Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

Penafsiran Al-Qur’an dengan Ijma’ Sahabat dan Tabiin


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Tafsir

Dosen pengampu : H.M. Tauhid, M.A

Disusun oleh :

Gefita Rahmawati ( 2031030108 )

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS USHULUDIN DAN ILMU AGAMA

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

TAHUN AJARAN 2021/2022


PEMBAHASAN

Penafsiran Al-Qur’an oleh Para Sahabat dan Tabi’in.

Para sahabat adalah orang-orang Arab yang masih murni, yang memahami al-Qur'an
danmengetahui maknanya dan tujuannya sesuai dengan kondisi alamiah Arab, yakni pemahaman
yang jauh dari ketidakjelasan maksud dan tidak dibuat menjadi buruk oleh hasil kreativitas yang
buruk dan pengaturan akidan yang palsu. Metode para sahabat dalam menafsirkan al-Qur'an
berpijak pada tiga prinsip, yaitu:
A. Pertama, tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an di antara ayat-ayat al-Qur'an
B. Kedua, tafsir al-Qur'an dengan sabda Rasulullah saw.
C. Ketiga, ijtihad dan mengambil kesimpulan
Jika para Sahabat tidak menemukan tafsir Al-Qur'an di dalam al-Qur'an sendiri, dan dalam
sunnah Rasulullah saw, maka para sahabat berijtihad, karena mereka adalah orang Arab asli yang
menyaksikan turun Al-Qur'an, dan orang yang menghadiri pertemuan-pertemuan Rasulullah,
sementara al-Qur'an turun dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas. Kenyataan inilah yang
menjadi pendorong perlunya berijtihad dan menggunakan kemampuan intelektualnya. Dalam hal
ini, para sahabat memiliki penguasaan yang bagus terhadap instrumen berijtihad sebagai berikut:
Pertama, mereka mengetahui status bahasa Arab dan rahasianya. Pengetahuan ini dapat
membantu mereka dalam mengetahui ayat-ayat yang pemahaman maknanya bergantung pada
pemahaman bahasa Arab.
Kedua, mereka mengetahui tradisi dan akhlak orang Arab. Hal ini dapat membantu dalam
memahami ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan reformasi kebiasaan dan pendidikan
perilaku orang Arab, seperti firman Allah, "Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya
menambah kekafiran" dan firman Allah, "Bukanlah kebaikan itu memasuki rumah dari
belakangnya" Ungkapan seperti ini, maksudnya dapat dipahami oleh orang-orang yang
mengetahui tradisi orang Arab pada masa Jahiliyah.
Ketiga, pengetahuan para sahabat tentang kondisi orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah
Arab pada saat turunnya al-Qur'an. Pengetahuan ini dapat membantu mereka dalam memahami
ayat-ayat yang berbicara tentang kaum Yahudi dan Nasrani, hal-hal yang berasal dari mereka,
dan urusan yang ditangani mereka untuk orang-orang Islam.
Keempat, mengetahui sebab-sebab turunnya al-Qur'an. Para sahabat adalah orang-orang yang
menyaksikan turunnya al-Quran dan mengetahui langsung peristiwa dan realitas masyarakat.
Pengetahuan tentang hal ini dapat membantu dalam memahami beberapa ayat al-Qur'an. Atas
dasar itu, Ibn Taimiyah mengatakan "Mengetahui sebab turun al-Qur'an dapat membantu
memahami ayat, sesungguhnya mengetahui faktor penyebab sesuatu akan membuat mengetahui
akibat sesuatu.”
Kelima, kekuatan memahami dan mempersepsikan. Para sahabat diberi Allah akal dan
pemahaman yang tampak jelas dalam beberapa hal. Hal ini telah diketahui dalam perjalanan
kehidupan para sahabat. Melalui hal ini, para sahabat dapat memahami berbagai ayat-ayat al-
Qur'an yang tidak disebutkan tafsirnya dalam Al-Qur'an sendiri dan dalam Sunnah Nabi.
Para sahabat memiliki tingkat perbedaan dalam mengetahui makna al-Qur'an sesuai dengan
pengetahuan dan wawasan mereka, dan sesuai kapasitas intelektual mereka. Berdasarkan
kenyataan ini, maka memungkinkan terjadinya perbedaan tafsir di kalangan para sahabat,
sebagaimana akan kami jelaskan dalam uraian berikut, insya Allah. Beberapa sahabat ada yang
menjadi populer tafsirnya, di antaranya Abu Bakr, 'Umar, Utsman, 'Ali, Abdullah ibn
Mas'ud,Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Zubair ibn al-Awwam, Ubay ibn Ka'b, Zaid ibn
Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, dan Aisyah ranhum.
TAFSIR BI AL-RA'YI
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan
berkembang, maka lahirlah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat. Masing-masing
golongan berusaha mengikutkan pengikutnya dala mengembangkan faham mereka. Untuk
