Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi manusia untuk kebahagiaan dunia dan akhirat,
maka tidak heran jika terdapat berbagai macam petunjuk baik tersirat maupun tersurat yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan di dalamnya. Al-Qur’an mengandung berbagai macam hal
yang jika sungguh-sungguh dipahami secara benar dan tepat dapat membantu melakukaan
susunan dunia yang penuh akan makna. Mayoritas manusia memahami bahasa al-Qur’an ala
kadarnya, namun para ilmuwan akan mendapat makna yang tidak terjangkau oleh kebanyakan
orang melalui renungan dan analisis yang mereka lakukan.
Telah banyak ilmuan yang membahas tentang susunan ayat al-Qur’an yang menyentuh
kehidupan dan alam semesta, tentang keajaiban alam semesta, matahari, bintang, bulan dan
angkasa raya, serta tentang bumi dan seluruh isinya. Pembahasan tersebut telah menjadi topik
pembicaraan para ilmuwan sejak berates-ratus tahun yang lalu, untuk menyingkap rahasia dan
hakikat apa yang sebenarnya terkandung dalam bahasa al-Qur’an.1
Berkenaan dengan hal di yang telah disebutkan di atas, telah banyak para mufassir yang
berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan pengetahuan Sains sesuai dengan pemikiran
yang mereka miliki. Salah satu nama besar di kalangan para mufassir yang menafsirkan ayat
al-Qur’an yang menjurus pada pengetahuan sains adalah Syekh Thanthawi Jauhari dalam
karyanya kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Beliau adalah kalangan mufassirun
pada abad modern yang menafsirkan ayat al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan yang
lebih menjurus pada pengetahuan sains. Beliau menunjukkan bahwa pengetahuan sains pada
hakikatnya adalah merujuk pada al-Qur’an, beliau menunjukkan bahwa al-Qur’an selain
menjadi rujukan sumber agama, amal ibadah, dan hukum juga menjadi sumber rujukan bagi
pengetahuan sains.2
Menurut Thanthawi Jauhari, agama dan ilmu adalah dua induk yang menyatu. Agama
dapat diperoleh dengan indra pendengaran (telinga), penyaksian alam semesta yang dapat
diperoleh dengan melalui indra penglihatan (mata), sedangkan akal fikiran merenungkan hasil
keduanya. Sebab itu, Thanthawi Jauhari memberikan sentuhan ilmiah dalam penafsirannya
1
Siti Nur Khasanah, “Penafsiran Syaikh Tantawi Jauhari Terhadap Ayat-Ayat Kosmologi Dalam Kitab Al-Jawahir Fi
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Skripsi (Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2015) Hal. 1
2
Siti Nur Khasanah, “Penafsiran Syaikh Tantawi Jauhari Terhadap Ayat-Ayat Kosmologi Dalam Kitab Al-Jawahir Fi
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Hal. 4-5
1
dengan maksud untuk memperkaya kandungan al-Qur’an, sehingga manusia benar-benar
dituntut untuk memikirkan penciptaan dan keajaiban pencipta-Nya.3
Tafsir Al-Jawahir telah dianggap menjadi kitab tafsir pertama yang bercorak ilmi secara
keseluruhan. Sehingga sangat layak menjadi rujukan untuk mempelajari dan memahami
makna dari ayat-ayat kauniyah. Maka tulisan ini ingin sedikit memaparkan tentang tafsir Al-
Jawahir beserta dengan pengarangnya (Thanthawi Jauhari).
Objek Penelitian
Thantawi Jauhari (Kitab Tafsir Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim)
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana biografi Thanthawi Jauhari?
2. Bagaimana kondisi sosial pada masa Thanthawi Jauhari?
3. Apa saja karya-karya Thanthawi Jauhari?
4. Bagaimana metodologi penafsiran “Tafsir Al-Jawahir”?
5. Bagaimana pemikiran Thanthawi Jauhari?
6. Bagaimana substansi ayat-ayat yang dikemukakan dalam tafsir Al-Jawahir?
Metode Penelitian
Metode penelitian dalam makalah ini, kami menggunakan lima metode yaitu:
Manhaj/metode penafsiran,
Thoriqoh/sistematika penafsiran
Itijah (arah) penafsiran,
Laun/corak penafsiran
Karakteristik Tafsir Al-Jawahir
Pemikiran Thanthawi Jauhari
Substansi penafsiran
2 ayat pertama pada surat Al-Fatihah
Surat An-Nahl ayat 15
3
Wafiqah Siti Nur Jannah, “Konsep Berpikir Menurut Thantawi Jauhari: Analisis Kata Fakkara dan Dabbara dalam
karayanya Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Skripsi (Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung, 2018). Hal. 3
2
B. Biografi Thanthawi Jauhari
Thanthawi Jauhari dilahirkan di desa Kifr ‘Iwadiflah tahun 1287 H/ 1870 M, sebuah
desa yang terletak di sebelum timur kota Mesir. Adapun kondisi sosial ekonomi desa
tersebut berjalan sebagaimana layaknya desa sekitar kota Mesir, begitu juga aktifitas yang
dilakukan oleh penduduknya, yaitu dengan bekerja keras membanting tulang untuk
mencukupi kehidupan mereka masing-masing. Di antara mata pencarian yang menonjol
pada saat itu adalah profesi sebagai petani. Thanthawi Jauhari dilahirkan dari sebuah
keluarga petani, sehingga aktifitas masa kecilnya sering membantu orang tuanya sebagai
petani. Ia wafat pada tahun 1358 H/ 1940 M.4
4
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Skripsi (Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang). Hal. 61
5
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Hal. 62-63
6
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Hal. 63
3
harian Al-Liwa’, ia telah menulis tak kurang dari 30 judul buku sehingga dirinya dikenal
sebagai tokoh yang menggabungkan dua peradaban, yaitu agama dan perkembangan
modern.7
7
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syekh Thanthawi Jauhari” Jurnal
(IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, Aceh, Jurnal At-Tibyan Vol. I No. I Januari-Juni 2016). hal. 101.
