Shahih Al-Bukhari (w.250 H)
2. Shahih Muslim 9w.261 H)
3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H)
4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H)
5. Mustadrok Al-Hakim (w. 405 H)
6. Shahih Ibn As-Sakan
7. Shahih Al-Abani

2. Hadits Hasan
a) Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara Bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat
“al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara Al-Atqalani
yaitu “apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatannya
yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad
dengan tidak syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadis shahih tidak ada
perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan,
hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun
untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits
shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut :

‫ان ْال َجوْ نِي ع َْن َأبِي‬ ِ ‫ح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا َج ْعفَ ُر بْنُ ُسلَ ْي َمانَ الضُّ بَ ِعي ع َْن َأبِ ْي ِع ْم َر‬
‫ قَا َل‬: ‫ْت َأبِي بِ َحضْ َر ِة ال َعد ُِّو يَقُوْ ُل‬
ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ال‬ َ َ‫ اَأْل ْش َع ِريْ ق‬i‫بَ ْك ِر ب ِْن َأبِي ُموْ َسي‬
‫ الحديث‬..… ‫ف‬ َ ‫ ِإ َّن َأب َْو‬: ‫“ َرسُوْ ُل هللاِ ص م‬
ِ ْ‫اب ْال َجنَّ ِة تَحْ تَ ِظالَ ِل ال ُّسيُو‬
“telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan
kepada kamu fa’jar bin suylaiman, dari abu imron al-jauni dari abu
bakar bin abi musa al-asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku
berkata Ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersbada :
sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang….
(HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
b) Klasifikasi Hadits Hasan
1) Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatannya
yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad
hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat
(‘illat) yang merusak hadits.
2) Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui
keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu banyak
kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada Riwayat
dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya.
Jumuhur ulama muhaddisin memberikan definisi tentang hadits
hasan li-ghairihi sebagai berikut : “ yaitu hadits hasan yang
sanadnya tidak sepi dari seorang mastur(tak nyata
keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak
tampak adanya sebab yang menjadikan fisik dan matan
haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal
dan semakna dari suatu segi yang lain”
Hadits hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadis dha’if.
Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia
meningkat menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang
menolong, maka hadits tersebut akan tetap dha’if.
c) Kehujahan Hadits Hasan
Hadits Hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun
derajatnya dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat
diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam
menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits,
ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits
hasan.
3. Hadits Dhoif
a) Pengertian hadits Dha’if
Dha’if secara Bahasa artinya : lemah, tidak kuat. Secara istilah
hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih dari
persyaratan hadits shahih. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
hadits dha’if itu merupakan lawan dari hadits shahih. Hadits
Dha’if tidak sama dengan hadits palsu.
b) Kedudukan hadits Dha’if
Para ulama hadits pun berbeda pendapat tentang bagaimana
kedudukan hadits dha’if ini. Sehingga ada 3 pendapat :
1. Mereka tidak mau menerima hadits dha’if sama sekali. Bila
sebuah hadits sudah dinilai dha’if, maka hadits itu tidak bisa
digunakan untuk keperlian apapun. Dianggap tidak ada.
2. Mereka menggunakan hadits dha’if hanya untuk keperluan
motivasi amal saja. Atau istilahnya targib dan tarhib.
Targib itu motivasi untuk melakukan suatu amal kebajikan,
yang biasanya menerangkan besaran pahala.
Tarhib itu motivasi untuk meninggalkan amal keburukan, yang
biasanya menerangkan besaran dosa.
3. Mereka menggunakan hadits Dha’if Ketika tidak ada hadits
yang shahih. Dengan semboyan “ hadits dha’if itu lebih aku
sukai daripada hasil pemikiran semata”
Contoh hadits dha’if:
Diriwayatkan oleh juraisy an-Nahdy dari seorang laki-laki Bani
Sulaiman, Rasulullah bersabda, “puasa itu setengahnya kesabaran
dan kesucian itu setengahhnya iman.”
Imam Ibnu Midi dalam kitab Tahdibut Tahdzin, sanad hadits ini
dikatakan dha’if. Sebab, Juraisy Bin Kulaib adalah seorang mahjul
atau tidak dikenal.
Berkata ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut
Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang
yang bermuka dua. Adapun penyebab kedha’ifannya karena
beberapa hal :
1) Sebab terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi
menjadi 2 bagian. pertama adalah terputus secara dzhohir
(nyata):
(a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad
baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
(b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu
orang sesudah tabi’in (sahabat).
(c) Mughdal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau
lebih secara berurutan.
(d) Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
(a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada
sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
(b) Mursal khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia
bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah
dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan
yang lainnya seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi menjadi 2 yaitu dalam adalah
dan dhobit (hafalannya),
Adapun yang pertama penyakit ‘adalah (ketaqwaan) yaitu :
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(c) Menyelisihi yang tsiqat
(d) Ucapan yang menipu
c) Klasifikasi hadits dha’if.
1. Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
(a) Hadits Munqathi adalah hadits yang gugur sanadnya disatu
tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama
sseorang yang tidak dikenal.
(b) Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari
awal sanadnya secara berturut-turut.
(c) Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. nama sanad
terakhir tidak disebutkan., padahal sahabat adalah orang
yang pertama menerima hadits dari Rasulullah saw.
1) Mursal al-Jali hadits yang tidak disebutkan (gugur)
nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar
2) Mursal al-Khafi penguguran nama sahabat dilakukan
oleh tabi’in yang masih kecil.
(d) Hadits Mu’dhal
hadits yang gugur rawinya, dua atau lebih, bertuirut-turut,
baik sahabat Bersama tabi’i, tabi’i Bersama tabi’ al-tabi’in
maupun dua orang sebelum shahabat dan tabi’it
(e) Hadits Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.
2. Dha’if karena tiadanya syarat adil
(a) Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buatoleh seorang (pendusta) yang
ciptaannya dinisbatkan kepada Rasullullah secara paksa dan
dusta, baik sengaja maupun tidak,
(b) Hadits Matruk dan Hadita Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh
dusta (terhadap hadits yang diriwayatkan), atau tampak
kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya,
atau orang yang banyak lupa maupun ragu.

