Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PEMBAGIAN HADITS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Quran Hadits
Dosen pengampu: M. Jamil, M. Ag.

Disusun oleh:

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadist merupakan salah satu sumber hukum bagi umat Islam.
Kedudukannya sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran menjadikan
pemahaman terhadap hadist adalah penting, terlebih akan penerapannya
dalam kehidupan umat Islam. Jenis-jenis hadist dibagi bukan hanya dari satu
sudut pandang, namun jenis hadis dilihat dari segi kuantitas seperti
banyaknya sanad dan perowi maupun kualitas hadis tersebut. Tidak semua
hadis dapat diterapkan dalam aspek kehidupan umat Islam, penting untuk
mempelajari hadis mana yang dapat dijadikan pedoman atau pegangan dan
dapat diamalkan dalam kehidupan seharihari. Oleh karena itu, makalah ini
dibuat untuk membahas pembagian hadist dari segi kualitasnya, baik dari
kualitas keshahihannya, hasan maupun kedhoifan hadits tersebut beserta
kehujjahannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat disimpulkan dalam
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya ?
2. Apakah pengertian dari hadis shahih, pembagian dan contoh-contohnya
serta kehujahannya ?
3. Apakah pengertian dari hadis hasan, pembagian dan contoh-contohnya
serta kehujahannya ?
4. Apakah pengertian dari hadis dhaif, pembagian dan contoh-contohnya
serta kehujahannya ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PEMBAGIAN HADIS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS


Hadis merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam. Hadis
dikelompokkan berdasarkan segi kuantitas dan kualitasnya. Ditinjau dari segi
kuantitasnya, hadis dibagi menjadi dua yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
Sedangakn, para ulama ahli hadis membagi hadits ditinjau dari segi
kualitasnya, menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.1

1. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan
mushaddaq (yang dibenarkan atau yang diterima), sedangkan menurut
istilah adalah:


Artinya;
Hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya. 2
Hadis maqbul atau hadis yang dapat diterima digolongkan menjadi
dua, yaitu hadis shahih dan hadis hasan.
2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak
diterima, sedangkan menurut istilah ialah:



Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat
hadis maqbul.
Hadis mardud atau hadis yang tidak diterima digolongkan pada hadis
Dhaif.

B. Hadits Shahih
1. Pengertian Hadits Shahih

1
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 141
2
Ibid, 141-142

2
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha yashihhu
suhhan wa sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar.
Sedangkan secara istilah yaitu :





Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad
dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat

Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan hadits yang


bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit,
tidak syadz dan tidak berilat. Definisi hadits shahih secara konkrit baru
muncul setelah Imam Syafii memberikan penjelasan tentang riwayat
yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat
dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur
mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui
perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu
meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila
meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan
sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis
(penyembuyian cacat). Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai
kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
2. Syarat-syarat Hadits Shahih
Dari pengertian di atas bahwa suatu hadis dapat dikatakan shahih
apabila memenuhi lima syarat, yaitu
a. Sanadnya Bersambung
Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari
perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian
sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi
terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima
hadits langsung dari Nabi,bersambung dalam periwayatannya.

3
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah
seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang
dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits
yang bersangkutan tidak shahih.
b. Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muruah,
yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal
lain yang dapt merusak harga dirinya.
c. Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut
mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang
diriwayatkannya. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit
adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah
didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan
saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut
dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau
didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain
atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
d. Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang
bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah
perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda
dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap
syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat
posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah
mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan,
dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif
terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
e. Tidak Berillat

4
Hadits berillat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat
penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak
keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari
segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada
hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih.

Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak berillat, ialah


hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
Illat hadits dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, illat yang paling
banyak terjadi adalah pada sanad. Adapun contoh hadits yang shahih
adalah sebagai berikut;





.
) (

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata:
telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari
Muhammad bin jubair bin mathami dari ayahnya ia berkata: aku
pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib
surat at-thur (HR.Bukhari,KitabAdzan).
3. Pembagian Hadits Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam, yaitu:
a. Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-
orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan
Illat.
b. Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya
hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain
yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits
shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-
ghairihi.

5



Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi. Hadits ini
semula merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi dan syahid,
maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.
4. Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib
diamalkan sebagai hujah atau dalil syara sesuai ijma para uluma hadits
dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-
soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak
dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah. Sebagian besar ulama
menetapkan dengan dalil-dalil qati, yaitu al-Quran dan hadits mutawatir.
oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.

