Anda di halaman 1dari 25

PEMBAGIAN HADIS MENURUT KEHUJJAHANNYA

A. Pendahuluan
Hadis bila dilihat dari segi diterima atau tidaknya ia menjadi hujjah dalam
beramaldapat dibagi dua yaitu Hadis Maqbul dan Hadis Mardud. Pembicaraan
terhadap pembagian Hadis untuk masalh ini pun sebenarnya tidak terlepas dari segi
kajian mengenai Hadis, baik dari segi kualitas (kredibilitas rawi) maupun kuantitas
(jumlah rawi), namun dalam rangka untuk mensistematiskan dan memfokuskan
permasalahan Hadis maka perlu adanya pembagian tersebut.
Adapun Hadis-Hadis Maqbul adalah Hadis-Hadis yang diterima sebagai hujjah
dikarenakan memenuhi persyaratan sebagai Hadis Shahih, untuk mendapai tingkatan
suatu Hadis menjadi Hadis Shahih perlu adanya penelitian lebih lanjut, maka
berbagai macam persoalan Hadis Shahih dalam rangka melihat Hadis dari sisi
kualitasnya perlu dikaji dan diteliti: pengertian dan kriteria Hadis Shahih, tingkatan
Hadis Shahih dan macam-macamnya, Hukum dan status kehujjahan Hadis Shahih,
kitab-kitab Hadis Shahih, perlu juga dikaji Hadis Hasan, pengertian dan kriteria Hadis
Hasan, macam-macam Hadis Hasan, serta diakhiri dengan kesimpulan.
Adapun pada pengertian akan dikemukakan berbagai pendapat ulama mengenai
Hadis Shahih dan Hadis Hasan yang selanjutnya akan dijelaskan tentang masalah-
masalah di atas dengan tidak pula meninggalkan masalah-masalah yang perlu garis
bawah.

B. Hadis Maqbul
A. Hadis Shahih
1. Pengertian Hadis Shahih dan kriterianya.
Seperti diketahui, hadis bila ditinjau dari segi kualitasnya terbagi kedalam tiga
kategori: Shahih, hasan, dan dhaif. Kata Shahih dari segi Bahasa adalah lawan ari
sakit, sedangkan Hadis Shahih sendiri dari segi terminology bermacam-macam ulama
menta’rifkannya diantaranya :
Ta’rif Ibn ‘Alwi al-Maliki al-Hasani :
-------------------------------------------

“Hadis yang bersambung sanadnya yang diperoleh dari perawi yang adil, yang
dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) tidak tergolong syadz
dan tidak pula ber-I’lat lagi tercela maka semua hal tersebut merupakan syarat-
syarat Hadis Shahih.1
Sementara Abu Amr ibn ash-Shalah menta’rifkannya dengan :
-------------------------------------------

Hadis Shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil melalui periwayatan


orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya,
tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).2
Ta’rif Imam Nawawiy, Imam Nawawiy meringkas defenisi ibn Ash-Shalah;

------------------------------------------
Hadis Shahih adalah hadis yang muttashil sanadnya melalui periwayatan orang-
orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz dan ‘illat.
Fatchur Rahman lebih singkat lagi menta’rifkannya dengan :

------------------------------------------------
“Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak syadz.3
Dari beberapa ta’rif hadis Shahih diatas sepertinya secara esensial mempunyai
maksud yang sama hanya saja pada ta’rif Hadis Shahih tersebut adalah sekaligus

1
Muhammad ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Minhal al-Lathifu fi Ushuli al-Hadis Tahrif (taba’ bi
Tasrih Wizarah al-A’lam, 1410 H), hal. 58.
2
M. Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-Hadis
diterjemahh oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), hal. 276.
3
Fatchur Rahman, Ikhtishar Mustholah Hadis (Bandung : PT al-Ma’arif, 1974), hal. 117.
menjadi syarat (kriteria) Hadis Shahih, bila dilihat secara teliti dari ta’rif tersebut
ternyata ada lima kriteria yang bisa diperpegangi untuk melihat sesuatu hadis itu
apakah dapat dikatakan hadis Shahih atau tidak dan kelima kriteria tersebut adalah :
a. Sanadnya tidak terputus (muttashil).
b. Perawinya bersifat adil.
c. Sempurna ingatan (dhabit)
d. Tidak Syadz (janggal)
e. Hadis itu tidak ber’illat (cacat).4
Adapun secara lebih rinci kriteria-kriteria yang di utarakan ulama-ulama di atas
adalah dapat diterangkan sebagai berikut :
a. Sanad Hadis tersebut harus bersambung. Maksudnya adalah bahwa setiap
perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang berada diatasnya,
dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada
Nabi Muhammad saw sebagi sumber hadis tersebut. Hadis-hadis yang tidak
bersambung sanadnya, tidak dapat disebut Hadis Shahih, yaitu seperti Hadis
Munqathi’, Mu’dhal, Mu’allaq, Mudallas dan lainnya yang sanad-nya tidak
bersambung.5

