Anda di halaman 1dari 25

Nama : Batoulizzakia

Prodi : Aqidah dan Filsafat Islam

Tafsir Progresif Al-Qur'an; Kajian atas Pemikiran Heurmenetika


Mohammad Arkoun

Abstrak

Al-Qur'an memiliki arti yang sangat mendalam bagi setiap


muslim. Dalam kehidupan, muslim yang benar-benar meyakini al-
Qur'an akan menjadikannya sebagai petunjuk dan pedoman dalam
berperilaku. Posisi al-Qur'an amat sentral sehingga dapat
mempengaruhi hampir keseluruhan aspek kehidupan muslim, mulai
dari hal yang terkecil sampai hal besar yang cenderung luar biasa.
Namun, hari ini sebagian besar yang mempengaruhi kalangan Islam
bukanlah al-Qur'an itu sendiri, melainkan tafsir dominan yang
cenderung kaku dan membatasi tafsir lain atas al-Qur'an. Buruknya
kondisi ini membuat perkembangan ajaran dan kajian keilmuan Islam
menjadi mandek, stagnan dan tidak berkembang. Lebih buruknya lagi,
kondisi ini dijadikan sebagai kesempatan oleh kelompok tertentu untuk
memperalat al-Qur'an demi kepentingannya, melalui penafsiran yang
baku, kaku dan anti-kritik. Fenomena ini telah dilihat oleh Mohammad
Arkoun semenjak masa awal kehidupannya. Karena itulah, Arkoun
terdorong untuk melakukan pengkajian yang mendalam mengenai al-
Qur'an dan metode penafsirannya, dengan maksud untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Setelah melalui penelitian yang
mendalam dan komprehensif, Arkoun menarik kesimpulan yang sangat
menarik perhatian berbagai kalangan. Untuk dapat menyelesaikan
masalah tersebut, Arkoun melakukan apa yang disebutnya dengan
”Kritik Nalar Arab” dan kemudian mendekonstruksi tradisi Islam untuk
dapat merekonstruksinya dengan memadukan tradisi Islam dengan
tradisi barat modern. Pemikirannya ini pula lah yang mendasari teori
tafsir hermeneutisnya, yakni lingkaran bahasa-pemikiran-sejarah untuk
mendekonstruksi teks dan rekonstruksi konteks melalui
rekontekstualisasi yang melibatkan berbagai cabang keilmuan modern.
Keywords : Al-Qur'an, Arkoun, Kritik Nalar Islam, Lingkaran Bahasa-
Pemikiran-Sejarah Dekonstruksi dan Rekonstruksi

Pendahuluan
Al-Qur'an dalam kehidupan setiap muslim menempati posisi
yang amat sentral. Posisi yang cukup sentral untuk dapat
mempengaruhi tindak-tanduk manusia sampai ke persoalan terkecil,
seperti adab keluar-masuk kamar mandi. Apabila hal terkecil semacam
itu dapat dipengaruhi oleh al-Qur;an, maka sangat benar apabila
dinyatakan bahwa hampir setiap sikap dan perilaku yang diambil oleh
muslim terilhami oleh al-Qur'an. Sebagai contoh lain, dibangunnya
peradaban Islam abad pertengahan juga merupakan suatu pencapaian
yang sejak awal terilhami oleh ayat-ayat al-Qur'an. Ini adalah salah satu
contoh dari sekian banyak contoh lainnya yang menunjukkan seberapa
besar pengaruh al-Qur'an pada kehidupan muslim, baik sebagai
personal maupun sebagai komunitas masyarakat. Oleh karena itu, tidak
berlebihan jika menyatakan perubahan besar dan pencapaian gemilang
peradaban Islam tersebut didorong atau disebabkan oleh al-Qur'an.1

Dengan posisi yang amat sentral tersebut tadi, tentunya akan


membawa berbagai implikasi. Implikasi yang hadir dari
keterpengaruhan pada al-Qur'an ini sangat mungkin untuk beragam dan
berbeda-beda. Mengingat al-Qur'an yang kaya akan berbagai aspek
serta keterbukaannya pada berbagai interpretasi. Artinya, bahkan pada
suatu aspek yang sama dapat terjadi perbedaan dalam interpretasinya,
sehingga sikap yang tertanam dalam diri muslim pun dapat berbeda-
beda. Hal ini pada satu sisi dianggap sebagai sumber dari setiap
masalah keagamaan dalam Islam. Namun di sisi yang lain, keterbukaan
al-Qur'an pada interpretasi ini malah didukung sebesar-besarnya,
karena memberi kemungkinan untuk terjadinya dialektika dan dinamika
sehingga interpretasi atas al-Qur'an akan menyempurna seiring dengan
dialektika pemikiran yang terjadi.

Ragam interpretasi ini tidak lain adalah karena adanya ragam


tipologi dan pendekatan dalam usaha menafsirkan al-Qur'an. Beberapa
tipologi yang dominan di masa kontemporer ini ialah, quasi-obyektivis
tradisionalis, pandangan subyektivis dan pandangan quasi-obyektivis

1
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 311.
modernis.2 Tipologi ini merupakan pengelompokkan dari pendekatan-
pendekatan heurmenetis dalam upaya penafsiran al-Qur'an. Tipologi-
tipologi inilah yang saat ini menjadi basis penafsiran al-Qur'an oleh
berbagai kalangan pemikir Islam.

Problematika interpretasi al-Qur'an ini memang bukan


permasalahan yang sederhana. Namun, bukan juga berarti persoalan ini
amat rumit sampai tak ada penyelesaiannya. Berbagai tokoh dengan
berbagai latar belakang yang berbeda terdorong untuk menyelesaikan
persoalan ini. Salah satu diantara berbagai tokoh tersebut ialah seorang
pemikir Islam yang berasal dari Aljazair bernama Mohammad Arkoun.
Nama Arkoun hari ini, tentunya tak lagi asing di kalangan pembelajar
Islam. Arkoun menjadi salah satu pemikir yang menghantarkan kajian-
kajian ke-Islaman menuju babak baru bersama yang lebih
mencerahkan. Latar belakang Arkoun berdiri sebagai seorang pemikir
sekaligus pembaharu keilmuan Islam, tak lain adalah kekhawatirannya
atas masa depan peradaban Islam di tangan kelompok ortodoks.
Kelompok ortodoks inilah yang menurut Arkoun memperalat al-Qur'an
demi keuntungan mereka sendiri, baik ideologis maupun politis. Bagi
Arkoun jelas ini merupakan penyalahgunaan al-Qur'an. Menurutnya
terjadinya penyalahgunaan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan
dalam menggali pesan yang tersimpan dalam al-Qur'an secara murni.3
Dari sinilah kemudian, masalah-masalah keagamaan lainnya muncul.
Karena itu, persoalan ini menjadi fokus masalah bagi Mohammad
Arkoun untuk diselesaikannya.

