Compiled by :
PRAMURDA WARDANI
ISMI WARDANI
YUSNIARTI MAHFUZA
Lecturer :
SAIFULLAH, MA
ENGLISH DEPARTEMENT- 5
FACULTY OF TARBIYAH AND TEACHERS TRAINING
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF
NORTH SUMATERA
MEDAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah Al-Qur’an. Dalam
tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan menempati
posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber
ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan
penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan
wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki
kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat
diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul
terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits
Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama hadits-hadits
yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam hal ini, maka kajian
makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah
atau tidak.
Perumusan Masalah
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah ilmu pengetahuan
yang telah kita miliki terutama tentang ilmu hadits mengenai Hadits Shahih, Hasan dan Dhoif.
BAB II
PEMBAHASAN
Hadits merupakan kalimat musytaq dari kalimat hadatsa secara bahasa yaitu baru, terjadi,
sedangkan secara istilah adalah
Didalam pembahasan ilmu mustholahul hadits ada satu pembahasan mengenai khobar (hadits)
terdapat yang maqbul dan mardud. Khobar maqbul adalah kebenaran orang yang menyampaikan
khobarnya itu lebih kuat/terpercaya (rajih) serta wajib dijadikan sebagai hujjah (dalil) dan
mengamalkanya. Sedangkan khobar mardud adalah kebenaran orang yang menyampaikan
khobarnya itu tidak kuat/terpercaya serta tidak boleh dijadikan sebagai hujjah (dalil). Adapu
khobar maqbul ditinjau dari perbedaan derajat dibagi atas dua yaitu shahih dan hasan.
Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatan artiya
sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :
ضابِ ِط ع َْن ِم ْثلِ ِه إِل َى ُم ْنتَهَاهُ ِم ْن َغي ِْر ُش ُذوْ ٍذ َوالَ ِعلَّ ٍة
َ ص َل َسنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ال َع ْد ِل ال
َ َّ َما اِت.
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan yang
kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat”
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya,
dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan
tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya,
dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui
perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad,
terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan
sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak
sampai kepada Nabi.
1) Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya.
Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada
perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi,bersambung dalam
periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari
rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang
dha’if, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya
ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya
sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang
dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingat yang sempurna
terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya
terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan
saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara
utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang
lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang
lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau
jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri
disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
5) Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena tersembunyi atau
samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat
dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut,
mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits
tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat
hadits dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-
sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.
َم قَ~ َرأ.ْت َر ُس~وْ َل هللاِ ص ْ ب ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ُجبَي ِْر ب ِْن ُم
ُ ط ِع ِم ع َْن أَبِ ْي ِه قَا َل َس~ ِمع ٌ َِح َّدثَنَا َع ْب ُدهللاِ بْنُ يُوْ سُفَ قَا َل أَ ْخبَ َرنَا َمال
ٍ ك َع ِن ا ْب ِن ِشهَا
)الطوْ ِر “(رواه البخاري ُّ ِب بِ فِي ْال َم ْغ ِر
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada
kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami dari ayahnya ia berkata:
aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR.
Bukhari, Kitab Adzan).
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut
para ulama aj-jarhu wa ta’dil sebagai berikut :
3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai
akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan
‘Illat yang tercela.
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan li-
dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat
menjadi hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
هو ماكان رواته متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى يكون حديث~~ه حس~~نا ثم وج~~د في~~ه من طري~~ق
اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر ذالك القصورالواقع فيه
“Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan hadits
hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-
Ghairihi.”
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil
syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi
dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-
hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadits mutawatir.
oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan aqidah.
e) Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-
dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin
membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti
periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah
dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat
pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara
berurutan sebagai berikut:
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai berikut:
7) Shahih Al-Abani.
2. Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik.
Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani
yaitu:
ض ْبطُهُ ع َْن ِم ْثلِ ِه إِلَى ُم ْنتَهَاهُ ِم ْن َغي ِْر ُش ُذوْ ٍذ َوالَ ِعلَّ ٍة َّ ص َل َسنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ْال َعد َِل الَّ ِذيْ خ
َ َف َ َّ“ َما اِت.
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari
awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang
hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun
untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.
ْت أَبِي َ ~َ~ر ب ِْن أَبِي ُموْ َس~ي اأْل َ ْش~ َع ِريْ ق
ُ َس~ ِمع: ~ال ِ ~ان ْال َج~ وْ نِي ع َْن أَبِي بَ ْك
ِ ح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا َج ْعفَ ُر بْنُ ُسلَ ْي َمانَ الضُّ بَ ِعي ع َْن أَبِ ْي ِع ْم~ َر
الحديث..… ف ِ ْاب ْال َجنَّ ِة تَحْ تَ ِظالَ ِل ال ُّسيُو
َ إِ َّن أَ ْب َو: قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ ص م: “ بِ َحضْ َر ِة ال َع ُد ِّو يَقُوْ ُل
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin
sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku
mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya
pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…” (HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil
jihadi).
