Anda di halaman 1dari 26

1

Pengertian Teori Explosive Isnad dan Isnad Family dan


Non Family
Diakui adanya, para orientalis memang cukup kreatif dalam
memberikan istilah-istilah khusus yang berhubungan dengan fokus
materi yang mereka kaji. Beberapa istilah asing akan bermunculan
ketika kita mengkaji pemikiran orientalis terhadap hadis. Sebut saja
Joseph Schacht yang terkenal dengan Teori Projecting Back dan
Argumenta e Silentio nya, G.H.A. Juynboll yang dikenal publik dengan
Teori Common Link nya, Haralzd Motzki yang juga berhasil
memperkenalkan Teori Dating dan Isnad Cum Analysis sehingga namanya cukup
diperhitungkan dalam dunia orientalis, begitu juga Nabia Abbott yang memiliki beragam
istilah dalam kajiannya seputar hadis, salah satunya adalah Teori Explosive Isnad,
Isnad Family dan Non Family.
Maka yang dimaksud dengan teori Explosive Isnad yang
terdapat dalam salah satu penelitian Nabia Abbott yang berjudul
Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary And
Tradition yang diterbitkan oleh The University of Chicago Press, Nabia
menyatakan bahwa dalam satu sampai dua ribu nama sahabat dan
tabiin telah terlibat periwayatan hadis, dimana masing-masing dari
mereka meriwayatkan rata-rata dua sampai lima hadis, dan hal
tersebut menunjukkan kepada kita perkiraan jumlah hadis yang
dibukukan pada abad ketiga hijriyah. Nabia menyadari bahwa
keberadaan jalur isnad telah melibatkan sekian banyak orang dalam
meriwayatkan hadis sehingga menghasilkan suatu Explosive Isnad
(meledaknya isnad) karena banyaknya orang yang terlibat dalam
periwayatan hadis dan jumlahnya akan selalu bertambah banyak di
setiap masing-masing t}abaqa>t (generasi).1
Untuk lebih memahamkan para pembaca mengenai teori
Explosive Isnad nya, Nabia berasumsi bahwa rata-rata para sahabat
meriwayatkan satu hadisnya kepada dua tabiin, dan kemudian
masing-masing tabiin tersebut meriwayatkan kepada dua generasi
berikutnya (tabiin tabiin), dan rangkaian periwayatan tersebut akan
terus berlanjut sampai empat atau bahkan delapan generasi
dibawahnya. Dalam hal ini digambarkan seperti periwayatan hadis
pada masa Zuhri>, yang mana periwayatan tersebut akan terus
berjalan dan berkesinambungan sampai pada masa Ibn H{ambal.
1.

1 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary


and Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1967), hal: 72.

Perhitungannya menggunakan deret geometri, dimana antara masa


Zuhri dan Ibn H{ambal akan melibatkan 16 sampai 256 jalur
periwayatan (t}uru>q). Bisa dikatakan bahwa hadis yang disampaikan
oleh para sahabat -berdasarkan pada perhitungan deret geometrimaka diperkirakan akan melewati 16 jalur perawi hadis pada masanya
Zuhri dan melewati 256 jalur perawi hadis di masa Ibn H{anbal. Jika
kita memperluas hipotesa ini sampai pada masa generasi kesepuluh,
kemungkinan jumlah jalur perawi pada masa Ibn Hambal dan dua
generasi setelahnya akan mencapai 10% dari 256, 512, dan 1024,
yaitu kira-kira melibatkan 26, 51, dan 102 jalur perawi secara
berturut-turut. Jumlah ini merupakan hal yang sangat luar biasa
karena melibatkan banyak orang dalam periwayatannya.2
Selain teori Explosive Isnad , dikenal juga teori Isnad Family dan
Non Family. Term family dalam pembahasan ini adalah hubungan yang
mencakup antara anggota keluarga dan teman karib (mawali>), yang
biasanya disusun dengan formula so-and-so (periwayatan hadis yang
bersumber dari ayahnya dan dari kakeknya). Formula so-and-so ini
yang biasanya sering terjadi dalam periwayatan Isnad Family. Hal ini
bisa diartikan bahwa ahli hadis menyampaikan hadisnya kepada orang
tertentu yang memiliki hubungan darah dengannya, atau kepada
kerabat dekatnya, seperti Na>fi yang merupakan teman karib
(mawa>li>) dari Ibn Umar dan Muh{ammad Ibn Sirri>n yang
merupakan teman karib (mawa>li>) dari Anas bin Ma>lik.
periwayatan Isnad Family dimulai dari masa para sahabat yang
kemudian dilanjutkan sampai tiga generasi setelahnya secara
berturut-turut, seperti seorang ayah yang melanjutkan periwayatan
hadisnya kepada anaknya dan begitu seterusnya sampai kepada
generasi dibawahnya lagi, atau terkadang jalur Isnad Family
melompati satu generasi dibawahnya, seperti seorang kakek
menemukan cucunya sangat antusias mengikuti jejak langkahnya
dalam meriwayatkan hadis, atau terkadang jalur tersebut
bersebarangan dalam mata rantai keluarga ketika keponakan laki-laki
berkeinginan untuk ikut andil dalam meriwayatkan hadis.3
Bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud Isnad Family oleh Nabia
Abbott adalah ketika periwayatan hadis tersebut hanya diriwayatkan
kepada orang-orang tertentu yaitu: pertama, diriwayatkan dari jalur
2 Ibid, hal: 72.
3 Ibid, hal: 36.