4
Ibnu Shalah berpendapat, bahwa syarat hadis diatas, telahh disepakati oleh para muhaddisin.
Hanya saja kalaupun mereka berselisih tentang keshahihan hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu
sendiri, melainkan karena adanya perselisihan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut, atau karena
adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian sifat-sifat tersebut. Misalnya Abi Zinad
mensyaratkan peraawinya mempunyai ketenaran, Ibnu as-Sam’ani Hadis Shahih cukup diriwayatkan
oleh Rawi yang tsiqoh (adil dan dhobith) saja tetapi harus paham benar apa yang diriwayatkannya,
banyak hadis yang telah didengarnya, kuat ingatannya. Abu Hanifah mnsyaratkan, peerawinya
haruspaham benar, Ibnu hajar tidak sependapat dengan ulama-ulama diatas karena syarat-syarat yang
dikemukakan Abi Zinad sudah tercakup dalam dhobith, sedang sarat-syarat Ibnu as-Sam’ani sudah
termasuk dalam syarat “tidak ber’illat”, sementara jumhur Muhaddisin, bahwa suatu hadis dinilai
shohih, bukanlah tergantung pada banyaknya sanad, namun kalau sanadnya atau matannya shohih,
kendatipun rawinya itu hanya satu orang saja pada tiap-tiap thobaqat. Ibid.
5
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997), hal. 220.
b. Perawinya adalah adil.6 Setiap perawi Hadis tersebut harus bersifat adil. Yang
dimaksud adil disini adalah bahwa semua perawi harus Islam, baligh juga
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Senantiasa melakukan segala perintah agama dan meninggalkan semua
larangnannya.
2. senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa keci; dan
3. senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai
muru’ah.7
c. Perawinya adalah dhobith, artinya perawi hadis tersebut memilki ketelitian
dalam menerima hadis, memahami apa yang didengar, serta mampu
mengingat, dan menghafalnya sejak ia menearaima Hadis tersebut sampai
pada ia meriwayatkannya. Atau ia mampu memelihara haditsyang ada di
dalam catatannya dari kekeliruan,atau dari terjadinya pertukaran,
pengurangan, dan sebagainya, yang dapat merubah hadis tersebut. Kedhabith-
an seorang perawi, dengan demikian, dapat dibagi dua, yaitu : dhobit shodran
( kekuatan ingatan atau hafalannya) dan dhobit kitaban (kerapian dan
ketelitian tulisan atau catatannya)8
d. Bahwa Hadis tersebut tidak syaz, maksud syadz atau syuzuz (jamak dari syaz)
disini, adalah suatu Hadis yang bertentangan dengan Hadis yang diriwayatkan
oleh perawi lain yang lebih kuat (istiqod), ini pengertian yang diperpegangii
oleh Syafi’i dan kebanyakan ulama lainnya. Melihat pengertian tersebut dapat
6
Maududi yang sering disebut ppendukung hadis, mengungkapkan contoh yang mungkin paling
mengejutkan sebagaimana yang dikutipnya dari penentang hadis. Ibnu Ummar menyebut Abu
Hurairah pembohong; Aisyah mengkritik Anas karena menyampaikan Hadis, padahal Anas masih
anak-anak ketika Rasulullah saw masih hidup; Hasan Ibnu Ali menyebut Ibnu Umar dan Ibnu Zubair
pembohong. Jelas makdu Maududi bukanlah untuk mndiskreditkan literature hadis secara keseluruhan.
Dia hanya ingin menyebutkan alasan perlu bagi mengkaji ulang literature hadis. Abu al’Ala al-
Mududi, hadis aw al-Qur’an (taphimat : Tarjuman al-Qur’an, 1934), hal. 318-349, lihat juga pada
Daniel W. Brown, Relevansi Islamdalam Sunnah Modern, judul asli : Rethingking Tradition in
Modern Islamic Thought, diterjemahkan oleh : Jaziar Radianti dan Estin Sriyani Muslim (Bandung :
Mizan, 2000) h. 114.
7
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993)
hal. 113.
8
Yuslem, h. 221.
dipahami tidak syaz (ghoiru syaz) adalah Hadis yang matannya tidak
bertentangan deengan Hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqoh. Al-hakim
Naisaburi memasukkan Hadis Fard (Hadis yang diriwayatkan oleh seorang
Perawi yang tsiqoh, tetapi tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya),
kedalam kelompok Hadis Syaz pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama
ahli Hadis.9
e. Kata ber’illat (ghoiru Mua’llal), kata ‘illat bentuk jamaknya adalah ‘illal atau
al’illal, menurut bahasa artinya cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan
baca. Dengan pengertian hadis yang ber’illat adalah hadis-hadis yang cacat
atau penyakit. Maksud ‘illat disini adalah berarti suatu sebab yang
tersembunyi atau samara-samar. Maksudnya adalah jika dilihat secara zohir
hadis tersebut kelihatan Shohih, tetapi sebenarnya hadis tersebut menyimpan
kesamaan atau keragu-raguan.10
2. Tingkatan Hadis Shohih dan Macam-Macamnya.
Ulama berusaha keras mengkomparasi antar perawi-perawi yang maqbul dan
mengetahui sanad-sanad yang memuat derajat diterima secara maksimal karena
perawi-perawinya terdiri dari orang-orang terkenal dengnan keilmuan, kedhobitan
dan keadilannya dengan yang lainnya. Mereka menilai baha sebagian sanad shohih
merupakan tingkat tertinggi daripada sanad-sanad lainnya karena memenuhi sarat-
syarat qobul secara maksimal dan kesempurnaan para perawinya dalam hal kriteria-
kriterianya. Mereka kemudian menyebutnya Ashahul Asanid.11

9
Suparta dan Ranuwijaya, h. 115.
10
Ibid.
11
Al-Khatib, h. 227-278.
Terhadap pembagian Ashahul Asanid12 ini pun berbeda ulama dalam
membaginya. Ajjaj al-Khotib mengatakan berdasarkan martabat yang disinggung
diatas, para muhaddisin membagi tingkatan sanad, yaitu ;
a. Ashhohul Asanid, yakni rangkain sanad yang paling tinggi derajatnya.
Para ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan peringkat pertama,
sebagian ulama ada yang menetapkan “Hadis yang diriwayatkan Ibnu
Shihab al-Zuhri dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ibnu Umar”
sebagian yang lain menetapkan Hadis yang diriwayatkan Sulaiman al-
A‘masyi dari Ibrahim an-Nakhai dari al-Qomah bin Qaois dari Abdillah
bin Mas’ud. Imam bukhori dan bebrapa ulama lainnya menetapkan pada
Hadis yang diriwayatkan Imam malik dari Anas dari Nafi Maula Ibnu
Umar dari Ibnu Umar.
b. Ahsanul al-Asanid. Yakni rangkaian sanad yang tingkatannya dibawah
tingkat pertama diatas, seperti hadis yang diriwayatkan Hamad bin Salmah
dari Tsabit dari Anas.
c. Ad’aful al-Asanid yakni rangkaian sanad Hadis yang tingkatannya lebih
rendah dari tingkatan kedua, seperti hadis riwayat Suhail bin Abi Salih
dari bapaknya dari Abu Hurairah.13
Adapula sebgaian Ulama hadis yang membagi Hadis berdasarkan kepada
kriteria yang diperpegangi oleh para mukhoriz (perawinya yang terakhir
membukukannya) Hadis Shahih yaitu kepada tujuh tingkatan :
a. Hadis yang disepaki bukhori dan Muslim.
b. Hadis yang diriwayatkan Bukhori saja.

