Abstrak
Pendahuluan
Al-Qur'an dalam kehidupan setiap muslim menempati posisi
yang amat sentral. Posisi yang cukup sentral untuk dapat
mempengaruhi tindak-tanduk manusia sampai ke persoalan terkecil,
seperti adab keluar-masuk kamar mandi. Apabila hal terkecil semacam
itu dapat dipengaruhi oleh al-Qur;an, maka sangat benar apabila
dinyatakan bahwa hampir setiap sikap dan perilaku yang diambil oleh
muslim terilhami oleh al-Qur'an. Sebagai contoh lain, dibangunnya
peradaban Islam abad pertengahan juga merupakan suatu pencapaian
yang sejak awal terilhami oleh ayat-ayat al-Qur'an. Ini adalah salah satu
contoh dari sekian banyak contoh lainnya yang menunjukkan seberapa
besar pengaruh al-Qur'an pada kehidupan muslim, baik sebagai
personal maupun sebagai komunitas masyarakat. Oleh karena itu, tidak
berlebihan jika menyatakan perubahan besar dan pencapaian gemilang
peradaban Islam tersebut didorong atau disebabkan oleh al-Qur'an.1
1
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 311.
modernis.2 Tipologi ini merupakan pengelompokkan dari pendekatan-
pendekatan heurmenetis dalam upaya penafsiran al-Qur'an. Tipologi-
tipologi inilah yang saat ini menjadi basis penafsiran al-Qur'an oleh
berbagai kalangan pemikir Islam.
2
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: Nawesea Press, 2009), hal. 73-76
3
Mohammad Arkoun, Gagasan tentang Wahyu : Dari Ahli Kitab sampai
Masyarakat Kitab dalam Islam di Perancis : Gambaran Pertama, HLM Chamert Loir
dan NJG Kaptein (ed), (Jakarta : INIS, 1993) hal. 38-39
merupakan segelintir dari begitu banyak fenomena buruk lainnya yang
terjadi dengan mengatasnamakan Agama, lebih khusus
mengatasnamakan al-Quran. Al-Qur'an ditafsirkan dengan
kepentingan-kepentingan tanpa ada intensi mendapatkan kebenaran.
Yang ada hanyalah upaya mencari pembenaran (legitimasi) dari al-
Qur'an untuk tindakan-tindakan yang sebenarnya tak dapat dibenarkan.
Masyarakat awam digiring untuk menjadi alat mencapai kemenangan
kepentingan, sedangkan al-Qur'an menjadi alat untuk menggiring
masyarakat awam tersebut. Sehingga dari luar, mereka terlihat begitu
taat beragama, taat kepada Tuhan, taat pada al-Qur'an. Namun pada
realitasnya, mereka hanya mengikuti sesuatu yang mereka tidak ketahui
dan pemimpin mereka hanya taat pada kepentingannya bukan pada
agama.
4
Mohammad Arkoun, Menuju Pendekatan Baru Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur`an
No. 7 Vol. II (Jakarta: LSAF, 1990), hal 83
merupakan dasar sampai dengan antropologi Islam dan tafsir al-Qur'an.
Karena pemikirannya ini, Arkoun disebut sebagai tokoh reformis dan
modernis. Ada pula sebagian kelompok yang masih belum mampu
menangkap nilai dari pemikiran Arkoun, mengkategorikannya sebagai
sesat, bahkan kafir.
5
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s
Deconstruction Method, dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10,
No. 2, Desember 2006 hal. 79.
Biografi Intelektual Mohammad Arkoun
6
Fathurrahman Muhtar, Pemikiran Islam Kontemporer Mohammad Arkoun dalam
Jurnal Islamica, Vol. 2, No. 1, September 2007, hal 46-54.
tingginya, Arkoun juga mengajar di sebuah sekolah menengah di al-
Herrach. Arkoun kemudian memutuskan untuk meninggalkan Aljazair
dan menuju ke Perancis di saat negaranya tersebut berperang
menghadapi pemerintahan Perancis. Akhirnya Arkoun pun menetap di
Perancis. Pada tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di salah satu
universitas ternama, yakni Universitas Sorbone. Universitas ini juga lah
yang menjadi tempat dia memperoleh gelar Doktor Sastra pada tahun
1969 dengan disertasinya mengenai humanisme yang dikajinya dalam
pemikiran Ibn Miskawaih. Selain menjadi dosen di Universitas
Sorbone, Arkoun juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa
universitas lainnya, seperti Universitas Princeton dan Universitas
Temple di Philadelphia, Universitas California, Universitas Katolik
Louvain-La-Neuva di Belgia, serta diangkat menjadi guru besar tamu
di Universitas Amsterdam sejak tahun 1993.7
7
Nasrudin, Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun, dalam Jurna Maghza, Vol. 1, No. 1,
Januari-Juni 2016, hal 86-87.
agama yang membawa kebenaran, namun di sisi yang lain Arkoun pun
menyadari bahwa ajaran-ajaran Islam telah mengalami kebekuan sejak
4 abad yang lalu.8 Kebekuan ini menyebebkan kematian perkembangan
bagi peradaban Islam itu sendiri. Islam menjadi agama yang tertutup
dan akhirnya tertinggal dan/atau tidak relevan lagi dengan masa
modern. Ajarannya seakan hanya terbatas pada syariah dan ritual-ritual
keagamaan saja. Itupun ajaran-ajaran yang telah muncul sejak berabad-
abad yang lalu, dan tidak memiliki relevansi lagi dengan masa modern.
