Anda di halaman 1dari 10

1

KRITIK KODIFIKASI AL-QURAN DAN ASBAB AN-NUZUL


(TELAAH ATAS PEMIKIRAN ANDREW RIPPIN)
Oleh: Erwin Notanubun
A. Penahuluan
Dalam buku Approach To Islam In Religius Studies Rippin menulis
essay tentang metodologi yang dipakai John Wansbrough dalam memahami alQur'an. Metode yang digunakan Wansbrough dalam hal ini adalah metode
sastra. Rippin memulai pembahasannya dengan mengatakan bahwa Yahudi dan
Islam adalah dua agama dalam sejarah. Karena dalam kedua agama tersebut
Tuhan turut campur atau berinteraksi dalam sejarah untuk merampungkan
tujuan-tujuannya. Mengenai pernyataan ini, Fazlur Rahman berkomentar bahwa
apa yang dapat dan tidak dapat dibuktikan oleh penelitian sejarah adalah apakah
agama-agama ini telah membuat klaim semacam itu dan berada pada titik
tertentu dalam waktu atau tidak.
Oleh karena itu, Rippin telah menggambarkan perbedaan serupa, yaitu
mencampuradukan pandangan agama tentang sejarah dan pandangan sejarah
tentang agama. Rippin menolak penelitian kesejarahan mengenai apa yang
sesungguhnya terjadi. Padahal agama mengajukan klaim-klaim seperti itu
dapat dan harus diteliti secara historis. Misal, kapan klaim-klaim tersebut
dikemukakan, siapa yang mengajukannya, dan seterusnya. Bagaimana
penolakan atas teologi sejarah meniadakan keniscayaan sejarah teologi itu? Hal
yang patut dipertanyakan juga adalah mengapa ketika agama (Kristen, Yahudi,

dan Islam) tersebut disebut agama-agama historis sementara Hindu, Brahma,


dan lain-lainnya tidak?1
Rippin mengatakan tentang posisi Islam tidak historis lantaran tidak ada
dukungan berupa bukti ekstra literer dalam data arkeologis yang tersedia. Oleh
karena itu, Rippin, senada dengan Wansbrough bahwa untuk menghilangkan
problem teologis tentang asal usul Islam, menawarkan pendekatan sastra,
karena pendekatan historis tidak dapat menyingkirkan problem teologis.2
Namun dalam hal ini, Fazlur Rahman mengatakan keampuhan metode
historis sudah cukup membuktikan bahwa bahan-bahan historis kaum muslim
pada pokoknya asli, dan pengalihan kepada suatu metode analisa sastra yang
murni tidak diperlukan.3 Fazlur Rahman secara nyata memberi contoh
konsekwensi jika berhenti pada sejarah dan hanya memakai pendekatan sastra,
yaitu perbedaan-perbedaan tertentu dalam al-Qur'an di lihat kronologi periode
Mekkah dan Madinah, seperti kisah perselisihan Ibrahim dengan ayahnya.
Surat 19:47 (makkiyah) mengatakan bahwa Ibrahim sementara bersahabat
dengan ayahnya. Ia mengatakan pada ayahnya bahwa dirinya akan terus berdoa
memohonkan ampun baginya; dan periode Madinah, ketika al-Qur'an
memerintahkan kaum muhajirin untuk melepaskan diri dari anggota keluarga
dekatnya di Mekkah yang tetap pagan dan terus mencela dan memusuhi
1

Andrew Rippin, Analisis Sastra Terhadap al-Qur'an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John
Wansbrough. Hlm. 201. Lihat juga Fazlur Rahman, Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi
Agama. Hlm.249. Kedua tulisan di atas ada dalam buku Richard C. Martin (ed.), Pendekatan
Kajian Islam dalam Studi Agama, pen. Zakiyuddin Bhaidhawy, (Surakarta: Muhammadiyah
University Press), cet.2, 2002
2

Andrew Rippin, Ibid

Fazlur Rahman, Ibid.