12
Kritikus Hadis lebih memilih sebutan Hadis shohihul isnad dari pada sebutan Hadis Shahih,
karena khawatir hadisnya syadz atau mu’allal, sehingga yang shohih hanyalah sanadnya. Dalam
kondisi seperti ini tidak ada kelaziman hubungan antara keshohihan dan keshohihan matan. Syaikhul
islam Ibn Hajar mengatakan yang tidak layak lagi adalah bahwa sorang Imam diantara mereka tidak
beralih dari sebutan shohih kesebutan shohihul isnad kecuali karena alasan tertentu. Namun, bila yang
menyatakan sebutan itu adalah perawi yang hafiz lagi bisa dipercaya, tanpa menyebut ‘illat kodihah
terhadap hadis yang bersangkutan,maka jelas menunjukkan keshohihan matan pula. Lihat M. Azaz al-
Khotib, hal. 278-279.
13
Sunarta dan Ranuwijaya, hal. 118.
c. Hadis yang diriwatkan muslim saja
d. Hadis yang diriwayatkan sesuai dengan persyaratan Bukhori dan Muslim.
e. Hadis yang diriwayatkan menurut peersyaratan Bukhori.
f. Hadis yang diriwayatkan menurut persyaratan Muslim.
g. Tingkatan selanjutnya adalah Hadis Shahih. Menurut Imam-Imam Hadis
lainnya yang tidak mengikuti syarat bukhori dan muslim seperti, Khuzaimah
dan Ibnu Hibban.14
Sementara mengenai macam-macam Hadis Shahih, pada umumnya para
Muhaddisin membaginya kepada dua macam, yaitu : Hadis Shahih li Zatihi dan Hadis
Shahih lighoirihi, dan pembagian Hadis ini berdasarkan perbedaan dari segi hafalan
atau ingatan perawinya. Pada Hadis Shahih lizatihi ingatan perawinya sempurna
sementara pada Hadis Shahih Lighoiirihi kurang sempurna.
Adapun yang dimaksud dengan Hadis Shahih Lizatihi menurut al-Hasani adalah
Hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria keshohihannya sebagai Hadis
yang maqbul, sebagaimana dijelaskan diatas, dan tidak memerlukan Hadis yang
lainnya.15
Sedangkan Hadis Shahih Lighoiirihi adalah Hadis yang tidak memenuhi sifat
Hadis maqbul secara sempurna, yaitu Hadis yang asalnya bukan Hadis Shahih, akan
tetapi derajatnya naik menjadi Hadis Shahih lantaran ada faktor pendukung yang
dapat menutupi kekurangan yang ada padanya.16 Sementara contoh Hadis ini adalah
Hadis tentang bersiwak yang sanadnya Muhammad Ibnu Amrin dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah lalu diriwayatkan oleh Tarmizi, tetapi Hadis ini juga diriwayatkan
oleh bukhori dan Muslim, sementara sanad Muhammad Ibnu Amrin Ibnu al-Qomah
adalah dikenal dengan sifat as-Shidqi dan al-Syiyanah tetapi kuang kuat hafalannya.17

3. Hukum dan Status Kehujjahan Hadis Shohih.

14
Yuslem, hal. 225.
15
Ibid.
16
Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani, hal. 69, lihat juga pada Suparta dan Ranuwijaya hal 117.
17
Lihat Yuslem, hal. 226.
Para ahli Hadis dan sebagian ulama ahli Ushul serta ahli fiqh sepakat
menjadikan Hadis-Hadis Shahih sebagai hujjah (dasar pedoman) yang wajib beramal
dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan
halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah
oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk meninggalkannya.18

4. Kitab-Kitab Hadis Shahih.


Kodifikasi Hadis pada abad kedua Hijriyah adalah awal dari munculnya
berbedanya ulama melihat Hadis baik dari segi kuantitas (jumlah) maupun dari sisi
kwalitas (kekuatan dan keabsahannya) suatu Hadis. Maka banyak pula karya-karya
muhaddisin yang awal adalah muwattha’ Imam Malik, hanya saja beliau tidak
mengkhususkan pada Hadis-Hadis Shahih saja, tetapi juga Hadis Mursal, Munqoti
dan ungkapan-ungkapan hikmah. Kemudian sampailah kepada bukhoi dan Muslim
serta Muhaddisin lainnya.19
Adapun kitab yang pertama kali secara khusus membahs mengenai Hadis-Hadis
Shahih yaitu : Shohih Bukhori (194-256 H) kemudian disusul dengan Shohih Muslim
(204-261 H), Sunan Abu Daud (202 – 275 Hadis), Sunan at-Tarmizi (209 – 279 H),
Sunan al-Nasai (215-313 H), Sunan Ibnu Majah (209 – 273 H).

B. Hadis Hasan
1. Pengertian dan Kriteria Hadis Hasan.
Hasan menurut bahasa berarti ……………..sesuatu yang disenangi dan
dicondongi oleh nafsu.. sedangkan Hadis Hasan menurut istilah ulama berbeda
pendapat diantaranya Ibnu Hajar mendefenisikannya :

18
Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi Wali Songo Huwa al-Jami’ as-
Shohih (Beirut, Dar al-Fikr, 1400 H / 1980) h. 6.
19
Al-Khatibi, hal. 279.
“Khabar Ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna
ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa ber’illat dan syaz disebut Hadis
Shahih, namun hal kekuatan ingatannya kurang kokoh 9sempurna) desebut Hasan
Lizatihi.20
At-Turmuzi mendefenisikannya sebagai berikut :
------------------------------

