Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MUFASSIR

OLEH

KELOMPOK 8
1. ANDRE FERIAWAN PUTRA
2. RUDI SAPUTRA
3. FIRMAN ALFIANSYAH
4. NONI ANDANI
5. WINDAWATI

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN MATARAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kita tahu, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab suci Al-Quran
yang diturunkan Allah kapada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup manusia agar
selamat baik ketika di dunia sampai di akhirat kelak. Sangat mustahil seseorang akan paham
Alqur’an secara kamilatausempurnakalau tidak tahu tentang tafsirnya. Serangan terhadap Al-
Quran pun beramai-ramai dilakukan oleh para orientalis Barat. Mereka berusaha untuk
mengkritisi serta meragukan otentisitas dan kesakralan Al-Quran dengan berbagai ragam cara.
Kita tentu tidak akan heran jika orang yang melakukan penyerangan terhadap Al-Quran tersebut
berasal dari kalangan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika
penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim; bahkan
tak jarang hal ni berkembang dari dan di perguruan tinggi negeri yang memakai embel-embel
Islam.

Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran semakin


sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang
dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat menimbulkan problem dengan
penganut agama lain. Akan tetapi, apakah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-
Quran? Lantas, siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran dan apa saja yang
harus dipenuhi olehnya? Tulisan ini mencoba untuk menjelaskannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian mufassir dan syarat mufassir ?

2. Apa sajakah syarat-syarat mufassir ?

3. Apa sajakah adab-adab seorang Mufassir?

4. Ilmu apa sajakah yang harus dimiliki seorang mufassir ?


C. Tujuan penulisan

Pada dasarnya tujuan penulisan karya tulis ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan
umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk menyelesaikan
tugas mata kulian Ilmu Tafsir1 semester ganjil.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mufassir

Secara bahasa mufassir adalah bentuk isim fa’il dari kata Fassara yang artinya menafsirkan
atau menjelaskan. Kemudian di ikutkan wazan isim fa’il Mufa’ilun menjadi Mufassirun yang
artinya orang yang menafsirkan, mengomentari, interpretasi.

Sedangkan menurut istilah, Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna
yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan
kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak
pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan
mengajarkannya atau menuliskannya.

Abu Muhammad FH, menjelaskan dalam Kamus Istilah Agama Islam, Mufassir adalah
orang yang menerangkan makna ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur an.

syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seseorang menafsirkan Al-Qur’an. syarat amat
sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apalagi menafsirkan Al-Qur’an
secara keseluruhan. Setiap disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan sebuah syarat sebagai
penunjang utama dalam langkah menuju objektif.

B. Syarat-Syarat Mufassir

Peran syarat dalam suatu hal sangatlah penting karena al-Qur an merupakan Kitab pedoman
umat Islam dengan menyandang kata “suci” tidak boleh sembarang orang menafsirkan jika tidak
memenuhi persyaratanya karena dampaknya akan sangat fatal jika terjadi kesalahan mengingat
esensi al_qur an adalah sebagai pedoman hidup umat Islam agar selamat didunia dan akhirat

Seorang mufassir al-Quran perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan berbagai bidang
ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi mufassir yang diakui, maka harus memiliki
kemampuan dalam segala bidang. Para ahli telah memformulasikan tentang syarat-syarat dasar
yang diperlukan bagi seorang mufassir.
Orang yang dapat menafsirkan al-Quran hanya orang yang memiliki keahlian dan
menguasai ilmu tafsir (Ilmu pengetahuan tentang al-Quran), sedangkan orang yang belum
banyak mengerti tentang ayat dan tata cara menafsirkan al-Quran dan tidak menguasai ilmu
Tafsir tidak diperbolehkan menfsirkan al-Quran, hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kitab
suci ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nagsu keinginan mufassir, sehingga tidak sesuai
dengan maksud yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya.

Adapun persyaratan bagi seorang mufassir adalah sebagaimana dijelaskan oleh beberapa
ulama adalah sebagai berikut:

1. Syekh Muhammad Hussein Adz-Dazhabi: Syarat bagi seorang mufassir adalah menguasai
ilmu Nahwu, Ilmu sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’
Ilmu Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadits
dan Ilmu Mauhibah (Ilmu karunia dari Allah).

2. Syekh Manna’ al-Qaththan: Syarat seorang mufassir dan tata cara menafsirkan adalah bebas
dari hawa nafsu, memulai menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, mencari tafsir dari al-Sunnah,
prndapat dari tabi’in, mengetahui bahasa Arab dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-
pokok ilmu yang berhubungan dengan ilmu Al-Quran, dan memiliki ketajaman berpikir.