8
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syekh Thanthawi Jauhari”. Hal.
101
9
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syekh Thanthawi Jauhari”. Hal.
101
10
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Hal. 66
4
modern, sementara kebudayaan Arab tengah mengalami kemunduran. Secara garis besar
terdapat tiga kecenderungan pemikiran yang muncul ketika itu. Pertama, The Islamic Trend
(Kecenderungan pada Islam). Aliran ini diwakili oleh Rasyid Ridha dan Hasan Al-Banna.
Kedua, The Syintetic Trend (kecenderungan mengambil sintesa). Aliran ini diwakili oleh
Muhammad Abduh dan Qasim Amin. Ketiga, The Rational Secientific and Liberal Trend
(Kecenderungan rasional ilmiah dan pemikiran bebas). Titik pangkal pemikiran ini sebenarnya
bukanlah Islamis, melainkan peradaban Barat dan prestasi-prestasi ilmiahnya. Aliran ini
diwakili oleh Lutfi as-Sayyid dan para imigran Syiria yang lari ke Mesir.11
Tidak kurang dari 30 yang sudah beliau tulis. Bahkan sebagian karya beliau sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. Di antara karya-karya beliau adalah:
11
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Hal. 67
12
Silvinatin Al-Masithah, “Teleportasi Dalam Al-Qur’an: Studi Tematik Dalam Tafsir Tantawi Jauhari” Tesis
(Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015). Hal. 29-31
5
berisi himpunan ayat-ayat kauniyah sebagai mutiara yang di dalamnya mengandung isyarat
ilmiah dan penggalian segala ilmu pengetahuan (intan) berkilauan. Pandangan tersebut dapat
dipahami dalam rumusan singkat yang tercantum dalam judul kecil tafsirnya “al-Musytamil
‘ala ‘Ajaib Badai al-Mutakawwanat wa Gharaib al-Ayat al-Bahirat”.13 Pada tahun 1922 M,
yaitu ketika Syekh Thanthawi al-Jauhari berumur 60 tahun, beliau memulai menulis kitab tafsir
ini dengan corak ‘ilmy ini. Beliau mengerjakannya selama 13 tahun hingga tahun 1935 M.14
Beliau merasa tidak puas ketika melihat kondisi umat Islam yang hanya fokus dalam
kajian fiqh atau tauhid dalam penafsirannya. Umat Islam pada masanya cenderung tidak
memerhatikan fenomena alam dan keilmuan lain selain fiqh dan tauhid. Beliau menginginkan
agar umat Islam tidak tertinggal dari orang-orang Barat, dan agar umat Islam mau
memerhatikan alam semesta, yang di mana Allah pun telah menyuruh manusia agar
memerhatikan ayat-ayatnya dalam hal mengenai alam semesta.16
Selanjutnya faktor lain yang memotivasi Thanthawi untuk menulis tafsirnya adalah
bahwa menurut Thanthawi terdapat 750 ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang ilmu
pengetahuan sementara ayat-ayat yang menjelaskan tentang fiqh hanya terdapat 150 ayat.
Dengan porsi yang besar selayaknya para ilmuan Muslim lebih banyak mendalami ayat tentang
ilmu pengetahuan. Thanthawi mengajak umat Islam bangkit dari keterpurukannya, ia selalu
membangkitkan semangat umat Islam untuk selalu mempelajari ayat-ayat yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan demi kejayaan dan kebangkitan umat Islam dalam peradaban
keilmuan dan pengetahuan.17 Kitab Tafsir Al-Jawahir disebut monumental karena mencoba
13
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syekh Thanthawi Jauhari”. Hal.
102
14
Siti Fatihatul Ulfa, “Semut Dalam Al-Qur’an: Studi Penafsiran Thantawi Jauhari Dalam Tafsir Al-Jawahir”, Skripsi
(Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2018) Hal. 58
15
Thantawi Juhari, “Al-Jawahir fi Tafir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 2
16
Siti Fatihatul Ulfa, “Semut Dalam Al-Qur’an: Studi Penafsiran Thantawi Jauhari Dalam Tafsir Al-Jawahir”. Hal. 58
17
Mohammad Subhan, “Ayat-Ayat Tentang Air Dalam Al-Qur’an: Studi Tematik Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-
Karim Karya Tantawi Jauhari”, Tesis (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016). Hal. 40-43
6
membangunkan pola pikir umat Islam dari pemikirannya yang statis (klasik) kepada pemikiran
yang lebih terbuka sesuai dengan tuntunan zaman (modern).18
Tafsir al-Jawahir ditulis sebanyak 13 jilid atau 26 juz. Kemudian dilihat dari cara
penafsirannya, tafsir ini dijelaskan oleh Thantawi dengan sangat runtut dan secara detail.
Maka dapat disimpulkan bahwa Thanthawi dalam tafsirnya ini menggunakan metode tahlili
(analitis), yang menyusun tafsir berdasarkan urutan mushaf secara luas.19
Tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud untuk menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun rapi di dalam mushaf. Penafsir
memulai uraiannya dengan mengemukakan arti arti kosa kata diikuti dengan penjelasan
mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (kolerasi) ayat-ayat serta
menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Pada intinya, segala hal
yang bertautan dengan al-Qur’an bisa dimasukkan dalam tafsir, dan penafsirannya runtut
dan rinci.20
Dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggunakan bentuk bi al-ra’yi. Karena dalam
menafsirkan suatu ayat, Thanthawi murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan
kemampuan dia selain ahli sebagai seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan
biologi. Hal ini dapat terlihat, ketika dia menafsirkan penciptaan manusia dari ‘alaq, beliau
murni menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai
seorang mufassir.21
7
untuk menjelaskan kepada seluruh masyarakat muslim ataupun non muslim bahwa al-
Qur’an relevan dengan perkembangan sains tersebut.22
Dalam tafsir ini banyak menggunakan riwayat-riwayat hadis dalam memperkuat dan
mendukung penafsirannya. Penggunaaan riwayat tersebut banyak ditemukan dalam
berbagai tempat dan halaman tafsirnya, baik dalam masalah teologi, hukum, akhlak maupun
dalam penafsiran saintifik.23
22
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syekh Thanthawi Jauhari”. Hal.