Ketertinggalan ini dipandang sebagai masalah besar oleh Arkoun.
Namun, masalah besar ini pun tentunya memiliki akar atau sumber
utama yang merupakan penyebab dari munculnya masalah besar ini.
Setelah melakukan pengkajian Arkoun pun menyadari bahwa akar
masalah tersebut adalah basis epistimologi yang dipakai oleh kalangan
Islam saat itu. Basis epistemologi ini, bagi Arkoun adalah alasan
matinya kajian filsafat di dunia Islam. Hal ini pula yang mencegah
Islam dari perkembangan karena menutup rapat pintu ijtihad serta
mengubur dalam sikap kritis dari pemeluk-pemeluknya.
8
Suadi Putro, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta:
Paramadina, 1998), hal 13-14.
(antropologi), Barthes (semiologi), Lacan (psikologi) dan Jacques
Derrida (hermeneutika-grammatikal).9
9
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s
Deconstruction Method, dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2,
Desember 2006, hal 81
9. Min Faishal at-Tafriqah al-Fashal al-Maqal…Aina Huwa al-
fikr al-Islam al-Mu’asir, terj. Hasyim Shalih, London, Dar al-
Saqi, 1993.
10. Rethinking Islam Today, 1987 (sebuah karya yang terambil dari
bahan ceramah ilmiahnya di Center for Contemporary Arab
Studies Universitas Georgetown, Amerika Serikat).
10
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi atas Pemikiran
Mohammad Arkoun, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hal. 63
11
Ursula Gunther, Mohammad Arkoun: An Intellectual in Revolt, dalam Jurnal
Middle East-Topics & Arguments 01–2013, hal. 63-67
Kritik Nalar Islam dan Dekonstruksi
12
Usman Khalil dan Abida Khan, Islam and Postmodernity; M. Arkoun on
Deconstruction, dalam Journal of Islamic Thought and Civilization, Vol. 3, No. 1,
2013. Hal 35
Arkoun dalam merumuskan teori dekonstruksinya dipengaruhi
oleh beberapa arus pemikiran, seperti Strukturalisme dan Post-
Modernisme. Karena itu, Arkoun pun tak dapat dikategorikan sebagai
salah satu tokoh di antara beberapa arus pemikiran tersebut.
Pemikirannya yang memandang bahwa dekonstruksi harus diiringi
dengan rekonstruksi adalah salah satu contoh elaborasi dua arus
pemikiran yang berbeda. Selain terpengaruh oleh beberapa arus
pemikiran besar, dalam hal yang sama Arkoun pun mencoba
mengkolaborasikan antara berbagai disiplin keilmuan untuk
mendapatkan suatu metode yang komprehensif dan tajam dalam
mendekonstruksi nalar Islam. Beberapa disiplin keilmuan tersebut ialah
Linguistik (De Saussure), Antropologi (Levi-Strauss), Psikologi
(Lacan), Semiologi (Barthes), Epistemologi (Foucault) and
Grammatologi (Derrida). Dari berbagai disiplin keilmuan inilah
Arkoun membangun metode untuk mendekonstruksi atau mengkritik
nalar Islam.13
13
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s
Deconstruction Method, hal. 81
14
Sulhani Hermawan, Mohammad Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam, dalam
Jurnal DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004, hal 101
15
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s
Deconstruction Method, hal. 80
Pada dasarnya yang ingin didekonstruksi oleh Arkoun dalam
nalar Islam ada ketertutupan, stagnansi, dan penyelewengan yang
terjadi dalam lingkup nalar Islam itu sendiri. Arkoun memandang Islam
sebagai agama yang mulia, malah dimonopoli demi keuntungan satu
atau dua pihak tertentu.
