Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

QAWAID AL-TAFSIR
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir

Dosen pengampu : H. M. Tauhid , M.A

Disusun oleh :

Gefita Rahmawati ( 2031030108 )

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS USHULUDIN DAN ILMU AGAMA

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

TAHUN AJARAN 2021/2022


Qawaid Al-Tafsir
A. Pengertian Qawaid Al-Tafsir
Qawa’id al-Tafsir merupakan kata majemuk, terdiri dari kata Qawa’id (‫ )قواعد‬dan kata al-
Tafsir (‫)التفسير‬. Qawa’id secara etimologis merupakan bentuk jamak dari kata qa’idah ( ‫) قاعدة‬,
atau kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qa’idah secara semantik berarti asas, dasar,
pedoman atau prinsip, sedangkan Tafsir adalah keterangan atau penjelasan mengenai
makna-makna al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
Khalid bin Usman al-Sabt, seorang ulama kontemporer mendefinisikan kaidah
sebagai:
‫ﺣﻛم ﻛﻠﻲ ﯾﺗﻌر ف ﺑﮫ ﻋﻠﻲ أﺣﻛﺎم ﺟزﺋﯾﺎﺗﮫ‬
Tafsir secara etimologi bermakna; menyingkap/membuka dan penjelasan
mengeluarkan sesuatu dari tempat tersebunyi/samar ke tempat yang jelas/terang.
Definisi tersebut menegaskan bahwa kaidah mencakup semua bagian-bagiannya.
Maka kaidah tafsir didefinisikan sebagai “Ketentuan umum yang membantu seorang
penafsir untuk menarik makna atau pesan-pesan al-Qur’an”.
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Qawa’id al-
Tafsir ialah dasar atau pedoman yang harus diketahui oleh seorang mufassir dalam
memberikan keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna yang terkandung di dalam
al-Qur’an.
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, membagi beberapa komponen. Pertama,
ketentuan-ketentuan dalam menafsirkan al-Qur’an. Kedua, sistematika penafsiran. Ketiga,
aturan-aturan khusus untuk membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an. Olehnya itu, untuk
menafsirkan al-Qur’an seseorang harus memperhatikan aspek-aspek bahasa al-Qur’an serta
korelasi (al-munasabah) antar surat, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan.
Qawaid al-Tafsir merupakan salah alat bantu untuk memahami makna firman Allah swt.
Menurut Imam al-Zarwaniy dikutip oleh Al-Zarqaniy mengatakan bahwa bagi seorang
mufassir yang tidak memenuhi syarat-syarat seorang mufassir (memahami ‫ير قواعد‬SS‫) التفس‬
produk tafsirnya dikategorikan kepada produk tafsir terendah, bahkan belum bisa disebut
tafsir.
Qawaid al-tafsir sangat berkaitan erat dengan beberapa kaidah bahasa Arab yang dapat
membantu penafsiran al-Quran. Oleh sebab itu penguasaan terhadap kaidah-kaidah
kebahasaan itu harus dikuasai, sehingga penafsiran al-Quran mendekati makna yang akurat
dan dapat dipertanggung jawabkan.
B. Sejarah Qawa’id al-Tafsir
Sejak dahulu para ulama yang fokus dalam kajian al-Qur’an (Tafsir dan Ulumul
Qur’an) berusaha membuat rambu-rambu dalam menafsirkan al-Qur’an yang kemudian
disebut Qawaid al-Tafsir. Hanya saja para ulama tersebut menulis kaidah- kaidah tafsir
masih berupa selipan dalam kitab-kitab tafsir dan ulumul Qur’an; misalnya Badruddin
Muhammad bin Abdillah Al-Zarkasyi (w. 794 H/1392 M) dalam kitabnya “Al-Burhan fi
Ulum al-Qur’an” dan Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthy (w. 911 H) dalam kitabnya “Al-
Itqan fi Ulum al-Qur’an”.
Penulisan Qawaid al-Tafsir secara berdiri sendiri baru dikenal jauh setelah generasi umat
yang pertama. Ahmad bin Abdul Halim yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah (w.
728 H/1328 M) dapat disebut sebagai salah seorang perintis penulisan Qawaid al-Tafsir
secara berdiri sendiri. Ibnu Taimiyah menulis buku yang berjudul “Muqaddimah Ushul al-
Tafsir”. Di dalamnya dikemukakan berbagai persoalan yang dapat dinilai sebagai kaidah
seperti: Sifat perbedaan pendapat ulama masa lampau, cara penafsiran yang terbaik,
persoalan Sabab al-Nuzul, Israiliyyat, dan seterusnya.
Setelah Ibnu Taimiyyah, muncullah Muhammad bin Sulaiman al-Kafiy (w. 879
H), dengan kitabnya “al-Taysir fi Qawaid Ilm al-Tafsir”. Setelah masa tersebut,
penulisan kaidah-kaidah tafsir secara berdiri sendiri seakan-akan mandek dan baru
segar kembali akhir-akhir ini.
Buku-buku yang relatif baru dalam bidang ini antara lain :
- “Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu” karya Syekh Khalid Abdurrahman al-‘Ak.
- “Qawa`id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin” karya Husain bin Ali bin al-Husain
al- Harby.
- “Qawaid al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan” karya Khalid bin Usman as-Sabt.
- “Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an” karya Syekh Abdurrahman al-Sa’dy,
yang didalamnya dipaparkan 70 masalah yang dinamainya kaidah.

