Anda di halaman 1dari 12

AL-DAKHIL BI AL-MA`TSUR

Oleh:
Sri Rezeky. Leni Mardiah, Dwi Ayu Lestari
Dosen Pengampu: Lukmanul Hakim, S.Ud. M. IRKH. ph
Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Jl. H.R Soebrantas No.KM. 15, Kota Pekanbaru, Riau 28293
Email: 12030224539@students.uin-suska.ac.id

Abstrak

Pada awal perkembangan islam, polemik dakhil dan israiliyyat dalam tafsir sangat erat
kaitannya dengan masuknya ahlul kitab dalam Islam, dan pengaruhnya terhadap perang jamal
dan siffin. Sebagai awal timbulnya fitnah dan firqah dalam tubuh ummat Islam, yang banyak
membuat hadist palsu, yang kita kenal dengan ad-dakhil bil’ma’tsur. Oleh karena itu, tujuan
ad-dakhil bil ma’tsur ini untuk mengetahui bagaimana penyelewengan yang terjadi pada
penafsiran al-quran bi sunnah. Penelitian ini menunjukkan pendekatan kualitatif dan
menggunakan metode tahlili (analisis). Hal ini di latarbelakangi dengan perkembangan zaman
yang berubah secara corak maupun warna di masyarakat sekarang. Di sini, terlihat bahwa hasil
penelitian ad-dakhil bil ma’tsur ini mencangkup Riwayat hadits madhu, isra’iliyat, dan tabi’in.

Kata kunci: ad-dakhil, al-ma’tsur, tafsir, hadits.

A. PENDAHULUAN
Al-Qur`an merupakan kalam Allah SWT yang majiz dipahami oleh jibril
kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur`an sebagai kitab yang
memancar darinya aneka ilmu keislaman, Kitab suci ini sumber utama dan diyakini
oleh umat Islam. Sebagai kitab petunjuk yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Nah,
dalam konteks inilah lahir usaha untuk memahaminya, lalu usaha dan hasil usaha itu
membuahkan aneka disiplin ilmu dan pengetahuan baru yang sebelumnya belum
dikenal atau terungkap.

1
Dalam penafsiran al-Qur`an, seorang mufassir kerap tersandera oleh pra
pemahaman dan latar belakang keilmuan serta ideologinya. Akibatnya, ia tidak mampu
“menyembunyikan” Al-Qur`an secara objektif.1 Banyak ditemukan berbagai warna dan
corak penafsiran. Warna dan Corak Penafsiran Seiring dengan berkembangnya zaman
saat ini dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat yang selalu berubah dari masa ke
masa.
Salah satu yang mempengaruhi corak dan warna penafsirannya adalah istilah
ad-dakhil yaitu penafsiran yang tidak berlandaskan sumber, argumentasi dan data yang
valid dari agama. Dengan kata lain, al-dakhîl adalah penafsiran yang tidak berlandaskan
pada kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh ulama, pendapat sahabat dan
tabiin, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria dan syarat untuk ijtihad.2
Selanjutnya, penafsiran al-Qur’an ini jika dilihat dari sumbernya, dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu tafsir yang bersumber dari periwayatan (Tafsir bi al-
Ma`tsur) dan tafsir yang bersumber dari akal atau rasio (Tafsir bi ar-Ra’yi). Tafsir bi
al-Ma`tsur memiliki kaidahnya tersendiri sesuai dengan ilmu periwayatan; yakni tafsir
model ini selalu melihat aspek apakah riwayat tersebut bisa dijadikan dasar ataukah
tidak, perlu dilihat pula sumber riwayat tersebut, apakah dari orang yang berkompeten
ataukah tidak, juga riwayat tersebut valid (Sahîh) ataukah tidak. Tafsir bi ar-Ra’yi juga
demikian, memiliki kaidahnya tersendiri. Karena al-Qur’an turun dengan menggunakan
Bahasa Arab, oleh karenanya dalam menafsiri al-Qur’an perlu memperhatikan kaidah
yang ada dalam Bahasa Arab (Nahwu, Sharf, Balaghah, dan lain-lain).3
Upaya pembersihan tafsir al-Qur`an dari segala sesuatu yang menjadikan
eksistensi tafsir tersebut menjadi tidak sah secara nalar keislaman. Karena adanya
faktor-faktor tertentu terformulasikan dalam studi mandiri yang disebut dengan istilah
studi al-Dakhil. Kritisisme terhadap studi al-dakhil ini seorang mampu mendeteksi
adanya infiltrasi dan kontaminasi dalam penafsiran serta menolaknya sebagai metode
penafsiran.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan analisis
deskriptif. Sebagai sebuah karya ilmiah, buku ini menitikberatkan pada minimnya