3. Dha’if karena tiada dhabit.


(a) Hadits Mudraj
Hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal
bukan (bagian dari) hadits
(b) Hadits Maqlub
Hadits yang lafadz matannya terukur pada salah seorang
perawi, atau sanadnya.
(c) Hadits mudhtharib
Hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda
padahal dari satu perawi dua atau lebih.
(d) Dha’if Mushahhaf dan Muharraf
Hadits mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan
hadits Riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata,
sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits
Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya terjadi
disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan
bentuk tulisannya tidak berubah.
4. Dha’if karena kejanggalan dan kecacatan
(a) Hadits syadz
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan
tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatannya dari
orang yang kualitasnya lebih utama
(b) Hadits Mu’allal
Hadits yang diketahui ‘illatnya setelah dilakukan penelitian
dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat
dari cacat
5. Dha’if dari segi matan
(a) Dha’if Mauquf
Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrirnya.periwayatannya baik
tersambung maupun terputus.
(b) Hadits Maqthu
Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan
kepadanya baik perkataan maupun perbuatan.
(c) Kehujahan Hadits Dha’if
Khusus hadits dha’if, maka para ulama hadits kelas berat
semacam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan
bahwa hadits dha’if boleh digunakan, dengan beberapa
syarat :
1) Level kedha’ifannya tidak parah
2) Berada dibawah nash lain yang shahih
3) Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini ke-
Tsabit-annya
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Derajat suatu Hadits itu memiliki bebrapa kemungkinan, bisa saja kita
katakana shahih, hasan, ataupun dha’if itu tergantung kepada 2hal yaitu
keadaan sanadnya dan keadaan perawinya. Akan tetapi oleh para ulama
telah diberikan kemudahan bagi para peneliti hadits untuk mengetahui
derajat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti yang paling terkenal
adalah kitab “tahibul kamal fi asmaail rijal” yang menerangkan tentang
keadaan perawinya, apakah di situ pendusta, bid’ah, fasiq, dan yang
lainnya. Akan tetapi semua ulama telah sepakat tentang kesahihan hadits
yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim sehingga kita
tidak perlu lagi untuk meneliti atas keadaan sanad dan perawinya akan
tetapi yang mesti ingat hadits-hadits selain dari Imam Bukhori dan Imam
Muslim mestik kita telaah Kembali akan kesahihannya.
Daftar Pustaka
Sulaeman, mugni. 2015, Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif beserta
contohnya, https://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-
shahih-hasan-dan-dhaif.html?m=1
Bina, Ahda. 2019, hadits dha’if : pengertian, contoh, dan kedudukan.
Hadits Dha’if: Pengertian, Contoh dan Kedudukan (ahdabina.com)
Gloria, Nuvola.2022, 3contoh hadits dha’if dan penjelasannya. 3 Contoh
Hadits Dhaif dan Penjelasannya | Halaman 3 (viva.co.id)

Anda mungkin juga menyukai