106
23
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syekh Thanthawi Jauhari”. Hal.
106
24
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syekh Thanthawi Jauhari”. Hal.
106
25
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Hal. 77
8
d. Memberikan penjelasan lafaz (al-tafsir al-lafzi) atau penjelasan kosa kata, struktur
bahasa dan gramatikanya secara ringkas, kemudian memasukan syarh, penjelasan dan
penelitian. Dengan kata lain ia merancang secara luas disiplin keilmuan modern yang
beragam. Sehingga kitabnya diberi nama Al-Jawahir (Mutiara).26
26
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Hal. 77
9
e. Mengemukakan al-Lathifah (pesona tersembunyi), manakala ayat yang ditafsirkannya
berkaitan dengan ayat kauniyah, ia memuat penjelasan al-Lathifah tersebut dengan
relatif panjang lebar dan beragam mengenai ilmu alam.27
27
Andi Rosa, “Tafsir Kontemporer: Metode dan Orientasi Modern dari Para Ahli dalam Menafsirkan Ayat Al-
Qur’an”, (Serang: DepdikbudBantenPress, 2015). Hal. 76
28
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syekh Thanthawi Jauhari”
Jurnal (IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, Aceh, Jurnal At-Tibyan Vol. I No. I Januari-Juni 2016). hal. 105.
10
g. Mengadopsi pendapat-pendapat Ulama Barat dan Timur untuk menjelaskan kepada
Umat Muslim dan non muslim, sesungguhnya al-Qur’an al-Karim sebelumnya telah
membahas masalah ini.
h. Dalam tafsirnya ia memasukan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan secara ilmiah
dan disesuaikan kepada al-Qur’an. Maka penafsirannya mencakup pemikiran ulama
terdahulu dan sekarang, serta bersepakat antara pakar hadis dan para pemikir agama.
i. Kadang-kadang Thanthawi Jauhari memasukkan penjelasan dari kitab Injil Barnabas.29
Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, terdiri dari tiga belas jilid, dua puluh
enam juz dengan isi surat tiap jilid adalah sebagai berikut:
29
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Hal. 78-78
11
11 6 11 Al-Hajj, Al-Mu’minun
12 6 12 Al-Nur, Al-Furqan
13 7 13 Al-Syu’ara, Al-Naml
14 7 14 Al-Qasas, Al-‘Ankabut
15 8 15 Al-Rum, Luqman, Al-Sajdah
16 8 16 Al-Ahzab, Saba
17 9 17 Fathir, Yasin
18 9 18 Al-Shaffat, Sad, Al-Zumar
18 10 19 Al-Mu’min, Hamim al-Sajdah
20 10 20 Al-Syura, Al-Zukhruf
21 11 21 Al-Dukhan, Al-Jasiyah, Al-Ahqaf, Muhammad
22 11 22 Al-Fath, Al-Hujurat
23 12 23 Qaf, Az-Zariyat, Al-Thur, Al-Najm, Al-Qamar
24 12 24 Al-Rahman, Al-Waqi’ah, Al-Hadid, Al-Mujadilah, Al-Hasyr, Al-
Mumtahanah, Al-Shaff, Al-Jumu’ah, Al-Munafiqun, Al-Taghabun,
Al-Talaq, Al-Tahrim, Al-Mulk, Al-Qalam, Al-Haqqah, Al-Ma’arij,
Nuh, Al-Jinn, Al-Muzammil, Al-Mudatstsir, Al-Qiyamah, Al-Dahr,
Al-Mursalat
25 13 25 Al-Naba, Al-Nazi’at, Abasa, Al-Takwir, Al-Infithar, Al-Muthaffifin,
Al-Insyiqaq, Al-Buruj, Al-Thariq, Al-A’la, Al-Ghasyiyah, Al-Fajr,
Al-Balad, Al-Syams, Al-Layl, Al-Dhuha, Al-Insyirah, Al-Thin, Al-
‘Alaq, Al-Qadr, Al-Bayyinah, Al-Zalzalah, Al-‘Adiyat, Al-Qari’ah,
Al-Takatsur, Al-Ashr, Al-Humazah, Al-Fiil, Al-Quraisy, Al-Ma’un,
Al-Kautsar, Al-Kafirun, Al-Nasr, Al-Lahab, Al-Ikhlas, Al-Falaq, Al-
Nas
26 13 26 Mulhaq Juz Awal
3. Ittijah/Pandangan Madzhab
12
Jika dilihat dari pembahasan tafsirnya tentang Shoum (puasa), Thanthawi lebih
condong kepada madzhab Syafii. Namun ini tidak bisa menjadi alasan yang kuat, karena
penafsir kontemporer biasanya tidak bertaklid dalam madzhab begitupun dengan
teologinya. Sama halnya dengan Muhammad Abduh, Thanthawi banyak terpengaruh
dengan pemikiran Muhammad Abduh, terutama pandangan untuk mengadakan reformasi
masyarakat menyerang bid’ah, wahm dan taklid.