atas ke bawah dalam hubungan nasab, seperti seorang ayah yang


meriwayatkan hadisnya kepada anaknya, atau melompati satu
generasi dibawahnya, seperti seorang kakek yang langsung
meriwayatkan hadis kepada cucunya tanpa melalui ayah cucu
tersebut. Kedua, ketika periwayatan tersebut tidak diriwayatkan dari
jalur atas ke bawah sebagaimana jalur nasab ayah dan anak-,
melainkan melalui jalur menyamping, seperti hadis yang diriwayatkan
kepada keponakan laki-laki. Ketiga, ketika periwayatan hadis tersebut
diriwayatkan kepada seseorang yang tidak memiliki hubungan darah
dengan ahli hadis, namun memiliki kedekatan khusus diantara
keduanya (mawa>li>).
Setelah memahami teori Isnad Family di atas, dengan
menggunakan pendekatan al mafhu>m al mukha>lafah, maka yang
dimaksud dengan teori Isnad Non-Family adalah ketika jalur
periwayatan tersebut tidak diriwayatkan kepada pihak yang memiliki
hubungan darah dengan ahli hadis atau kepada seseorang yang tidak
memilki kedekatan khusus dengan ahli hadis (mawa>li>). Meskipun
Nabia Abbott tidak mendefinisikan teori Isnad Non-Family secara
eksplisit layaknya ketika mendefinisikan teori Isnad Family, namun
sepertinya yang dimaksud oleh Nabia dengan teori Isnad Non-Family
nya adalah sebagaimana tersebut di atas.
2.
Sketsa Biografis Penggagas Teori Explosive Isnad dan Isnad Family dan Non
Family 4
Nabia

Abbott,

seorang

wanita

professional

pada

era

kemerdekaan yang dilahirkan di Mardin sebelah barat daya Turkipada bulan Januari 1987. Nabia bersama keluarganya sudah terbiasa
hidup nomaden dengan berpindah-pindah tempat dari satu negara ke
negara yang lain. Ketika masih kecil, Nabia dan keluarganya
menempuh perjalanan jauh sampai ke daerah Mosul, berlayar dari
Tigris ke Baghdad, kemudian melewati teluk Persia dan Laut Arab dan
sampai di Bombay pada tahun 1907. Di Bombay, dia mengenyam
pendidikan di sekolah Inggris yang berada di sana, dan setelah lulus
kemudian

Nabia

melanjutkan

pendidikannya

di

luar

negeri

4 Informasi seputar biografi Nabia Abbott didapatkan dari Muhsin Mahdi,


seorang professor Arab dan rektor Department of Near Eastern Languages
and Civilizations di University of Chicago, Nabia Abbott (Chicago: The
University of Chicago Press, ttp), hal: 4-6

di

Universitas Cambridge pada tahun 1915. Namun selama perang dunia


pertama

berlangsung,

Nabia

kemudian

kembali

lagi

ke

India,

kemudian melanjutkan perjalanannya ke arah selatan di perguruan


tinggi Isabella Thorbom, Lucknow yang kemudian menggabungkan
diri dengan Universitas Allahabad-, dan lulus dengan mendapatkan
gelar A.B. nya dengan predikat kehormatan pada tahun 1919.
Setelah lulus, Nabia kemudian memulai program womens
education nya di kerajaan Irak. Dari situ kemudian Nabia mengikuti
keluarganya pindah ke Boston, dan di Universitas Boston, Nabia
mendapatkan gelar A.M nya pada tahun 1925. Setelah lulus, Nabia
kemudian bergabung menjadi staff pengajar di Department of
Education

di

Asbury

College,

Wilmore,

dan

menjadi

kepala

Department of History pada tahun 1925-1933.