Tiap-tiap Hadis yang pada sanadnya tiada terdapat perawi yang tertuduh
dusta, pada matannya tiada kejanggalan dan Hadis itu diriwayatkan tidak dengan
satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang padanya.”
Defenisi at-Turmuzi diatas terlihat kurang jelas bila dibandingkan dengan
defenisi Ibnu Hajar al-Asqalani diatas, namun bisa dipastikan bahw at-Turmuzi tidak
bermaksud menyamakan antara Hadis Hasan dengan Hadis Shahih, sebab justeru at-
Turmuzi yang mula-mula memunculkan istilah Hadis Hasan ini. 21 Tetapi ada juga
sebagian besar yang merumuskan bahwa Hadis Hasan sama dengan Hadis Shahih
kecuali pada Hadis Hasan terdapat perawi yang tingkat kedhobitannya kurang, atau
lebih rendah, dari yang dimiliki peawi Hadis Shahih.22
Pada dasarnya penyebutan Hadis Hasan tersebut sendiri sudah menunjukkan
adanya perbedaan yaitu bahwa Hadis Hasan lebih rendah kedudukannya dari Hadis
Shahih, oleh sebab itu Ibnu Hajar menegaskan bahwa Hadis Hasan adalah Hadis
Shahih yang perawinya memiliki sifat dhobith yang lebih rendah dari yang dimiliki
Hadis Shahih.
Adapun kriterianya Hadis Hasan menurut Alwi Maliki al-Hasani adalah :
a. Bersambung sanadnya.
b. Perawinya Adil (a’dalatul Rawi)
c. Perawinya dhobith (Dhobitur Rawi), dhobith disini lebih rendah daripada
Hadis Shahih yakni msih ada kesamaran (keraguan) atas kedhobithannya.
20
Suparta dan Rnuwijaya, hal. 119-120.
21
Ibid, h. 120-121.
22
Yuslem, h. 229.
d. Terbebas dari syaz.
e. Terbebas dari ‘illat.23
Adapun contoh Hadis ini adalah setiap Hadis yang diriwayatkan oleh
Muhammad bin Amr bin al-Qomah yaitu sahabat yang terkenal jujur, namun
kurang kuat hafalannya, contoh ini sama dengan conoh Hadis Shahih
Lighoiirihi diatas oleh karenaya ada ulama yang menyamakan antara Hadis
Hasan dengan Hadis Shahih tersebut.

2. Macam-Macam Hadis Hasan, Hukum dan Status Kehujjahannya.


Hadis Hasan ini juga terbagi kepada dua bagian yaitu : Hadis Hasan Lizatihi
dan Hadis Hasan Lighoirihi.
a. Hadis Hasan Lizatihi dari segi bahasa Hasan bisa cenderung, yang baik,
dan yang bagus. Namun dari segi istilah adalah “ Satu Hadis yang
sanadnya bersambung dari permulaan hingga akhir, diceritakan oleh
orang-orang adiltetapi ada yang kurang dhobith, serta tidak ada syuzuz
dan ‘illat. Karena hakikat Hadis Hasan Lizatihi24 ini sama maknanya
dengan pengertian Hadis Hasan secara umum maka keanyakan ulama
menyamakan Hadis Hasan Lizatihi ini dengan Hadis Hasan. Adapun
contoh Hadis ini : Artinya “Kata Turmuzi telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menderitakan keapda kami Abdah bin
Sulaiman, dari Muhammad bin Amar, dari Abi Salamah dari Abi
Hurairah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw : “Jika aku tidak
takut untuk membertakan umatku, niscaya aku perintah mereka bersikat
gigi pada setiap sholat. Hadis ini sesuai dengan kriteria diatas
namunkhusus masalah dhobith terjadi masalah karena salah satu

23
Al-Hasani, h. 66.
24
Semua syarat Hadis Shahih diatas dibutuhkan oleh Hadis Hasan Lizatihi, kecuali bahwa seorang
atau seluruh periwayatnya termasuk golongan shodiq yang sebanding, M.M Azami, Memahami Ilmu
Hadis Tela’ah Metodologi dan Literatur (Jakarta : Lentera, 2003), h. 109.
sanandnya yaitu Muhammad bin Amr bin al-Qomah kurang kuat
hafalannya.25
b. Hadis Hasan Lighoirihi, dari segi bahasa lighoiri artinya : karenan yang
lainnya. Sedangkan dari segi istolah Attahan mendefenisikan Hadis
Hasan Lighoirihi dengan :
-------------------------------------

(Yaitu Hadis dhai’f apabila jalan datangnya berbilang (lebih dari satu),
dan sebab kedhoifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.26
Dari defenisi Attahan diatas mengisyaratkan bahwa Hadis Hasan
Lighoirihi adalah Hadis Hasan yang tidak memeenuhi persyaratan
secara sempurna atau pada dasarnya Hadis tersebut Hadis Dho’if, akan
tetapi karena adanya sanad atau matanlain yang menguatkannya, maka
kedudukan Hadis Dhoif tersebut naik derajatnya menjadi Hadis Hasan.
Contoh Hadis Hasan Lighoirihi: adapun artinya “Hadis yang
diriwayatkan at-Turmuzi dan diriwayatkan Hasan, dari jalan Syu’bah
dari Ashim ibn Ubaid Allah dari Abd Allah ibn Amr ibn Rabiah dari
ayahnya, bahwa seorang wanita dai bani Fazarh kawin dengan mahar
sepasang sandal, maka rasulullah saw bertanya : “Apakah engkau
merelakan dirimu sedangkan kamu hanya mendapat sepasang
sandal ?”,maka wanita tersebut menjawab “rela”, maka rasulpun
membolehkannya.
Pada Hadis tersebut diatas terdapat perawi a’shim, yang dinilai oleh paa
ulama Hadis sebagai peawi yang dhoif karena buruk hafalannya, tetapi
at-Tirmizi mengatakannya sebagai hasan, karena datangnya (dijumpai
sanad lain dari) Hadis tersebut melalui jalan lain.27

25
A. Qadir Hassan, Ilmu Mustholah Hadis (Bandung : CV. Diponegoro, 1996), h. 72-73.
26
Mahmud Attahan, Uhul al-Takhrij Wali Songo Dirasah al-Asanid (Riyad : Maktabah al-
Ma’arif, 1412 H/ 1991 M), h. 51.
27
Ibid.
Sementara Hadis Hasan bila dilihat dari status Hukum dan kehujjahannya maka
sebagaimana Hadis Shahih, meskipun derajatnya berada dibawh status Hadis Shahih,
adalah Hadis yang dapat dijadikn hujjah dalam penetapan hukum atau dalam beramal.
Para ulama Hadis, ulama ushul fiqh, dan fuqaha sependapat tentang kehujjahannya.

