Anda di halaman 1dari 15

Ad-Dakhil fi Tafsir dalam Kitab at-Thabari

Oleh Kelompok 10: Tyas Nurul Fathihah, Isa Al-Fiqi

Semester VI Jurusan IAT, Fakultas FUDA, UIN Sultan Maulana Hasanudin

BANTEN

Abstrak

Isra’iliyat adalah cerita atau kisah yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani,
penafsiran yang tidak mempunyai dasar sama sekali baik berupa hadis- hadis
dhaif dan maudu’, ta’wil yang bathil maupun hayalan-hayalan penafsir masa kini
yang disusupkan masuk ke dalam tafsir. Ditemukannya lima bentuk Dakhil al-
Naqli dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan al- Ta’wil Ayi al-Qur’an karya Ibnu Jarir
Al-Thabari tentang mukjizat Nabi Musa. Kelima bentuk Dakhil tersebut yaitu:
Dakhil al-Naqli bentuk pertama, berupa menafsirkan Alquran dengan Hadith
maudhu’ (palsu). Dakhil al-Naqli bentuk kedua, berupa menafsirkan Alquran
dengan Hadits Mauquf (qaul sahabat) yang sanadnya dhaif . Dakhil al-Naqli
bentuk kelima, berupa Hadith mursal (qaul tabi’in yang dhaif . Dakhil al-Naqli
bentuk keenam, berupa Hadits mursal yang matannya mengenai Israiliyat. Dakhil
al-Naqli bentuk kesembilan, berupa menafsirkan Alquran dengan qaul tabi’in
yang bertentangan dengan qaul sahabat. Dengan demikian menafsirkan Alquran
dengan Hadits maudhu’ (palsu), Hadits mauquf (qaul sahabat) yang sanadnya
dhaif , Hadits mursal (qaul tabi’in) yang dhaif , Hadits mursal yang matannya
mengenai Israiliyat, dan qaul tabi’in yang bertentangan dengan qaul sahabat,
adalah lima bentuk Dakhil al-Naqli yang terdapat dalam kitab tafsir Al-Thabari
Kata Kunci: Tafsir; Dakhil al-Naqli; al-Ashil; Hadits; dhaif .

Kata Kunci: israiliyat, ad-dakhil al-Naqli, at-Thabari


A. Pendahuluan

Al-Dakhil fî al-Tafsir adalah rumpunan Ulum al-Qur’an yang merupakan salah


satu tafsir. Ilmu ini baru disusun secara sistematis dan diajarkan di Al-Azhar
Kairo Mesir pada sekitar tahun delapan puluhan, pelopornya adalah Prof. Dr.
Ibrahim Abdurrahman Khalifah. Al-Dakhil baru diajarkan di perguruan tinggi di
Indonesia pada permulaan abad dua puluh satu.1 Al-Dakhil fî al-Tafsir merupakan
keilmuan yang masih baru, dan penelitian dalam bidang ini masih relatif sedikit
dilakukan oleh cendikiawan muslim. Salah satu kitab tafsir yang diakui
keberadaannya ialah kitab tafsir Al-Thabari, tafsir ini merupakan karya
monumental pertama dalam bidang tafsir yang banyak dirujuk oleh ulama-ulama
sesudahnya.2 Dalam kitab tafsir ini banyak menukil riwayat yang jarang
dikomentari oleh Ibnu Jarir, disinyalir dalam riwayat-riwayat tersebut banyak
terdapat unsur-unsur Al-Dakhil . Adapun perihal Nabi Musa yaitu ia merupakan
Nabi Ulu al-Azmi, yang dalam mengemban tugas kerasulannya ia dibekali banyak
mukjizat yang besar, pada kisah tentang kemukjizatnya tersebut dianggap banyak
terdapat kisah Israilliyat.

Ibnu Jarir al-Tabari sebagai salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, mengungkap dalam tafsirnya sebanyak
38.397 riwayat sebagai sumber penafsiran ma’sur yang disandarkan pada
pendapat dan pandangan para sahabat dan tabiin melalui riwayat yang mereka
riwayatkan. Dari sejumlah riwayat yang dipaparkannya, terdapat pula riwayat-
riwayat isra’iliyat sebagai salah satu sumber penafsiran yang beliau gunakan, baik
yang sejalan dengan kesucian agama Islam atau yang tidak sejalan dengan
kesucian agama Islam maupun yang mauquf. Dari ketiga kategori tersebut
membentuk pola pikir dalam memahami agama dan mengamalkannya baik yang
bernilai positif maupun negatif. Keberadaan riwayat isra’iliyat tersebut menjadi
salah satu faktor motivasi bagi seorang mufassir untuk tetap berhati-hati dalam
menggunakannya sebagai salah satu sumber penafsiran al-Qur’an sehingga
1
Ibrahim Syuaib Z, Metodologi Kritik Tafsir al-Dakhil fi al-Tafsir, (Bandung: Fakultas Ushuluddin
UIN SGD Bandung, 2008)
2
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Al Tafsir wa al-Mufassirun , alih bahasa: Nabhani Idris,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 197
penjelasan yang dipaparkannya tetap menjadi sebuah penafsiran yang sesuai
dengan ruh al-Qur’an.