Tafsir al-Jawahir memiliki corak sesuai dengan latar belakang ditulisnya tafsir
tersebut. Bahwa tafsir tersebut bercorak ilmi atau dengan kata lain, tafsir tersebut ingin
menyingkap keajaiban-keajaiban ayat-ayat al-Qur’an dengan temuan-temuan ilmu
pengetahuan. Tafsir ilmi juga didefinisikan dengan pemanfaatan teori-teori ilmu
pengetahuan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun, Thanthawi
Jauhari dalam tafsirnya mencantumkan pembahasan soal akhlak, hukum, ilmu-ilmu al-
Qur’an, aqidah dan lainnya, akan tetapi disebut sebagai tafsir ilmi karena dominasi tafsir
tersebut memang bersifat menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah.
13
Bahkan untuk memperjelas penafsirannya beliau mencantumkan gambar-gambar dan table-
tabel yang berkaitan dengan teori yang dikutip dalam tafsirnya.30
30
Fajar Islami Human, “Makna Kata Adna Dan Khayr Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 61 Menurut Tantawi Jauhari Dan
Fakhr Al-Din Al-Razy”, Skripsi (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampe Surabaya,
2018). Hal. 45
14
5. Karakteristik Tafsir al-Jawahir
Secara metodologi penafsiran, banyak menekankan pada analisis spirit dan pandangan
dunia al-Qur’an, terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat kauniyah. Bisa dilihat dari
cara penafsirannya yang tidak banyak melakukan analisis kebahasaan, serta analisis
konteks sosial-kulturalnya.
Dari metode penafsiran di atas memberikan karakteristik ilmiah (saintifik) dan
dikarenakan hal tersebut Thanthawi banyak merujuk pada pemikiran dan karya filosof
klasik-modern, muslim-non muslim, dan juga hasil-hasil penelitian para ilmuan Barat
modern, bahkan Injil sekalipun.
Tidak banyak terlibat dalam perdebatan teologis, fiqhiyah ataupun kebahasaan.
Memberikan gambaran yang transparan atas fakta-fakta ilmiah kepada pembaca
dengan meletakkan ilustrasi gambar-gambar, tumbuhan, hewan, pemandangan alam,
eksperimen ilmiah, peta serta table ilmiah.31
G. Substansi
للا
ّ بسم
Menurut Thanthawi, penyebutan nama Allah di awal kalimat merupakan bentuk motivasi
kepada manusia supaya dalam setiap pekerjaannya selalu menyandarkan diri hanya kepada-
Nya. Sebab, Allahlah yang memberikan segala nikmat kepada manusia dan hanya lantaran
pertolongan-Nyalah manusia dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Setiap aktivitas yang
didahului dengan membaca basmalah dapat mendatangkan keberkahan. Untuk potongan ayat
ini, Thanthawi hanya memberikan penafsiran yang terbatas.
31
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syekh Thanthawi Jauhari”. Hal.
107
15
الرحمن الرحيم
Dalam menafsirkan potongan ayat ini, Thanthawi memiliki perspektif yang berbeda
dibandingkan ulama pada umumnya. Sebagian besar ulama mengaitkan kata (Yang Maha
Pengasih) dengan kasih sayang Allah kepada semua makhluk semasa didunia, baik orang
mukmin maupun orang kafir, sedangkan kata (Yang maha Penyayang) terkait dengan kasih
sayang Allah yang hanya diberikan kepada orang mukmin di akhirat kelak.
Adapun menurut Thanthawi, kata (Yang Maha Pengasih) menunjuk kepada kasih sayang
Allah terhadap manusia atas rahmat-Nya yang bersifat besar, seperti langit, bumi, kesehatan,
dan akal, sedangkan kata (Yang Maha Penyayang) menunjuk kepada kasih sayang Allah
terhadap manusia atas rahmat-Nya yang bersifat halus, seperti adanya bulu-bulu lentik di
sekeliling mata untuk melindunginya dari gangguan debu, memancarnya cahaya dari cela-cela
mata untuk menangkap segala bayangan benda yang disinarinya, dan sebagainya. 32
Menurut Thanthawi, banyak di antara manusia yang lalai memperhatikan rahmat allah
yang bersifat halus ini, baik di dalam diri mereka maupun di alam semesta. Untuk memperkuat
pernyataannya, Thanthawi mengutip contoh menarik yang ditunjukkan oleh Prof. Dr. Myle
Edward, yang menurutnya ada sejenis binatang yang disebut “Exylow Coobe”, yang hanya
hidup di musim bunga dan selesai bertelur langsung mati.33
Untuk mengetahui peran rahmat Allah terhadap binatang ini dapat diperhatikian
prosesnya berikut: Allah mengilhamkan kepada binatang ini untuk membuat suatu tempat
sebelum ia bertelur. Ia pun membuat lubang di sebuah batang kayu. Kemudian ia
mengumpulkan mayang-mayang bunga dan dedaunan yang mengandung zat gula untuk
mengisi lubang yang telah dibuatnya. Setelah itu, ia mengumpulkan serbuk kayu untuk
dijadikan atap pada sarangnya, lalu ia bertelur di dalamnya. Untuk apa binatang ini
mengumpulkan mayang-mayang bunga dan dedaunan sebelum bertelur? Ternyata, semua itu ia
persiapkan sebagai bahan makanan bagi calon anaknya selama satu tahun. Sebab, selama waktu
itu, calon anaknya belum mampu untuk mengusahakan makanannya sendiri. Demikianlah cara
binatang ini mengembangkan keturunannya secara berkesinambungan.
Pertanyaannya, Dari manakah binatang ini mendapatkan ide sedemikian brilian dalam
mengatur hidupnya dan anak-anaknya? Padahal ia tidak memiliki akal? Disinilah peran rahmat
Allah sangat tampak. Dia tidak hanya memelihara makhluk yang telah diciptakan, tetapi juga
makhluk yang akan diciptakan, yaitu dengan mengilhamkan kepada induk binatang itu untuk
mengumpulkan makanan yang sekiranya cukup untuk memenuhi kehidupan anak-anakanya
selama setahun.