1
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil fi At-Tafsir, (Jakarta: PT.Qaf Media Kreativa, 2019),
Cet. I, hlm.5.
2
Muhammad Ulinnuha, “Konsep Al-Ashil Dan Al-Dakhil Dalam Tafsir Al-Qur’an,” Jurnal Madania
21, no. 2 (2017): 127–144.
3
Tafsîr Al-qur Ân et al., “‘ AD-DAKHÎL ’ DALAM KITAB AL-KASYFU WA AL-BAYÂN ‘ AN”
(n.d.).Jurnal an-Nur,Vol.V.No.1 Juni (2013).hlm.2

2
kajian tentang tafsir al-Qur’an pada era kontemporer seperti metode dan pendekatan
dan ideologi buku. Selain itu, memberikan pemahaman yang mendalam tentang metode
penafsiran Al-Qur'an dan dampaknya pada penafsiran kontemporer. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk mengkaji metode tafsir Al-Qur’an lebih dalam. Penelitian ini
diharapkan dapat menjawab cara-cara memahami Al-Qur’an dengan melihat
perkembangan metode penafsiran Al-Qur’an,

B. PEMBAHASAN
Al-Dakhil
Al-dakhil secara bahasa bermakna "Seekor burung yang terbang dan menyusup
masuk di antara pokok-pokok pohon yang memiliki daun-daun yang banyak".4 Menurut
Dr. Abdul Wahhab Fayyad, menjelaskan arti kata dakhil sebagai "pendatang baru yang
menyusup masuk dari luar, dan keberadaanya tidak memiliki dasar atau unsur utama
dari sesuatu yang dimasukinya." Hal ini terkadang digunakan untuk mengungkapkan
keberadaan seseorang dalam berkata-kata dan memaknai sesuatu, misalnya
fulan/seseorang telah menyusup ke dalam satu kaum/kelompok masyarakat, kalimat itu
mempunyai arti bahwa si fulan itu tidak berasal dari kaum tersebut secara nasab atau
garis keturunan, namun dia berada dan tinggal diantara kaum itu.
Al-dakhil secara istilah bermakna “Tafsir yang tidak memiliki dasar dan
sumber-sumber agama dengan pengertian bahwa ada unsur- unsur yang menyelinap
dan sengaja dimasukkan ke dalam Al-Qur'an al- karim ketika keadaan umat Islam lalai
dan terlena, sehingga tanpa disadari masuklah pengaruh-pengaruh tertentu ke dalam
penafsiran”.5
Dapat ditarik dari dua term diatas, yakni al-dakhil maka dapat disimpulkan di
antaranya:
1. Otentisitas tafsir Al-Qur’an sangat bergantung kepada validitas data dan
sumber yang digunakan mufasir.
2. Penafsiran yang berlandaskan kepada data-data yang valid dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dapat dikategorikan sebagai
penafsiran objektif.

4
Afrizal Nur, Ad-dakhil Kontemporer Dalam Penafsiran Al-Qur`an, (Pekanbaru: Suska Press, 2008),
hlm.9
5
Afrizal Nur, Ad-dakhil), hlm.10

3
3. Sumber-sumber otentik penafsiran Al-Qur’an terdiri dari Al-Qur’an,
sunah Nabi, pendapat sahabat dan tabiin, kaidah bahasa Arab dan akal
sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad.
4. Penafsiran- penafsiran yang tidak bersumber dari hal-hal di atas
dikategorikan sebagai al-dakhil (tafsir infiltratif) yang patut dikaji,
dievaluasi, dikritisi dan direkonstruksi.6

Klasifikasi Bentuk Al-Dakhil


Secara garis besar al-Dakhil dibagi dalam dua bagian, pertama, dakhil bi al-
manqul (al-Ma`tsur) secara sejarah dan kedua adalah dakhil fi Ar-Ra`yi pikiran atau
fasid yang (rusak)..