B. Biografi ath-Thabari
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir seorang imam, ulama’ dan mujtahid
pada abad ini, kunyahnya adalah Abu Ja’far Ath Thabari. Beliau dari penduduk
Amuli, bagian dari daerah Thabristan, karena itulah sesekali ia disebut sebagai
Amuli selain dengan sebutan yang masyhur dengan AthThabari. Uniknya Imam
Thabari dikenal dengan sebutan kunyah Abu Ja’far, padahal para ahli sejarah telah
mencatat bahwa sampai masa akhir hidupnya Imam Thabari tidak pernah
menikah.Beliau dilahirkan pada akhir tahun 224 H awal tahun 225 H.3
Al-Thabari telah dikaruniai Allah kelebihan kecerdasan yang luar biasa, akal
yang tajam, hati yang jernih dan kemampuan menghafal yang jarang dimiliki
orang. Ia sudah hafal al-Qur’an semenjak berumur tujuh tahun dan menulis hadis
ketika berumur sembilan tahun. Kelebihan ini telah diperhatikan ayahnya
sehingga ia berusaha mendukungnya untuk menimba ilmu sewaktu dia masih
kanak-kanak, ayahnya telah mengalokasikan penghasilan tanahnya untuk
membiayai belajar Imam al-Thabari berikut perjalanannya melang-lang buana
mencari ilmu ke beberapa daerah.
Beliau adalah penafsir terkemuka, pakar sejarah, ahli di bidang fiqhi,
linguistik dan hadis (Abu Ja’far Muhammad ibn Jarīr al-Tabari, 1399 H/1979 M:
1). Sehingga tidak heran jika banyak ulama membicarakannya, baik dari segi
keperibadian maupun kehidupan beliau yang ditinjau dari berbagai sisi dan sudut
pandang yang berbeda.
Al-Thabari adalah ulama yang sangat produktif sehingga membuatnya
selalu dikenang hingga kini belum usang dan jenuh dibicarakan di tengah-tengah
belantara karya-karya tafsir. Ia telah menambah khazanah intlektual Islam dengan
beberapa karyanya yang monumental sebagai warisan keislaman yang tak ternilai
harganya. Antara lain: Jamī’ al-Bayān fi Ta’wil Ay al-Qur’ān, yang lebih dikenal
3
Amarudin, “Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya Ath-Thabari”, (Jurnal
Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014), h. 6
dengan sebutan kitab tafsir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulūk, yang lebih
dikenal dengan nama tarikh al-Thabari’.4

C. Israiliyat dalam Tafsir ath-Thabari


Kata Isra’iliyat adalah bentuk plural dari kata Isra’iliyat, yaitu semua kisah atau
peristiwa yang diriwayatkan dari sumber Bani Israil. Isra’iliyat dinisbahkan
kepada Bani Israil yaitu Ya’qub yang bermakna hamba Allah. Bani Israil adalah
keturunan Nabi Ya’qub yang menurunkan banyak nabi, di antaranya adalah Nabi
Musa dan Nabi Isa. Kata Israil sendiri berasal dari bahasa Ibrani yang terdiri dari
dua kata yaitu isr yang artinya hamba atau kekasih sedangkan il artinya Allah atau
Tuhan, jadi pengertian Israil adalah hamba Allah. Pendapat lain juga
dikemukakan oleh al-Suhailiy bahwa dinamakan Israil karena dia diperjalankan
pada suatu malam ketika berangkat hijrah menuju Allah.
Isra’iliyat adalah cerita-cerita dan kisah-kisah yang bersumber dari Yahudi
dan Nasrani, penafsiran yang tidak mempunyai dasar sama sekali baik berupa
hadis- hadis daif dan maudu’, ta’wil yang bathil maupun hayalan-hayalan penafsir
masa kini yang disusupkan masuk kedalam tafsir dan hadis.
a. Isra’iliyat yang sejalan dengan Islam
Isra’iliyat dalam tafsir al-Thabari yang akan dibahas dalam tulisan ini, hanya ada
satu riwayat yang dapat diklasifikasikan ke dalam isra’iliyat yang sejalan dengan
agama Islam. Riwayat tersebut menceritakan tentang sifat-sifat Nabi Muhammad
saw. Dalam riwayat itu dikatakan bahwa ahli kitab menemukan uraian tentang
sifat Nabi saw., yang tidak kasar, keras dan pemurah sebagaimana riwayat yang
dikeluarkan oleh ibn Jarir dan ibn Kasir dalam tafsirnya (Al-Tabari, Jilid VI).
Penjelasan tentang sifat-sifat Nabi Muhammad saw., yang dipaparkan dalam
Taurat di dalam kitab at-Thabari sejalan dengan apa yang dijelaskan dalam al-
Qur’an bahkan dengan penjelasan itu memberikan indikasi bahwa apa yang ada
dalam kitab-kitab terdahulu sama sekali tidak bertentangan dengan al-Qur’an,
sebelum adanya perubahan yang dilakukan oleh penulis Taurat yang diliputi sikap

