Anda di halaman 1dari 4

Bantahan Terhadap Tuduhan Kaum Orientalis

Ada beberapa orientalis yang berpendapat bahwa kisah-kisah masa lampau yang dikemukakan Al Quran diketahui Nabi Muhammad SAW dari seorang pendeta atau beliau menjiplak dari kitab Perjanjian Lama. Pendapat ini jelas tidak benar dari banyak segi. Pertama, Nabi Muhammad SAW tidak pernah belajar pada siapapun. Memang pada masa kanakkanak beliau pernah ikut berdagang pamanya ke Syam dan bertemu dengan rahib yang bernama Buhaira yang meminta pamannya agar memberi perhatian serius pada nabi karena dia melihat tanda-tanda kenabian pada beliau. Namun pertemuan ini pun hanya terjadi beberapa saat. Di sini kita bertanya, kalau remaja kecil (Muhammad saw) belajar pada rahib itu, apakah logis dalam pertemuan singkat itu beliau memperoleh banyak informasi yang mendetail, bahkan sangat akurat? tentu saja tidak. Seorang orientalis yang bernama Montgomery Watt yang berkata bahwa Nabi Muhammad saw belajar pada Waraqah bin Naufal. Menurutnya, Khadijah merupakan anak paman Waraqah bin Naufal, sedangkan ia merupakan agamawan yang akhirnya menganut agama Kristen. Tidak dapat disangkal Khadijah berada di bawah pengaruhnya dan boleh jadi Muhammad telah menimba sesuatu dari semangat dan pendapat-pendapatnya. Kita mengakui kalau Waraqah beragama Kristen, tapi bahwa Muhammad datang belajar kepadanya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Hal ini karena menurut berbagai riwayat, kedatangan beliau menemui Waraqah adalah setelah beliau menerima wahyu dan bukan sebelumnya. Di sisi lain, Waraqah berpendapat bahwa yang datang pada Nabi Muhammad saw di gua Hira itu adalah malaikat yang pernah datang pada Nabi Musa dan Isa a.s., dan beliau menyatakan bahwa seandainya hidup saat Muhammad dimusuhi kaumnya, niscaya dia akan membelanya. Jika demikian, logiskah jika Nabi Muhammad saw belajar kepadanya setelah Waraqah mengakui kenabiannya?[19] Tidaklah tepat jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw mempelajari Kitab Perjanjian Lama, karena disamping beliau tidak dapat membaca dan menulis, juga karena terdapat sekian banyak informasi yang dikemukakan dalam Al-Quran yang tidak termaktub dalam kitab Perjanjian Lama ataupun kitab Perjanjian Baru, misalnya kisah Ash hab Al-Kahfi. Kalaupun ada yang sama, seperti beberapa kisah nabi-nabi, namun dalam rincian atau rumusannya terdapat perbedaaan-perbedaan yang signifikan. Walaupun terjadi persamaan kisah dalam garis besarnya, bukan lalu merupakan bukti penjiplakan. Apakah jika seseorang pada puluhan tahun yang lalu melukis candiBorobudur, kemudian kini datang pula pelukis lain yang melukisnya dan ternyata lukisan itu sama atau mirip dengan yang sebelumnya apakah Anda berkata bahwa pelukis kedua menjiplak dari pelukis pertama? Nabi Muhammad saw sejak dini telah mengakui bahwa beliau adalah pelanjut dari risalah para nabi. Beliau mengibaratkan diri beliau dengan para nabi sebelumnya bagaikan seorang yang membangun rumah, maka dibangunnya dengan sangat baik dan indah, kecuali satu bata di pojok rumah itu. Orang-orang berkeliling di rumah tersebut dan mengaguminya sambil berkata, Seandainya

