Andrew Rippin, Analisis Sastra Terhadap al-Qur'an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John
Wansbrough. Hlm. 201. Lihat juga Fazlur Rahman, Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi
Agama. Hlm.249. Kedua tulisan di atas ada dalam buku Richard C. Martin (ed.), Pendekatan
Kajian Islam dalam Studi Agama, pen. Zakiyuddin Bhaidhawy, (Surakarta: Muhammadiyah
University Press), cet.2, 2002
2
muslim. Maka dari itu al-Qur'an mengatakan pada mereka (surat 19:114),
Ibrahim berdoa memohonkan ampun bagi ayahnya hanya karena ia pernah
berjanji (dengan kata lain ia benar-benar telah memutuskan hubungan
kekeluargaan dengannya). Hal ini menurut Fazlur Rahman masing-masing ayat
ini cocok untuk lingkungan historis Nabi di Mekkah dan Madinah. Selain itu
coba lihat surat 11:27-29, dimana Nuh diminta oleh para pembesar kaumnya
agar melemparkan pengikutnya yang berkelas rendah sebelum mereka
bergabung dengannya adalah sesuai dengan situasi Muhammad pada tahuntahun terakhir di Mekkah, atau surat 7:85 Syuaib diutus kepada kaumnya
untuk menasihati mereka agar jujur dalam berdagang. Tentu saja ini juga
merupakan problem yang dihadapi Muhammad dalam masyarakatnya. Semua
contoh di atas memberi kesimpulan bahwa al-Qur'an berhubungan erat dengan
aktivitas Nabi.4
Rippin membela diri atas paparan yang ditulis Fazlur Rahman bahwa kita
tidak tahu dan tidak pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Apa yang oleh kita, lanjut Rippin, dapat diketahui adalah apa yang orang-orang
kemudian dipercayai atau diyakini sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi
oleh orang-orang kemudian. Ia berkomentar bahwa sumber-sumber sejarah
mendukung untuk merekam pertimbangan tentang apa yang sesungguhnya
terjadi. Keinginan untuk merekam apa yang terjadi pada masa lalu, lanjut
Rippin, adalah suatu tugas yang tidak masuk akal atau secara teoritik adalah
tugas yang tidak mungkin. Islam memiliki sejarah, tetapi keinginan untuk
4
tersebut
merupakan
otentisitas
sejarah
yang
dapat
Rippin., Ibid.
Ibid.
Ibid.
yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikuti model periwayatan teks
orisinal pantekosta dan kanonisasi kitab suci Ibrani.8
Masih menurut keduanya, untuk menyimpulkan teks yang diterima dan
selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang
belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Qur'an baru menjadi
baku setelah tahun 800 M. Lebih jauh lagi Rippin mengatakan, Al-Qur'an tidak
diturunkan kepada satu orang, tetapi merupakan kumpulan atau pengeditan oleh
sekelompok orang selama beberapa abad.9 Jadi, al-Qur'an yang kita baca
sekarang ini tidak sama dengan apa yang ada pada abad ke 7M. kemungkinan
merupakan hasil abad 8M dan 9M.10
Akibatnya, tahap pembentukan Islam tidak berlangsung pada masa
Muhammad, namun berkembang selama 200-300 tahun berikutnya. Sumbersumber materi bagi periode ini, sangat sedikit. Dan di luar dugaan, semua
sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum 750 M tidak ada dokumen yang
bisa diverifikasi yang bisa menjelaskan periode pembentukan Islam ini. Periode
klasik ini menggambarkan masa lalu tetapi dari sudut pandangnya sendiri,
seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya yang cenderung mengingat
hal-hal yang manis saja. Sehingga kesaksian ini bersifat tidak obyektif dan oleh
karena itu tidak dapat diterima sebagai otentik.11
http://www. Faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?p=8619
Rippin 1985:155. lihat http://www. Faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?p=8619.
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid.
C. Asbab an-Nuzul
Dalam karya John Wansbrough yang berjudul Quranic Studies:Sorces
And Methods Of Scriptural Interpretation, sejumlah tesis dicetuskan mengenai
asbab an-nuzul, atau peristiwa-peristiwa pewahyuan. Keseluruhan pandangan
Wansbrough salah satunya secara kritis diambil dari as-Suyuti. Materi asbab
merupakan poin rujukan utamanya dalam karya-karya yang berusaha untuk
mengambil hukum dari teks al-Quran, yaitu, karya
halakhic. Dia
12
bisa memenuhi apa yang Wansbrough pandang sebagai fungsi esensial, yang
membentuk sebuah kronologi pewahyuan.
Berdasarkan hal di atas, Andrew Rippin mencoba melakukan investigasi
khusus terhadap fungsi dari asbab dalam penafsiran, yaitu untuk mengajukan
pertanyaan mengenai apa yang diselesaikan dalam cerita-cerita asbab? Apakah
mereka (para penafsir) memberikan sejarah atau penafsiran? Apakah dalam
karakternya hal itu merupakan haggadic atau halakhic penafsiran? Petanyaan
tersebut ditujukan untuk analisis literal mengenai cerita itu sendiri dan juga
dengan melihat penggunaan materi tersebut di dalam teks penafsiran.
Pertanyaan yang dikemukakan dalam nada ini adalah sebagai berikut: mengapa
di dalam konteks sebuah karya seperti dalam karya at-Tabari materi asbab
nuzul dikemukakan? Apa tujuan penafsir mengemukakan hal itu? Apa yang dia
harap untuk selesai dengan melakukannya? Apa yang dia lakukan terhadap
materi tersebut setelah dia mengemukakannya?13
Dalam penelitiannya, Rippin memakai pendekatan yang digunakan
Wansbrough, yaitu kritik sastra dan kritik historis. Andrew Rippin membuat
frame work investigasinya yang dibatasi pada karya-karya penafsiran yang
dihasilkan oleh pengarang Sunni di Arab mulai dari periode awal (yaitu,
sebelum abad enam Hijriah), terutama ketika teknik literatur penafsiran benarbenar tidak rumit dan belum kacau. Jangkauan dari karya penafsiran yang
disurvey meliputi tipe haggadik cerita periode awal, yaitu karya Muqatil (w.
150/767), Pseudo al-Kalbi (w. 146/763), Sufyan at-Tsauri (w. 161/777),
13
Andrew Rippin, The Function of Asbab an-Nuzul Quranic Exegesis, dalam Buletin
of The School of Oriental an African Studies.51, 1988, hlm. 1-20. lihat juga situs www.
Muhammadanism. Com. Dikutip pada tanggal 1 Pebruari 2007
Ibid.
Ibid.
10
kategori-kategori
metodologi.
Karena
itu,
ini
akan
menghasilkan