Dakhil fi al- Manqul (Al-Ma`tsur)


Penafsiran yang berbentuk riwayat atau yang disebut dengan istilah “Tafsir Bi
Al-Ma`tsur” merupakan bentuk penafsiran yang tertua sepanjang sejarah kehadiran
tafsir dalam Islam, Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dijadikan rujukan
utama serta dapat dijumpai dalam kitab-kitab tafsir, seperti Tafsir al-Tabari, Tafsir Ibn
Katsir, Tafsir Ad-Dur Manstur fi Tafsir bil Matsur, Al-Baghawi dan lain sebagainya.
Salah satu dalam menafsirkan al-Qur’an berdasarkan al-Qur’an atau riwayat
hadis yang sahih, yaitu penafsiran Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, Al-Qur`an dengan As-
Sunah, ataupun perkataan para sahabat. Pada zamannya Tafsir bi al-ma’tsur dilakukan
dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, ataupun dari sahabat oleh
sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatann ya,
namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku-
buku yang memuat khusus tafsir bi al- ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi
muhammad Saw, para sahabat, dan tabi`in.7 Sebagian ulama tidak menggolongkannya
sebagai tafsir bi al-ma’tsur, tetapi sebagai tafsir bi al-ra’yi, karena perbedaan pendapat
di zaman tabi’in lebih banyak dari kalangan sahabat, selain itu para tabi’in juga
mengambil periwayatan dari Ahlul Kitab yang telah masuk Islam.
Sebagaimana yang dikemukakan al-Dzahabiy rahimahullah Ta’ala:
“Penjelasan yang datang dari al-Qur’an itu sendiri untuk menerangkan dan merinci

6
Muhammad Ulinnuha, Rekontruksi Metodologi Kritik Tafsi, (Jakarta: Azzamedia, 2015), hlm.113-114
7
Muhammad Faisal, “Kontribusi T.M Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Pengembangan Ilmu Al-Qur’an Dan
Tafsir Di Indonesia,” Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Hadist 4, no. 1 (2020): hlm 27.

4
bagian ayat-ayat lainnya, kemudian sesuatu yang dinuqilkan dari Rasulullah saw, dari
sahabat Ridwanallah alaihim, sesuatu yang dinuqilkan dari Tabi’in.8
Sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi penafsir itu sendiri. Oleh karena
itu, dalam menafsirkan al-Qur’an, meskipun data materialnya bersumber dari ayat-ayat
dan/atau hadis Nabi, memang secara metodologis tidak dapat sepenuhnya disebut
sebagai metode penafsiran sejarah, kemudian mereka tafsirkan menurut keyakinan dan
kepercayaan masing-masing.dengan ijtihad (penalaran independen). Karena pesatnya
perkembangan metode pada penafsiran ini.
Pembagian Tafsir bi Al- ma’tsur adalah :
1. Penafsiran bi al-ma’tsur yang didukung oleh dalil-dalil yang banyak jumlah
kesahihannya dan dapat diterima, dan tafsir ini mesti diterima.
2. Penafsiran bi al-ma’tsur yang tidak sahih, disebabkan beberapa faktor,
penafsiran seperti ini harus ditolak dan tidak boleh mengamalkannya.

Al-Dakhil dalam Tafsir bi al-Ma`tsur Mencakup Sebagai berikut:

1. Al-Dakhil melalui Riwayat Hadits Maudhu’


Kata al-wadh`, dapat diartikan dengan penurunan, penjatuhan, pukulan,
pemalsuan, atau rekayasa, pengarangan dan peletakan.9 Kata al-Wadh’ juga
bermakna sebagai praktek yang amat luas dalam rangka memasukkan berbagai
kebohongan dalam Hadits Nabi saw.
Terma al-Wadh’ dengan arti mendustakan Nabi saw. secara umum, telah terjadi
sejak masa Nabi saw. Secara umum, Sebab-sebab ke-maudu’an Hadits dilatar
belakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a. Adanya kaum Zindiq (Zandaqat)
b. Adanya intervensi dari para ahli bid’ah dan ahli ra’yi serta para pengikut
aliran sesat dan hawa nafsu tanpa menggunakan dalil dari alQur’an maupun
Sunnah.
c. Adanya fanatisme terhadap madhhab fikih.
d. Adanya keinginan untuk mendekati para khalifah dan meminta
kerelaannya.