muslim. Maka dari itu al-Qur'an mengatakan pada mereka (surat 19:114),
Ibrahim berdoa memohonkan ampun bagi ayahnya hanya karena ia pernah
berjanji (dengan kata lain ia benar-benar telah memutuskan hubungan
kekeluargaan dengannya). Hal ini menurut Fazlur Rahman masing-masing ayat
ini cocok untuk lingkungan historis Nabi di Mekkah dan Madinah. Selain itu
coba lihat surat 11:27-29, dimana Nuh diminta oleh para pembesar kaumnya
agar melemparkan pengikutnya yang berkelas rendah sebelum mereka
bergabung dengannya adalah sesuai dengan situasi Muhammad pada tahuntahun terakhir di Mekkah, atau surat 7:85 Syuaib diutus kepada kaumnya
untuk menasihati mereka agar jujur dalam berdagang. Tentu saja ini juga
merupakan problem yang dihadapi Muhammad dalam masyarakatnya. Semua
contoh di atas memberi kesimpulan bahwa al-Qur'an berhubungan erat dengan
aktivitas Nabi.4
Rippin membela diri atas paparan yang ditulis Fazlur Rahman bahwa kita
tidak tahu dan tidak pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Apa yang oleh kita, lanjut Rippin, dapat diketahui adalah apa yang orang-orang
kemudian dipercayai atau diyakini sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi
oleh orang-orang kemudian. Ia berkomentar bahwa sumber-sumber sejarah
mendukung untuk merekam pertimbangan tentang apa yang sesungguhnya
terjadi. Keinginan untuk merekam apa yang terjadi pada masa lalu, lanjut
Rippin, adalah suatu tugas yang tidak masuk akal atau secara teoritik adalah
tugas yang tidak mungkin. Islam memiliki sejarah, tetapi keinginan untuk
4

Fazlur Rahman, Ibid., Hlm. 262

mencapai hasil positif tidak harus menyebabkan kita mengabaikan sifat-sifat


sastra dari sumber-sumber yang ada.5
Kritik lain yang dilontarkan Rippin yaitu mengenai studi Islam yang
dilakukan Patricia Crone dan Michael Cook. Kata Rippin, mereka tidak mampu
mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam sumber-sumber itu karena
sumber-sumber

tersebut

merupakan

otentisitas

sejarah

yang

dapat

dipertanyakan, dan lebih-lebih sumber-sumber itu adalah karya-karya yang


dibangun atas dasar polemik.6 Lalu dia memperkuat kata-katanya dengan katakata Wansbrough:
Dapatkah sejumlah motif secara bebas dipertimbangkan atas dasar
stereotip sastra yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang disusun oleh
pengamat asing dan bermusuhan dan setelah itu digunakan untuk
menjelaskan bahkan menafsirkan dimana tidak sekadar perilaku lahiriah
tetapi juga perkembangan intelektual dan spiritual dari para aktor yang
hampir tidak berdosa dan tidak membutuhkan pertolongan?7
B. Kritik Kodifikasi al-Qur'an
Andrew Rippin mengamini pendapat Wansbrough bahwa kanonisasi teks
al-Qur'an terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis
yang menyatakan tentang himpunan al-Qur'an harus dianggap sebagai
informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut
adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut
mungkin dibuat oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syariah

Rippin., Ibid.

Ibid.

Ibid.

yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikuti model periwayatan teks
orisinal pantekosta dan kanonisasi kitab suci Ibrani.8
Masih menurut keduanya, untuk menyimpulkan teks yang diterima dan
selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang
belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Qur'an baru menjadi
baku setelah tahun 800 M. Lebih jauh lagi Rippin mengatakan, Al-Qur'an tidak
diturunkan kepada satu orang, tetapi merupakan kumpulan atau pengeditan oleh
sekelompok orang selama beberapa abad.9 Jadi, al-Qur'an yang kita baca
sekarang ini tidak sama dengan apa yang ada pada abad ke 7M. kemungkinan
merupakan hasil abad 8M dan 9M.10
Akibatnya, tahap pembentukan Islam tidak berlangsung pada masa
Muhammad, namun berkembang selama 200-300 tahun berikutnya. Sumbersumber materi bagi periode ini, sangat sedikit. Dan di luar dugaan, semua
sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum 750 M tidak ada dokumen yang
bisa diverifikasi yang bisa menjelaskan periode pembentukan Islam ini. Periode
klasik ini menggambarkan masa lalu tetapi dari sudut pandangnya sendiri,
seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya yang cenderung mengingat
hal-hal yang manis saja. Sehingga kesaksian ini bersifat tidak obyektif dan oleh
karena itu tidak dapat diterima sebagai otentik.11

http://www. Faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?p=8619
Rippin 1985:155. lihat http://www. Faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?p=8619.