Ketika keluarganya pindah ke Chicago, di sana Nabia menjadi
professor Arab di Oriental Institute, Chicago pada tahun 1933. Nabia
Abbott menjadi wanita pertama yang mengajar di Oriental Institute.
Nabia menjadi pioneer wanita yang banyak menghabiskan waktunya
untuk mengkaji dengan sungguh-sungguh naskah-naskah kuno Arab
dan kebudayaan awal Islam. Sebelum perang dunia kedua, Oriental
Institute sudah menaruh minat yang sangat besar untuk mengkaji
lebih dalam dokumen kuno Arab dan teks-teks keislaman. Dalam
melakukan penelitiannya tersebut, Nabia mengkaji teks-teks sejarah
Islam dengan Martin Sprengling, dan kemudian menulis disertasinya
dengan judul The Kurrah Papyri of the Oriental Institute pada tahun
1936.
Beberapa karya Nabia, diantaranya adalah The Rise of The
North Arabic Script and its Quranic Development with a Full
Description of The Quran Manuscripts in The Oriental Institute,
Aishah: The Beloved Muhammad, Studies in Arabic Literary Papyri
volume I: Historical and Texts, Studies in Arabic Literary Papyri volume
II: Quranic Commentray and Tradition, Studies in Arabic Literary
Papyri volume III: Language and Literature, dsb.

Dilihat dari sepak terjangnya di dunia intelektual, nama Nabia


patut diperhitungkan. Melalui keseriusannya dalam mempelajari teksteks kuno manuskrip Arab, yang dibuktikan dengan beberapa
karyanya, mampu menjadikan Nabia sebagai seorang professor yang
sangat menaruh antusias besar dalam mengkaji kebudayaan Islam,
temasuk

Quran

menjadikannya

dan

menjadi

hadis.

Ambisi

dan

keseriusan

wanita

penting

dalam

dunia

Nabia

orientalis

sehingga berhasil mencantumkan beberapa prestasi kebanggaannya


sebagai upaya mempelopori banyak wanita di wilayah Islam Timur
Tengah.
Asumsi Dasar Teori Explosive Isnad dan Isnad Family dan Non Family
Kegelisahan Nabia Abbott terhadap perkembangan hadis di
dunia keislaman dimulai pertama kali ketika dalam benaknya muncul
beberapa pertanyaan yang kemudian mendasari kajian penelitiannya
di bidang hadis. Beberapa pertanyaan yang sering bermunculan
dalam benaknya, seperti kapan, kenapa, dan bagaimana metode
periwayatan serta penulisan hadis bermula dalam Islam, yang
kemudian berkembang begitu cepat seiring dengan berkembanganya
kebudayaan Islam yang semakin meluas, terutama pada abad
pertama hijriyah dan bahkan menyebar sampai ke seantero benua
Eropa dan Afrika. Perkembangan tersebut disebut oleh Nabia bermula
semenjak kehidupan Muhammad.5
Segala hal yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan
bangsa Arab, menjadi sangat menarik untuk dikaji, terutama oleh
kalangan cendekiawan dari Barat. Tidak bisa terelakkan, Muhammad
menjadi sentral dan memainkan peranan yang begitu penting,
memberikan cerita sejarah yang hebat pada dunia. Muhammad dan
komunitasnya berhasil memerankan sejarah dunia dengan sangat
apik. Diakui oleh Nabia sendiri bahwa Muhammad berhasil menjadi
teladan, membangun komunitas masyarakat yang heterogen menjadi
satu kesatuan masyarakat yang utuh, tunduk pada satu aturan yang
sama, menjelaskan kepada komunitasnya akan perjalanan kehidupan
yang bermula dari proses penciptaan dan berakhir ketika ajal
menjemput dan sampai pada kehidupan sesudahnya. Al Quran,
3.

5 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri I: Historical Text, (Chicago:


The University of Chicago Press, 1967), hal: 5.