4
Basri Mahmud, “ISRA’ILIYAT DALAM TAFSIR AL-THABARI”, (Jurnal Al-Munzir Vol. 8, No. 2,
November 2015), h. 159-160
egois dan fanatisme. Riwayat tersebut juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari,
sehingga penulis meyakini kebenarannya tanpa melakukan penelitian lebih lanjut.
Muhammad saw., adalah orang terkemuka dan terhormat, orang yang
disebut di dalam Taurat dan Injil, orang yang dibantu Jibril dalam membawa
bendera kemuliaan, kitab-kitab memberitakan keberadaannya, sejarah
memperhatikan namanya, perkumpulan menjadi terhormat karenanya dan menara-
menara mengumandangkan namanya.
Al-Qur’an telah memberikan uraian bahwa Rasulullah saw., adalah orang
yang terlindungi dari kesalahan dan kesesatan. Ia terhindar dari hawa nafsu.
Perkataannya adalah aturan, ucapannya adalah agama dan prilakunya adalah
wahyu (Q.S. al-Najm/53:2-4). Budi bahasanya bersih, tabiatnya bagus,
perangainya cantik, sikapnya terhormat dan posisinya mulia (Q.S. al-Naml/52:79).
Akhlaknya ramah, lemah lembut dan sopan (Q.S. Ali Imran/3:159).5
a. Isra’iliyat yang Mauquf
Mauquf dalam tafsir al-Thabari di antaranya adalah penjelasan tentang kisah Nabi
Musa a.s. dan sapi Bani Israil yang telah disebutkan dalam QS. Al-Baqarah/2:73.
Ayat tersebut menjelaskan perintah Nabi Musa a.s. kepada Bani Israil untuk
menyembelih seekor sapi betina yang salah satu bagian badannya dipukulkan
kepada orang yang terbunuh agar bisa hidup kembali. Ayat ini merupakan
rangkaian dari beberapa ayat yang berbicara tentang kisah penyembelihan sapi,
namun tidak dijelaskan bagian badan yang mana dari sapi tersebut yang
digunakan untuk memukul mayat itu sehingga bisa hidup kembali. Meskipun
persoalan di atas tidak penting, tapi sebagian mufassir menjelaskannya dengan
merujuk pada beberapa riwayat isra’iliyat seperti yang tertulis dalam tafsir al-
Thabari yang mengemukakan beberapa riwayat yang berbeda-beda. Satu riwayat
mengatakan bahwa yang digunakan untuk memukul mayat itu adalah bagian paha
sapi, pada riwayat lain menyatakan bagian pundaknya dan di lain riwayat di
katakan bagian tulangnya sebagaimana dalam tafsirnya dengan nomor riwayat:
1314, 1315 dan 1316.

5
Basri Mahmud, “ISRA’ILIYAT DALAM TAFSIR AL-THABARI”, (Jurnal Al-Munzir Vol. 8, No. 2,
November 2015), h. 166
Mengomentari riwayat teraebut, Ibnu Jarīr al-Thabari berpendapat bahwa
selama Allah menggelobalkan kisah ini dan Rasulullah saw juga tidak
memberikan keterangan rinci, maka kita tidak perluh menjabarkannya karena
tidak ada satu pun keterangan yang menjelaskan tentang potongan daging yang
mana digunakan, boleh jadi bagian ekornya, lehernya atau bagian-bagian lain.
Pada pembahasan yang lain Ibnu Jarir juga memaparkan beberapa riwayat
dalam tafsirnya berupa penjelasan-penjelasan yang bersifat memberikan
keterangan rinci dari hal-hal yang global dalam al-Qur’an seperti kisah Nabi Nuh
dan perahunya, kisah Nabi Adam dan pohon khuldi, kisah peninggalan Nabi
Musa, kisah Nabi Ibrahim dan pembangunan Ka’bah, kisah Nabi Musa dan
Maidah, kisah Ashabul kahfi dan lain sebagainya.
Al-Qur’an dalam hal pemaparan kisah lebih memberikan perhatian pada
pesan dan nilai keagamaan dari pada peristiwa itu sendiri sehingga terkadang
kisah itu tidak dicatat tuntas sekalipun ia penting untuk dicantumkan dalam al-
Qur’an sebagai ibrah yang bisa digambarkan dari kisah tersebut. Dengan cara
demikian, akhirnya sebagian orang meriwayatkan riwayat isra’iliyat sebagai
pelengkap demi memuaskan kebutuhan narasi.6
b. Isra’iliyat yang tidak sejalan dengan Islam
 Nabi Yusuf dan Godaan Wanita