Ibid.
10

Ibid.

11

Ibid.

Menurut Rippin, muslim ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam


adalah intervensi illahi lewat Jibril selama periode 22 tahun, masa yang
menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya membentuk Islam. Tetapi hal ini
diragukan, kata Rippin, bahwa pada abad ke 7, Islam, sebuah agama yang
terdiri dari hukum dan tradisi yang njlimet dibentuk dalam sebuah budaya
nomad terbelakang dan berfungsi penuh dalam hanya 22 tahun. Wilayah Arabia
sebelumnya tidak dikenal sebagai dunia beradab. Periode ini bahkan dicap
sebagai periode jahiliyah. Wilayah Arabia sebelum Muhammad tidak memiliki
budaya maju, apalagi infrastruktur yang diperlukan untuk menciptakan keadaan
yang mendukung pembentukan Islam. Jadi, bagaimana Islam diciptakan secepat
dan serapih itu? Dalam lingkungan padang pasir yang terbelakang lagi.12

C. Asbab an-Nuzul
Dalam karya John Wansbrough yang berjudul Quranic Studies:Sorces
And Methods Of Scriptural Interpretation, sejumlah tesis dicetuskan mengenai
asbab an-nuzul, atau peristiwa-peristiwa pewahyuan. Keseluruhan pandangan
Wansbrough salah satunya secara kritis diambil dari as-Suyuti. Materi asbab
merupakan poin rujukan utamanya dalam karya-karya yang berusaha untuk
mengambil hukum dari teks al-Quran, yaitu, karya

halakhic. Dia

mengemukakan bahwa keberadaan materi asbab sebagaimana ditemukan dalam


haggadic atau tafsir naratif, seperti dalam karya Muqatil adalah kebetulan,
karena, ketika laporan-laporan naratif asbab menjadi anekdot. Mereka tidak

12

Ibid., Rippin, 1990:3-4

bisa memenuhi apa yang Wansbrough pandang sebagai fungsi esensial, yang
membentuk sebuah kronologi pewahyuan.
Berdasarkan hal di atas, Andrew Rippin mencoba melakukan investigasi
khusus terhadap fungsi dari asbab dalam penafsiran, yaitu untuk mengajukan
pertanyaan mengenai apa yang diselesaikan dalam cerita-cerita asbab? Apakah
mereka (para penafsir) memberikan sejarah atau penafsiran? Apakah dalam
karakternya hal itu merupakan haggadic atau halakhic penafsiran? Petanyaan
tersebut ditujukan untuk analisis literal mengenai cerita itu sendiri dan juga
dengan melihat penggunaan materi tersebut di dalam teks penafsiran.
Pertanyaan yang dikemukakan dalam nada ini adalah sebagai berikut: mengapa
di dalam konteks sebuah karya seperti dalam karya at-Tabari materi asbab
nuzul dikemukakan? Apa tujuan penafsir mengemukakan hal itu? Apa yang dia
harap untuk selesai dengan melakukannya? Apa yang dia lakukan terhadap
materi tersebut setelah dia mengemukakannya?13
Dalam penelitiannya, Rippin memakai pendekatan yang digunakan
Wansbrough, yaitu kritik sastra dan kritik historis. Andrew Rippin membuat
frame work investigasinya yang dibatasi pada karya-karya penafsiran yang
dihasilkan oleh pengarang Sunni di Arab mulai dari periode awal (yaitu,
sebelum abad enam Hijriah), terutama ketika teknik literatur penafsiran benarbenar tidak rumit dan belum kacau. Jangkauan dari karya penafsiran yang
disurvey meliputi tipe haggadik cerita periode awal, yaitu karya Muqatil (w.
150/767), Pseudo al-Kalbi (w. 146/763), Sufyan at-Tsauri (w. 161/777),
13

Andrew Rippin, The Function of Asbab an-Nuzul Quranic Exegesis, dalam Buletin
of The School of Oriental an African Studies.51, 1988, hlm. 1-20. lihat juga situs www.
Muhammadanism. Com. Dikutip pada tanggal 1 Pebruari 2007