Kekhawatiran Arkoun mengenai diperalatnya al-Qur'an oleh


beberapa kelompok tertentu menjadi suatu fenomena yang sampai saat
ini masih terus terjadi di berbagai belahan dunia, tak luput pula
Indonesia. Mulai dari sikap anti-pati kepada yang berbeda, agama yang
menjadi tunggangan politik praktis, sampai dengan aksi terorisme

2
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: Nawesea Press, 2009), hal. 73-76
3
Mohammad Arkoun, Gagasan tentang Wahyu : Dari Ahli Kitab sampai
Masyarakat Kitab dalam Islam di Perancis : Gambaran Pertama, HLM Chamert Loir
dan NJG Kaptein (ed), (Jakarta : INIS, 1993) hal. 38-39
merupakan segelintir dari begitu banyak fenomena buruk lainnya yang
terjadi dengan mengatasnamakan Agama, lebih khusus
mengatasnamakan al-Quran. Al-Qur'an ditafsirkan dengan
kepentingan-kepentingan tanpa ada intensi mendapatkan kebenaran.
Yang ada hanyalah upaya mencari pembenaran (legitimasi) dari al-
Qur'an untuk tindakan-tindakan yang sebenarnya tak dapat dibenarkan.
Masyarakat awam digiring untuk menjadi alat mencapai kemenangan
kepentingan, sedangkan al-Qur'an menjadi alat untuk menggiring
masyarakat awam tersebut. Sehingga dari luar, mereka terlihat begitu
taat beragama, taat kepada Tuhan, taat pada al-Qur'an. Namun pada
realitasnya, mereka hanya mengikuti sesuatu yang mereka tidak ketahui
dan pemimpin mereka hanya taat pada kepentingannya bukan pada
agama.

Melihat fenomena semacam ini pada masanya, Arkoun


kemudian mencoba memberikan tanggapan kritis sebagai upaya untuk
menyelesaikan masalah ini. Persoalan mendasar dari fenomena ini
menurut Arkoun adalah basis epistimologi yang yang masif digunakan
oleh kalangan tokoh Islam tradisional. Menurut Arkoun basis
epistimologi tradisional tersebut hanya menghasilkan kejumudan,
ketertutupan, kebekuan, stagnansi, dan dogma yang dalam
perkembangan selanjutnya menyuburkan fundamentalisme dan
konservatisme Islam. Baginya perkembangan pemikiran Islam
mengalami stagnansi luar biasa selama lebih dari empat abad yang
diakibatkan oleh keengganan untuk melakukan perubahan dalam
prosedur maupun kegiatan-kegiatannya. Inilah sebab utama
ketertinggalan peradaban Islam dari Eropa. 4

Berawal dari tanggapan kritisnya inilah keseluruhan bangunan


pemikirannya didirikan. Pemikiran Arkoun melingkupi banyak hal,
karena kritik awal yang diajukannya adalah kritik yang amat mendasar,
yakni mengenai basis epistimologi dalam beragama. Pemikirannya
melingkupi banyak persoalan, mulai dari Filsafat Islam yang

4
Mohammad Arkoun, Menuju Pendekatan Baru Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur`an
No. 7 Vol. II (Jakarta: LSAF, 1990), hal 83
merupakan dasar sampai dengan antropologi Islam dan tafsir al-Qur'an.
Karena pemikirannya ini, Arkoun disebut sebagai tokoh reformis dan
modernis. Ada pula sebagian kelompok yang masih belum mampu
menangkap nilai dari pemikiran Arkoun, mengkategorikannya sebagai
sesat, bahkan kafir.

Di Indonesia, nama Mohammad Arkoun sudah cukup populer


dikalangan pembelajar Islam, baik kalangan akademisi maupun
mahasiswa yang berfokus pada kajian keIslaman.5 Hal ini sangat wajar,
mengingat fenomena yang diprihatinkan oleh Arkoun, akhir-akhir ini
sedang sangat marak terjadi di Indonesia. Al-Qur'an menjadi alat bagi
kelompok tertentu untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan
masyarakat Indonesia. Selain itu, ada pula kelompok yang lebih ekstrim
yang dengan mengatasnamakan ayat-ayat al-Qur'an mencoba untuk
menggantikan dasar negara dan sistem pemerintahan yang berlaku di
Indonesia atas kesepakatan seluruh rakyat Indonesia yang diwalikili
oleh para pendiri negara. Dalam hal yang lain, yakni perkembangan
pemikiran pun, kalangan Islam di Indonesia juga mengalami stagnansi,
sebagaimana kalangan Islam dominan di wilayah timur tengah. Tak ada
lagi suatu hasil pemikiran, penemuan atau karya dalam bidang ilmu
pengetahuan oleh kalangan muslim yang dapat bermanfaat bagi seluruh
umat manusia.

Kondisi dan situasi keIslaman di Indonesia yang


memprihatinkan inilah yang membuat penulis terdorong untuk
melakukan kajian atas pemikiran Mohammad Arkoun. Dalam tulisan
ini penulis akan memaparkan hasil pemikiran dari Arkoun, mulai dari
kritiknya atas basis epistiomologi Islam yang dominan dan teori
dekonstruksinya, pemikirannya dalam bidang hermeneutika, serta
metode tafsir al-Qur'an yang diajukannya.

5
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s
Deconstruction Method, dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10,
No. 2, Desember 2006 hal. 79.
Biografi Intelektual Mohammad Arkoun

Mohammad Arkoun lahir di Taurit Mimun wilayah Kabilia,


suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber disebelah timur Aljir,
Aljazair, pada tanggal 28 Februari 1928. Tempat kelahirannya ini
menghadapkannya pada tiga bahasa: bahasa, yakni bahasa Berber yang
diwarisi Afrika Utara dari zaman pra-Islam dan pra-Romawi, bahasa
Arab yang dibawa bersama dengan perluasan kekuasaan Islam sejak
awal Hijriah serta bahasa Perancis yang didatangkan oleh bangsa
Perancis yang menguasai dan menjajah wilayah Aljazair antara tahun
1830 dan 1962. Ketiga bahasa tersebut juga mewakili tiga tradisi
dan/atau kebudayaan yang berbeda. Bahasa Kabilia atau Berber yang
mewakili tradisi masa lampau; media penyampaian sekumpulan tradisi
dan nilai budaya yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan ekonomi
yang sudah ada sejak dahulu kala. Bahasa Arab mewakili budaya
keagamaan yang kental; alat pengungkapan, terutama melalui teks-teks
tertulis, penjagaan tradisi dalam bidang keagamaan yang mempererat
hubungan Aljazair dengan bangsa lain di daerah Afrika Utara dan
Timur Tengah. Terakhir, bahasa Perancis yang mewakili budaya ilmiah
Eropa (Barat); merupakan bahasa pemerintahan dan sarana penanaman
nilai dan tradisi ilmiah Barat yang disampaikan di lembaga-lembaga
pendidikan Perancis yang didirikan pemerintah yang menjajah.6
Interaksi bersama dengan ketiga budaya inilah yang juga membuat
Arkoun memiliki dasar penilaian yang kuat untuk menilai suatu budaya
dan perkembangannya.