Terkait dengan kajian utama perihal Nabi Yusuf a.s. dengan Zulaikha, didapatkan
teks otentik yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya, yaitu firman Allah
Q.S. Yusuf/12: 24. Dalam ayat tersebut tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf
a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi
godaan itu demikian besarnya sehingga andaikata dia tidak dikuatkan dengan
keimanan kepada Allah swt., tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan. Namun
muncul cerita lain yang berawal dari penafsiran kata hamma ( ‫ )هَ َّم‬sebagai hasrat
untuk berzina dan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Zulaikha juga
dilakukan oleh Nabi Yusuf a.s.

6
Basri Mahmud, Israiliyat, hal. 167
Dalam penafsiran ini, ditemukan pandangan miring tentang Nabi Yusuf a.s.
dengan wanita yang menggodanya sebagaimana yang tertulis dalam tafsir al-
Tabariy yang menandaskan bahwa kataَّ (‫ )هَ َّم‬yakni hasrat yang ada dalam benak
Nabi Yusuf a.s. adalah bentuk dari perbuatan maksiat karena Nabi Yusuf a.s.
melakukan hal yang serupa dengan wanita yang menggodanya.

Penafsiran tersebut didasarkan pada riwayat yang bersumber dari Abu


Kurayb, Sufyān ibn Wakī’, Sahl ibn Musa al-Rāzi, Ibnu Uyaynah, Usman ibn Abi
Sulaymān, Abi Mulaykah dan Ibnu Abbās. Materi isra’iliyat tersebut memang
dikomentari oleh al-Thabari tetapi sama sekali tidak membicarakan tentang
keanehan-keanehan yang terdapat pada riwayat tersebut, namun ia lebih tertarik
mengomentari persoalan al-Burhān yang dilihat oleh Nabi Yusuf a.s. sehingga
tidak jadi melakukan perbuatan tercela dengan wanita yang menggodanya.7

 Penyembelihan Putra Nabi Ibrahim

Kisah penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. terhadap putranya telah
diabadikan dalam Q.S. al-Shaffat/37:101-113. Persoalan yang sering menjadi
perdebatan para ulama terutama orang non Islam yang berkaitan dengan tema
bahasa ayat ini adalah uraian tentang siapa sebenarnya yang disembelih pada ayat
tersebut, sebagian orang berpendapat bahwa yang disembelih adalah Ishāq
putranya dari Sarah dan sebagian lagi mengatakan bahwa yang disembelih adalah
Ismail putranya dari Hajar.

Berkaitan dengan persoalan di atas, al-Thabari’ dalam tafsirnya


mengungkap beberapa riwayat isra’iliyat yang menjelaskan bahwa yang
disembelih adalah Ishāq putranya dari Sarah. Hal ini berdasarkan pada salah satu
riwayat yang diterimanya dari Abū Kurayb, Zaid ibn Hābil, al-Hasan ibn Dinār,
dari Ali ibn Zaid ibn Jad’ān dari Ahnaf ibn Qais dan dari Ibnu Abbās dari Nabi
saw., yang menyatakan bahwa yang disembelih adalah Ishāq.

Sanad isra’iliyat yang disandarkan kepada Nabi saw., di atas ditolak oleh
para ulama. Menurut Ibnu Kasīr, riwayat tersebut tidak dapat dijadikan hujjah
sebab salah satu rawinya yaitu Hasan ibn Dinār harus ditinggalkan
7
Basri Mahmud, Israiliyat, h. 168
periwayatannya (Matrūk al-Hadiś) dan gurunya pun Zaid ibn Jad’ān
periwayatannya tidak dapat diterima atau munkar al-Hadiś.8