3. Kitab-Kitab Hadis Hasan.


Kita bisa melihat Hadis-Hadis Hasan pada kitab-kitab yang memuat Hadis-Hadis
Hasan tersebut :
a. Jami’ al-Tirmizi atau lebih dikenal dengan Sunan at-Tirmizi, oleh Abu Isa
Muhammad bin Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah al-Tirmidzi (209-279 H).
b. Sunan Abu Daud, oleh Sulaiman ibn al-Asy’at ibn Ishak al-Azali al-Sijistani
atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Daud (202-275 H),
c. Sunan al-Darquthni, olehh Abu al-Hasan Ali ibn ‘Umar ibn Ahmad al-Dar
Quhni (306-385 H/ 919-995 M)28

C. Hadis Mardud
1. Hadis Dhoif
a. Pengertian dan Kriteria Hadis Dha’if
kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-Qowiy, yang berarti lemah, Hadis
Dha’if ini adalah Hadis mardud, yaitu Hadis yang diolak dan tidak dapat dijadikan
hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum.29 Adapun beberapa ulama
mendefenisikan Hadis Dha’if sebagai berikut :
Imam Abi Amar Ibnu Shalah mendefenisikan Hadis Dha’if sebagai berikut :

------------------------

28
Ibid.
29
Yuslem, h. 236.
“setiap Hadis –Hadis yang tidak terdapat padanya sifat Hadis Shahih dan tidak
pula sifat-sifat Hadis Hasan maka dia disebut Hadis Dha’if.”30
Imam Ibnu Kasir mendefenisikan Hadis Dha’if sebagi berikut :

-------------------------
“Hadis – Hadis yang tidak terdapat padanya sifat-sifat Shahih dan sifat-sifat
Hasan”.31
Imam Hafiz Haan al-Mas’udi memberikan defenisi Hadis Dha’if sebagai
berikut :
------------------------------------------

“Hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari Hadis Shahih atau Hadis
Hasan.”32
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hadis Dha’if adalah Hadis yang
tidak mencukupi syarat Shahih maupun hasan baik dari segi sanad dan matannya,
maka kekuatannya lebih rendah disbanding dengan Hadis Shahih dan Hadis Hasan.
Dari kesimpulan diatas pula dapat dambinn intisari bahwa kriteria Hadis Dha’if
adalah :
1. terputusnya antara satu perawi dengan perawi lainnya dalam
satu sanad Hadis tersebut, yang seharusnya bersambung.
2. terdapat cacat pada diri seoang perawi atau matan dari Hadis
tersebut.
Dari kedua kriteria inilah dapat dijelaskan kriteria kedhoifan dari Hadis Dha’if
tersebut.

30
Ibid
31
Al-Imam Ibnu Kasir, al-Baits al-Hadis Syarh Ikhtiar “Ulum al-Hadis” (Beirut : daar al-Pikr, tt),
h. 42.
32
Hafiz Hasan Mas’udi, Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis (Surabaya: Ahmad Nabni, tt)
h. 10.
B. Macam-Macam Hadis Dha’if
Jenis Hadis Dha’if sangat banyak dan tidak cukup jika dijelaskan secara
keseluruhan dalammakalah ini, untuk itu penulis berusaha untuk memilah menjadi
dua macam Hadis Dha’if oleh karena sebabnya, yaitu :
a. Hadis Dha’if disebabkan oleh terputusnya Sanad.
1. Hadis Mursal
Hadis Mursal adalah :

--------------------------------------
“Hadis yang dimarfu’kan (diangkat) oleh seorang tabi’i kepada Rasulullah
saw, baik berupa sabda, perbuatan dan taqrir, baik itu Tabi’i kecil ataupun besar.”
Defenisi sseperti inilah yang banyak digunakan oleh ahli Hadis, hanya mereka
tidak memberikan batasan antara tabi’i kecil dan besar. Namun ada juga sebgaian
ulama hadis yang memberikan batasan Hadis Mursal ini hanya di marfu’kan kepada
tabi’i besar saja karena periwayatan tabi’i besar adalah sahabat dan Hadis yang
dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil termasuk Hadis Munqoti’.
Dalam istilah ilmu Hadis, Hadis Mursal ini diungkapkan secara bahasa adalah
isim maf’ul dari arsala yang berarti athlaqa, yaitu melepaskan dan membebaskan.
Secara istilah Hadis Mursal adalah :

-----------------------------------
“Hadis Mursal adalah Hadis yang gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi
sesudah tabi’i.
Maksud dari defenisi diatas dapat dipaham bahwa seorang tabi’i mengatakan
Rasulullah saw berkata demikian, den sebagainya, sementara Tabi’i tersebut jelas
tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi’i tersbut menghilangkan
sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan tabi’i.
sebagai contoh dari Hadis Mursal ini adalah :
“Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya pada bagian
“jual beli” (kitab al-buyu’) dia berkata : “telah menceritakan kepadaku Muhammad
Ibnu Rafi’, telah menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami
al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari Ibnu Ssaid ibnu Musayyab, bahwa
Rasulullah saw melarang menjual kurma yang masih berada dipohon, dengan kurma
yang sudah dikeringkan.”
Said bin Musayyab adalah seorang tabi’i besar,. Dia meriwayatkan Hadis ini
tanpa menyebutkan perawi (sahabat) yang menjadi perantara antara dirinya dengan
Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu Musyayyab telah menggugurkan akhir dari
perawinya yaitu sahabat. Bisa saja selain dari sahabat yang digugurkannya ada tabi’i
lain yang juga digugurkannya.

