Kelas :X Ipa 1
No.Absen :
A. Hadis Shahih
Hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan
dhabith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan
(syadz), dan cacat (illat).
Definisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam asy-Syafii
memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para ar-rwiy (periwayat) yang dapat dipercaya
pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang
diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi
perubahan lafazhnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan
sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadls
(penyembuyian cacat),
Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi s.a.w., atau dapat
juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai
berikut:
1) Sanadnya Bersambung
Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu
teknik berikut:
1) keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli tadil bahwa seorang itu
bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-
tadil.
2) ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, seperti imam empat: Abu
Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafii, dan Ahmad bin Hanbal.
Khusus mengenai ar-rwiy (periwayat) hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama
sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari
golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam
pembunuhan Ali dianggap fsiq, dan periwayatannya pun ditolak.
4) Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau
menyelesihi orang yang terpercaya dan lainnya.
5) Tidak Berillat
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang
menutup tersembunyi yang dapat mencederai pada ke-shahih-an hadis, sementara
zhahirnya selamat dari cacat.
Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matn (matan/teks) atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, illat yang paling banyak terjadi
adalah pada sanad (), seperti menyebutkanmuttasil terhadap hadis yang
munqati atau mursal.
Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahh li-dztihi (
) dan shahh li-ghairihi () . perbedaan antara keduanya terletak pada
segi hafalan atau ingatan ar-rwiy(periwayat)nya. pada shahh li-dztihi, ingatan ar-
rwiy (periwayat)nya sempurna, sedang pada hadis shahh li-ghairihi, ingatan ar-
rwiy (periwayat)nya kurang sempurna.
Hadis shahh li-ghairihi, adalah hadis hasan li-dztihi apabila diriwayatkan melalui
jalan yang lain oleh ar-rwiy(periwayat) yang sama kualitasnya atau yang lebih
kuat dari padanya.
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai
hujjah atau dalil syara sesuaiijma para uluma hadis dan sebagian ulama ushul
dan fiqih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan
penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan
dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qathi, yaitu al-Quran dan
hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya
kepada ke-dhabith-an dan keadilan para ar-rwiy (periwayat)-nya. Berdasarkan
martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asnd yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya.
seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi maul ( = budak
yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan,
yang secara berurutan sebagai berikut:
7. Hadis yang dinilai shahih menurut ulama hadis selain al-Bukhari dan
Muslim dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
7. Shahih al-Albani.
B. Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jaml, yaitu: indah. Hasan juga dapat juga
berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan
para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat
bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dhaif, dan juga
karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian
dari definisinya yaitu:
3. Ibnu Hajar: hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-
dhabith-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal)
maka dia adalah hadis shahh li-dztihi, lalu jika ringan ke-dhabith-annya
maka dia adalah hadis hasan li-dztihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya
terletak pada sisi ke-dhabith-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-
dhabith-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan
dengan ke-dhabith-an ar-rwiy (periwayat) hadis dhaif tentu belum seimbang, ke-
dhabith-anar-rwiy (periwayat) hadis hasan lebih unggul.
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasan pun
terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dztihi dan hasan li-ghairihi;
1. a. Hasan Li Dztihi
Hadis hasan li-dztihi adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan
yang telah ditentukan.
1. b. Hasan Li-Ghairihi
Hadis hasan li-ghairihi ialah hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara
sempurna. Dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dhaif,
akan tetapi karena adanya sanad atau matn(matan/teks) lain yang
menguatkannya[1] (syahid atau tbi/mutbi), maka kedudukan hadis dhaif
tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah
hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil
atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama
hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang ke-hujjah-an hadis hasan.
C. Hadis Dhaif
1. Definisi Hadis Dhaif
Pengertian hadis dhaif secara bahasa. Hadis dhaif berarti hadis yang lemah. Para
ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah s.a.w..
Dugaan kuat mereka hadis tersebut tidak berasal dari Rasulullah s.a.w.. Adapun
para ulama memberikan batasan bagi hadis dhaif sebagai berikut: Hadis dhaif
ialah hadis yang tidak memuat/menghimpun sifat-sifat hadis shahih, dan tidak
pula menghimpun sifat-sifat hadis hasan.
Hadis dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadis dhaif karena
gugurnya ar-rwiy dalam sanadnya, dan hadis dhaif karena adanya cacat pada ar-
rwiy atau matn (matan/teks).
Yang dimaksud dengan gugurnya ar-rwiy adalah tidak adanya satu atau beberapa
ar-rwiy, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad,
maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadis dhaif
yang disebabkan karena gugurnya ar-rwiy, antara lain yaitu :
1) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut bahasa, berarti hadis yang terlepas. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadis mursal adalah hadis yang gugur ar-rwiy nya di
akhir sanad. Yang dimaksud dengan ar-rwiy di akhir sanad ialah ar-rwiy pada
tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadis dari
Rasulullah s.a.w.. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari
ar-rwiy yang terdekat dengan imam yang membukukan hadis, seperti al-Bukhari,
sampai kepada ar-rwiy yang terdekat dengan Rasulullah s.a.w.). Jadi, hadis
mursal adalah hadis yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi,
sebagai ar-rwiy yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah s.a.w..