 Kisah Nabi Zakariyah dan Setan


Penyampaian malaikat kepada Nabi Zakariya a.s. akan dianugerahkannya
keturunan merupakan berita gembira yang tidak dapat dibayangkan oleh mereka
yang mengukur segala sesuatu dengan ukuran hukum-hukum alam, atau hukum
sebab akibat.
Nabi Zakariya yang telah lama menantikan kehadiran anak tidak segera
dapat membayangkan ketetapan berita itu, bukan karena tidak percaya akan kuasa
Allah tetapi berita itu sungguh di luar kebiasaan sehingga ketika itulah terlontar
ucapan beliau sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an Q.S. Ali Imran/3: 40-41.
Perihal Nabi Zakariya yang di paparkan pada ayat tersebut cukup jelas, namun
muncul penafsiran lain yang menyatakan bahwa setan telah membuat Nabi
Zakariya ragu terhadap panggilan malaikat sehingga dia bermohon kepada Allah
untuk diberi tanda kebenaran.
Penafsiran ini, didasarkan pada riwayat yang diterimanya dari Musa, Amru,
Asbāt, dan al-Suddi yang menyatakan bahwa ketika malaikat Jibril memanggil
Nabi Zakariya dengan memberi kabar gembira bahwa ia akan dikaruniai putra
yang bernama Yahya, ketika mendengar panggilan itu datanglah setan kepadanya
dan berkata wahai Nabi Zakariya sesungguhnya suara yang kau dengar tadi bukan
datang dari Allah tetapi datang dari setan yang akan memperdayakan engkau,
kemudian Nabi Zakariya menjadi ragu karenanya. menurut al-Tabariy,
َّ ‫) قالَّربَّاجعلَّل‬, kalau
membuatnya bermohon kepada Allah untuk diberi tanda ( ‫يءاية‬
suara yang didengarnya itu adalah benar dari Allah atau dari setan yang ingin
memperdayakannya.
Riwayat ini menurut al-Żahabi adalah riwayat isra’iliyat yang jelas
bertentangan dengan al-Qur’an, bagaimana mungkin setan dapat menguasai Nabi
Zakariya sehingga ia ragu terhadap wahyu dari Allah dan tidak dapat
membedakan antara panggilan Allah dengan panggilan setan. Lebih lanjut al-
Żahabi menyatakan bahwa ucapan Nabi Zakariya bukan menandakan keraguan
8
Basri Mahmud, Israiliyat, h. 169
tetapi kaget karena istrinya yang sudah tua dan ia sendiri dalam kondisi tua renta
akan dikaruniai anak.9

D. Hadits Dhoif dalam kitab at-Thabari


Al-Thabari dalam tafsirnya tidak hanya menukil riwayat-riwayat, tetapi ia juga
menukil syair-syair, pendapat ulama, dan mengutarakan pendapatnya sendiri.10
Oleh karenanya walaupun tafsir ini dikenal sebagai tafsir bi al-Mathur, tapi dalam
realitasnya terdapat penggunaan akal atau bi al-ra’yi. Penelitian ini berfokus
mengungkap keberadaan Dakhil al-Naqli dalam tafsir al-Thabari yaitu
penelusuran Dakhil dalam penukilan al-Thabari terhadap riwayat-riwayat bi al-
Mathur pada ayat-ayat tentang mukjizat Nabi Musa, dan tidak menyentuh
penafsiran bi al-Ra’yi yang dilakukan oleh al-Thabari.
Salah satu hadits dhoif dalam kitab at-Thabari yaitu tentang mukjizat nabi
Musa as. Ditemukan lima bentuk Dakhil al-Naqli dalam kitab tafsir al-Thabari
pada ayat-ayat tentang mukjizat Nabi Musa. Adapun kelima bentuk Dakhil al-
Naqli tersebut terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 60, surat alA’raf [7]: 107, 108,
130, 133, surat al-Isra [17]: 101, surat Taha [20]: 20, 22, surat Al - Syu’ara [26]:
32-33, 63, surat al-Naml [27]: 10, 12, dan surat al-Qasas [28]: 32. Berikut
penjelasan Dakhil pada masing-masing ayat berdasarkan bentuknya:
1. Dakhil al-Naqli berupa menafsirkan Alquran dengan Hadith palsu.
Ditemukan satu ayat yang terdapat penafsiran menggunakan Hadith palsu dalam
tafsir Al-Thabari, yaitu pada penafsiran Alquran surat al-A’raf ayat 133. Berikut
penjelasannya: Dakhil al-Naqli QS. al-A’raf [7]: 133
‫ت فَا ْستَ ْكبَرُوا َو َكانُوا‬ َّ َ‫ت ُمف‬
ٍ ‫صاَل‬ َّ ‫الطوفَانَ َو ْال َج َرا َد َو ْالقُ َّم َل َوال‬
ٍ ‫ضفَا ِد َع َوال َّد َم آيَا‬ ُّ ‫فَأَرْ َس ْلنَا َعلَ ْي ِه ُم‬
َ‫قَوْ ًما ُمجْ ِر ِمين‬
“Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah (air
minum berubah menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka
tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.”