Dalam menempuh pendidikannya, Arkoun berpindah-pindah


tempat di wilayah Aljazair, sebelum kemudian dia memutuskan untuk
melanjutkan studi tingkat lanjutnya di Perancis. Pendidikan dasarnya
ditempuh di desa kelahirannya, kemudian pendidikan menengahnya dia
dapatkan di sebuah sekolah di wilayah Oran, Aljazair Barat. Pada tahun
1950-1954 Arkoun mengambil jurusan bahasa dan sastra Arab di
Universitas Al-Jir, Aljazair. Di samping menempuh pendidikan

6
Fathurrahman Muhtar, Pemikiran Islam Kontemporer Mohammad Arkoun dalam
Jurnal Islamica, Vol. 2, No. 1, September 2007, hal 46-54.
tingginya, Arkoun juga mengajar di sebuah sekolah menengah di al-
Herrach. Arkoun kemudian memutuskan untuk meninggalkan Aljazair
dan menuju ke Perancis di saat negaranya tersebut berperang
menghadapi pemerintahan Perancis. Akhirnya Arkoun pun menetap di
Perancis. Pada tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di salah satu
universitas ternama, yakni Universitas Sorbone. Universitas ini juga lah
yang menjadi tempat dia memperoleh gelar Doktor Sastra pada tahun
1969 dengan disertasinya mengenai humanisme yang dikajinya dalam
pemikiran Ibn Miskawaih. Selain menjadi dosen di Universitas
Sorbone, Arkoun juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa
universitas lainnya, seperti Universitas Princeton dan Universitas
Temple di Philadelphia, Universitas California, Universitas Katolik
Louvain-La-Neuva di Belgia, serta diangkat menjadi guru besar tamu
di Universitas Amsterdam sejak tahun 1993.7

Selain bekerja sebagai seorang pengajar di berbagai universitas,


Arkoun pun menduduki beberapa jabatan penting lain. Arkoun adalah
direktur dari majalah atau jurnal ilmiah Islam terkemuka, yakni Jurnal
Arabica. Dia juga pernah diangkat menjadi anggota Legiun
Kehormatan Perancis (chevalier de la Legion d’honneur) serta
menempati sejumlah jabatan formal, seperti anggota Panitia Nasional
Perancis untuk Etika dalam Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan
Kedokteran serta menjadi anggota Majelis Nasional untuk AIDS. Tak
sampai di situ saja, Arkoun pun mendapatkan gelar Officier de Palmes
Academiques, yaitu suatu gelar kehormatan Perancis untuk tokoh
terkemuka di dunia akademik.

Kecenderungan Arkoun untuk mengkaji Islam sampai ke


Perancis tidak lain adalah karena latar belakang kehidupan awalnya di
Aljazair. Arkoun yang dilahirkan sebagai seorang muslim dan
bertumbuh-kembang di bawah pemerintahan penjajahan Perancis
merasakan sebuah kebimbangan tradisi dikarenakan benturan budaya
yang dialaminya. Di satu sisi Arkoun memandang bahwa Islam adalah

7
Nasrudin, Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun, dalam Jurna Maghza, Vol. 1, No. 1,
Januari-Juni 2016, hal 86-87.
agama yang membawa kebenaran, namun di sisi yang lain Arkoun pun
menyadari bahwa ajaran-ajaran Islam telah mengalami kebekuan sejak
4 abad yang lalu.8 Kebekuan ini menyebebkan kematian perkembangan
bagi peradaban Islam itu sendiri. Islam menjadi agama yang tertutup
dan akhirnya tertinggal dan/atau tidak relevan lagi dengan masa
modern. Ajarannya seakan hanya terbatas pada syariah dan ritual-ritual
keagamaan saja. Itupun ajaran-ajaran yang telah muncul sejak berabad-
abad yang lalu, dan tidak memiliki relevansi lagi dengan masa modern.
Ketertinggalan ini dipandang sebagai masalah besar oleh Arkoun.
Namun, masalah besar ini pun tentunya memiliki akar atau sumber
utama yang merupakan penyebab dari munculnya masalah besar ini.
Setelah melakukan pengkajian Arkoun pun menyadari bahwa akar
masalah tersebut adalah basis epistimologi yang dipakai oleh kalangan
Islam saat itu. Basis epistemologi ini, bagi Arkoun adalah alasan
matinya kajian filsafat di dunia Islam. Hal ini pula yang mencegah
Islam dari perkembangan karena menutup rapat pintu ijtihad serta
mengubur dalam sikap kritis dari pemeluk-pemeluknya.

Setelah menemukan akar masalahnya, Arkoun pun mencoba


untuk memangkas masalah tersebut dari akarnya. Dari sinilah
keseluruhan bangunan pemikiran Arkoun didirikan. Tanpa titik awal
yang dijadikan sebagai fondasi pemikiran ini, keseluruhan hasil kajian
dan penelitiannya tak akan dapat berguna sama sekali. Oleh karena itu,
bagian awal ini sangat penting bagi keseluruhan pemikiran Mohammad
Arkoun. Selain itu, karena pergulatan pemikirannya yang mendalam
terjadi di Perancis, Arkoun pun tak lepas dari pengaruh berbagai arus
pemikiran dan keilmuan lain yang berkembang dan tersebar di
Perancis. Beberapa tokoh yang mengambil bagian cukup besar dalam
mewarnai pemikiran Arkoun diantanya ialah, Michael Foucalt (filosof-
epistimologi), Ferdinand De Saussure (linguistik), Levi-Strauss

8
Suadi Putro, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta:
Paramadina, 1998), hal 13-14.
(antropologi), Barthes (semiologi), Lacan (psikologi) dan Jacques
Derrida (hermeneutika-grammatikal).9

Dengan analisisnya yang mendalam dan tujuannya yang mulia


untuk membawa Islam menuju peradaban yang maju di tengah
persaingan modernitas, Arkoun pun menghasilkan begitu banyak karya.
Beberapa karyanya ialah :

1. Traite d’ethique (traduction francaise avec introduction et notes


du Tadhib al-Akhlaq de Miskawayh) tulisannya tentang etika
(terjemahan Perancis dengan pengantar dan catatan-catatan dari
Tahdzib al-Akhlak karya Miskawaih), Damaskus, 1969.
2. Contribution a l ‘etude de I humanisme arabe au IVe/Xe siecle:
Miskawayh philosophe et historien (sumbangan pada
pembahasan humanisme Arab abad IV/X: Miskawaih sebagai
filosof dan sejarawan ), Paris, Vrin, P.U.F., 1975.
3. La pensee arabe (Pemikiran Arab), Paris, P.U.F., 1975. Sudah
diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Yudian W. Asmin.
4. Ouvertures sur I ‘Islam (catatan-catatan pengantar untuk
memahami Islam) Paris, Grancer, 1989. Diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dari edisi ke dua buku tersebut oleh
Robert D. Lee dengan judul Rethingking Islam: Common
Questions Uncommon Answer, Oxford, Westview Press, 1994
5. Al-Fikr al-Islam. Naqd wa Ijtihad, terj. Hasyim Salih, London,
Dar al-Saqi, 1990.
6. Al-Fikr al-Islam. Qiro’ah Ilmiyyah, terj. Hasyim Shalih, Beirut,
Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1987.
7. Al-Islam al-Akhlak wa as-Siyasah, terj. Hasyim Shalih, Beirut,
UNISCO dan Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1990.
8. Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi al-Islam, terj. Hasyim Shalih,
Beirut, Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1986.