C. Hadits Hasan
1. Pengertian Hadis Hasan
Hasan menurut lughot adalah sifat musybahah dari Al-Husna,
artinya bagus. Menurut Ibnu Hajar, hadis hasan adalah khabar ahad
yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalanya,
bersambung sanadnya, tidak cacat dan tidak syadz3.
Untuk membedakan antara hadis sahih dan hasan, kita harus
mengetahui batasan dari kedua hadis tersebut. Batasanya adalah keadilan
pada hadis hasan disndang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya,
sedangkan pada hadis sahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat
ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan oenyakit.
Keduanya bisa dijadikan hujjan dan kandungannya bisa dijadikan sebagai
penguat.4
2. Pembagian Hadis Hasan

3
Ath-Thahhan. op, cit. hlm. 38.
4
Subhi Ash-Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Hlm. 142.

6
Sebagaimana hadis shahih, hadis hasan pun terbagi atas hasan li
dzatih dan hasan li ghairih. Hadits yang memenuhi syarat-syarat hadis
hasan disebut hasan li dzatih. Syarat untuk hadis hasan adalah
sebagaimana syarat untuk hadis shahih, hanya saja perawi hanya
termasuk kelompok keempat (shoduq) atau istilah lain yang setaraf atau
sama dengan tingkatan tersebut.5
Adapun hasan li ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan
rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi
dan syahid. Hadits Dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya (suu
al-hifdzi), tidak dikenal identitasnya (mastur) dan mudallis
(menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi
karena dibantu, oleh hadits-hadits lain yang semisal dan semakna atau
karena banyak rawi yang meriwayatkannya.
Contoh hadis hasan li ghairihi:



:


) ( .
Aku pergi ke surga dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah
orang faqir dan aku pergi ke neraka kudapati sebagian besar
penghuninya adalah wanita. (HR BUKHARI)
3. Kedudukan Hadits Shahih dan Hasan dalam Berhujjah
Kebanyakan ulama ahli hadits dan fuqaha bersepakat untuk
menggunakan hadits shahih dan hadits hasan sebagai hujjah. Di samping
itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat digunakan
sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima.
Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab,
sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi, menengah, dan rendah.
Hadits yang sifat dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah hadits
shahih, sedangkan hadits yang sifat dapat diterimanya rendah adalah
hadits hasan.

5
M.M. azami. Metodologi Kritik Hadits. Terj. A. yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah. 1992, hlm. 103.

7
Hadits-hadits yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah
disebut hadits maqbul, dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang
dapat diterima disebut hadits mardud.
Yang termasuk hadits maqbul adalah:
a. Hadits sahih, baik sahih li dzatihi maupun sahih li ghairih.
b. Hadits hasan, baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairih.
Yang termasuk hadits mardud adalah segala macam hadits dhaif.
Hadits mardud tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-
sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.
4. Kitab-kitab yang mengandung Hadits Hasan
Para ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadits-hadits
hasan secara terpisah sebagaimana mereka melakukannya dalam hadist
sahih, tetapi hadits hasan banyak kita dapatkan pada sebagian kitab,
diantaranya:
a. Jami At-Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-Tirmidzi, merupakan
sumber untuk mengetahui hadits hasan.
b. Sunan Abu Dawud.
c. Sunan Ad-Daruquthi.

D. Hadits Dhaif
1. Pengertian Hadits Dhaif
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif
()berarti lemah lawan dari al-Qawi ()yang berarti kuat.
Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi
kriteria hadits shahih atau pun hasan yang diterima sebagian hujjah.
Dalam istilah hadits dhaif adalah :


Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu
dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi
Atau defenisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas ulama :


Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan

8
Sehingga hadits dhaif merupakan hadits yang tidak memenuhi
sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya
sanadnya tidak bersambung (muttasshil), para perawinya tidak adil dan
tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan
terjadinya cacat yang tersembunyi (Illat) pada sanad atau matan.
2. Macam-macam hadits dhoif
a. Dhoif pada sanad

Sanad adalah rangkaian nama-nama orang yang meriwayatkan hadits
dari awal hingga matan. Dhoif pada sanad yaitu disebabkan oleh :
Terputus sanad
1) Mursal ; hadits yang terputus sanadnya diawal (generasi
sahabat)
2) Muallaq : hadits yang terputus sanadnya diakhir (tabiut-
tabiin)
3) Munqoti : hadits yang terputus sanadnya ditengah satu orang
(tabiin besar atau kecil )
4) Mudlal : hadits yang terputus sanadnya ditengah dua orang
5) Mudallas : hadits yang terputus sanadnya karena perawi tidak
menyebutkan nama gurunya.
b. Dhoif pada matan

Matan adalah ucapan yang berada pada ujung sanad. Dhoif pada
matan disebabka oleh :
Cacat Perawi / Matan ada 10 macam yaitu :
1) Maudlu : hadits yang dinisbahkan kepada rasul secara
sengaja, berbohong, dan mengada-ada.
2) Matruk : yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta.
3) Munqothi : yang diriwayatkan oleh orang yang banyak lalai,
salah, fasik.
4) Mudraj : yang disisipi oleh ucapan perawi, yang seharusnya
ucapan rasul