9
Basri Mahmud, Israiliyat, h. 173
10
Denu Rahmad. Mujiyo. Ibrahim Syuaib, “DAKHIL AL-NAQLI DALAM TAFSIR AL-THABARI PADA
PENAFSIRAN TENTANG MUKJIZAT NABI MUSA A.S”, (Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 2,
2 Desember 2017), h. 85
Penafsiran Asil terhadap ayat ini sebagaimana riwayat Ibnu Abbas ialah:
“Al-Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Al-Husein menceritakan
kepada kami, ia berkata: Jarir menceritakan kepada kami dari Qabus bin Abu
Zhibyan, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas, tentang makna firman Allah, “Maka
Kami kirimkan kepada mereka topan,” dia berkata, “Malapetaka dari Allah adalah
.” Kemudian dia membaca ayat, “Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang)
dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.” (Al Qalam [68]: 197).
Al-Tabari menukil riwayat ini dan mengomentarinya, menurutnya pendapat Ibnu
Abbas adalah pendapat yang paling benar dalam menafsirkan makna ‫ الطوفان‬pada
ayat ini. Islam Mansur Abdul Humaid mentahqiq riwayat ini, beliau mengatakan
riwayat ini shahih dikarenakan para rawinya tsiqat dan sanadnya mutasil.11
Ibnu Katsir menukil riwayat serupa dalam tafsirnya, adapun penafsirannya
sebagai berikut tersebut sebagai berikut:
Dalam riwayat lain Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
topan ialah azab dari Allah yang meliputi mereka. Kemudian Ibnu Abbas
membacakan firman Allah SWT. yang mengatakan: “Lalu kebun itu diliputi
malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.”
Selain menukil riwayat Ibnu Abbas di atas Al-Thabari menukil Hadith yang
diriwayatkan oleh A’isyah dalam menafsirkan ayat ini. “Telah menceritakan
kepada kami Ibn Waki’, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Yaman, dari Al Minhal bin Khalifah, dari Al Hajjaj, dari seorang lelaki, dari
A’isyah, dari Rashulullah SAW berkata: (Taufan: kematian).” Islam Mansur
Abdul Humaid mentahqiq riwayat ini, menurutnya sanad Hadith ini sangatlah
dhaif , penyebab kedhaif-an Hadith ini karena para rawinya selain A’isyah
termasuk rawi yang diperbincangkan kedhaif-annya.12 Menurut Abi Amru Nasir
bin Ahmad Hadith ini dhaif.13 Bahkan Albani dalam kitab Dhaif al-Jami‟
menganggap Hadith Maudhu’(palsu).14

11
Denu Rahmad. Mujiyo. Ibrahim Syuaib, Dahkil Al-Naqli, h. 86
12
Denu Rahmad. Mujiyo. Ibrahim Syuaib, Dakhil Al-Naqli, h. 87
13
Denu Rahmad. Mujiyo. Ibrahim Syuaib, Dakhli Al-Naqli, hal. 87
14
Muhammad Nashiruddin Al Albani, “Silsilah al-hadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah”, (Riyad:
Dar Al Ma’arif, 1992), juz. 8, h. 304.
2. Dakhil al-Naqli berupa menafsirkan Alquran dengan qaul sahabat yang
dhaif.

Ditemukan enam ayat yang terdapat penafsiran menggunakan qaul sahabat yang
dhaif dalam tafsir Al-Thabari, yaitu pada penafsiran Alquran surat al-Baqarah ayat
60, surat al - A’raf ayat 107 dan ayat 133, surat Taha ayat 20 dan ayat 22, dan
surat al - Shu’ara ayat 32-33. Berikut penjelasannya: a. Dakhil al-Naqli QS. Al-
Baqarah [2]: 60

‫ت ِم ْنهُ ْاثنَتَا َع ْش َرةَ َع ْينًا قَ ْد َعلِ َم‬


ْ ‫ك ْال َح َج َر فَا ْنفَ َج َر‬ َ ‫َوإِ ِذ ا ْستَ ْسقَى ُمو َسى لِقَوْ ِم ِه فَقُ ْلنَا اضْ ِربْ بِ َع‬
َ ‫صا‬
ِ ْ‫ق هَّللا ِ َواَل تَ ْعثَوْ ا فِي اأْل َر‬
َ‫ض ُم ْف ِس ِدين‬ ٍ ‫ُكلُّ أُنَا‬
ِ ‫س َم ْش َربَهُ ْم ُكلُوا َوا ْش َربُوا ِم ْن ِر ْز‬
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami
berfirman, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!" Maka memancarlah
daripadanya dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya
(masing-masing). Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan
janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.”
Al-Tabari dalam menafsirkan ayat ini menukil riwayat dari Mujahid, adapun
riwayat tersebut sebagai berikut: “Al-Qasim menceritakan kepada kami, katanya:
Al Husein menceritakan kepada kami, katanya: Hajjaj menceritakan kepadaku
dari Ibnu Juraij dari Mujahid tentang firman Allah: ‫ ِهۦ‬¢‫“ ِوإ ِذ ْٱستَ ْسقَ ٰى ُمو َس ٰى لَقوْ ِم‬Dan
(ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya,” dia berkata: mereka takut
kehausan ketika sedang kebingungan di padang Tiih, maka memancarlah untuk
mereka dua belas mata air dari batu yang dipukul Musa. Ibnu Juraij mengatakan
bahwa Ibnu Abbas berkata: al asb Al adalah anak-anak Yaqub, mereka berjumlah
dua belas orang laki-laki, tiap-tiap mereka memiliki sejumlah suku dan
keturunan.”15
Riwayat ini ditahqiq oleh Islam Mansur Abdul Humaid, beliau menyatakan
bahwa riwayat ini dhaif dikarenakan Ibnu Juraij adalah seorang perawi tsiqoh, tapi
mudalis karena belum pernah menerima Hadith dari Mujahid dan Ibnu Abbas,
selain itu sanad dari riwayat ini adalah dhaif karena terdapat Al-Husein bin Daud