32
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 3-4
33
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim ”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 4
16
Selain itu, Thanthawi juga memaparkan contoh keajaiban lain yang terkait dengan sifat
rahim Allah kepada binatang lainnya, seperti lebah, semut dan laba-laba. Penjelasan lebih lanjut
adalah sebagai berikut:
a. Lebah
Setiap pagi hari, Allah membukakan satu jenis bunga supaya sarinya dihisap oleh
lebah. Kemudian sari bunga itu dibawa oleh lebah ke sarangnya. Allah memberikan ilham
(isyarat) kepada lebah bahwa pada waktu itu tiada bunga jenis lain yang terbuka, kecuali
yang sejenis dengan bungan yang telah dihisapnya. Ini di antara rahmat Allah kepada
lebah.34
b. Semut
Di antara rahmat Allah yang mengagumkan bagi “semut” adalah adanya suatu
binatang yang bernama “Aphis” (kutu daun). Binatang ini selalu dimusuhi oleh semut.
Setiap kali binatang ini kalah, ia ditawan oleh semut. Ia dipelihara dengan baik oleh semut
hingga menjadi gemuk. Apabila binatang ini telah makan dengan kenyang, amak datanglah
semut-semut untuk menghisap zat manis dari tubuhnya, tak ubahnya seperti sapi perahan
yang susunya dibutuhkan oleh manusia.35
c. Laba-laba
Laba-laba ini diberi ilham (isyarat) oleh Allah untuk membuat jaring-jaring sebagai
rumahnya. Jaring-jaring tersebut sangat rapi, melebihi teknik jaring-jaring buatan manusia.
Para ulama mengatakan bahwa teknik pembuatan jaring-jaring laba-laba adalah petunjuk
Allah, sedangkan teknik pembuatan jaring-jaring manusia adalah usaha manusia sendiri.
Oleh sebab itu, teknik manusia kadang-kadang keliru, sedangkan teknik laba-laba tidak
akan keliur. Sedemikian bagusnya kualitas jaring laba-laba ini. Seandainya ada angin besar
atau hujan deras yang menerjang jaring laba-laba tersebut, niscaya ia tidak akan robek,
mesti angin besar terus mampu menumbangkan pohon dan meruntuhkan rumah. Lebih dari
itu, jaring-jaring tersebut dapat menjadi alat penangkap binatang lain (seperti lalat dan
nyamuk) sebagai makanannya. Sungguh semua itu merupakan rahmat Allah kepada laba-
laba.36
17
minum, dan sebagainya. Tujuannya adalah agar mereka selalu mengingat dan
mengagungkan Allah atas rahmat yang diberikan-Nya.37
الحمد ّلل
Dalam menafsirkan ayat ini, Thanthawi berupaya mengaitkan antara lahirnya pujian
(syukur) dengan faktor-faktor yang menyebabkannya. Menurutnya, karakter manusia
cenderung memberikan pujian kepada seseorang yang telah berjasa kepadanya. Misalnya,
seorang anak akan berterima kasih kepada kedua orang tuanya atas asuhan dan didikan yang
telah mereka curahkan kepadanya, seorang siswa akan berterima kasih kepada gurunya atas
curahan ilmu yang telah diberikan kepadanya, dan sebagainya.39
Menurut Thanthawi, secara garis besar, rahmat yang diturunkan Allah kepada manusia
terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Rahmat dari sisi manusia, seperti para nabi, kedua orang tua, para ulama, para pahlawan,
dan para dermawan.
2. Rahmat dari selain manusia, seperti pancaran sinar matahari, turunnya hujan dari langit,
mengalirnya air di sungai, pemandangan yang indah, dan cahaya bintang gemintang.40
Kedua jenis rahmat tersebut sama-sama bersumber dari Allah semata. Karenanya, sudah
barang tentu pujian dan sanjungan hanya ditujukan kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.
Logika yang dibangun Thanthawi adalah jika kepada para nabi, kedua orang tua, dan para
guru, manusia diwajibkan untuk berterima kasih, maka kepada Allah tentu lebih wajib lagi.
Sebab, Dialah yang memberikan semua rahmat tersebut. Begitu juga, apabila manusia merasa
berterima kasih atas turunnya hujan, mengalirnya air sungai, dan adanya sinar matahari,
maka ia harus mengalamatkan terima kasih tersebut kepada Allah swt., karena Dialah yang
menjadi sumber adanya rahmat tersebut.
Thanthawi juga memberikan penafsiran yang menarik terhadap ayat ini. Menurutnya,
menetapkan pujian hanya kepada Allah merupakan titik tolak terwujudnya kemerdekaan dan
persamaan derajat manusia, sekaligus dapat menghapus tradisi Arab Jahiliah yang suka
memuja para raja dan dermawan secara berlebihan. Menurut Thanthawi, telah menjadi tradisi
bangsa Arab yang turun-temurun bahwa pernyataan seorang penyair memiliki pengaruh
37
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 4
38
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 5
39
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 5
40
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 5
18
besar terhadap jiwa dan kehidupan mereka. Suatu kabilah (suku bangsa) yang dahulunya
dipandang rendah dan hina oleh kabilah lainnya dapat diangkat menjadi kabilah yang
terkenal dan disegani berkat pujian dan sanjungan seorang penyair. Sebaliknya, suatu kabilah
yang dahulunya megah dan disegani dapat menjadi kabilah yang hina lantaran syair seorang
penyair.
"Mereka adalah suatu kaum yang (bagaikan hidung) selalu di muka, sedangkan
kaum lainnya menjadi ekor (pengikut)nya. Siapakah yang menyamakan hidung unta
dengan ekornya."