8
Afrizal Nur, MIS, Khazanah dan Kewibawaan Tafsir Bi Al-Ma`tsur, (Fakultas Ushuluddin UIN Suska
Riau: Kerjasama dengan Asa Riau, 2015), hlm. 54
9
Ahmad Sholihin Siregar, “Al-Wadh` Dan Ciri Tekstualnya Dalam Alquran,” Al-Qadha : Jurnal Hukum
Islam dan Perundang-Undangan 4, no. 2 (2018): hlm 57..

5
e. Adanya Targhib dan Tarhib dalam Hadits yang salah dan berlebihan
f. Mengutamakan atau mencela sebagian sekte atau negeri dengan
mempertahankan fanatisme yang tercela.
g. Adanya keinginan untuk dipuji, kemasyhuran, dan sum’ah dari
sekelompok manusia.
h. Adanya keinginan untuk memperoleh imbalan dengan cara menyebutkan
kisah-kisah asing dan ketakjuban riwayat.

Contoh al-Dakhil pada periwayatan Hadis Maudhu`:

Salah satu contoh tafsir al-dakhil dengan riwayat hadis maudu adalah hadis
maudu` yang membicarakan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang disebutkan dalam
sabab al-nuzul Surah al-Maidah ayat 55.

َّ َ‫ص ٰلوةَ َويُؤْ ت ُْون‬


‫الز ٰكوةَ َو ُه ْم‬ َّ ‫س ْولُ ٗه َوالَّ ِذ ْي َن ٰا َمنُوا الَّ ِذ ْينَ يُ ِق ْي ُم ْو َن ال‬ ‫اِنَّ َما َو ِل ُّي ُك ُم ه‬
ُ ‫ّٰللاُ َو َر‬
‫َرا ِكعُ ْو َن‬

Artinya: Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan


orang-orang yang beriman, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat,
seraya tunduk (kepada Allah).

Banyak ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun untuk
orang-orang mukmin dan Ali bin Abi Thalib. Ibnu Kathir dalam kitab tafsirnya
banyak menyebutkan riwayat tentang hal ini, diantaranya adalah yang
diriwayatkan dari jalur Muhammad bin as-Saib al-Kilabi. Di akhir kutipannya
Ibnu Kathir mengomentari bahwa segala sesuatu yang datang dari al-Kilabi
tidak ada yang benar karena sanad-sanadnya , tetapi dhaifdan perawinya tidak
diketahui.

2. Al-Dakhil Melalui Isra`iliyat


Al-Dakhil melalui riwayat israiliyat adalah riwayat-riwayat Isra`iliyat yang
masuk kedalam penafsiran bermula pada era sahabat meluas di era tabi’in,

6
berdasarkan periwayatan, secara selektif yang berasal langsung dari Rasulullah saw
dan sikap para sahabat yang bertentangan dengan syari’at Islam.10
Adapun Riwayat israiliyat ke dalam penafsiran, Meliputi Penyebab-
penyebabnya pertama; semakin banyaknya orang-orang ahli kitab yang masuk
Islam . Kedua; adanya keinginan dari umat muslim pada waktu itu untuk
mengetahui kisah-kisah selengkapnya mengenai ummat Yahudi, Nasrani dan
sebagainya yang dalam al-Qur`an.
Salah satu contoh tafsir Al-Dakhil dengan riwayat Isra’iliyat dengan firman
Allah SWT ayat 67 al-Baqarah adalah;

‫ٱَّلل أَ ْن أَ ُكو َن ِم َن‬


َِّ ِ‫ال أَعُوذُ ب‬ ِ ‫َْبُ ۟وا ب َقرةً ۖ قَالُٓو۟ا أَتَت‬
َ َ‫َّخ ُذ ََن ُه ُزًوا ۖ ق‬ َّ ‫وس ٰى لَِق ْوِم ِهٓۦ إِ َّن‬ َ َ‫َوإِ ْذ ق‬
َ َ َ ‫ٱَّللَ ََي ُْم ُرُك ْم أَن تَذ‬ َ ‫ال ُم‬
ِ
َ ‫ٱ ْلَِٰهل‬
‫ي‬

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya


Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah
kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung
kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".