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak
sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat)
yang merusak hadits.
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah
orang yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan
sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya. Jumhur ulama muhaddisin memeberikan definisi
tentang haditst hasan li-Ghairihi sebagai berikut:
ويك~~ون متن الح~~ديث معروف~ا, كثير الخطاء والظه~~ر من~~ه س~~بب مفس~~ق.مااليخلوإسناده من مستور لم تتحقق أهليته وليس مغفال
برويتة مثله أو نحوه من وجه آخر
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan
pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan
haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang
lain.
Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dha’if. Kemudian ada petunjuk lain yang
menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang
menolong, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dha’if.
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih,
adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan
suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat
tentang kehujjahan hadits hasan.
3. Hadits Dhoif
a) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;
“Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat
dari syarat-syarat hadits hasan”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau
tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut
dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka
sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.
ْ ” َم ْن أَتَي َحائِض~ا ً أَو: ْق “ َح ِكي ِْم األَ ْث َر ِم”ع َْن أَبِي تَ ِم ْي َم ِة الهُ َج ْي ِمي ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ َع ِن النَّبِ ِّي ص م قَا َل
ِ َماأَ ْخ َر َجهُ التِّرْ ِم ْي ِذيْ ِم ْن طَ ِري
َ “ اِ ْم َرأةً فِي ُدب ُِرهَا أَوْ َكاهُنَا فَقَ ْد َكفَ َر بِ َما أَ ْن
زَل َعلَى ُم َح ِّم ٍد
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi
dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang
perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang
telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui
hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh
Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan
pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-Atsromi
pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama adalah
terputus secara dzhohir (nyata) :
(a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara
berurutan.
(b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in (Sahabat).
(c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
(a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk
dzohir haditsnya.
(b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa
yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya
seperti qaala.
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam ‘adalah dan dhobit (hafalannya),
adapun yang pertama penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan
(b) Lalai
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama
seseorang yang tidak dikenal.
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-turut.
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama
sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits
dari Rasul saw.
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar.
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits
yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia
tidak pernah mendengar sebuah hadits.
hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabi’i,
tabi’i bersama tabi’ al-tabi’in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi’iy.
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat
cacat.
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang
diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau
orang yang banyak lupa maupun ragu.
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian
didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan
penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang
lain.
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau lebih,
atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat lain terjadi karena
perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits
yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk
tulisannya tidak berubah.
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan
periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya.
Periwayatannya, baik sanadnya bersambung maupun terputus.
hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun
perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-
Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari
yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan
bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya
tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus
didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh
hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini
merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa
kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Derajat suatu hadits itu memiliki beberapa kemungkinan, bisa saja kita katakan shahih, hasan,
ataupun dhaif itu tergantung kepada 2 hal yaitu keadaan sanadnya dan keadaan perawinya. Akan
tetapi oleh para ulama telah diberikan kemudahan bagi para peneliti hadits untuk mengetahui
derajat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti yang paling terkenal adalah kitab
“tahzibul kamal fi asmaail rijal” yang menerangkan tentang keadaan perawinya, apakah dia itu
pendusta, bid’ah, fasiq dan yang lainnya. Akan tetapi semua ulama telah sepakat tentang
keshahihan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga kita tidak
perlu lagi untuk meneliti atas kedaan sanad dan perawinya akan tetapi yang mesti ingat hadits-
hadits selain dari imam bukhari dan imam muslim mesti kita telaah kembali akan keshahihannya
REFERENSI
Atsqalani, Ibnu Hajar Al-. (t.th). Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, Semarang: Karya Toha Putera.
Husti, Ilyas. (2007). Studi Ilmu Hadis, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau dan LPP UIN SUSKA Riau.
Imam al-Turmuzi. (t.th). Al-Jami’ al-Shahih Sunan al-Turmuzi, Beirut: Dar Ihya al-Turast alArabi.
Khatib, Muhammad ‘Ajjaj Al-. (1998). Ushul alHadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, terj. M. Qadirun Nur dan
Muhammad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Thahhan, Mahmud al-. (2010). Ilmu Hadits Praktis, terj. Abu Fuad, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Zahrani, Muhammad Az-. (2011). Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, Lengkap dengan Biografi
Ulama Hadits dan Sejarah Pembukuannya, terj. Muhammad Rum, Jakarta: Darul Haq