Sebelum munculnya syair ini, Bani Anfu an-naqah selalu merasa rendah diri dan
malu tampil ke depan umum. Bahkan, orang lain pun malu menyebut nama mereka. Akan
tetapi, setelah syair tersebut diucapkan, mereka menjadi megah dan terkenal. Jika seorang
ditanyakan asalnya, dengan rasa bangga ia menjawab: “Saya berasal dari Bani (suku) Anfu
an naqah.”41
فَ ََل َك ْعبًا َبلَ ْغتَ َو ََل ِك ََلبًا# ف ِإنكَ َِم ْن نُ َمي ٍْر
َ فَغُض الط ْر
Sebelum munculnya syair ini, Bani Numairi selalu merasa bangga dan suka
menyombongkan diri. Tetapi setelah tersebarnya syair ini, mereka menundukkan kepala
(merasa rendah diri) dan dipandang hina oleh lawan-lawan mereka, sehingga malu
menampakkan wajah di dalam berbagai pertemuan. Thanthawi juga menyebutkan di antara
nama-nama penyair yang terkenal saat itu, yaitu Hisan, Nabigah al-Dzibyani, dan Zuhair bin
Abi Salma. Menurutnya, ketiga penyair tersebut sering memuja para raja dan dermawan
dengan syairnya. Misalnya, Hisan yang sering memuja Raja Ghassan, Nabigah al-Dzibyani
yang sering memuja Raja an-Nukman, dan Zuhair bin Salma yang sering memuja Harim bin
Sinan (seorang yang dikenal sangat dermawan). Dapat diambil contoh misalnya syair pujaan
an-Nabigah terhadap Raja an-Nukman:42
41
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 5
42
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 5-6
19
ُت لَ ْم َُي ْبد ُ َِم ْن ُهن ك َْو َكب َ ِإذَا# ُس َو ْال ُملُ ْوكُ َك َواكِب
ْ طلَ َع ٌ َكأَنكَ ش َْم
"Engkau laksana matahari, sedangkan raja-raja lain hanya bintang kecil belaka. Bila
matahari terbit, maka tiada satu bintang pun yang tampak di antara mereka".
Begitulah sekelumit contoh tradisi Arab jahiliah yang dipaparkan oleh Thanthawi, di
mana syair-syair pujian hanya tertumpuk kepada para raja dan para dermawan di antara
mereka. Karena itulah Thanthawi menegaskan bahwa turunnya surah al-Fatihah—yang di
dalamnya memuat seruan untuk mengkhususkan pujian hanya kepada Allah—dapat
membebaskan masyarakat Arab jahiliah dari kungkungan perbudakan dan menyegarkan akal
mereka dalam berpikir sehat dan tidak terikat pada pemberian makhluk yang tidak seberapa
dibandingkan pemberian Allah. Untuk mengukuhkan penafsirannya terhadap ayat ini,
Thanthawi merujuk kepada ayat lain dalam surah al-Baqarah: 200, yang berbunyi:
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada Allah,
sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari
itu…(Q.S. al-Baqarah [2]: 200)43
رُبّ العالمين
Tuhan (pendidik, pemelihara) alam semesta.
Menurut Thanthawi, Allahlah yang mendidik dan memelihara alam semesta. Bentuk
pendidikan dan pemeliharaan Allah adalah dengan meningkatkannya dari kekurangan
menuju kesempurnaan. Untuk menggambarkan bentuk pemeliharaan Allah tersebut,
Thanthawi mengemukakan beberapa yang contoh, di antaranya:
a) Biji Jagung
Menurut Thanthawi, hampir seluruh kaum muslim di segenap penjuru bumi
memakan jagung dan menyaksikan penanamannya. Akan tetapi, kebanyakan mereka
tidak mengetahui proses pemeliharaan Allah terhadap jagung tersebut. Sesungguhnya
43
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim ”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 6
20
pada setiap batang jagung ada bunga jantan di bagian atas dan bunga betina di bagian
tengahnya. Bunga jantan ini disebut dengan “malai” yang tumbuh pada ujung batang.
Pada bunga jantan itu terdapat serbuk jantan yang akan jatuh kepada bunga betina
(tongkol). Pada tongkol ini terdapat benang-benang halus yang berwarna merah muda,
yang disebut juga dengan tangkai putik (rambut jagung). Tangkai putik (benang-benang
halus) ini berongga seperti pipa, tetapi tidak dapat dilihat oleh mata kepala manusia tanpa
dibantu mikroskop. Setelah serbuk jantan jatuh kepada bunga betina, ia masuk ke dalam
rongga benang halus itu sampai bertemu dengan serbuk betina yang berada pada tongkol,
sehingga terjadilah pembuahan yang akhirnya menjadi jagung.44
b) Biji Gandum
Pada tiap-tiap biji dari setangkai gandum terdapat tiga lapis selaput pembungkus,
dan pada bagian atas selaput itu terdapat kepala putik yang menyerupai sebuah kantong
yang penuh dengan mayang seperti mayang jagung. Kantong yang terdapat pada kepala
putik itu jatuh kepada bunga betina yang merupakan bakal biji di dalam tangkai. Apabila
mayang (serbuk) jantan jatuh pada tempat biji betina, maka terjadilah biji gandum.45
c) Buah kurma
Pohon kurma mengisap segala zat halus dari dalam tanah sebagai makanan bagi
seluruh bagianbagiannya. Zat makanan itu diisapnya melalui saringan batang, kemudian
dicerna oleh pelepah (tangkai daun), dan ampasnya menjadi makanan batang, sedangkan
intinya yang lebih halus dilangsungkan ke tandan untuk dicerna (diproses). Adapun yang
lebih halus lagi dilanjutkan ke mayang, dan dari mayang dilanjutkan ke buah. Di dalam
buah, inti tersebut diproses lagi, sehingga yang paling halus menjadi daging buah yang
manis, sedangkan yang agak kasar menjadi biji yang keras. Di antara biji dengan
dagingnya yang manis ada suatu selaput halus (tipis) yang gunanya untuk membatasi
antara zat pahit dari biji dan zat yang manis. Di dalam belahan biji itu terdapat pula suatu
sumbu yang panjang, yang berfungsi untuk menyalurkan makanan ke seluruh bagian
buah.46
44
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 9
45
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 9
46
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 9
21
gangguan binatang lain. Adapun butir mutiara terdapat di dalam dagingnya. Binatang ini
berbeda dengan binatangbinatang biasa pada umumnya. Binatang pada umumnya
mencium dengan hidung, makan dengan mulut, membela diri dengan kaki dan tanduk.