Klasifikasi Hadis Mursal


Sebagaimana iterangkan bahwa Hadis Mursal adalah hadis yang jalan sanadnya
menggugurkan perawi yang terakhir yaitu sahabat yang langsung menerima Hadis
tersebut dari Rasulullah saw. Diitinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan dari
sifat-sifatnya, maka Hadis Mursal ini terdiri dari tiga bagian :
1. Mursal Shahabi, yaitu : Pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada
Rasulullah saw tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang
ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih hidup ia masih kecil atauu
terbelakang masuk Islamnya.33 Hadis Mursal shahabi ini tidak
dipermasalahkan apabila seluruh perawi dalam sanadnya termasuk dalam
kategori adil, sehingga kemajhulannya tidak bersifat negative.
2. Mursal Khafi’ yaitu : Hadis yang diriwayatkan oleh tabi’i namun tabi’i yang
meriwayatkan Hadis tersebut hidup sezaman dengan sahabat tetapi tidak
pernah mendengar ataupun menyaksikan Hadis langsung dari Rasulullah
saw.34

33
Yuslem, hal. 240.
34
Fathur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadis (Bandung : Al-Ma’arif, 1991), h. 181.
3. Mursal Jali, yaitu : apabila penggugurannya dilakukan oleh rawi (tabi’i) dapat
diketahui jelas sekalii oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan tersebut
tidak pernah hidup sezaman dengan orang yang digugurkannya atau yang
menerima berita langsung dari Rasulullah saw.35
2. Hadis Munqati’
Kata Munqati’ adalah ism maf’ul dari inqata’a yang berarti terputus, secara
istilah Hadis Munqati’ ini adalah :
-----------------------------

Al-Munqati’ yaitu Hadis yang gugur padanya seorang rawi atau disebutkan
padanya seorang rawi yang tidak jelas.
Macam-Macam Pengguguran (Inqita’)
1. Perawi yang meriwayatkan Hadis jelas dapat diketahui tidak sezaman
hidupnya dengan guru yang memberikan Hadis padanya.
2. dengan samara-samar yang hanya diketahui oleh orang yang
mempunyai keahlian saja. Diketahuii dengan jalan lain dengan adanya
kelebihan seorang rawi atau lebih dalam Hadis riwayat orang lain.36
Defenisi lain menyebutkan Hadis Munqati’ adalah Hadis yang dalam sanadnya
gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih atau didalamnya disebutkan
seorang perawi yang gmubham. Dari segi gugurnya perawi, ia sama dengan Hadis
Mursal hanya saja jika Hadis Mursal dibatasi denngan gugurnya sahabat, sementara
dalam Hadis Munqati’ tidak ada batasan seperti itu. Jadi bila terdapat gugurnya
perawi baik diawal, ditengah ataupun diakhir pada suatu Hadis maka dia disebut
dengan Hadis Munqati’.37
Contoh Hadis Munqati’ adalah :
Hadis yang diriwayatkan olehh Abdu alRazzaq dari at-Tsauri dari Abi Ishak
dari Zaid Ibnu Yutsi dari Huzaifah yang menyatakan sebagai Hadis Marfu’ (berasal
35
Ibid.
36
Ibid.
37
M. Ajaj Khatib, Ushulul Hadis, hal. 305-306.
dari Nabi) jika kamu mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin maka ia adalah
seorang yang kuat dan dapat dipercaya.
Hadis diatas mengandung kemunqati’an pada dua tempat, pertama Abdu ar-
Razaq tidak mendengarnya dari at-Sauri. Ia mendengarnya dari an-Nu’man ibnu Abi
Syaibah al-Jundi dari at-Tsauri. Kedua at0Tsauri tidak mendengarnya dari Ibnu Ishak.
Ia hanya meriwayatkan dari Syuraik dari Abu Ishak.38
3. Hadis Mudallas
kata mudallas adalah ism maf’ul darii dallasa yang berarti gelap atau berbaur
dengan gelap. Menurut ilmu Hadis Mudallas diarikan dengan :

--------------------------------------------
Bahwa meriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya, namun ia
tidak pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya tersebut dan tidak
mendengarnya dari nya karena kesamaran mendengarkannya”.39
Macam-Macam Hadis Mudallas
1. Tadlis Isnad yaitu :

-------------------------
Bahwa ia meriwayatkan dari seseorang yang dijumpainya dan tidak mndengar
Hadis tersebut karena keraguan mendengarkannya atau dari orang semasanya yang
tidak pernah berjumpa dengannya serta meragukan bahwa ia telah menjumpainya
dan mendengar darinya.
2. Tadlis Syuyukh
--------------------

38
Ibid
39
Izzudin Balig, Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunnah Khatim al-Anbiyaa’
Wali Songo Mursalin (Beirut : Daar Pikr, tt), h. 49.
Bahwa seorang rawi meriwayatkan Hadis dari gurunya, ia dengar darinya,
kemudian diberi gelar kepadanyaatau ia korelasikan atau ia sifati yang tidak
diketahuii orang agar ia tidak dikenali. Misalnya :
------------------

Telah menceritakan kapada kami Abd Allah ibn Abd Allah.” Yang dimaksud
dengan Abd Allah disini adalah Abu Bakar ibnu Abu Daud al-Sijistani.40
Sebagaimana telah diuraikan maka motif dari mebuat Hadis tadlis itu bisa
karena ia terdorong untuk berniat jahat untuk menutupi cacat gurunya atau menutupi
kelamahan suatu h. perawi yang diketahui melakukan tadlis walaupun hanya sekali
saja makak ia adaah jarh (caacat) dank arena itu hadisnya mardud.
4. Hadis Mu’addhal
kata Mu’addhal berarti menyembunyikan sesuatu menjadi sesuatu yang
misterius atau problematic. Secara bahasa menurut ilmu hadis Mu’addhal adalah :
----------------------------

Hadis yang gugur dari sanadnya dua atau lebih scara berturut-turut baik dari
awal sanda, pertengahan sanad ataupun akhirnya.41 Hadis ini termasuk yang di
mursalkan oleh tabiat tabi’in. Hadis ini sama bahkan lebih rendah dari Hadis
Munqati’. Sama dari keburukan kwalitasnya, bila kemunqoti’annya lebih dari satu
tempat.
Diriwayatkan dari sebagian ahli Hadis perkataan para ahli fiqh: “Rasulullah
saw bersabda begini-begini” termasuk Mu’addhal. Karena diantara penulis tersebut
terdapat dua perawi atau lebih. Padahal para penulis fiqh sebagian besarnya hidup
ppada zaman setelah abad tabi’in.42
5. Hadis Mu’allaq