3. Khalid al-Sabt: Syarat bagi seorang mufassir (yang hampir semuanya mengenai bahasa Arab)
yaitu harus mengetahui Fiqh al-Lughah, Hukum Kalimah, Ilmu Bayan, Ma’ani dan Badi’
Mubham dan Mufasshal, ‘Am dan Khas, Ilmu Kalam, dan Ilmu Qiraat.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa syarat bagi seorang mufassir
adalah:

1. Mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidah bahasa (ilmu tata bahasa, sintaksis, etimologi, dan
morfologi), ilmu retorika (ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu Badi’), ilmu ushul fiqh (Khas,
‘Am, Mujmal, dan mufasshal). Tanpa memahami secara mendalam tentang bahasa al-Quran,
maka besar kemungkinan bagi seorang mufassir akan melakukan penyimpangan (distorsi) dan
kesalahan interpretasi. Jika seseorang tidak dapat memahami makna ayat, kosa kata dan idiom
secara literal maka ia akan terjerumus kepada kesalahan dan menyebabkan terjadinya penafsiran
yang kontroversial.
2. Mengetahui pokok-pokok ulum al-Quran, seperti ilmu Qira’at, Ilmu asbabun Nuzl, Ilmu
nasikh mansukh, Ilmu Muhkam Mutasyabih, Ilmu makkai madani, Ushul Tafsir, ilmu Qashash
al-Quran, ilmu Ijaz al-Quran, ilmu amtsa al-Quran. Tanpa mengetahui kesemuanya itu seorang
mufassir tidak akan dapat menjelaskan arti dan maksud ayat dengan baik dan benar.

3. Mengetahui Ilmu sains dan teknologi untuk bisa bersaing dan menemukan teori-teori baru
yang terkandung dalam al-Quran.

4. Mengetahui Hadits-Hadits Nabi dan segala macam aspeknya. Karena Hadits-Hadits itulah
yang berperan sebagai penjelas terhadap al-Quran, sebagaimana keterangan surat al-Nahl:44.

5. Mengetahui hal ihwal manusia dan tabia’t nya, terutama dari orang-orang Arab pada masa
turunnya al-Quran, agar mengerti keselerasan hukum-hukum al-Quran yang diturunkan untuk
mengatur perbuatan-perbuatan mereka.

C. Adab- Adab Seorang Mufassir

Adapun adab seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur an adalah sebagai berikut:

1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. karena seluruh amalan
tergantung dari niatannya.

2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain.

3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan


mendapatkan penerimaan yang lebih baik.

4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya
terlebih dahulu kebenarannya.

5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada. Tenang dan tidak
tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian serta
Mendahulukan orang yang lebih utama darinya.
Sementara itu, Imam As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat
memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam
hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan
dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu,
atau merujuk kepada akalnya.

Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dhawy


meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu: (a) Akidah yang
lurus, (b) Terbebas dari hawa nafsu, © Niat yang baik, (d)Akhlak yang baik, (e) Tawadhu‘ dan
lemah lembu, (f) Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena
Allah ta‘ala, (g) Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap
menghindar dari perkara-perkara yang dilarang, (h) Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan
kesesatan dalam menafsirkan, (i) Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan
menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.

D. Ilmu Yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir

Imam as-Suyuti: Dalam kitabnya“al-Itqan” menyebutkan beberapa jenis ilmu yang


diperlukan dalam menafsirkan al-Quran, yaitu:

a. Ilmu Lughat: Ilmu bahasa sangat penting dalam menafsirkan al-Quran, guna untuk
menegetahui kosakata penjelasan mufradat-mufradat (perbendaharaan kata). Jadi tidak cukup
dalam menafsirkan al-Quran kalau hanya sekedar mengetahui ilmu bahasa secara mudah. Ada
kalanya suatu lafadz mengandung makna musytarak (makna ganda) sekiranya hanya mengetahui
salah satu dari pengertian kata sedangkan yang lain tidak diketahui, padahal makna yang lain itu
dimaksud.

b. Ilmu Nahwu: Ilmu ini sangat penting sekali, karena ilmu ini menyingkap tentang perubahan
makna dan mempunyai pengertian yang lain karena perubahan I’rab nya. Semua bentuk I’rab
benar-benar dikuasai agar dapat ditentukan makna yang dimaksud dalam susunan kalimat yang
berbentuk berdasarkan I’rab nya. Ilmu Nahwu sangat penting karena susunan kata-katanya dapat
diketahui dengan jalan pembentukan kata dab I’rab suatu kalimat.
c. Ilmu Sharaf: seorang mufassir yang diketahui tentang ilmu sharaf, berarti ia dapat mengerti
tentang pembentukan kalimat, timbangan kata, sighat kata dan sifat kata-kata. Bila diketahui
kata-kata yang sulit, lalau segera dikembalikan pada akar katanya serta pengertiannya. Seorang
yang tidak mengetahui Ilmu Sharaf dalam menafsirkan al-Quran niscaya akan terdapat
kekalahan, kekeliruan dalam menafsirkan al-Quran.