Adapun binatang mutiara, ia mempunyai jaring yang halus laksana jaring nelayan yang
kokoh dengan tata susunan yang menakjubkan. Jaring itu merupakan saringan yang dapat
menahan masuknya pasir ke dalam mulutnya ketika ia menghirup udara atau menelan
makanan. Di bawah jaring itu terdapat beberapa buah mulut, dan pada setiap mulut ada
empat bibir yang dapat menerima segala makanan yang sesuai dengan keadaannya dan
menolak lainnya yang tidak sesuai. Adapun butir mutiara itu tumbuh dari kumpulan pasir
halus atau binatang yang keras, yang terpaksa masuk ke dalam rongga mulutnya,
kemudian binatang ini mengeluarkan semacam zat perekat untuk menutupinya, dan
setelah itu membeku hingga keras (membatu). Mutiara ini ada bermacam-macam; ada
yang ukurannya lebih kecil daripada biji kacang, dan ada pula yang lebih besar daripada
telur burung merpati. Biasanya, mutiara-mutiara ini dijadikan bahan perhiasan yang
sangat menarik bagi kaum wanita.47
a) Pembentukan organ tubuh manusia Manusia diciptakan dari setetes air mani (sperma)
yang di dalamnya terdapat beribu-ribu atau bahkan beratus ribu sel hidup. Ia
terpancar dari alat kelamin laki-laki dan berjalan dalam saluran alat kelamin
perempuan, lalu bertemu dengan sel telur di dalamnya. Setelah itu keduanya menyatu
menjadi satu sel. Sel itu kemudian berkembang secara berganda: 2-4-8- 16-32-64-128
dan seterusnya secara deret ukur, yang mempunyai rahasia mengagumkan menurut
ilmu hitung (arithmatika). Demikianlah perkembangannya yang cepat dan teratur
hingga umur sembilan bulan. Suatu hal yang menakjubkan bahwa perkembangan
berganda dari sel yang satu ini kemudian membentuk susunan organ tubuh yang
sangat rapi seperti urah nadi, pembuluh darah, syaraf dan otot, daging, lemak, kuku,
rambut, dan pancaindera.48
b) Pemeliharaan janin dalam rahim ibunya Allah menciptakan air susu ibu sebelum bayi
lahir. Selama pertumbuhan janin di dalam rahim, air susu ibu itu bertambah terus.
Jika hamil telah sempurna dan tiba waktunya melahirkan, maka air susu ibu pun telah
sesuai dengan umur bayinya. Pendek kata, air susu ibu terus berproses hingga
keadaannya sesuai dengan pertumbuhan kondisi bayi. Oleh karena itu, para dokter
melarang menyusukan bayi kepada orang lain, karena alat pencernaan sang bayi tidak
sesuai dengan air susunya. Para dokter mengatakan bahwa yang paling baik bagi
setiap bayi adalah air susu ibunya sendiri, karena air susunyalah yang paling sesuai
dengan perkembangan bayi itu.
47
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 10
48
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Jilid 1 Juz 1. Hal. 10-11
22
Demikianlah contoh-contoh yang disajikan Thanthawi mengenai bentuk
pemeliharaan Allah yang sangat sempurna dan mengagumkan terhadap alam semesta,
termasuk hal-hal kecil seperti biji jagung, biji gandum, dan buah kurma. Thanthawi
sangat menyayangkan kaum muslim yang selalu berikrar di dalam shalatnya bahwa Allah
adalah Robbu al-‘Alamin (pemelihara alam semesta), tetapi kebanyakan di antara mereka
tidak mengetahui cara pemeliharaan Allah terhadap alam semesta. Lebih ironis lagi, yang
menyadari hal tersebut justru bangsa Eropa (yang non-muslim), sehingga mereka jauh
mendahului umat Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Demikian geram Thanthawi terhadap kaum muslim yang enggan merenungkan
kesempurnaan pemeliharaan Allah ini, sampai-sampai ia menganalogikan bahwa mereka
tidak ada bedanya dengan binatang. Sebab, mereka hanya bisamengonsumi biji jagung,
biji gandum, dan kurma, tetapi tidak pernah berpikir tentang pendidikan dan
pemeliharaan Allah terhadap ketiganya. Bukankah yang membedakan manusia dengan
binatang adalah akal pikirannya? Lebih lanjut, Thanthawi menjelaskan bahwa seandainya
yang menjadi fokus perhatian Allah adalah mengenalkan diri- Nya kepada manusia
sebagai Zat Yang memberikan makanan dan minuman, maka sudah barang tentu Allah
mengajarkan kepada mereka pujian yang berbunyi:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan dan minuman
(mengenyangkan) kepada kami”
Atau seandainya yang menjadi fokus utama adalah mengenalkan diri-Nya sebagai
Zat Yang memberikan pahala atas kebaikan dan siksa atas kejahatan, tentu Dia
mengajarkan kepada manusia pujian yang berbunyi:
Akan tetapi, menurut Thanthawi, Allah mengajarkan kepada manusia pujian atas
pemeliharaan-Nya terhadap alam semesta. Ini merupakan suatu petunjuk bahwa Tuhan
menghendaki agar umat Islam menjadi orang yang berpikir dan berilmu (ulama
intelektual), tidak seperti binatang ternak yang hidup untuk makan.49
49
Fathor Rahman, “Tafsir Saintifik Thanthawi Jauhari Atas Surat Al-Fatihah”, Jurnal (Hikmah, Vol. XII, No. 2, 2016,