Perkembangan Qawaid al- tafsir


Menurut Khalid al-Sabt, pembahasan tentang pertumbuhan dan perkembangan kaidah-
kaidah tafsir dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, pertumbuhan kaidah-kaidah tafsir yang
tidak terpisah dari pertumbuhan ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya, seperti ulum Al-Qur’an, ilmu
tafsir, ilmu ushul fiqhi, ilmu nahwu dan ilmu-ilmu lainnya. Kedua, pertumbuhan kaidah-
kaidah tafsir sebagai ilmu tersendiri yang menurutnya ini hanya terbatas.
Istilah kaidah-kaidah tafsir pada awalnya hanya terdapat pada sebagian daftar isi tiga buku
yang semuanya berjudul “qawa’id al-tafsir”. Penulis ketiga buku ini tidak diketahui namun
diperkirakan salah satu pengarang kitab tersebut wafat pada tahun 621 H; dan seorang lagi
wafat pada tahun 777 H. Lebih lanjut Khalid al-Sabt mengatakan bahwa cikal bakal ilmu ini
muncul sejak masa Rasulullah saw., kemudian dilanjutkan oleh Imam-imam tafsir dari
kalangan sahabat dan tabi’in Pada masa ini pertumbuhan kaidah-kaidah tafsir bersamaan
dengan pertumbuhan ilmu tafsir itu sendiri dan menyebar didalam buku-buku ilmu tafsir.
Kaidah-kaidah tafsir ini kemudian semakin meluas dan bertambah seiring bertambahnya
buku-buku tafsir.
Pada abad ke II H, kaidah-kaidah tafsir memasuki era baru ditandai dengan munculnya
kita tentang ushul al-fiqh “ al-Risalah” dan kitab “ Ahkam Al-Qur’an” yang keduanya
merupakan karya Imam Syafi’i. Di dalam kedua kitab ini terdapat sejumlah kaidah-kaidah
tafsir.
Pada abad ke III dan ke IV H, penyusunan kaidah-kaidah tafsir semakin berkembang pada
kitab-kitab tafsir, ushul dan bahasa. Misalnya dalam kitab Ta’wil Musykil Al-Qur’an
karangan Ibn Qutaibah, kitab Jami al-Bayan karangan Imam al-Thabari, kitab Ahkam Al-
Qur’an karangan al-Thahawi, kitab Ahkam Al-Qur’an karangan al-Jashshas dan kitab al-
Shahibi karangan Ibnu Faris.
Pada abad V dan VI H, karangan-karangan mengenai tafsir, ushul fikhi dan bahasa
banyak bermunculan, misalnya kitab Al-Ihkam karangan Ibn Hazm, kitab al-Burhan oleh al-
Juwaini, kitab Ushul Fikhi oleh al-Sarkhasi, kitab al-Mustashfa karangan Imam al-Gazali,
kitab Muharrar al-Wajiz karangan Ibn ‘Athiyah, kitab Funun al-Afnan karangan Ibn al-Jauzi
dan lain-lain.
Pada abad VII dan VIII H, muncul karangan-karangan baru yang memuat tentang kaidah-