15
Denu Rahmad. Mujiyo. Ibrahim Syuaib, Dakhil Al-Naqli, h. 88
Al-Mushishi yang mana ia mengklaim telah menerima riwayat dari gurunya
AlHajjaj, yang mana ini adalah suatu kelemahan.
3. Dakhil al-Naqli berupa menafsirkan Alquran dengan qaul tabi’in yang
dhaif .
Ditemukan tujuh ayat yang terdapat penafsiran menggunakan qaul tabi’in yang
dhaif dalam tafsir Al-Thabari, yaitu pada penafsiran Alquran surat al - A’raf ayat
108 dan ayat 130, surat al-Isra ayat 101, surat Taha ayat 20, surat al-Naml ayat 10
dan ayat 12, dan surat al - Qasas ayat 32. Berikut penjelasannya:
Dakhil al-Naqli QS. Al - A’raf [7]: 108
َ‫ضا ُء لِلنَّا ِظ ِرين‬
َ ‫َونَ َز َع يَ َدهُ فَإ ِ َذا ِه َي بَ ْي‬
“Dan dia mengeluarkan tangannya, tibatiba tangan itu menjadi putih
(bercahaya) bagi orang-orang yang melihatnya.”
Al-Thabari menukil riwayat Mujahid dalam menafsirkan ayat ini, riwayat
tersebut yaitu:
“Al-Harits menceritakan kepadaku, ia berkata: Abdul Aziz menceritakan
kepada kami, ia berkata: Abu Sa’ad menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku
mendengar Mujahid berkata, tentang ayat, “Dan ia mengeluarkan tangannya,” ia
mengatakan: Nabi Musa mengeluarkan tangannya dari dalam kantongnya. “Maka
ketika itu juga tangan itu menjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang
yang melihatnya.” Nabi Musa adalah seorang manusia biasa, seperti manusia lain.
Namun ketika ia mengeluarkan tangannya dari dalam kantongnya, seketika itu
juga tangannya putih berkilau, lebih putih daripada susu. “Tanpa cacat.” (QS.
Thaahaa [20]: 22) Ia mengatakan: Tanpa ada penyakit kusta, sebagai bukti
terhadap Fir’aun.”
Penafsiran al-Thabari menggunakan riwayat Mujahid di atas termasuk
Dakhil al-Naqli yang kelima, sebagaimana kaidah Dakhil al-Naqli kelima:
Menafsirkan Alquran dengan pendapat tabi’in yang tidak valid, seperti
menafsirkan Alquran dengan Hadith mursal yang palsu atau sanadnya dhaif .16
4. Dakhil al-Naqli berupa menafsirkan Alquran dengan Israiliyat tabi’in.

16
Syuaib, “Metodologi Kritik Tafsir al-Dakhil fî al Tafsir”, h. 21
Ditemukan satu ayat yang terdapat penafsiran menggunakan Israiliyat tabi‟in
dalam tafsir Al-Thabari, yaitu pada penafsiran Alquran surat al - Shu’ara ayat 63.
Berikut penjelasannya:
‫ق َكالطَّوْ ِد ْال َع ِظ ِيم‬ َ َ‫صاكَ ْالبَحْ َر فَا ْنفَل‬
ٍ ْ‫ق فَ َكانَ ُكلُّ فِر‬ َ ‫فَأَوْ َح ْينَا إِلَى ُمو َسى أَ ِن اضْ ِربْ بِ َع‬
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa, "Pukullah laut itu dengan tongkatmu."
Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar.”
Israiliyat tabi’in yang dinukil al-Thabari dalam tafsirnya termasuk Dakhil
al-Naqli keenam. Sebagaimana kaidah Dakhil al-Naqli keenam: Menafsirkan
Alquran dengan Hadith mursal yang matannya mengenai Israiliyat, sekalipun
Hadith mursal itu sesuai dengan Alquran dan Hadith sahih, selama ia tidak
diperkuat oleh sesuatu yang mengangkatnya ke posisi Hadith hasan li ghairih.17
5. Dakhil al-Naqli berupa menafsirkan Alquran dengan qaul tabi’in yang
bertentangan dengan qaul sahabat.