d. Ilmu Isytiqaq: disebut juga dengan ilmu etimologi yaitu ilmu tentang asal usul kata. Ilmu ini
digunakan untuk mengetahui dasar pembentukan akar kata yang melahirkan akar kata yang
serumpun denga pengertian yang berlainan. Umpamanya setiap kata benda yang berasal dari kata
yang berbeda tentu mengandung makna yang berbeda juga.

e. Ilmu Balaghah (retorika, metafora). Ilmu balaghah terdiri dari tiga macam yaitu Ilmu ma’ani,
ilmu bayan, dan ilmu badi’. Dengan mempergunakan ilmu ma’ani seorang mufassir dapat
mengetahui keistimewaan susunan kalimat, sehingga dapat mengambil faedah dari satu segi
makna yang tepa. Dan dengan ilmu bayan dapat mengetahui susunan kalimat yang khusus
terutama dari segi perbedaan susunan kalimat yang menjelaskan tentang maksud suatu kalimat
baik kalimat itu jelas maupun tidak jelas. Dengan menggunakan ilmu badi’dapat diketahui
tentang segi-segi keindahan dari suatu kalimat.

f. Ilmu Qira’at (cara-cara membaca al-Quran), dengan ilmu Qira’at dapat diketahui pembacaan
yang benar dari beberapa kandungan penafsiran dalam al-Quran.

g. Ilmu Ushuluddin, dengan Ilmu ini dapat diketahui kaidah-kaidah yang berhungan dengan sifat
Allah dan pembahasan tentang iman.

h. Ilmu Ushul Fiqh, dengan mengetahui ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui dan
menganalisa teantang istidhlal (pembuktian) hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran.

i. Ilmu Asbabu an-Nuzul, dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui sebab dan latar
belakang turunnya masing-masing ayat al-Quran.

j. Ilmu Nasikh dan Mansukh, dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahui ayat-ayat dari al-Quran
yang di nasikh kan dan di mansukh kan.
k. Ilmu Hadits, seorang mufassir yang mengetahui ilmu Hadits maka akan dibantu untuk
mengidentifikasikan ayat-ayat yang mujmal dan mubham.

l. Ilmu Mubhamah, Imam asy-syuyuti mengatakan ilmu mubhamah sangat penting bagi seorang
mufaasir karena ilmu ini merupakan aplikasi dari ilmu yang telah dikaji oleh mufassir untuk
mengamalkannya.

m. Ilmu sains dan teknologi, ilmu ini sangat diperlukan untuk menafsirkan al-Quran, terutama
dalam upaya menemukan teori-teori dibidang kedokteran, ilmu fisika, matematika. Karena di
dalam al-Quran banyak ayat menyebutkan tentang alam semesta.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan diatas dalam makalah ini dapat kami ambil kesimpulam
diantaranya sebagai berikut:

1. Kaedah keilmuan yang disyaratkan bagi seorang mufassir antara lain adalah meliputi ilmu
Nahwu, Ilmu sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’ Ilmu
Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadits dan
Ilmu Mauhibah, ilmu Science dan Teknologi, ilmu-ilmu humaniora

2. Syarat – syarat Mufassir diantaranya adalah : Berakidah yang benar, Mampu mengekang hawa
nafsu, menafsirkan ayat dengan ayat terlebih dahulu, merujuk pendapat sahabat, merujuk
pendapat tabi’in, menguasai bahasa Arab, dll

3. Adab-adab Mufassir diantaranya adalah: Niatnya harus bagus, Berakhlak mulia, Mengamalkan
ilmunya, Hati-hati dalam menukil sesuatu, Berani dalam menyuarakan kebenaran, tidak tergesa-
gesa terhadap sesuatu.

B.Saran

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan
masih banyak memerlukan pembenahan. Oleh karena itu kami mengharap kepada segenap
pembaca yang budiman untuk memberikan masukan baik berupa kritik maupun saran, baik
secara lisan mapun secara tertulis. Kami akan dengan senang hati menerimanya. Harapan kami
semoga makalah ini menjadi manfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Dzahabi, Muhammad Hussein at-Tafsir wa al-Mufassirun, Beirut, Maktabah al-wahbah,


2000.

Al-Haidar, Hazim Sa’id Baina al-Itqan wa al Burhan,Madinah, Dar az-Zaman, 2000.

Al-Harby, Husain Bin aly Bin,Qawa’id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin, Riyad: Dar al-Qasim, 1996.

Al-Qattan, Manna’,Mabahith fi Ulum al-Qur’an, Cairo: Maktabah al-Wahbah, 2000.

Anda mungkin juga menyukai