Pembicaraaan tentang pembagian hadis dilihat dari segi kualitasnya ini tidak terlepas dari pembahasan
mengenai pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya,yakni dibagi menjadi hadis mutawatir dan
ahad sebagaimana tela dibicarakan pada sub diatas.Hadis mutawatir memberikan pengertian kepada
yaqin bi al- qath’I , bahwa Nabi Muhammad SAW.benar-benar bersabda,berbuat,atau menyatakan iqrar
(persetujuan)-nya di hadapan para sahabat,berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka
bersama sama sepakat berbuat dusta kepada Rasulullah SAW. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya
benar-benar telah meyakinkan,maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan
penelitian dan penyelidikan , baik terhadap sanad maupun matannya. Berbeda dengan hadis ahad,yang
hanya memberikan faedah zhanny (prasangka yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kepada kita
untuk mengadakan penyelidikan,baik terhadap sanad maupun matannya ,sehingga status hadis ahad
tersebut menjadi jelas “apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak”.
Dari persoalan inilah ,para ulama ahli hadis kemudian membagi hadis,ditinjau dari segi
kualitasnya,menjadi 2 yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan
atau diterima). Sedangkan menurut istilah adalah :”Hadis yang telah sempurna padanya,
syarat-syarat penerimaan”
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul berkaitan dengan
sanadnya,yaitu sanadnya bersambung di riwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit,dan juga
berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat.
Dalam pada itu, tidak semua hadis maqbul boleh diamalkan akan tetapi ada juga yang tidak
boleh diamalkan. Dengan kata lain, hadis maqbul ada yang ma’mulun bih yakni hadis yang
bisaa diamalkan dan ada yang ghair ma’mulinbih yakni hadis yang tidak bias diamalkan.
Yang ma’mulun bih adalah hadis muhkam, yakni hadis yang telah memberikan pengertian
jelas ; mukhtalif, yakni hadis yang dapat dikompromikan dari 2 buah hadis atau lebih secara
lahiriyah mengandung pengertian bertentangan ; Rajih yakni hadis yang lebih kuat ;
dan;hadis nasikh ,yakni hadis yang menaskh terhadap hadis, yang dating terlebih dahulu
sedangkan yang ghair ma’mulin bih adalah hadis marjuh ,yakni hadis yang kehujjahannya
dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat ; mansukh , yakni hadis yang telah dinasakh
(dihapus) ,dan; hadis mutawaquf fih , yakni hadis yang kehujjahannya ditunda, karena
terjadinya pertentangan antara satu hadis boleh dengan lainnya belum bias diselesaikan.
Dilihat dari ketentuan-ketentuan hadis maqbul seperti diuraikan diatas,maka hadis
maqbul dapat digolongkan menjadi dua , yaitu hadis Shahih dan hasan.
A. Hadis Shahih
1. Pengertian Hadis Shahih
Shahih menurut bahasa lawan dari kata Saqim (Sakit) . kata sahih juga telah
menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “ sah; benar , sempurna sehat (tiada
segalanya); pasti”.pengertian hadis sahih secara definitif eksplisit belum dinyatakan
oleh ahli hadis dari kalangan al- muttaqaddimin (sampai abad III H) . mereka pada
umumnya hanya memberikan penjelasan mengenai kriteria penerimaan hadis yang
dapat dipegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah : “tidak diterima
periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqat,tidak
diterima periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis , dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak
kesaksiannya”.
Gambaran mengenai pengertian hadis sahih agak jelas setelah Imam Syafi’I
memberikan ketentuan bahwa riwayat suatu hadis dapat dijadikan hujjah, apabila :
. Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya;
dikenal sebagai orang yang jujur memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan
mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafaznya; mapu
meriwayatkan hadis secara lafazh; terpelihara hafalannya , bila meriwayatkan sama
dengan bunyi hadis yang diriwayatkan oleh orang lain ; dan terlepas dari tadlis
(penyembunyian cacat).
. Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW.,atau dapat juga
tidak sampai ke nabi.
B. Hadis Hasan
1. Pengertian Hadis Hasan
Hasan menurut bahasa adalah sesuatu yang di senangi dan dicondongi oleh
nafsu.sedangkan menurut istilah , para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
hadis hasan ini . perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan diantara mereka ada yang
menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi diantara hadis
sahih dan hadis dha’if ,yang dapat dijadikan hujjah. Memang menurut sejarah ulama
yang mula-mula memunculkan istilah “hasan” bagi suatu jenis hadis yang berdiri
sendiri adalah Imam Al-Tirmidzi.
Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima” . sedangkan mardud
menurut istilah ialah : “ Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis
maqbul”.
Tidak terpenuhinya persyaratan dimaksud,bisa terjadi pada sanad atau matan.para ulama
mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadis dha’if dan hadis maudhu.
pada akhirnya, pembagian hadis dilihat dari diterima tidaknya dibagi menjadi tiga yaitu : hadis
shahih, hasan, dan dha’if.
Contoh Hadis Mardud :
D. Hadist Dhaif
1. Pengertian Hadist Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang kuat. Sebagai
lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti Hadist yang lemah, yang sakit atau yang
tidak kuat. Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan tetapi pada
dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat An-Nawawi : “Hadist yang
didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan.”
Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama hadits yang memeperbolehkan berhujjah dengan hadits dhaif
untuk keutamaan amal, memberikan 3 syarat:
a. Hadits Dhaif itu tidak keterlaluan.
b. Dasar Amal yang ditunjukan oleh hadits Dhaif tersebut, masih dibawah suatu dasar yang
dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (Shahih atau Hasan)
c. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber
dari Nabi. Tetapi tujuan ikhtiyath (hati-hati) belaka