40
Yuslem, hal. 253.
41
Syikh Atiyah al-AJuri, Mustholahul Hadis (Jeddah : Haramain, tt), h. 58.
42
M. Azaz al-Khatib, hal. 306.
secara bahasa Mu’allaq adalah ism maf’ul dari kata ‘alaqa yang berarti
menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menjadi tergantung”
sedangkan menurut istilah ilmu Hadis, Mu’allaq adalah :

-------------------------
Sesuatu yang telah gugur seorang perawi atau lebih secara berturut-turut dari
awal sanad baik gugurnya tetap ataupun tidak.43
Dalam literature lain disebutkan Hadis Mu’allaq adalah :

---------------------------
Hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi secara berturut-turut”.

Bentuk Hadis Mu’allaq.


Mukharriz hadis biasanya langsung berkata : Rasulullah saw bersabda : ……..
atau mukhorij Hadis menghapus seluruh sanadnya kecuali sahabat, atau sahabat dan
tabi’in.
Contoh Hadis Mu’allaq alah :
Hadis yang diriwayatkan kepada Bukhori pda muqoddimah bab “menutupi
paha”, berkata Abu Musa, Rasulullah saw menutupi kedua luut beliau ketika Usman
masuk”.
Hadis diatas adalah Hadis Mu’allaq, karena Bukhori menghapus semua
sanadnya, kecuali sahabat, yaitu Abu Musa al-Asya’ri. Dan hukumnya adalah mardud
tertolah dan tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum. Karena tidak
terpenuhi syarat kemakbulannya yaitu tidak tersambungnya sanad karena terhapus
dan tidak diketahui siapa perawi yang terhapus tersebut.

b. Hadis Dha’if yang ditinjau dari segi cacatnya Perawi.

43
Hafiz Hasan al-Ma’udi, hal. 22.
Dari segi diterima atau tidaknya suatu Hadis untuk dijadikan hujjah maka Hadis
ahad itu pada prinsipnya terbagi kepada dua bagian yaitu Hadis maqbul yang mana
Hadis maqbul ini adalah Hadis Shahih dan Hadis Hasan sementara yang kedua adalah
Hadis mardud yaitu Hadis Dha’if dan segala macamnya.
Karena cacat perawi dalam Hadis Dha’if ini baik dari segi matan maupun
sanadnya disebabkan oleh keadilan perawi, agamanya tau hafalannya tau
keelitiannya, selain itu juga karena terputusnya sanad perawi atau yang digugurkan
atau yang saling tidak bertemu antara sau dengan yang lain. Dalam hal ini Hadis
Dha’if yang ditinjau dari segi perawinya terbagi bermacam-macam yaitu :
1. Hadis Mudha’af.
Yaitu Hadis yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagai ahli Hadis menilainya
mengandung kedhaifan, baik dalam sanad maupun matannya, dan sebagian lain
mengatakannya kuat namun penilaian kedhaifannya lebih kuat. Ibnu al-Jaui
merupakan orang yang pertama kali melakkukan pemilahan terhadap Hadis jenis ini.
2. Hadis Matruk
-----------------------------

Hadis yang menyendiri dalam periwayatan dan diriwayatkan oleh orang yang
tertuduh dusta dalam periwayatan Hadis, dalam Hadis nabawi, atau sering berdusta
dalam pembicaraannya atau terlihat jelas kefasikannya, melalui perbuatan ataupun
kata-kata, serta sering kali salah atau lupa. Missalnya Hadis Amr bin Samar dari
jabir al-Jafiy. Yang jelas adalah bahwa Hadis Matruk adalah Hadis Dha’if pada
tingkatan terendah.
Yang dimaksud dengnan rawi tertuduh duta yaitu seorang rawi yang dalam
pembicaraan selalu berdusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia berdusta
dalammembuata h. adapun orang yang berdusta diluar pembuatan Hadis ditolak
periwayatannya.
Contoh Hadis Matruk : “Ibnu Adyi menjelaskan dua orang perawi yaitu Abdur
Rahman dan ayahnya Zaid, adalah orang yang matrukul hadis.
3. Hadis Munkar.
Hadis Munkar adalah Hadis yang perawinya sangat cacat dalam kadar sangat
keliru atau nyata kefasikannya. Para ulama Hadis memberikan defenisi yang
bervariasi tentang Hadis Munkar ini. Diantaranya ada dua defenisi yang selalu
digunakan, yaitu :
a. Hadis yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau
sering kali lali dan terlihat kefasikannya secara nyata.
b. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang Hadis tersebut
berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh.
4. Hadis Mu’allal
Hadis Muallal adalah Hadis yang cacat karena perawinya al-wahm, yaitu hanya
persangkaan atau dugaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
Umpamanya, seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil
(bersambung) yang sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau dia
mengirsalkan yang mutthasil, dan memauqufkan yang maru’ dan sebagainya.
5. Hadis Mudraj.
Idraj berarti memasukkan Sesutu kepada suatu yang lainnya dan
menggabungkannya kepada yang lain itu, dengan kata lain Hadis mudraj adalah
Hadis yang didalamnya terdapat kata-kata tambahan yang bukan dari bagian Hadis
tersebut. Hadis mudraj ada dua yaitu :
a. Mudraj Isnad : “seorang peerawi menambahkan kalimat-kalimat dari dirinya
sendiri saat mengemukakan sebuah Hadis disebabkan oleh suatu perkara
sehingga orang yang meriwayatkan selanjutnya menganggap apa yang
diucapkannya adalah juga bagian dari Hadis tersebut.
b. Mudraj Matan : sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan suatu Hadis yang
bukan merupakan matan dari Hadis tersebut, tanpa ada pemisahan diantaranya
( yaitu antara matan Hadis dan sesuatu yang dimasukkan tersebut). Atau
memasukkan suatu perkataan dari perawi kedalam matan suatu Hadis,
sehingga diduga perkataan tersebut berasalah dari perkataan Rasulullah saw.
6. Hadis Maqlub
Hadis Maqlub adalah Hadis yang menggantikan suatu lafaz dengan lafaz lain
pada sanad Hadis atau matannya engan cara mendahulukan ataupun mengakhirknnya.
Dengan kata lain ada pemutar balikan antara matan dan sanad baik didahulukan
ataupun diakhirkan. Dalam hal ini jelas bahwa hukumnya trtolak serta tidak dapat
dijadikan dalil suatu hukum.
7. Hadis Mudhtharib
Hadis Mudhtharib adalah Hadis yang diriwyatkan dalam bentuk yang berbeda
yang masing-masing sama kuat. Contoh :