9
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s
Deconstruction Method, dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2,
Desember 2006, hal 81
9. Min Faishal at-Tafriqah al-Fashal al-Maqal…Aina Huwa al-
fikr al-Islam al-Mu’asir, terj. Hasyim Shalih, London, Dar al-
Saqi, 1993.
10. Rethinking Islam Today, 1987 (sebuah karya yang terambil dari
bahan ceramah ilmiahnya di Center for Contemporary Arab
Studies Universitas Georgetown, Amerika Serikat).

Keseluruhan karya Mohammad Arkoun yang dibukukan


ditulisnya dalam bahasa Perancis. Satu-satunya karya Arkoun yang
dibukukan dan berbahasa Inggris adalah Rethinking Islam Today.
Selain itu, banyak sekali karya-karya lain Arkoun yang berbentuk
artikel dan tersebar dalam berbagai buku antologi (kumpulan tulisan),
jurnal-jurnal ilmiah dan majalah-majalah ilmiah. Beberapa jurnal
dan/atau majalah ilmiah terkemuka yang memuat tulisannya ialah
seperti Maghreb-Machreq (Paris), Islamochristiana (Vatikan), Diogene
(Paris), Arabica (Leiden/Paris) dan Studia Islamica (Paris).10

Mohammad Arkoun melalui karya-karyanya sampai saat ini


tidak berhenti menyuarakan reformasi bagi pemikiran Islam di setiap
belahan dunia. Dia masih setia pada tujuannya yang mulia, yakni untuk
memajukan Islam di tengah arus kompetisi modernitas atau paling tidak
mengangkat kajian-kajian keIslaman untuk dapat setara dengan
berbagai kajian keilmuan di era modern. Kesetiaannya ini dipegangnya
sampai saat terakhir kehidupannya. Mohammad Arkoun menutup usia
pada tanggal 14 September 2010, di Paris, Perancis dan dikebumikan
tiga hari kemudian di Casablanca, Maroko. Walau fisiknya mengalami
kematian, namun jiwa beserta dengan pemikirannya akan terus abadi
bersama dengan karya-karya dan hasil nyata dari usaha-usaha
intelektual yang dilakukan semasa hidupnya.11

10
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi atas Pemikiran
Mohammad Arkoun, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hal. 63
11
Ursula Gunther, Mohammad Arkoun: An Intellectual in Revolt, dalam Jurnal
Middle East-Topics & Arguments 01–2013, hal. 63-67
Kritik Nalar Islam dan Dekonstruksi

Pembahasan utama dalam tulisan ini adalah mengenai metode


tafsir hermeneutis yang dibangun oleh Mohamma Arkoun. Namun,
sebelum masuk kepada pembahasan utama tersebut, sangat penting
untuk terlebih dahulu memahami landasan atau dasar pemikiran
Mohammad Arkoun. Sebelumnya, di pembahasan mengenai biografi
intelektual Arkoun, sudah disinggung mengenai latar belakang
kehidupan dan pendidikannya yang juga mengilhami kesimpulannya
mengenai masalah utama yang dihadapi oleh peradaban Islam di masa
modern ini. Dari latar belakang kehidupan, pendidikan serta kajian
mendalam yang dilakukannya, Arkoun menyimpulkan bahwa masalah
utama yang dihadapi peradaban Islam adalah kebekuan pemikiran dan
prinsip dogmatisme yang menghiasi kehidupan umat Islam. Kebekuan
pemikiran dan dogmatisme yang dijadikan prinsip inilah yang menurut
Arkoun menyebabkan peradaban Islam tidak berkembang dan
mengalami ketertinggalan semenjak empat abad yang lalu.

Setelah menemukan masalah utama yang dihadapinya, Arkoun


pun melanjutkan kajiannya mengenai penyebab atau akar dari masalah
utama tersebut. Dari hasil kajian dan penelitiannya, Arkoun
menetapkan bahwa masalah utama tersebut berakar pada kesalahan
dalam basis epistemologi yang digunakan oleh kalangan Islam saat itu.
Tidak berhenti disitu, Arkoun pun berupaya merespon keseluruhan
masalah tersebut dari akarnya dengan menyajikan sebuah penyelesaian,
lengkap dengan solusi atas masalah tersebut. Penyelesaian tersebutlah
yang akan dibahas dalam bagian ini. Penyelesaiannya atas masalah ini
kemudian, disebut dengan ”Dekonstruksi Nalar Islam atau Kritik
Epistemologi Nalar Islam”. Menurut Arkoun, untuk dapat
merekonstruksi bangunan intelektual Islam, dibutuhkan dekonstruksi
terlebih dahulu atas nalar Islam ortodoks yang berpengaruh luas pada
zaman tersebut.12

12
Usman Khalil dan Abida Khan, Islam and Postmodernity; M. Arkoun on
Deconstruction, dalam Journal of Islamic Thought and Civilization, Vol. 3, No. 1,
2013. Hal 35
Arkoun dalam merumuskan teori dekonstruksinya dipengaruhi
oleh beberapa arus pemikiran, seperti Strukturalisme dan Post-
Modernisme. Karena itu, Arkoun pun tak dapat dikategorikan sebagai
salah satu tokoh di antara beberapa arus pemikiran tersebut.
Pemikirannya yang memandang bahwa dekonstruksi harus diiringi
dengan rekonstruksi adalah salah satu contoh elaborasi dua arus
pemikiran yang berbeda. Selain terpengaruh oleh beberapa arus
pemikiran besar, dalam hal yang sama Arkoun pun mencoba
mengkolaborasikan antara berbagai disiplin keilmuan untuk
mendapatkan suatu metode yang komprehensif dan tajam dalam
mendekonstruksi nalar Islam. Beberapa disiplin keilmuan tersebut ialah
Linguistik (De Saussure), Antropologi (Levi-Strauss), Psikologi
(Lacan), Semiologi (Barthes), Epistemologi (Foucault) and
Grammatologi (Derrida). Dari berbagai disiplin keilmuan inilah
Arkoun membangun metode untuk mendekonstruksi atau mengkritik
nalar Islam.13

Upaya dekonstruksi ini pertama-tama dilakukan dengan


mengajukan kritik atas basis epistimologi dari nalar Islam tersebut.14
Dalam kritiknya atas basis epistemologi Islam, Arkoun tetap
mempertahankan nilai-nilai universal Islam sebagai cirinya yang
utama. Ciri utama lain yang dapat ditemukan dalam kritik dan
pemikiran Arkoun ialah adanya nilai-nilai ilmiah atau intelektualitas
Barat. Artinya, dalam kritik dan bangunan pemikirannya, Arkoun
melakukan penggabungan antara nilai-nilai universal Islam dengan
nilai-nilai intelektualitas barat. Pada akhirnya, inilah yang menjadi ciri
khas utama dari Arkoun. Mohammad Arkoun berupaya untuk
melatakkan dunia Islam dan dunia Barat modern dalam satu garis
kesejalanan yang integratif.15

13
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s
Deconstruction Method, hal. 81
14
Sulhani Hermawan, Mohammad Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam, dalam
Jurnal DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004, hal 101
15
Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s
Deconstruction Method, hal. 80
Pada dasarnya yang ingin didekonstruksi oleh Arkoun dalam
nalar Islam ada ketertutupan, stagnansi, dan penyelewengan yang
terjadi dalam lingkup nalar Islam itu sendiri. Arkoun memandang Islam
sebagai agama yang mulia, malah dimonopoli demi keuntungan satu
atau dua pihak tertentu.