kaidah tafsir seperti karangan Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim,
karangan Abu Hayyan dengan judul al-Bahrul Muhith, Tafsir al-Qurthubiy, Tafsir Ibn Katsir,
dan al-Burhan fi’ Ulum al-Qur’an oleh al-Zarkasyi
Demikianlah, dalam waktu kurang lebih lima abad kaidah-kaidah tafsir telah tersebar di
dalam berbagai kitab. Pada abad XIV H, kaidah-kaidah tafsir telah disusun tersendiri dalam
suatu kitab “ al-Qawaid al-Hisan li al-Tafsir al-Qur’an” karangan Abdurrahman bin Sa’di.
Kitab-kitab yang memuat tentang kaidah-kaidah tafsir antara lain sebagai berikut :
1. Qawaid al-tafsir, dikarang oleh Abu’ Abdillah Muhammad ibn Abi Qasim al-Khadir bin
Muhammad Ibn al-Khadir bin ‘Ali bin ‘ Abdullah yang lebih dikenal dengan nama Ibn
Taimiyah al-Harrani (w.542 H.) Kitab ini tidak sampai pada kita.
2. Al-Manhaj al-Qawim fi Qawaid tata’ allaq bi Al-Qur’an al-Karim, oleh Syamsuddin ibn
al-Shaigh dan Muhammad ibn Abdurrahman al-Hanafi (w.777 H.)
3. Qawaid al-tafsir, oleh Muhammad bin Ibrahim al-Wazir al-Yamani yang lebih dikenal
dengan nama Ibnu al-Wazir ( w. 840 H ).
4. Al-Taysir fi Qawaid ‘ilmi al-Tafsir, oleh Muhammad bin Sulaeman al-Kafiyaji ( w. 879
H ). Kitab ini merupakan kitab ‘ulum Al-Qur’an.
5. Al-Qawaid al-Hisan li al-Tafsir Al-Qur’an, karangan Syeikh Abdu al-Rahman bin Nashir
al-Sa’di ( w. 1376 H). Kitab ini memuat 71 kaidah tafsir dan contoh-contohnya. Namun
tidak semuanya dapat disebut kaidah tafsir, hanya sekitar 20 kaidah yang dapat disebut
kaidah tafsir. Selebihnya adalah qawa’id quraniyyah, kaidah-kaidah qurani, fawa`id dan
lathaif, faidah-faidah dan hikmah yang bukan kaidah, dan qawa’id fiqhiyyah, kaidah-
kaidah fikhi yang ditarik dari al-Quran.
6. Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu, oleh Khalid bin ‘Abd al-Rahman al-‘Ik. Topiknya adalah
‘Ulum Al-Qur’an.
7. Qawaid al-Tadabbur al- Amtsal li Kitab Allah Azza wa Jalla, oleh ‘ Abd al-Rahman
Habnakah al-Madani. Kitab ini terdiri dari 840 halaman termasuk daftar isinya. Pengarang
mengajak pembaca untuk selalu membaca Al-Qur’an agar sampai pada tingkat tadabbur
Al-Qur’an. Isinya sedikit yang berkaitan dengan kaidah tafsir sebenarnya.
8. Qawaid wa Fawaid li Fiqh Kitab Allah Ta’ala, oleh ‘ Abdullah bin Muhammad al-Ju’I,
144 halaman termasuk daftar isinya.