9
5) Mushohaf : yang didalamnya sudah trdapat perubahan kata
karena ada kesalahan penempatan titik.
6) Muharraf : yang didalamnya terdapat perubahan kata karena
salah penempatan huruf
7) Mudldharib : yang didalamnya terdapat perubahan kata karena
tertukar pada kata-kata yang berlawanan.
8) Maqlub : yang didalamnya terdapat kata yang tertukar yaitu
kata yang didepan dibelakangkan begitu pula sebaliknya.
9) Muallal : yang didalamnya terdapat illat.
3. Pembagian hadits dhaif
Hadis dhaif berdasarkan tingkat kedhaifannya dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Dhaif muhtamal
Yaitu yang bias ditahan (diterima) atau ringan, bukan dhaif yang
berat. Hal ini ketika ada hadis semisal yang membantu tertutupnya
kedhaifan hadis tersebut dan terangkat menjadi hadis hasan li
ghairihi.
b. Dhaif syadid
Yaitu dhaif yang sangat berat. Hal ini ketika ada hadis yang
semisalnya tertapi tetap tidak tertutup kedhaifan hadis tersebut dan
tidak terangkat derajatnya.
4. Contoh hadits dhaif
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-
Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi
SAW bersabda :


"Barangsiapa shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji
dan munknr, maka ia tidak menambah sesuatu pun dari Allah SWT
kecuali kejauhan."
Hadits tersebut batil, meskipun hadits tersebut sangat dikenal dan
sering menjadi pembicaraann, namun sanad maupun matannya tidaklah
sahih. Dari segi sanad, telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab

10
al-Mu'jaru al-Kabir, al-Qudha'i dalam kitab Musnad asy-SyihabII/43,
Ibnu Hatim dalam Tafsir Ibnu Katsir II/414 dan kitab al-Kswahibad.-
Dararil/2/83, dari sanad Laits, dari Thawus, dari Ibnu Abbasr .a.
Ringkasnya, hadits tersebut sanadnya tidak sahih sampai kepada
Rasulullah tapi hanya sampai kepada Ibnu Mas'ud r.a. dan merupakan
ucapannya dan juga hanya sampai kepada Ibnu Abbas r.a. Karena itu,
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitabul - Irnan halaman 12, tidak
menyebut- butnya kecuali sebagai riwayat mauquf yang hanya sampai
kepada Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas r.a. Di samping itu, matannya pun
tidak sahih sebab zhahirnya mencakup siapa saja yang mendirikan shalat
dengan memenuhi syarat rukunnya. Padahal syara tetap
menghukuminya sebagai yang benar atau sah, kendati pun pelaku shalat
tersebut masih suka melakukan perbuatan yang bersifat maksiat. ladi,
tidaklah benar bila dengannya (yakni shalat yang benar) justru akan
makin menjauhkan pelakunya dari Allah SWT. Ini sesuatu yang tidak
masuk akal dan tidak pula dibenarkan dalam syariat. Karena itu, Ibnu
Taimiyah menakwilkan kata-kata "tidak menambahnya kecuali jauh dari
Allah" jika yang ditinggalkann yaitu merupakan kewajibanya yang lebih
agung dari yang dilakukannya. Ini berarti pelaku shalat tadi
meninggalkan sesuatu sehingga shalatnya tidak sah, seperti rukun-rukun
dan syarat-syaratnya. Kemudian, tampaknya bukanlah shalat yang
demikian (yakni yang sah dan benar menurut syara') yang dimaksud
dalam hadits mauquf tadi. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits
tersebut dha'if, baik dari segi sanad maupun matannya. Wallhu a'lam
bishshawab.
5. Kehujjahan hadits dhaif
Kehujjahan hadits dhaif dapat dilihat dari segi :
a. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu (hadits palsu).
Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak
terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan
jujur.

11
Sedangkan hadits mawdhu perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa
menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara yang berkaitan dengan halal dan
haram, tetapi, berkaitan dengan masalah mauizhah, targhib wa
tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan
lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad
sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni malum) yang
meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup
menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh)
misalnya :
diriwayatkan, dipindahkan,
pada
sesuatu yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan
karena berhati-hati (ikhtiyath).
b. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan
itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam
keutamaan amal (Fadhail al amal) atau dalam hukum sebagaimana
yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Main.
pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi,
Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-
amal atau dalam masalah hukum (ahkam), pendapat Abu Dawud
dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih
kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mauizhah,
targhib (janji-janji yang menggemparkan), dan tarhib (ancaman
yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan
sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu
berikut :

12
Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits
mawdhu) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya
iangat hafalannya sangat kurang, dan berlaku fasiq dan bidah
baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (mamul bih)
seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi
pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang
membatalkan hukum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits
yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi
karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam menetapkan hukum secara umum maka dalam hal ini para
muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli fiqh bersepakat untuk menyatakan
bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama bersepakat untuk mengatakan
bahwa hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama,
bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok
hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
Jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat
hadis hasan, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dhaif. Apalagi yang
hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis
dhaif dan status semua hadis dhaif adalah mardud (tertolak) dan tidak bias
dijadikan hujjah.

14

Anda mungkin juga menyukai