Dalam memulai kritiknya atas nalar Islam, Arkoun terlebih


membedah problematika pembacaan tradisi Islam Arab. Kajiannya
dimulai membaca kembali sejarah dan problem-promblem di dalamnya
kemudian memberikan penafsiran (hermeneutics) atas hal tersebut.
Arkoun berupaya untuk membedah fenomena sosial-kebudayaan
melalui sudut pandang sejarah, yakni dengan memandang sejarah
memiliki tingkatan-tingkatan. Hal ini berarti, fungsi historisitas dalam
metode rekonstruksi adalah pencarian makna melalui penghapusan
relevansi antara teks dan konteks yang selama ini selalu diikat secara
absolut. Metode ini juga dapat digunakan dalam menelaah teks-teks
keagamaan dengan maksud untuk mendapatkan makna-makna yang
tersembunyi di balik teks dan melampaui konteks sejarahnya.16

Dalam kajiannya mengenai tradisi Islam Arab, Arkoun pun


menjelaskan teorinya mengenai dua bentuk tradisi (turats). Menurutnya
tradisi memiliki dua bentuk yang berbeda, pertama tradisi dengan huruf
t besar; Tradisi dan kedua tradisi dengan huruf t kecil; tradisi. Kedua
bentuk tradisi ini memiliki perbedaan yang signifikan. Tradisi (Turats)
dengan huruf t besar (Tradisi atau Turats) adalah tradisi transenden
(Ilahiah) yang selalu dipahami sebagai tradisi ideal yang datang dari
Tuhan sehingga tidak dapat dirubah oleh kejadian sejarah. Tradisi
semacam itu bersifat abadi dan absolut. Sedangkan, tradisi kedua yang
ditulis dengan huruf t kecil (tradisi atau turats) merupakan tradisi yang
dibentuk oleh manusia dalam proses sejarah dan selalu berkaitan
dengan kebudayaan manusia, baik yang merupakan warisan turun-
temurun sepanjang kehidupan maupun interpretasi manusia atas wahyu
Tuhan melalui teks kitab suci. Tradisi (Turats) dengan huruf besar ini

Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s


16

Deconstruction Method, hal. 81


selama sekitar dua puluh tahun telah melibatkan diri dalam kancah
sosial dan budaya yang menentangnya, di Mekkah dan Madinah.
Setelah melalui interaksi dan konfrontasi Tradisi itu menjelma menjadi
tradisi Islam yang berkembang dengan sejarahnya sendiri.17

Tradisi Islam yang ada hari ini adalah hasil pencampuran antara
Tradisi (Turats) dengan huruf besar yang transenden dan tradisi (turats)
dengan huruf kecil yang imanen. Tradisi yang transenden ini adalah
Tradisi Islam yang berisikan nilai-nilai universal absolut yang tidak
dapat dirubah, sedangkan tradisi yang imanen merupakan tradisi Arab
yang masih dapat diterima nilai-nilai universal Islam dan senantiasa
berubah sesuai dengan sejarah. Walau berkolaborasi satu sama lain,
tradisi Islam saat ini tetap lah berupa tradisi yang imanen, bukan yang
transenden. Disinilah letak masalahnya, tradisi Islam yang harusnya
imanen dan terbuka untuk perubahan dan perkembangan, malah
diposisikan sebagai Tradisi yang transenden. Kritik nalar Islam yang
diajukan Arkoun bukan sama sekali bermaksud untuk menghilangkan
tradisi. Namun, Arkoun hanya ingin menempatkan kembali tradisi
(turats) ke posisinya yang sebenarnya, bukan pada posisi yang
dipandang sebagai Tradisi (Turats) transenden dan absolut sehingga
menjadi tertutup dan tidak berkembang. Itulah poin utama dari kritik
nalar Islam yang diajukan Arkoun.

Setelah menetapkan secara jelas batas antara Tradisi transenden


dan tradisi imanen, juga menjelaskan kesalahpahaman epistimologis
yang terjadi di kalangan Islam mengenai tradisi yang ada saat ini, maka
tradisi Islam yang ada saat ini pun siap untuk didekonstruksi atau
dibongkar. Dekonstruksi ini dilakukan dengan membongkar secara
keseluruhan nalar Islam yang dibangun di atas tradisi Islam saat ini
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Artinya tradisi Islam saat ini pun
ikut dibongkar secara keseluruhan. Hal ini dimungkinkan dan
diperlukan karena: (1) pertama, tradisi Islam saat ini adalah hasil
budaya yang terbuka pada perubahan dan perkembangan; (2) kedua,

17
Mohammad Arkoun, Rethingking Islam Today. terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful
Khuluq, (Yogyakarta: LPMI, 1996), hal 79-82
karena tradisi Islam saat ini merupakan tradisi yang belum mengalami
perubahan sejak lebih dari empat abad yang lalu, sedangkan peradaban
manusia secara umum telah mengalami perubahan dahsyat di berbagai
bidang. Artinya, tak ada lagi relevansi antara tradisi Islam saat ini dan
kehidupan saat ini yang sudah mencapai tahap modern.

Di titik ini, setelah mendekonstruksi tradisi dan nalar Islam,


maka tahap selanjutnya terbuka untuk dilakukan. Tahap selanjutnya
tersebut adalah rekonstruksi. Rekonstruki secara umum bermakna
pembangungan atau penyusunan kembali. Dalam konteks ini,
rekonstruksi bermakna penyusunan kembali tradisi dan nalar Islam
yang sudah dibongkar tadi. Dalam rekonstruksi tradisi dan nalar Islam
ini, dilakukan upaya penyempurnaan epistimologis dengan melakukan
penyesuaian dan penyelarasan dengan nalar ilmiah modern. Sehingga
ciri dari tradisi dan nalar Islam yang akan muncul adalah keterbukaan,
progresifitas, dan kritis. Tradisi dan nalar Islam semacam ini akan
meninggalkan keterbatasan, pembekuan, penyelewangan wacana serta
monopoli agama seperti yang terjadi pada tradisi dan nalar Islam
sebelumnya.18

Disinilah letak pengharmonisan antara tradisi Islam yang mulia


dan tradisi barat modern yang berharga. Arkoun sama sekali tidak
melihat adanya kecenderungan keterpisahan antara kedua tradisi
tersebut. Bagi Arkoun, dengan penyesuaian diri (kontekstualisasi)
tradisi Islam dengan tradisi barat modern adalah solusi untuk
menghantarkan Islam ke posisi yang lebih baik dan cemerlang. Sejauh
ini, Arkoun telah berhasil merombak struktur berfikir personal sampai
dengan tradisi komunal yang terbangun dalam Islam selama ini. Dari
titik ini, Arkoun mulai memasuki ranah lain yang lebih spesifik dan
mendalam, yakni mengenai metode penafsiran ayat-ayat suci al-Qur'an.
Metode penafsiran yang diajukan oleh Arkoun pun tidak terlepas dari
dasar pemikirannya yang sudah dibahas ini. Fondasi metode tafsirnya
tetap terambil dari dasar epistimologi yang dibangunnya dengan

Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s


18

Deconstruction Method, hal. 86-87


harmonisasi tradisi Islam dan barat modern. Walau begitu,
pandangannya ini masih dapat dikatakan sepi peminat sampai dengan
saat ini. Mayoritas kalangan Islam, masih enggan untuk menerima
adanya perubahan dan tak mau menerima kritik dari dalam yang
diajukan oleh Arkoun yang mana seorang muslim pula. Tidak dapat
dipungkiri penyelesaian dan solusi yang diajukan Arkoun ini hanya
dapat berfungsi ketika, setiap pribadi muslim dapat mendekonstruksi
pemikirannya sendiri yang masih terkungkung tradisi Islam yang salah
kaprah. Sisi baiknya di kalangan akademisi, walau masih bisa
dikatakan minor, Arkoun tetap menarik perhatian yang mendalam.
Sehingga kajian yang mengenai pemikirannya tetap ada sampai saat ini.

Hermeneutika dan Tafsir Progresif Al-Qur'an

Sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya, setelah


mendekonstruksi nalar dan tradisi Islam dan merekonstruksinya
dengan memadukannya dengan tradisi barat modern, Arkoun
melanjutkan kajiannya secara lebih spesifik. Dalam hal ini yang diberi
perhatian oleh Arkoun adalah mengenai penafsiran al-Qur'an. Tafsir
Qur'an menjadi perhatian Arkoun, karena persoalan ini juga menjadi
hal yang mendasar bagi kehidupan umat Islam. Selain itu, penafsiran
al-Qur'an saat itu dan mungkin sampai saat ini, dinilai menjadi alat bagi
kepentingan kelompok tertentu. Arkoun yang melihat fenomena
penyelewengan dan diperalatnya al-Qur'an, juga kemendasaran al-
Qur'an dalam kehidupan umat Islam memutuskan untuk menjadikan
bidang tafsir sebagai fokus yang akan dikajinya.

Pada dasarnya masalah yang ada dalam lingkup kajian tafsir


tidak jauh berbeda dengan persoalan basis epistimologis. Kebanyakan
umat Islam tidak mau meninggalkan ortodoksi dan dogmatisme-nya,
sehingga penafsiran al-Qur'an menjadi begitu kaku dan tertutup. Dari
sini pula lah awal terjadinya pengabsolutan tafsir Qur'an dengan klaim
kebenaran serta monopoli al-Qur'an demi keuntungan kelompok
tertentu. Bagi Arkoun dalam membaca teks Qur'an diperlukan metode
khusus yang berkaitan dengan hermeneutika. Karena, hanya dengan
pendekatan hermeneutis lah makna yang didapatkan akan lebih
mendekati kesempurnaan. Hermeneutika pada dasarnya adalah alat
untuk dapat memahami teks secara lebih signifikan. Namun,
pendekatan ini pun telah melalui perkembangan yang cukup panjang,
sehingga menghasilkan beberapa tipologi metode hermeneutis.

Secara umum tipologi pendekatan hermeneutis yang


berkembang adalah sebagai berikut :

1. Tipologi quasi-obyektivis tradisionalis, yakni pendekatan yang


menafsirkan dengan mencari makna objektif dari teks melalui
berbagai hal yang berkaitan dengan teks, seperti bahasa, kondisi
sosial penulis, bahkan kondisi psikologis penulis.
2. Tipologi subyektivis, pendeketan yang dalam menafsirkan
menghilangkan sama sekali peran penulis. Penulis hanya
diposisikan sebagai pemberi tanda-tanda saja, tanpa
menyiratkan makna di dalamnya. Makna yang sebenarnya
adalah apa yang ditangkap oleh pembaca dan bukan yang
dimaksudkan oleh penulis.
3. Tipologi terakhir yakni quasi-obyektivis modernis yang
merupakan metode atau pendekatan yang juga berupaya untuk
mencapai makna objektif dari teks melalui studi bahasa,
gramatika, dan konteks-konteks yang melingkupi tulisan
tersebut saat dituliskan. Namun, berbeda dengan tipologi yang
pertama, tipologi ini dalam menyimpulkan makna objektifnya
juga ikut mempertimbangkan konteks pembaca dan lingkungan
pembacanya. Sehingga, makna yang didapatkan tak sekadar
objektif namun juga relevan dengan konteks pembacanya.19

Ketiga tipologi interpretasi ini sangat umum digunakan saat ini,


baik untuk menginterpretasi teks pada umumnya, maupun teks suci
agama. Setelah memaparkan metodologi interpretasi Qur'an yang
diajukan Arkoun, maka kita dapat melihat di mana sebenarnya posisi
Arkoun di antara tiga tipologi ini.

19
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hal. 73-
78
Sebelum membahas mengenai tafsir progresif yang
dimaksudkan sebagai metode tafsir yang diajukan Arkoun, akan
dijelaskan terlebih dahulu, bagaimana Arkoun memandang al-Qur'an
beserta wahyu-wahyu Tuhan di dalamnya.

Dalam penjelasannya mengenai wahyu, Arkoun menyatakan :

“The Islamic conception of revelation is called tanzil


(“descent”), a fundamental metaphor for the vertical gaze
human beings are invited to cast toward God,
transcendence. Tanzil refers to the object of a revelation;
the Qur’an speaks also of wahy, which is the very act of
revelation by God to the prophets. Here is how the
Qur’an details the mechanisms of wahy in Sura 42, verse
51/52.”20

Oleh karena itulah, Arkoun tidak menerjemahkan kata


Wahyu. Kompleksitas makna dari kata wahyu tak dapat
disetarakan dengan kata apapun dalam bahasa manapun. Arkoun
hanya menjelaskan bahwa wahyu melewati beberapa cara untuk
tersampaikan dari Tuhan menuju nabui. Di antara beberapa
caranya adalah dengan menanamkan suatu substansi makna ke
dalam diri nabi, sekaligus menanamkan keyakinan bahwa itu
datang dari Tuhannya.