“Seorang laki-laki dari Bani Isra’il memiliki harta yang banyak, dan dia
memiliki seorang anak perempuan. Dia juga memiliki keponakan yang keadaannya
miskin. Anak saudaranya ini ingin mengawini anak perempuannya, tetapi dia tidak
setuju. Anak saudara nya ini marah dan berkata : “Demi Allah aku akan bunuh
bapak saudaraku, Aku akan ambil hartanya dan aku akan nikahi anaknya dan
duitnya akan aku belanjakan untuk kepentinganku. Setelah itu pemuda tadi datang
kepada bapak saudaranya. Pedagang bani Isra’il tiba dikediaman mereka pada masa
itu. Pemuda itu berkata kepada bapak saudaranya : “marilah bersamaku dan
ambillah barang-barang dagangan mereka untuk aku, mudah-mudahan aku
berhasil”. Ketika bapak saudaranya sampai dikeramaian pedagang tersebut, lalu ia
membunuhnya. Kemudian dia pulang kerumah. Keesokan harinya dia keluar
seolah-olah mencari bapak saudaranya, dia berpura-pura tidak mengetahui kemana
bapak saudaranya. Kemudian dia singgah ditempat berkumpulnya pedagang, dan
berkata : “kamu telah membunuh bapak saudarku, bayarlah diatnya”, dia menangis
sambil meletakkan tanah diatas kepalanya dan berteriak, bapak saudaraku.....bapak

10
Afrizal Nur, “Dekonstruksi Isra’Iliyyat Dalam Tafsir Al-Mishbah,” Anida’ 39, no. 1 (2014): 36–48,
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/Anida/article/view/863/819.

7
saudaraku...lalu ia mengadu kepada nabi Musa a.s, nabi Musa menyeru kepada
mereka supaya membayar diat. Mereka berkata kepadanya. Hai Musa! berdoalah
kepada Tuhanmu sehingga Dia menunjukkan siapakah yang melakukan
pembunuhan ini supaya dia dapat hukuman. Demi Allah dia itu itu mudah bagi
kami, tetapi kami merasa malu atas peristiwa ini.
Setelah melihat peristiwa riwayat ini, Ibnu Katsir mengkritik; ”Kesemua
riwayat ini diambil dari kitab bani Isra’il, dan kisah ini adalah diantara riwayat yang
boleh dinuqilkan, namun kita bersikap tdak membenarkannya dan tidak pula
mendustakannya, karena bukanlah riwayat yang muktamad.11

3. Al-Dakhil yang dinisbatkan kepada Tabi`in


Termasuk dari jenis tafsir Al-Dakhil adalah riwayat yang disandarkan kepada
tabi’in dengan cara berdusta atau kepada mursal tabi’in yang mana Hadits tersebut
tidak diambil melalui tabi’in yang meriwayatkan Hadits. Seperti, meriwayatkan
melalui jalur yang berbeda dengan perawi yang berbeda pula, atau mengambil
perkataan sahabat, atau perkataan kebanyakan ulama yang diambil pendapatnya,
padahal dalam hadis mursal tidak diperbolehkan, karena mengikutsertakan
periwayatannya dari tabi’in lain yang dipertanyakan ke-’adalahan-nya.
Al-Dakhil dalam periwayatan nya yang disandarkan kepada tabi’in dengan cara
berdusta dapat ditemukan dalam tafsir yang terkait dengan cerita-cerita nabi, awal
penciptaan makhluk, ya’juj dan ma’juj, tentang kondisi dinginya air yang berada
dalam sumur-sumur pada waktu shaif (musim panas) dan dahsyatnya panas pada
saat kedatangan Shita’ (musim dingin). Riwayat-riwayat yang terkait dengan cerita-
cerita tersebut terdapat banyak yang tidak disebutkan sanadnya, sehingga sangat
sulit untuk ditelaah dan diteliti status perawinya dalam kitab jarh wa Ta’dil.12
Sebagai contoh Al-Dakhil yang dinisbatkan kepada Tabi’in adalah Hadits yang
berkenaan dengan firman Allah dalam surat al-A’raf ayat ke-12:

ُۚ ۠ ِ
‫هٗ ِم ْن ِط ْ ن‬
‫ي‬ ٗ َ‫ِن ِم ْن ََّن نر َّو َخلَ ْقت‬
ِْ َ‫ال اَ ََن َخ ْْيٌ ِِّم ْنهُ َخلَ ْقت‬ َ ُ‫ك اَََّّل تَ ْس ُج َد ا ْذ اَ َم ْرت‬
َ َ‫ك ۗق‬ َ ‫ال َما َمنَ َع‬
َ َ‫ق‬

11
Afrizal Nur, Khazanah dan Kewibawaan Tafsir Bi Al-Ma`tsur, (Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau:
Kerjasama dengan Asa Riau, 2015), hlm 76-77
12
Al-Zarqany dalam kitabnya “Manahil al-‘Irfan”, yang telah dikutip oleh Muhammad Sa’id
Muhammad ‘Athiyah ‘Iram, dalam al-Sabil ila ma’rifati al-Ashil wa al-Dakhil fi al-Tafsir.hlm 133

8
Artinya: (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu
tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku
lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau
ciptakan dari tanah.”

Hadits yang terkait dengan ayat tersebut diriwayatkan oleh Abu al-‘Abbas al-
Manshury Ahmad Ibn Muhammad Ibn Shalih dengan sanadnya kepada ‘Ali ra.
Secara marfu’, yang pertama kali beranalogi adalah Iblis, karena itu janganlah
kalian beranalogi”. Hadits ini dinilai palsu, dari segi penisbatannya kepada
Rasulullah saw. al-Dzahaby juga memberikan penilaian senada. Akan tetapi Hadits
tersebut benar adanya, jika dinisbatkan kepada Ibnu Sirin dan al-Hasan al-Basry.
Al-Darimy telah meriwayatkan dari Ibnu Sirin, bahwa ia berkata: “yang mula-mula
melakukan analogi adalah Iblis. Matahari dan Bulan tidak akan menjadi
sesembahan, kecuali adanya berbagai analogi”. Al-Darimy juga meriwayatkan dari
al-Hasan al-Basry, yang kemudian membaca ayat: “Apakah yang menghalangimu
untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu? ”Iblis menjawab:
“Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau
ciptakan dari tanah” .setelah membaca ayat itu, al-Hasan al-Bashry berkata: “Iblis
membanding-bandingkan sesuatu dengan yang lain. Dialah yang kali pertama
melakukannya.

Bentuk-Bentuk Sistematika Penafsiran Rasulullah Saw


• Kadangkala terlebih dahulu menjelaskan penafsirannya, setelah itu
menyebutkan ayatnya.
• sebaliknya menyebutkan ayat terlebih dahulu diteruskan dengan penafsirannya
• Kadangkala Nabi saw menjelaskan ayat karena adanya pertanyaan dari sahabat.
• Kadangkala penafsiran tersebut untuk memutuskan perkara kontroversial
dikalangan sahabat.
• menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan amaliyah, maka beramal dengannya
adalah wajib.

Kitab-Kitab Rujukan al-Dakhil Tafsir Bil Ma`tsur

Diantara kitab tafsir yang menggunakan metodologi bil ma’tsur adalah:

9
1. Jami’ al Bayan an Ta’wil Ay al-Qur’an, oleh Imam Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Tabariy (w.310H). pada tahun 1988
dicetak dalam tulisan yang bagus oleh percetakan Darel Fikri, Beirut sebanyak
15 jilid.
2. Bahrul ‘Ulum, karangan Abu laits, Nasr bin Muhammad bin Ibrahim
alͲSamarqandi al-Hanafi (w.373H).
3. Al-Kasyf wa al-Bayan an Tafsir al-Qur’an, karangan Abu Ishaq Anmad bin
Ibrahim al Tha’labi al-Naisaburiy (w.427).
4. Al Nukat wa al ‘Uyun oleh al-Mawardi (w.450H), tulisan ini telah dicetak
pertama kalinya pada tahun 1992 oleh Darel Kutub al-Ilmiyyah, Beirut,
berjumlah sebanyak enam jilid.
5. Ma’alim Tanzil, karangan Imam alͲBaghawi (w.510).tulisan beliau dicetak
dalam empat jilid oleh dar al-ma’rifah ,beirut.cetakan pertama yang bertahqiq
ialah pada tahun1986.
6. Al-Muharrir al-wajiz fi tafsir al-kitab al-aziz oleh Abu Muhammad ‘Abd al-Haq
bin Ghalib bin ‘Atiyyah al-andalusi (w.546H.).
7. Zad al-Ma’asir fi ‘ilm al-Tafsir oleh ibn al-Jawzi (w.597 H.) di cetak dalam
sembilan jilid oleh al-maktab al-Islami, beirut. cetakan kali keempat telah
dilakukan pada tahun 1987.
8. Tafsir al-Qur’an al-Azim oleh ibn Kathir (w.774 H.). Cetakan kedua pada tahun
1987 Darul Ma`rifah Beirut dan dicetak sebanyak empat kali jilid.

10
C. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Al-Dakhil tafsir bil ma’tsur pada hakekatnya
merupakan tafsir Alquran dengan Alquran, atau dengan Sunah Nabi, atau dengan
perkataan sahabat, atau dengan tabi’in. Contoh-contoh penerapannya banyak terdapat
dalam kitab-kitab tafsir terutama yang memaki metode tafsir bil ma’tsur, antara lain
adalah Penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Abbas r.a, Ibn Jarir al-Tabariy, Al-
Baghawi, Ibnu Katsir, Jalaluddin al-Mahalliy dan as-Suyuthi. Dan tanggung jawab kita
semua juga untuk selalu melakukan riset dan penelitian secara komprehensif dan teliti
agar kita terhindar dari riwayat-riwayat yang kurang kuat atau israiliyat dalam
menafsirkan Alquran.
Al-Dakhil Tafsir bil ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan
riwayat, yakni tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in.
Dalam tafsir bil ma’tsur, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau hadis , tafsir itu
termasuk ma'tsur karena para tabi'in berjumpa dengan para sahabat. Adapula yang
berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra'yi (penafsiran dengan pendapat).

11
DAFTAR PUSTAKA

Islam, ahmad Fakruddin fajrul. (2014). Studi Kritis dalam Metodoligi tafsir. Tafaqquh: vol 2
(2). Hal 80-94.

Ulinnuha, Muhammad. (2017). Konsep Al-Ashil dan Al-Dakhil dalam tafsir al-qur’an.
Mandania: vol 2 (2). Hal 127-144.

Taufiq, wildan dan Asep suryana. (2020). Penafsiran Ayat-Ayat israiliyyat dalam al-qur’an
dan tafsirnya. Bandung.

Mujiburrohman. (2020). Ad-dakhil dalam Ar-ra’yi dan Ma’tsur . Jurnal Pemikiran, Pendidikan
dan Penelitian Ke-Islaman. Vol. 6 (1). Hal 81-90.

Nur, afrizal. (2015). Khazanah dan Kewibawaan Tafsir Bil Ma’tsur. Pekanbaru.

Faisal, Muhammad. (2021). Kontribusi T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pengembangan Ilmu
al-qur’an dan tafsir di Indonesia. Jurnal ilmu al-quran dan hadits. Vol. 4 (1). Hal: 24-
53.

Siregar, ahmad sholihin. (2017). Al-wadh dan citi tekstualnya dalam Al-qur’an. Jurnal hukum
islam dan perundag-undangan. Vol. 4 (2). Hal: 55-73.

Nur, afrizal. (2014). Dekonstruksi Isra’iliyyat dalam tafsir al-misbah. Jurrnal pemikiran islam.
Vol. 39 (1). Hal 36-48.

Ulinhuhe, Muhammad. (2019). Metode kritik ad-dakhil fit-tafsir: cara mendeteksi adanya
infiltrasi dan kontaminasi dalam penafsiran Al-qur’an. Jakarta.

Nur, afrizal. (2008). Ad-dakhil kontemporer dalam penafsiran Al-qur’an. Pekanbaru.

12

Anda mungkin juga menyukai