Mujahid (w.104/772), Abd al-Razzaq (211/826), al-Thabari (w.310/922), dan


al-Wahidi (468/1075).
Adapun poin penggunaan tiga sub-genre tafsir untuk diinvestigasi adalah
sangat simpel, karena mereka telah dikemukakan dalam konteks pembahasan
sebelumnya mengenai peran asbab an nuzul sebagaimana ditemukan baik
dalam karya terkini Wonsbrogh, yaitu Quranic Studies dan The Secterian
Milieu, tetapi juga sebagaimana diindikasikan dalam pembahasan mengani
topik tersebut oleh al-Zarkasy dan Suyuti. Dan yang menjadi fokus Rippin
dalam penggunaan teks-teks yang para penafsir adalah memfokuskan pada
pertanyaan literatur esensial: Kenapa asbab an-nuzul dikemukakan dalam
karya-karya ini? Hasilnya akan memberikan sebuah pandangan mengenai
teknik penafsiran atau metode penafsiran literal yang digunakan oleh para
penafsir ini.14
Setelah melakukan investigasi, Rippin menyimpulkan bahwa asbab alNuzul mendapat perhatian karena didasari dari keinginan Umat Islam untuk
mensejarahkan teks al-Quran agar dapat dikatakan bahwa Tuhan benar-benar
mewahyukan kitab-Nya pada manusia di dunia ini merupakan bukti perhatian
Tuhan pada makhluk-Nya. Hanya saja menurut penelitiannya, Andrew Rippin
menyatakan bahwa bidang ini belum mendapat perhatian serius menjadi kajian
sejarah dan kontekstual teks dari kalangan umat Islam sendiri. Asbab al-nuzul
hanya dicatat dan lalu dibiarkan tanpa ada penjelasan kausalitas. Kesimpulan
yang lainnya juga adalah bahwa asbab al-nuzul tidak berada pada zaman nabi,
tapi hanya hasil rekonstruksi setelah masa Nabi Saw, dimana salah satunya
14

Ibid.

adalah melalui sunnah maupun hadis, padahal keduanya dalam periwayatannya


belum tentu benar dan jujur, ketika seseorang meriwayatkannya, apalagi jika
mengingat rentang waktu yang berpuluhan tahun. Namun, Rippin tidak
menyadari tentang teori periwayatan yang dikenal dalam dunia Islam, bahwa
proses periwayatan bukan hanya secara lafdzi melainkan juga secara maknawi.15
Inilah saya kira salah satu yang luput dicermati oleh Rippin ketika
menyimpulkan hal di atas.

D. Refleksi Atas Pemikiran Rippin Tentang Kodifikasi al-Quran dan Asbab


an-Nuzul
Betapapun naifnya Rippin terhadap pendekatan sejarah, namun patut juga
kita renungkan secara jernih tanpa a priori padanya. Hal itu memang senada
dengan pernyataan bahwa semua produk pemikiran dalam khazanah Islam tidak
lebih dari produk sejarah yang tidak bisa mengelak dari ruang dan waktu. Tak
pernah ada jaminan bahwa sebuah teks betul-betul murni menyuarakan secara
utuh apa yang seharusnya dikatakan. Oleh karena itu, tak heran, jika kita
dapatkan kritikan tajam dari para orientalis mengenai sejarah yang dipunyai
umat Islam, terutama al-Qur'an wama haulahu.
Terakhir, pendekatan sejarah (dan sastra) dalam studi al-Qur'an tidak
akan menghasilkan konklusi yang positif dalam pandangan Islam, karena
historisme melakukan eksplanasi terhadap obyek penyelidikannya. Eksplanasi
dilakukan sebagai pihak outsider (baca:non-muslim). Akibat negatifnya adalah
data yang diteliti dengan mudah direduksi untuk mencocokkan dengan
15

Ibid.

10

kategori-kategori

metodologi.

Karena

itu,

ini

akan

menghasilkan

reduksionisme. Inilah yang penulis simpulkan dari catatan Andrew Rippin


mengenai pandangannnya tentang sejarah sebagai sebuah pendekatan
penelitian.

Anda mungkin juga menyukai