C. Hubungan Qawaid Al-Tafsir dengan ilmu lainnya


1. Hubungan qawaid Tafsir dengan Bahasa Arab
Qawaid al-Tafsir merupakan salah alat bantu untuk memahami makna firman Allah
swt. Menurut Imam al-Zarwaniy dikutip oleh Al- Zarqaniy mengatakan bahwa bagi
seorang mufassir yang tidak memenuhi syarat-syarat seorang mufassir (memahami ‫التفسير‬
‫ ) قواعد‬produk tafsirnya dikategorikan kepada produk tafsir terendah, bahkan belum bisa
disebut tafsir. Hubungan qawaid tafsir dengan bahasa arab sangat erat, dimana qawaid
tafsir harus didukung oleh kaidah-kaidah dasar dan kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa
arab). Kaidah kebahasaan itulah yang menjadi alat bantu untuk memahami makna yang
dimaksud dalam ayat-ayat al-quran.
Qawaid al-tafsir sangat berkaitan erat dengan beberapa kaidah bahasa Arab yang dapat
membantu penafsiran al-Quran. Oleh sebab itu penguasaan terhadap kaidah-kaidah
kebahasaan itu harus dikuasai, sehingga penafsiran al-Quran mendekati makna yang
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Hubungan qawaid al-tafsir dengan ushul fiqih
Ilmu Qawaid dan usul fiqih memiliki keterkaitan satu sama lain. Maka dari kedua ilmu
ini memiliki satu hubungan. seperti :
1. Sama-sama menjadikan Alquran sebagai objek kajian
Gua itu tafsir dan Ushul fiqih sama-sama menjadikan Alquran sebagai bahan kajian.
Usul fiqih lebih melihat Alquran sebagai sumber hukum sehingga ilmu usul fiqih melihat
Alquran dari sisi ayat-ayat yang mengandung hukum yang sering disebut dalam istilah
nya dengan dilalah nya.
Sementara qawaid tafsir melihat Alquran tidak saja dari efek hukumnya tetapi kaidah-
kaidah yang bersifat universal. Alquran sebagai sumber ilmu maka harus dipahami
dengan benar agar sampai kepada makna-makna yang dimaksud. Qowaid bisa menjadi
timbangan bagi mufassir dalam melihat kebenaran dan kebaikan dari sebuah penaksiran
dan penjelasan dari makna makna Alquran. Sebagai mufassir maka sangat tidak
dibenarkan untuk melakukan kesalahan dalam menafsirkan dan mengistimbatkan makna
ayat.
2. Sama menerapkan kaidah dalam memahami makna Al Quran
Alquran dalam menyampaikan pelajaran dan penjelasan hukum Allah dengan
menggunakan satuibarat. Sebagai sumber hidayah dan ilmu Alquran telah menggunakan
beberapa kaidah yang dapat diformulasikan menjadi hukum dan norma undang-undang.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa Alquran didatangkan adalah untuk mengatur
kehidupan manusia.
3. Untuk Irsyad
4. Ibahah

D. Tujuan dan Urgensi Mempelajari Qawaid Tafsir


1. Tujuan Mempelajari Qawa’id At-Tafsir
Kaidah Tafsir menjelaskan metode-metode penafsiran Al-Qur’an dan merintis jalan
kepada manhaj (system) pemahaman tentang Allah. Di samping itu, ilmu ini juga
bertujuan untuk memahami makna-makna Al-Qur’an, hingga dapat diamalkan dan
akhirnya memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
2. Urgensi Mempelajari Qawa’id At-Tafsir
Perlunya memahami kaidah tafsir, sebab Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah
yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bagi seseorang
yang ingin memperdalam satu bidang ilmu pengetahuan dengan hasil yang memuaskan,
maka dia harus mengetahui kaidah-kaidah dan dasar-dasar ilmu tersebut. Terutama bagi
yang ingin memperdalam ilmu tafsir maka dia harus mengetahui kaidah-kaidah yang
diperlukan para mufasir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan uslub-
uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah
kebahasaan. Karena Tidak mungkin bagi orang yang ingin mempelajari ilmu dari beberapa
ilmu dapat menghasilkan ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan kecuali telah
mengetahui kaidah-kaidahnya, dan dasar yang dibangun darinya masalah-masalah.
Dengan mengetahui kaida-kaidah tafsir kita akan tahu ruang lingkup pembahasan kaidah
tafsir yaitu Alquran,karena Alquran merupakan sumber semua ilmu pengetahuan baik dulu
maupun sekarang, karena apabila seseorang paham dengan pemahaman yang benar maka
dia akan memperoleh ilmu yang besar,oleh karena itu dikatakan apabila seorang sahabat
diantara kami hapal surah al-Baqaran dan al-Imran akan mendapatkan kedudukan yang
tinggi diantara para sahabat.
Maka jelas orang yang mengetahui kaidah-kaidah tafsir akan mempermudah memahami
makna-makna Alquran,dan menjadikannya sebagai alat yang dapat digunakan untuk
mengambil kesimpulan dan memahaminya,serta memiliki kemampuan yang kuat untuk
memilih berbagai macam argumen dalam tafsir.

Anda mungkin juga menyukai