:
. ,
Antara kita dan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri jamaah isya dan
subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman bin Harmalah
al-Aslami, dan selanjutnya dari Said bin Musayyab (salah seorang dari generasi
tabiin)). Siapa sahabat Nabi s.a.w. yang meriwayatkan hadis itu kepada Said bin
Musayyab, tidak disebutkan dalam sanad hadis di atas.
Kebanyakan ulama memandang hadis mursal ini sebagai hadis dhaif, karena itu
tidak bisa diterima sebagaihujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian
kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat
menerima hadis mursal menjadi hujjah asalkan para ar-rwiy bersifat dil.
2) Hadis Munqathi
Hadis munqathi menurut etimologi ialah hadis yang terputus. Para ulama
memberi batasan bahwa hadis munqathi adalah hadis yang gugur satu atau dua
orang ar-rwiy tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila ar-rwiy di akhir
sanad adalah sahabat Nabi, maka ar-rwiy menjelang akhir sanad adalah tabiin.
Jadi, pada hadis munqathi bukanlah ar-rwiy di tingkat sahabat yang gugur,
tetapi minimal gugur seorang tabiin. Bila dua ar-rwiy yang gugur, maka kedua
ar-rwiy tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua ar-rwiyyang gugur itu
adalah tabiin.
,
: :
: , ,
.
Rasulullah s.a.w. bila masuk ke dalam mesjid, membaca dengan nama Allah, dan
sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku
segala pintu rahmatMu.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari
Ismail bin Ibrahim dan Abu Muawiyah, dari Laits, dari Abdullah bin al-Hasan, dari
Ibunya (Fatimah binti al-Husain), dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra.
Menurut Ibnu Majah, hadis di atas adalah hadis munqathi, karena Fathimah Az-
Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada ar-
rwiy yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabiin.
3) Hadis Mudhal
Menurut bahasa, hadis mudhal adalah hadis yang sulit dipahami. Batasan yang
diberikan para ulama bahwa hadis mudhal adalah hadis yang gugur dua orang ar-
rwiy (periwayat)-nya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-
Mushannaf (5/286), dan juga Ibnu Abi Dun-ya di dalam kitab Dzimmu al-Malahi
(80), dari jalan Qatadah, ia berkata;
:
Disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: kedua mata kaki
adalah kemudahan Bangsa Ajam (non-Arab). Qatadah yang dimaksud di sini
adalah Qatadah ad-Diamah as-Sadusi. Riwayatnya dari tabiin besar sangat
agung, pendapat yang lebih kuat, dalam sanad ini beliau telah menghilangkan
setidaknya dua orang ar-rwiy (periwayat), yaitu seorang tabiin dan seorang
shahabat. Maka hadis yang demikian ini dinamakan mudhal. Dan hadis mudhal (
)derajatnya di bawah mursal ( )dan munqathi(), karena banyaknya ar-
rwi (periwayat) yang hilang dari sanad secara berurutan.
4) Hadis Muallaq
Menurut bahasa, hadis muallaq berarti hadis yang tergantung. Batasan para
ulama tentang hadis ini ialah hadis yang gugur satu ar-rwiy (periwayat) atau lebih
di awal sanad atau bisa juga bila semua ar-rwiy(periwayat)-nya digugurkan (tidak
disebutkan).
Contoh :
: :
.
Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid bin Aslam, bahwa
Atha bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu Said al-Khudri memberitahu
kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda; Apabila
seseorang masuk Islam, dengan keislaman yang bagus maka Allah akan
menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu balasan terhadap
suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan itu, dan
balasan kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran tehadap
Allah.
D. Hadits Maudhu
1. Pengertian Hadits Maudhu
Hadits maudhu secara etimologis merupakan bentuk isim maful -
dari
memiliki beberapa makna, antara lain menggugurkan. Juga bermakna
Kata
Selain itu, juga .(meninggalkan) .(mengada-ada dan membuat-buat)
bermakna
Menurut istilah, hadits maudhu adalah pernyataan yang dibuat oleh
seseorang kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah Saw secara palsu dan dusta
baik dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan buruk atau baik sekalipun.
Adapun pengertian hadits maudhu menurut istilah para muhaditsin
adalah:
.
(5) Bertentangan dengan keterangan Al-Quran atau hadits shahih serta ijma.
Contoh hadits maudhu yang maknanya bertentangan dengan Al-Quran
adalah hadits,
.
Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-Anam [6] ayat
164, yaitu:
( : ).
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang yang lain. (Q.S.
Al-Anam [6]: 164)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan
kepada orang lain. Seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa
orang tuanya.
(6) Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-
perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap
suatu perbuatan yang kecil.
Seperti hadits, Barang siapa makan bawang pada malam jumat maka ia
akan dilempar ke neraka hingga kedalaman tujuh puluh tahun
perjalanan.
Atau, Barang siapa puasa sunnah sehari maka ia akan diberi pahala
seperti melakukan seribu kali haji, seribu umrah, dan mendapat pahala
Nabi Ayub.