mencapai maksud itu, mereka mencari hadis-hadis Nabi saw, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan
keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah mulai berkembang tafsir dengan bentuk al-ra’yu
(tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Kaum fuqaha'(ahli fikih) menafsirkannya dari sudut
hukum fikih seperti al Jashshash, al- Qurtubi, dan lain-lain.
Tafsir bi al-ra’yi berasal dari kata tafsir, bi dan al-ra’yi. Secara semantik al-ra’yi berarti
keyakinan, pengaturan dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah
berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat. Masing-masing golongan berusaha mengikutkan
pengikutnya dala mengembangkan faham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari
hadis-hadis Nabi saw, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika
inilah mulai berkembang tafsir dengan bentuk al-ra’yu (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad).
Kaum fuqaha'(ahli fikih) menafsirkannya dari sudut hukum fikih seperti al Jashshash, al-
Qurtubi, dan lain-lain. kaum teolog menafsirkannya dari sudut-sudut pemahaman teologis seperti
al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsary dan kaum sufi juga menafsirkan Al-Qur'an menurut
pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti Tafsir Al-Qur'an al-Adzim oleh al-Tustari;
Futuhat Makiyyat oleh Ibn 'Arabi; dan lain-lain. Selain itu dalam bidang juga lahir tafsir, seperti
al-bahr al-muhith oleh abu hayyan; dan lain-lain. Pendek kata, berbagai corak tafsir bi al-ray
muncul di kalangan-kalangan ulama muta’akhkhirin; sehingga di abad modern lahir lagi tafsir
menurut tinjauan sosiologis dan sains seperti Tafsir al-manar dan al-jawahir. Melihat
perkembangan tafsir bi al-ray yang demikian pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan Manna al-
Qaththan bahwa tafsir bi al-ray mengalahkan pekembangan al-ma'tsur.
Tafsir bi al-ra’yi berasal dari kata tafsir, bi dan al-ra’yi. Secara semantik al-ra’yi berarti
keyakinan, pengaturan dan akal. Al-rayijuga identik dengan jtihad. Berdasarkan pengertian
semantik tersebut, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-
rayi adalah menyingkap isi kandungan al-Qur'an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal.
Menurut istilah tafsir bi al-rayi adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio
sebagai titik tolak. Corak ini dinamakanjuga denganal-Taysir bi al-jitihadi, yaitupenafsiran yang
menggunakan ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang
mufassir Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi,
dibandingkan al- Tafsir bi al-ma'tsur. Karena alasan tersebut, beberapa ulama menolak
penafsiran dengan corak ini, dan menyebutnya sebagai al- Tafsir bi al-Hawa (tafsir atas dasar
hawa nafsu). Namun, banyak para ulama yang dapat menerima tafsir corak ini juga, tapi dengan
syarat-syarat tertentu pula. Penerimaan mereka didasarkan atas ayat ayat al-Quran sendiri, yang
menurut mereka, memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahamni
kandungannya. Adapun ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir corak ini, sebagaimana yang
dikutip Shubhi al-Shalih, adalah sebagai berikut.
Perlu dijelaskan, meskipun mufassir dalam hal ini menggunakan pemikiran, namun ia tidaklah
bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari pemahamannya terhadap nilai-nilai yang terkandung
dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk
menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam menggunakan corak tafsir ini diberlakukan
syarat-syarat mufassir dan kaedah-kaedah penafsiran yang ketat, antara lain:
1) Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.
2) Menguasai ilmu-ilmu al-Qur'an.
3) Menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu al-Qur'an, seperti hadis, Ushul
fiqh dan lain sebagainya.
4) Beraqidah yang benar.
5) Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6) Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Yang dimaksud ar-rayi di sini adalah “ijtihad” yang berdasarkan pada prinsip-prinsip yang
benar, dan kaidah-kaidah yang benar yang umum berlaku, yang wajib dimiliki oleh siapa saja
yang mau terjun langsung kedalam dunia penafsiran Al-Qur'an, atau siapa saja yang mau
menyingkap keterangan artinya.

Anda mungkin juga menyukai