-------------------------------
Hadis Abu Bakar ra bahwasanya dia berkata “Ya Rasulullah, aku lihat engkau
telahberuban” Rasulullah saw menjawab, “Hud dan saudara-saudaranya yang
menyebabkanku beruban”. (HR. Tirmizi)
8. Hadis Mushahaf yaitu Hadis yang dirubah kalimatnya, yang tidak
diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafaz maupun makna Hadis ini
ada yang berubah sanadnya dan adapula berubah matannya.
9. Hadis Syaz yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, yaitu
perawi yang dhabit, adil dan sempurna kebaikannya namun Hadis ini berlawanan
dengan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih tsiqot, adil dan dhobit
shingga hadis ini ditolak dan Hadis ini juga disebut dengan Hadis Mahfuz.44

C. Hukum yang mengandalkan Hadis Dha’if


Ada tiga pendapat ulama dalam perguruan Hadis Dha’if :
1. Hadis Dha’if tidak diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail maupun
ahkam dan ini merupakan pendapat kebanyakan ulama termasuk Imam
Bukhori dan Muslim.

44
Yuslem, h. 256-277.
2. Hadis Dha’if bisa diamalkan secara mutlak, ini merupakan pendapat Abu
Daud dan Imam Ahmad yang lebih mengutamakan Hadis Dha’if
dibandingkan ra’yu seseorang.
3. Hadis Dha’if dapat digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau sejenis
dengan memenuhi kriteria yang ada. Ibnu Hajar membaginya kepada kriteria
yaitu : :
- kedhaifannyaa tidak terlalu
- Hadis Dha’if yang termasuk cakupan Hadis pokok yang bisa
diamalkan.
- Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat tapi
sekedar hati-hati.45.

D. Penutup
Adapun yang menjadi kesimpulan pada pembahasan ini adalah :
1. Hadis dari segi kehujjahannya terdiri dari dua bagian yaitu Hadis maqbul dan
hadis Mardud. Hadis maqbul terbagi lagi kepada dua bagian yaitu shohih dan
hasan. Sedangkan Hadis Mardud adalah Hadis Dha’if.
2. Hadis Shahih adalah Hadis yang memenuhi persyaratan, sanad Hadis tersebut
bersambung, perawinya adil, perawinya dhobit, hadis tersebut tidak syaz,
Hadis tersebut selamat dari ‘illat atau cacat, Hadis ini terbagi kepada du yaitu
Hadis Shahih Lizatihi dan Hadis Shahih Lighoiirihi. Hukumnya adalah wajib
berpegangan atau beramal dengannya dan dapat dijadikan hujjah.
3. Hadis Hasan adalah Hadis yang pengertiannya hampir sama dengan Hadis
Shahih hanya saja pada Hadis Hasan pada bagian syarat perawinya diragukan
kedhobitannya. Hadis Hasan terbagi dua yaitu Hadis Hasan Lizatihi dan
Hadis Hasan Lighoirihi, hakikat Hadis Hasan Lizatihi dengan Hadis Hasan,
pada Hadis Hasan Lighoirihi terdapat salah satu sanadnya rusak hafalannya

45
M. Ajjaj al-Khatib, Hal. 315-316.
namun karena Hadis tersebut diriwayatkan oleh riwayat lain yang sama atau
lebih kualitas sanadnya maka ia dapat dijadikan hujjah.
4. Hadis Mardud yaitu Hadis Dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi
persyaratan untuk menjadi Hadis Shahih ataupun Hadis Hasan karena terdapat
beberapa cacat dari segi sanad maupun matannya. Hadis Dha’if tidak
diamalkan secara mutlak namun dapat digunakan untuk fawhail mawa’iz,
lebih baik bila dibandingkan ra’yu pribadi seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Qadir Hassan, Ilmu Mustholah Hadis. Bandung : CV. Diponegoro, 1996.

Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi Wali Songo Huwa al-
Jami’ as-Shohih. Beirut, Dar al-Fikr, 1400 H / 1980.

Al-Imam Ibnu Kasir, al-Baits al-Hadis Syarh Ikhtiar “Ulum al-Hadis” (Beirut : daar
al-Pikr, tt.

Fatchur Rahman, Ikhtishar Mustholah Hadis (Bandung : PT al-Ma’arif.

Fathur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadis. Bandung : Al-Ma’arif, 1991.

Hafiz Hasan Mas’udi, Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis. Surabaya: Ahmad
Nabni, tt.

Izzudin Balig, Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunh Khatim al-
Anbiyaa’ Wali Songo Mursalin. Beirut : Daar Pikr, tt.

M. Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-
Hadis diterjemahh oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya
Media Pratama, 1998.

M.M Azami, Memahami Ilmu Hadis Tela’ah Metodologi dan Literatur. Jakarta :
Lentera, 2003.

Mahmud Attahan, Uhul al-Takhrij Wali Songo Dirasah al-Asanid. Riyad : Maktabah
al-Ma’arif, 1412 H/ 1991 M.

Muhammad ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Minhal al-Lathifu fi Ushuli al-Hadis


Tahrif. taba’ bi Tasrih Wizarah al-A’lam, 1410 H.

Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis. Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1993.

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997.

Syeikh Atiyah al-AJuri, Mustholahul Hadis. Jeddah : Haramain, tt.

Anda mungkin juga menyukai