Ditemukan satu ayat yang terdapat penafsiran menggunakan qaul tabi’in yang
bertentangan dengan qaul sahabat dalam tafsir al-Tabari, yaitu pada penafsiran
Alquran surat al - A’raf ayat 133. Berikut penjelasannya:

Penafsiran Asil terhadap ayat ini telah dibahas sebelumnya. Al-Thabari


menukil riwayat Qatadah dalam menafsirkan makna ‫ القُ َّم َل‬, menurutnya ‫ القُ َّمل‬makna
adalah ‫ َّدبي‬¢¢‫( ال‬anak-anak belalang). Adapun riwayat Qatadah tersebut sebagai
berikut:

“Muhammad bin Abdul A’la menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad


bin Tsaur menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu’ammar menceritakan
kepada kami dari Qatadah, ia berkata, “‫ القُ َّمل‬adalah , sedangkan ‫ ال َّدبي‬adalah
anak-anak belalang”.

Islam Mansur Abdul Humaid mentahqiq riwayat ini, beliau mengatakan


riwayat ini shahih. Penggunaan riwayat Qatadah dalam menafsirkan ayat ini
bertentangan dengan riwayat shahih lainnya, yaitu riwayat Ibnu Abbas yang
menyatakan bahwa makna ‫ القُ َّمل‬adalah kutu yang keluar dari gandum.

17
Syuaib, “Metodologi Kritik Tafsir al-Dakhil fî al Tafsir”, h. 22
Penafsiran Asil terhadap ayat ini telah dibahas sebelumnya. Al-Thabari
menukil riwayat Qatadah dalam menafsirkan makna , menurutnya makna adalah
(anak-anak belalang).18

E. Kesimpulan
Isra’iliyat adalah bentuk plural dari kata Isra’iliyat, yaitu semua kisah atau
peristiwa yang diriwayatkan dari sumber Bani Israil. Isra’iliyat dinisbahkan
kepada Bani Israil yaitu Ya’qub yang bermakna hamba Allah. Isra’iliyat adalah
cerita-cerita dan kisah-kisah yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani, penafsiran
yang tidak mempunyai dasar sama sekali baik berupa hadis- hadis daif dan
maudu’, ta’wil yang bathil maupun hayalan-hayalan penafsir masa kini yang
disusupkan masuk kedalam tafsir dan hadis.
Materi isra’iliyat dalam tafsir al-Thabari dapat diklasifikasikan menjadi tiga
bagian yaitu:
1. Isra’iliyat yang sejalan dengan Islam seperti riwayat isra’iliyat yang
menceritakan tentang sifat-sifat Nabi Muhammad saw.
2. Isra’iliyat yang tidak sejalan dengan Islam seperti riwayat isra’iliyat yang
menggambarkan hasrat Nabi Yusuf kepada Zulaikha’, isra’iliyat yang
menyatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq (bukan Ismail) dan isra’iliyat
yang menjelaskan bahwa permohonan Nabi Zakariya untuk diberi tanda karena
tidak dapat membedakan antara panggilan setan dengan panggilan Allah swt.
3. Isra’iliyat yang tidak masuk pada bagian pertama dan bagian kedua
(Mauquf).
Ada lima bentuk ad-Dakhil al-Naqli diantaranya yaitu:
1. Dakhil al-Naqli bentuk pertama, terdapat pada Alquran surat al - A’raf [7]: 133.
2. Dakhil al-Naqli bentuk kedua, terdapat pada Alquran surat al-Baqarah [2]: 60,
surat al - A’raf [7]: 107, 133, surat Taha [20]: 20, 22, dan surat Al - Shu’ara [26]:
32-33.

18
Syuaib, “Metodologi Kritik Tafsir al-Dakhil fî al Tafsir”, h. 26.
3. Dakhil al-Naqli bentuk kelima, terdapat pada Alquran surat al - A’raf [7]: 108,
130, surat al-Isra [17]: 101, surat Taha [20]: 20, surat an-Naml [27]: 10, 12, dan
surat al Qasas [28]: 32.
4. Dakhil al-Naqli bentuk keenam, terdapat pada Alquran surat Al - Shu’ara [26]:
63.
5. Dakhil al-Naqli bentuk kesembilan, terdapat pada Alquran surat al - A’raf [7]:
133.

Daftar Pustaka

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. “Silsilah al-hadits al-Dha’ifah wa al-


Maudhu’ah”. Riyad: Dar Al Ma’arif, 1992
Amarudin, “Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya Ath-
Thabari”, Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, 2014
Denu Rahmad. Mujiyo. Ibrahim Syuaib. “DAKHIL AL-NAQLI DALAM TAFSIR
AL-THABARI PADA PENAFSIRAN TENTANG MUKJIZAT NABI MUSA A.S”,
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an. 2017
Dzahabi, Muhammad Husein. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. alih bahasa: Nabhani
Idris, Jakarta: Kalam Mulia. 2010.
Mahmud, Basri. “ISRA’ILIYAT DALAM TAFSIR AL-THABARI”, Jurnal Al-
Munzir Vol. 8, No. 2. 2015
Syuaib Z, Ibrahim. Metodologi Kritik Tafsir al-Dakhil fi al-Tafsir. Bandung:
Fakultas Ushuluddin UIN SGD, 2008.

Anda mungkin juga menyukai