diletakkan bata di pojok rumah ini, maka Akulah (pembawa) bata itu dan Akulah penutup para nabi. Demikian sabda Beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Jabir bin Abdillah.[20] Relevansi Kisah dengan Sejarah Belakangan ini gencar ide ide dari kalangan sarjana islam barat yang mempertanyakan tentang historisitas kisah-kisah dalam Alquran, Ulil Abshar Abdallah adalah salah satu contohnya, di blog pribadinya dia menulis keterangan sebagai berikut: Selama ini kita memahami mukjizat secara fantastis sebagai peristiwa-peristiwa besar seperti Musa membelah dan menyeberangi Laut Merah dengan tongkatnya, atau banjir bandang pada masa Nuh yang menelan seluruh manusia di bumi, atau Yesus yang menghidupkan orang mati, atau Muhammad yang mengendarai hewan buraq dan melesat terbang ke langit tujuh dalam peristiwa Isra-Miraj, dsb.. Kita tak pernah benar-benar bisa tahu bahwa kejadian-kejadian fantastis di masa lampau itu benarbenar faktual pernah tejadi. Boleh jadi itu hanya dongeng yang dipungut oleh Quran dari khazanah folklore Yahudi yang tersebar di kawasan Timur Tengah saat itu sekedar untuk medium penyampaian pesan dakwah. Yang penting bukanlah mukjizat fantastis itu. Tetapi pesan apa yang hendak disampaikan oleh dongeng mukjizat itu [21]. Sebenarnya akar pandangan yang mempertanyakan keabsahan kisah dalam Alquran ini sudah mengemuka sejak terbitnya al fanni al qishashi fi al quran al karim , sebuah judul untuk desertasi yang diajukan Muhammad Ahmad Kholfullah pada tahun 1927 yang berakhir dengan ditolaknya desertasi tersebut[22]. Salah satu inti dari desertasi tersebut adalah tentang warna kisah dalam alquran, ada yang memiliki realitas sejarah, ada yang hanya sebagai majas tamsiliyah dan ada yang berbentuk folklore[23]. Menurut Muhammad Ahmad Kholfullah sendiri unsur-unsur kisah dalam Al quran seperti peristiwa, dan karakter atau pemeran adalah unsur yang bisa terjadi dalam sejarah atau kadang hayalan atau bentuk imajinasi pikiran saja[24]. Ahmad Kholfullah dan Ulil Abshar tidak menampik jika dalam Al quran ada unsur fiksi, dalam fiksi ada kebebasan tanpa batas. Penulis bisa pergi ke mana saja, melanglang buana semaunya, menghentikan waktu dan menjalankannya kembali, semua itu bisa dilakukan kapan saja. Penulis fiksi juga bisa menciptakan makhluk-makhluk aneh yang belum sempat tuhan ciptakan, membangun sebuah pulau yang tak pernah tercatat dalam sejarah, mematikan tokoh protagonis, memberi penghargaan kepada tokoh antagonis, membalik segalanya, merusak segalanya, mendekonstruksi realita sehari-hari dengan imajinasi. Ya, dengan menulis fiksi, penulis bisa melakukan apa saja. Menurut mereka tidak penting Apakah kisah ajaib Musa, para nabi atau Muhammad sungguhsungguh nyata atau hanya fiktif belaka, yang terpenting adalah pesan Alquran tersampaikan, seperti keterangan Ulil sebagai berikut: pelajaran yang penting dari suatu mukjizat dan keajaiban bukanlah soal apakah kejadian itu faktual atau tidak. Bagi saya, tak terlalu penting apakah Musa benar-benar membelah laut dan

menyeberangkan ribuan orang Israel dari Mesir untuk menghindar dari perbudakan yang mereka derita di sana[25].

Historisitas atau ahistorisitas kisah dalam Al quran menjadi diskusi panjang, seperti Abdul Karim Khotib dalam Al Qishah Al Qurany fi Mantuqihi wa Mafhumihi memberikan porsi yang banyak dari buku tersebut demi mengkritik buku karangan Ahmad Kholfullah sebagai bentuk caunter attack terhadap pandangan yang menyatakan adanya unsure fiksi dalam Al quran. Khotib menyatakan bahwa kisah dalam Al quran adalah nyata seperti dalam Al quran QS. 3:62 Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Menurut As-Suyuthi, kisah dalam al-Quran sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengingkari sejarah, lantaran sejarah dianggap salah dan membahayakan Al-Quran. Kisah-kisah dalam Al-Quran merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran kepada umat manusia dan bagaimana mereka menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah. Hal ini dapat dilihat bagaimana Al-Quran secara eksplisit berbicara tentang pentingnya sejarah, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 140 : Dan masa( kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).

Kisah-kisah yang ada dalam Al-Quran tentu saja tidak dapat dianggap semata-mata sebagai dongeng, apalagi Al-Quran adalah kitab suci yang berbeda dengan bacaan lainnya. Memang sering timbul perdebatan, apakah kisah-kisah tersebut benar-benar memiliki landasan historis atau sebaliknya ?, sebagai kisah yang historis, sejauh manakah posisi Al-Quran dalam memandang sejarah sebagai suatu realitas ? Sebagai kitab suci, Al-Quran bukanlah kitab sejarah, sehingga tidak adil jika Al-Quran dianggap mandul hanya karena kisah-kisah yang ada didalamnya tidak dipaparkan secara gamblang. Melalui studi yang mendalam, diantaranya kisahnya dapat ditelusuri akar sejarahnya, misalnya situssitus sejarah bangsa Iran yang diidentifikasikan sebagai bangsaAd dalam kisah Al-Quran, AlMutafikat yang diidentifikasikan sebagai kota-kota Palin, penemuan tentang adanya kemungkinan laut bisa terbelah sebagaimana terjadi pada zaman musa, dan baru-baru ini ditemukan kerangka perahu yang disinyalir adalah perahu nabi Nuh. Kemudian berdasarkan penemuan-penemuan modern, mummi Ramses II di sinyalir sebagai Firaun yang dikisahkan dalam Al-Quran. Disamping itu memang terdapat kisah-kisah yang tampaknya sulit untuk dideteksi dari sisi historisnya, misalnya peristiwa Isra Miraj dan kisah Ratu Saba. Karena itu sering di sinyalir bahwa kisah-kisah dalam Al-Quran itu ada yang historis ada juga yang a-historis.

Meskipun demikian, pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk dijadikan bahan penyelidikan menurut kacamata pengetahuan modern, misalnya mengenai raja-raja Israil yang dinyatakan dalam Al-Quran. Mohammad Ghozali Al Quran adalah kitab dakwah dan sejarahnya, dengan adanya pemaparan sejarah manusia-manusia zaman dahulu menjadi lebih jelaslah dakwah Al Quran[26]. Pesan yang disertai dengan bukti sejarah akan lebih menancap ke dalam hati dan akal manusia. Lengkap sudah keindahan dan keagungan Al Quran, memiliki gaya bahasa dan kata-kata indah sekaligus menyuguhkan sejarah hidup tepat dihadapan pembaca.

Anda mungkin juga menyukai