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan). Hal. 320-321
23
Penafsiran Thanthawi Jauhari tentang gunung pada surat An-Nahl ayat 15
50
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Hal. 80
51
Thanthawi Jauhari, “Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”. Juz 8 jilid 4. hal. 68
52
Harun Yahya, “Al-Qur’an dan Sains: Memahami Metodologi Bimbingan Al-Qur’an Bagi Sains”, (Bandung: Dzikra,
2004). Hal. 92
24
H. Penutup
Kesimpulan
Thanthawi Jauhari dilahirkan di desa Kifr ‘Iwadiflah tahun 1287 H/ 1870 M, sebuah
desa yang terletak di sebelum timur kota Mesir. Adapun kondisi sosial ekonomi desa
tersebut berjalan sebagaimana layaknya desa sekitar kota Mesir, begitu juga aktifitas
yang dilakukan oleh penduduknya, yaitu dengan bekerja keras membanting tulang untuk
mencukupi kehidupan mereka masing-masing. Di antara mata pencarian yang menonjol
pada saat itu adalah profesi sebagai petani. Thanthawi Jauhari dilahirkan dari sebuah
keluarga petani, sehingga aktifitas masa kecilnya sering membantu orang tuanya sebagai
petani. Ia wafat pada tahun 1358 H/ 1940 M.
Dalam tafsirnya, Thanthawi menggunakan metode tahlili dengan corak ilmy. Tafsir
tersebut ingin menyingkap keajaiban-keajaiban ayat-ayat al-Qur’an dengan temuan-
temuan ilmu pengetahuan. Tafsir ilmi juga didefinisikan dengan pemanfaatan teori-teori
ilmu pengetahuan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun,
Thanthawi Jauhari dalam tafsirnya mencantumkan pembahasan soal akhlak, hukum,
ilmu-ilmu al-Qur’an, aqidah dan lainnya, akan tetapi disebut sebagai tafsir ilmi karena
dominasi tafsir tersebut memang bersifat menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-
teori ilmiah. Bahkan untuk memperjelas penafsirannya beliau mencantumkan gambar-
gambar dan table-tabel yang berkaitan dengan teori yang dikutip dalam tafsirnya.
25
filosof klasik-modern, muslim-non muslim, dan juga hasil-hasil penelitian para
ilmuan Barat modern, bahkan Injil sekalipun.
Tidak banyak terlibat dalam perdebatan teologis, fiqhiyah ataupun kebahasaan.
Memberikan gambaran yang transparan atas fakta-fakta ilmiah kepada pembaca
dengan meletakkan ilustrasi gambar-gambar, tumbuhan, hewan, pemandangan
alam, eksperimen ilmiah, peta serta table ilmiah.
Saran
Dalam penulisan makalah ini, masih sangat banyak yang belum kami paparkan
tentang Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim termasuk tentang Thanthawi Jauhari.
Terutama dalam bidang teologi dan madzhabnya. Begitupun dengan isi penafsiran yang
panjang lebar yang masih menjadi pertanyaan bagi para pembaca. Dengan demikian
kami berharap kepada para pembaca agar lebih mencari dan memperdalam tentang
Thanthawi Jauhari khususnya yang membahas tentang kitab Al-Jawahir Fi Tafsir Al-
Qur’an Al-Karim.
26
Daftar Pustaka
Khasanah, Siti Nur, 2015, “Penafsiran Syaikh Tantawi Jauhari Terhadap Ayat-Ayat
Kosmologi Dalam Kitab Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Skripsi (Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Jannah, Wafiqah Siti Nur, 2018, “Konsep Berpikir Menurut Thantawi Jauhari: Analisis
Kata Fakkara dan Dabbara dalam karayanya Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”,
Skripsi (Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung).
Imron, Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawahir Fi-Tafsir Al-Qur’an Al-
Karim”, Skripsi (Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang).
Ulfa, Siti Fatihatul, 2018, “Semut Dalam Al-Qur’an: Studi Penafsiran Thantawi Jauhari
Dalam Tafsir Al-Jawahir”, Skripsi (Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang)
Subhan, Mohammad, 2016, “Ayat-Ayat Tentang Air Dalam Al-Qur’an: Studi Tematik
Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Tantawi Jauhari”, Tesis (Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya)
Farhanudin, Tedi, 2017, “Penafsiran Thanthawi Jauhari Tentang Bencana Alam Dalam
Tafsir Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Skripsi (Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung).
Rosa, Andi, 2015, “Tafsir Kontemporer: Metode dan Orientasi Modern dari Para Ahli
dalam Menafsirkan Ayat Al-Qur’an”, (Serang: DepdikbudBantenPress).
27
Human, Fajar Islami, 2018, “Makna Kata Adna Dan Khayr Dalam Surat Al-Baqarah
Ayat 61 Menurut Tantawi Jauhari Dan Fakhr Al-Din Al-Razy”, Skripsi (Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampe Surabaya).
Yahya, Harun, 2004, “Al-Qur’an dan Sains: Memahami Metodologi Bimbingan Al-
Qur’an Bagi Sains”, (Bandung: Dzikra).
Rahman, Fathor, “Tafsir Saintifik Thanthawi Jauhari Atas Surat Al-Fatihah”, Jurnal
(Hikmah, Vol. XII, No. 2, 2016, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan).
28