Tradisi Islam yang ada hari ini adalah hasil pencampuran antara
Tradisi (Turats) dengan huruf besar yang transenden dan tradisi (turats)
dengan huruf kecil yang imanen. Tradisi yang transenden ini adalah
Tradisi Islam yang berisikan nilai-nilai universal absolut yang tidak
dapat dirubah, sedangkan tradisi yang imanen merupakan tradisi Arab
yang masih dapat diterima nilai-nilai universal Islam dan senantiasa
berubah sesuai dengan sejarah. Walau berkolaborasi satu sama lain,
tradisi Islam saat ini tetap lah berupa tradisi yang imanen, bukan yang
transenden. Disinilah letak masalahnya, tradisi Islam yang harusnya
imanen dan terbuka untuk perubahan dan perkembangan, malah
diposisikan sebagai Tradisi yang transenden. Kritik nalar Islam yang
diajukan Arkoun bukan sama sekali bermaksud untuk menghilangkan
tradisi. Namun, Arkoun hanya ingin menempatkan kembali tradisi
(turats) ke posisinya yang sebenarnya, bukan pada posisi yang
dipandang sebagai Tradisi (Turats) transenden dan absolut sehingga
menjadi tertutup dan tidak berkembang. Itulah poin utama dari kritik
nalar Islam yang diajukan Arkoun.
17
Mohammad Arkoun, Rethingking Islam Today. terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful
Khuluq, (Yogyakarta: LPMI, 1996), hal 79-82
karena tradisi Islam saat ini merupakan tradisi yang belum mengalami
perubahan sejak lebih dari empat abad yang lalu, sedangkan peradaban
manusia secara umum telah mengalami perubahan dahsyat di berbagai
bidang. Artinya, tak ada lagi relevansi antara tradisi Islam saat ini dan
kehidupan saat ini yang sudah mencapai tahap modern.
19
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hal. 73-
78
Sebelum membahas mengenai tafsir progresif yang
dimaksudkan sebagai metode tafsir yang diajukan Arkoun, akan
dijelaskan terlebih dahulu, bagaimana Arkoun memandang al-Qur'an
beserta wahyu-wahyu Tuhan di dalamnya.
20
Mohammad Arkoun, Rethinking Islam; Common Questions, Uncommon Answers,
(Oxford: Westview Press, 1994), hal 31
tertinggi yang absolut. Wahyu tipe ini tidak termuat dalam bahasa
ataupun gambaran, melainkan kumpulan makna tanpa bentuk.
Sehingga, menurut Arkoun, wahyu tingkatan pertama yang
mengandung kebenaran absolut ini di luar jangkauan pemahaman
manusia, karena bentuk wahyu yang seperti ini diamankan dalam al-
Lawh al-Mahfudz dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri.
Manusia hanya dapat menjangkau atau mengetahui wahyu pada
tingkatan yang kedua, karena sudah memiliki bentuk dan tersampaikan
melalui bahasa manusia. Dalam istilah Arkoun, whyu tingkatan kedua
ini dinamakan “edisi dunia” (edition terrestres). Menurutnya, pada
tingkat kedua ini, wahyu yang berasal dari Ummul Kitab telah
mengalami modifikasi dan substitusi berupa penyesuaian dengan
konteks tempat dan waktu diturunkannya.21
21
Abdul Kadir Hussain Salihu, Hermeneutika Al-Qur’an menurut Muhammad
Arkoun: Sebuah Kritik, dalam Jurnal ISLAMIA: Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam, Vol. I, No. 2 (Juni-Agustus 2004), hal. 21.
22
Zaglul Fitrian Djalal, Pembacaan al-Qur'an dalam Perspektif Mohammad Arkoun,
dalam Jurnal Islamuna, Vol. 3, No. 1 (Juni 2016), hal 5-6
bentuk atau bahasa (Ummul Kitab) dan wahyu tingkatan kedua bagian
pertama yang berupa ujaran langsung Tuhan kepada Nabi Muhammad.
Namun, wahyu pada tingkatan kedua bagian pertama pun sudah tak
dapat diakses lagi hari ini.23 Maka dari itu, tafsir atau interpretasi atas
aa-Qur'an hanya dapat dilakukan pada wahyu tingkatan kedua bagian
kedua, yakni wahyu yang berupa mushaf atau teks yang sudah
dibakukan. Walau begitu, upaya tafsir yang digunakan tidak akan dapat
mengungkap makna kebenaran sejati dari teks tersebut. Karena itulah,
tafsir atas mushaf Qur'an pun tidak bisa dibakukan atau diklaim sebagai
kebenaran sejati. Tafsir Qur'an yang seharusnya, bagi Arkoun adalah
tafsir yang senantiasa terbuka akan penyesuaian dan penyempurnaan
atau dapat dikatakan progresif. Dari sinilah penulis mengambil isltilah
tafsir progresif al-Qur'an. Progresif bermakna selalu terbuka atas
perubahan menuju kemajuan atau penyempurnaan. Walau kebenaran
absolut tak dapat digapai, namun dengan upaya tafsir yang progresif,
setidaknya kita dapat semakin mendekati kebenaran tersebut.
23
Mohammad Arkoun, “Exploration and Responses: New Perspectives for A Jewish-
Christian-Muslim Dialogue”, dalam Journal of Ecumenical Studies. Summer, 1989,
hal. 526
interpretasi progresif yang dihasilkan dari pengaitan antara berbagai
cabang keilmuan tersebut adalah metode lingkaran bahasa-pemikiran-
sejarah.24