Selanjutnya, masih mengenai wahyu, Arkoun membaginya ke


dalam dua tingkatan. Pertama, wahyu yang disebut Qur’an sebagai
Ummul Kitab (Induk Kitab), seperti dalam Qur'an Surah: al-Zukhruf
ayat 4. Kedua ialah kitab-kitab yang diturunkan langsung kepada
manusia, termasuk Gospel, Injil, Taurat dan al-Qur’an. Wahyu dalam
tingkat pertama atau Ummul Kitab adalah Induk Kitab yang berada di
langit, wahyu yang absolut dan sempurna, sekaligus asal dari Taurat,
Injil dan al-Qur’an. Pada tingkatan pertama (Ummul Kitab), wahyu tak
terikat oleh waktu atau bersifat abadi, serta mengandung kebenaran

20
Mohammad Arkoun, Rethinking Islam; Common Questions, Uncommon Answers,
(Oxford: Westview Press, 1994), hal 31
tertinggi yang absolut. Wahyu tipe ini tidak termuat dalam bahasa
ataupun gambaran, melainkan kumpulan makna tanpa bentuk.
Sehingga, menurut Arkoun, wahyu tingkatan pertama yang
mengandung kebenaran absolut ini di luar jangkauan pemahaman
manusia, karena bentuk wahyu yang seperti ini diamankan dalam al-
Lawh al-Mahfudz dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri.
Manusia hanya dapat menjangkau atau mengetahui wahyu pada
tingkatan yang kedua, karena sudah memiliki bentuk dan tersampaikan
melalui bahasa manusia. Dalam istilah Arkoun, whyu tingkatan kedua
ini dinamakan “edisi dunia” (edition terrestres). Menurutnya, pada
tingkat kedua ini, wahyu yang berasal dari Ummul Kitab telah
mengalami modifikasi dan substitusi berupa penyesuaian dengan
konteks tempat dan waktu diturunkannya.21

Dalam rangka analisisnya terhadap al-Qur'an, Arkoun kembali


membagi wahyu tingkatan kedua ke dalam dua bagian atau peringkat.
Pertama adalah wahyu yang berupa ”ujaran lisan” yang difirmankan
Tuhan kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh Tahun,
di Mekkah dan Madinah. Peringkat yang kedua adalah wahyu yang
sudah mengalami transkripsi dari bentuk lisan ke bentuk tulisan.
Wahyu tipe kedua inilah yang kita kenal sebagai mushaf. 22

Wahyu tipe pertama memiliki kemurnian karena berupa ujaran


yang difirmankan langsung kepada Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan, wahyu tipe kedua, karena telah melalui proses transkripsi
yang tidak secara langsung (beberapa Tahun setelah wafatnya Nabi),
maka sangat memungkinkan menghilangkan banyak hal, baik dalam
teks maupun konteks. Atas pandangannya tersebut, Arkoun tidak
menerima kebenaran absolut dari mushaf al-Qur'an sebagaimana yang
diklaim oleh kalangan Islam ortodoks dan eksklusif. Baginya
kebenaran absolut hanya ada pada wahyu tingkatan pertama yang tanpa

21
Abdul Kadir Hussain Salihu, Hermeneutika Al-Qur’an menurut Muhammad
Arkoun: Sebuah Kritik, dalam Jurnal ISLAMIA: Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam, Vol. I, No. 2 (Juni-Agustus 2004), hal. 21.
22
Zaglul Fitrian Djalal, Pembacaan al-Qur'an dalam Perspektif Mohammad Arkoun,
dalam Jurnal Islamuna, Vol. 3, No. 1 (Juni 2016), hal 5-6
bentuk atau bahasa (Ummul Kitab) dan wahyu tingkatan kedua bagian
pertama yang berupa ujaran langsung Tuhan kepada Nabi Muhammad.
Namun, wahyu pada tingkatan kedua bagian pertama pun sudah tak
dapat diakses lagi hari ini.23 Maka dari itu, tafsir atau interpretasi atas
aa-Qur'an hanya dapat dilakukan pada wahyu tingkatan kedua bagian
kedua, yakni wahyu yang berupa mushaf atau teks yang sudah
dibakukan. Walau begitu, upaya tafsir yang digunakan tidak akan dapat
mengungkap makna kebenaran sejati dari teks tersebut. Karena itulah,
tafsir atas mushaf Qur'an pun tidak bisa dibakukan atau diklaim sebagai
kebenaran sejati. Tafsir Qur'an yang seharusnya, bagi Arkoun adalah
tafsir yang senantiasa terbuka akan penyesuaian dan penyempurnaan
atau dapat dikatakan progresif. Dari sinilah penulis mengambil isltilah
tafsir progresif al-Qur'an. Progresif bermakna selalu terbuka atas
perubahan menuju kemajuan atau penyempurnaan. Walau kebenaran
absolut tak dapat digapai, namun dengan upaya tafsir yang progresif,
setidaknya kita dapat semakin mendekati kebenaran tersebut.

Berlanjut kepada studi Muhammad Arkoun atas teks al-Qur’an


atau upaya penafsiran dan metode yang diajukannya. Upaya penafsiran
menurut Arkoun adalah untuk mencari makna lain yang tersembunyi di
dalam teks al-Qur'an. Maka, harus dilakukan dekonstruksi atas teks
untuk dapat menuju rekonstruksi atau rekontekstualisasi. Mohammad
Arkoun termasuk pemikir Islam yang sangat berani sekaligus bijak
dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam upaya atau metode penafsirannya,
Arkoun tidak hanya mengambil dari tradisi Islam, melainkan juga
memadukannya dengan tradisi barat modern. Karena itu metode tafsir
yang digunakan Arkoun bersifat multidisipliner, karena mengaitkan
banyak cabang keilmuan, untuk mencapai makna yang tersembunyi di
balik teks dan merekontekstualisasikannya dengan masa yang
seharusnya. Cabang-cabang keilmuan yang dikaitkan Arkoun ini, di
antaranya adalah antropologi, psikologi, sosiologi, linguistik,
grammatologi, dan beberapa cabang keilmuan lainnya. Adapun metode

23
Mohammad Arkoun, “Exploration and Responses: New Perspectives for A Jewish-
Christian-Muslim Dialogue”, dalam Journal of Ecumenical Studies. Summer, 1989,
hal. 526
interpretasi progresif yang dihasilkan dari pengaitan antara berbagai
cabang keilmuan tersebut adalah metode lingkaran bahasa-pemikiran-
sejarah.24

Menurut Arkoun, upaya penafsiran yang komprehensif adalah


dengan melihat keterkaitan antara dimensi bahasa, pemikiran dan
sejarah dari suatu teks. Untuk dapat melakukan penafsiran hermeneutis
ini, langkah awal yang harus dilalui adalah dengan membedah,
memilah dan menunjukkan mana yang merupakan teks pertama atau
teks pembentuk dan mana yang merupakan teks hermeneutis. Teks
pertama atau teks pembentuk adalah teks asli yang belum sama sekali
diinterpretasi, sedangkan teks hermeneutis adalah teks yang sudah
terlebih dahulu melalui proses pemahaman atau pemaknaan dari orang
lain. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, Arkoun berniat untuk
mengembalikan pemikiran dan kajian Islam ke wacana al-Quran
sediakala, yakni wacana yang terbuka terhadap berbagai pembacaan
yang dengan demikian terbuka pula terhadap berbagai pemahaman.

Dalam hal penafsiran teks al-Qur'an, Arkoun mengalami sedikit


kesulitam karena teks al-Qur'an sebagai teks pertama atau teks
pembentuk telah tertimbun begitu dalam oleh teks kedua atau teks
hermeneutis. Ketertimbunan yang begitu dalam tersebut menghalangi
pembaca untuk memahami Alquran dalam keadaannya yang semula.
Untuk mengatasi problem tersebut, Arkoun menggunakan metode
dekonstruksi Derrida dan analisis arkeologis-filologis. Dengan analisis
arkeologis-filologis, didapatkan semacam klarifikasi sejarah mengenai
teks hermeneutis yang berasal dari tradisi pemikiran tertentu.
Fungsinya adalah untuk memperjelasnya dengan membersihkan
”penghalang” ruang dan waktu yang menempatinya, sehingga dengan
begitu dapat terlihat hubungan yang jelas antara teks sejarah dan
konteks sosial, antropologis, serta arus pemikiran yang beragam dan
berada dalam satu waktu yang sama.

Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s


24

Deconstruction Method, hal. 82-83


Selain menunjukkan hubungan antara pemikiran dan sejarah,
Arkoun pun memperlihatkan hubungan yang tak terpisahkan antara
pemikiran dan bahasa. Baginya, pemikiran atau kajian keIslaman yang
ada merupakan cerminan dari dinamika interaksi antara realitas
sosiokultur dan sosio historis yang juga diungkapkan dan dirumuskan
dalam bahasa tertentu. Ini menunjukkan adanya keterkeitan erat
tersebut antara bahasa, pemikiran dan sejarah. Pada metode analisisnya
ini, Arkoun menggunakan berbagai cabang ilmu tersebut, misalnya
yakni cabang ilmu grammatologi dan linguistik yang digunakan untuk
mendapatkan makna sebenarnya dari teks, kemudian juga analisis
antropologi dan sosiologi untuk mengungkap realitas yang ditempati
oleh teks, serta arkeologi-filologi yang digunakannya untuk
mendapatkan kesimpulan sejarah yang meyakinkan.

Menurut hemat penulis, melalui pandangannya ini Arkoun


hendak menyampaikan bahwa untuk dapat mendekonstruksi teks
diperlukan kajian atas teks tersebut melalui metode analisis lingkaran
bahasa-pemikiran-sejarah. Ketika teks sudah dibongkar sedemikian
rupa, maka yang tersisa adalah makna murni dari teks itu saja. Disinilah
teks dan konteks dihapuskan relevansinya, untuk kemudian teks murni
yang awalnya tersembunyi tersebut dapat di rekonstruksi melalui upaya
rekontekstualisasi dengan realitas yang baru. Dalam
merekontekstualisasikan teks, Arkoun menggunakan studi antropologi,
psikologi dan sosiologi untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan
realitas masa kini yang ada di luar teks.

Arkoun menggunakan metodologinya ini untuk mendapatkan


pengetahuan dan pemahaman baru dari teks al-Qur'an. Untuk dapat
melakukan itu, tentunya umat Islam harus dapat menerima pandangan
Arkoun yang menyatakan bahwa al-Qur'an yang berupa mushaf saat ini
tidak lain adalah perkataan, fenomena bahasa, pemikiran, kebudayaan,
dan keagamaan yang lahir dalam suasananya sendiri.25 Namun,
pernyataan ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan al-Qur'an,

Siti Rohmah Soekarba, The Critique Of Arab Thought: Mohammad Arkoun’s


25

Deconstruction Method, hal. 81-82


melainkan sebuah upaya untuk mengangkat penafsiran al-Qur'an untuk
mendekati kesempurnaan dari al-Qur'an itu sendiri, yang mana
kesempurnaan tersebut bersifat transenden. Hal ini juga dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur'an selalu terbuka dan
progresif menghantarkan pada kemajuan, bukannya kemunduran.
Artinya, setiap upaya penafsiran al-Qur'an harus disesuaikan dengan
kemajuan zaman dan itu adalah cara terbaik untuk menyempurnakan
penafsiran al-Qur'an itu sendiri.
Dari sini dapat dilihat dengan jelas, metodologi tafsir yang
diajukan oleh Arkoun termasuk dalam tipologi ketiga, yakni tipologi
quasi-obyektivis modernis. Ini terlihat dari metode tafsirnya yang
cenderung terbuka pada perubahan dan menerima progresifitas
penafsiran. Artinya, penafsiran atas teks akan selalu terbuka melalui
penyesuaiannya dengan kontek realitas di luar teks di saat teks akan
ditafsirkan. Semakin maju peradaban, maka penafsiran akan teks al-
Qur'an pun harus memanfaat kemajuan tersebut, untuk mendapatkan
tafsir yang sesuai dengan konteks saat itu. Inilah yang dimaksud
dengan tafsir progresif. Walau termasuk dalam tipologi ini, bukan
berarti metode tafsir yang dibangun Arkoun ini sama dengan metode
lain yang memiliki tipologi yang sama. Metode tafsir yang dibangun
Arkoun tetap memiliki keunikannya sendiri yang mendasar dan
membedakannyan dengan tafsir yang bertipologi serupa.
Daftar Pustaka
Arkoun, Mohammad. Exploration and Responses: New Perspectives
for A Jewish-Christian-Muslim Dialogue”, dalam Journal of Ecumenical
Studies. Summer, 1989.

_________. Gagasan tentang Wahyu : Dari Ahli Kitab sampai


Masyarakat Kitab dalam Islam di Perancis: Gambaran Pertama, HLM
Chamert Loir dan NJG Kaptein (ed), (Jakarta : INIS), 1993.

_________. Rethingking Islam Today, terj. Yudian W. Asmin dan


Lathiful Khuluq, (Yogyakarta: LPMI), 1996.

__________. Menuju Pendekatan Baru Islam, dalam Jurnal Ulumul


Qur`an No. 7 Vol. II (Jakarta: LSAF), 1990.

__________. Rethinking Islam; Common Questions, Uncommon


Answers, (Oxford: Westview Press), 1994.

Gunther, Ursula. Mohammad Arkoun: An Intellectual in Revolt,


dalam Jurnal Middle East-Topics & Arguments 01–2013.
Hermawan, Sulhani. Mohammad Arkoun dan Kajian Ulang
Pemikiran Islam, dalam Jurnal DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004.
Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat. (Jakarta: Gema Insani
Press), 2005.

Khalil, Usman dan Abida Khan. Islam and Postmodernity; M.


Arkoun on Deconstruction, dalam Journal of Islamic Thought and
Civilization, Vol. 3, No. 1, 2013.

Muhtar, Fathurahman. Pemikiran Islam Kontemporer


Mohammad Arkoun dalam Jurnal Islamica, Vol. 2, No. 1, September
2007.
Nasruddin. Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun, dalam Jurna Maghza,
Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016.

Putro, Suadi. Muhammad Arkoun tentang Islam dan


Modernitas, (Jakarta: Paramadina), 1998.
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi atas
Pemikiran Mohammad Arkoun, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya), 2000.
Salihu, Abdul Kadir Hussain. Hermeneutika Al-Qur’an menurut
Muhammad Arkoun: Sebuah Kritik, dalam Jurnal ISLAMIA: Majalah
Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol. I, No. 2, Juni-Agustus 2004.
Soekarba, Siti Rohmah. The Critique Of Arab Thought:
Mohammad Arkoun’s Deconstruction Method, dalam Jurnal Makara,
Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2, Desember 2006.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur’an. (Yogyakarta: Nawesea Press), 2009.

Anda mungkin juga menyukai