dengan banyak penjelasan seputar proses penciptaan, kehadiran


utusan (rasu>l), adanya hari kebangkitan, surga, neraka, sedikit
banyak memberikan dorongan kepada komunitasnya untuk terus
mengkaji dan memperluas pemahaman. Segala titah Tuhan yang
berisi tentang peringatan, petunjuk, dan pedoman hidup yang
membimbing manusia ke dalam konsep yang benar. Ditambah lagi
dengan kehadiran hadis dan sunnah, Muhammad menjadi teladan
idaman tersendiri dalam memberikan motivasi kepada para
pengikutnya untuk selalu memperhatikan larangan dan mengikuti
petunjuknya, baik dalam urusan kemasyarakatan maupun dalam
lingkup pribadi.6 Dalam waktu yang cukup singkat, Muhammad
berhasil mambangun kebudayaan bangsa Arab dengan komunitasnya
yang masiv dan mampu menyaingi kebudayaan Romawi dan Persia
yang telah lama ada. Tak heran jika kemudian Michael H. Hart
mencatatkan nama Muhammad sebagai tokoh pertama dari seratus
tokoh yang paling berpengaruh di dunia.
Tidak seperti orientalis yang lain, apa yang dicantumkan Nabia
dalam hasil penelitiannya berbeda dengan para pendahulunya. Nabia
mengakui keberadaan hadis, bahkan ketika Muhammad masih hidup.
Nabia menuturkan bahwa sebenarnya keberadaan hadis sudah ditulis
ketika Muhammad masih hidup, meskipun diakui oleh Nabia bahwa
gerakan penulisan tersebut masih bersifat non masiv. Kala itu hadis
lebih cepat berkembang melalui sistem oral (penyampaian hadis dari
lisan ke lisan), meskipun hal demikian tidak menafikan bahwa ada
beberapa sahabat yang sudah mendokumentasikannya melalui
tulisan. Kegiatan periwayatan ini terus berlanjut bahkan sampai
Muhammad wafat.7
Kala itu hadis tumbuh dan menyebar di berbagai kalangan,
sehingga alur perkembangan Islam beserta kebudayaannya dapat
dilacak melalui jalur hadis, karena keberadaan hadis berperan untuk
merekam segala aktifitas Nabi. Antusiasme para sahabat dalam
menulis dan meriwayatkan hadis sangatlah tinggi. Sikap antusiasme
tersebut terus berlangsung di kalangan sahabat meskipun Muhammad
sudah wafat, sampai kemudian Umar I (Umar bin al Khat}t}a>b)
memberikan ultimatum dengan memberikan sangsi dan hukuman
yang berat pada siapa saja yang berusaha menulis atau
6 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri I: Historical Text, hal: 6-7.
7 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary
and Tradition, hal: 7.

mengumpulkan hadis.8 Dasar Umar I memberikan ultimatum tersebut


karena adanya kekhawatiran yang timbul ketika semangat gerakan
penulisan hadis dikalangan para sahabat disejajarkan dengan gerakan
penulisan al Quran. Sebabnya agar perhatian para sahabat terhadap
al Quran tidak terganggu, apalagi keberadaan al Quran kala itu
masih belum familiar khususnya bagi daerah-daerah yang baru
ditaklukan oleh pasukan Islam. Dan lagi, belum distandarakannya
penulisan dan penyusunan al-Quran menjadi mus}h}af yang utuh
menjadi polemik Umar dan mendasari keputusannya melarang
penulisan hadis.9
Apa yang dikhawatirkan oleh Umar I dinilai oleh Nabia bukanlah
tanpa alasan yang mendasar, karena alasan tersebut berpotensi
memunculkan bahaya dikemudian hari. Semangat para sahabat
dalam meneladani Nabi dan sikap antusiasme mereka dalam
menuliskan hadis harus segera dihentikan agar tidak mengabaikan
penulisan al Quran. Kekhawatiran ini lantas kemudian memunculkan
sebuah instruksi dan ultimatum dari Umar I sendiri untuk kemudian
mengirimkan utusan ke Kuffah guna memperingatkan penduduk dan
para sahabat untuk lebih mengutamakan penulisan dan pembukuan al
Quran. Zuhri> misalnya, meriwayatkan hadis dari Abu> Hurairah
bahwa selama Umar I hidup, orang-orang tidak berani meriwayatkan
hadis karena Umar I akan mencambuk, mempenjarakan, dan
memberikan hukuman yang lainnya. Hal yang demikian dimaksudkan
Umar I agar perhatian dan konsentrasi para sahabat kepada al Quran
tidak berkurang.10
Nabia mengakui bahwa tindakan dan keputusan Umar tersebut
tidak lantas kemudian membatasi dan mencegah para sahabat dalam
merekam hadis. Meskipun Umar I memutuskan akan memberikan
hukuman kepada siapapun yang melakukan penulisan dan
periwayatan hadis, namun keputusan tersebut hanya didukung oleh
sebagian kecil para sahabat di masanya. Diantara beberapa sahabat
yang berpendirian kuat menentang gerakan penulisan hadis adalah
Abdulla>h ibn Masu>d, Zaid bin Tha>bit, dan Abu> Sai>d al
Khud}ri>. Namun ironisnya, anak Umar I sendiri Abdulla>h ibn
Umar secara diam-diam menginstruksikan kepada murid-muridnya
8 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri I: Historical Text, hal: 7.
9 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary
and Tradition, hal: 7.
10 Ibid.

untuk menuliskan hadis. Di sisi lain juga terdapat beberapa sahabat


yang pada awalnya menolak keputusan Umar I, namun ketika
mendekati kewafatannya mereka justru menghancurkan manuskripmanuskrip yang telah mereka tulis karena takut disalahgunakan
sepeninggal mereka, diantaranya adalah Abu> al Darda> di Syiria
dan Abi>dah ibn Qais di Kufah.11
Selain itu juga terdapat beberapa sahabat yang menyalahi
keputusan Umar I dengan mengemukakan beberapa alasan berbeda
yang bersifat personal, seperti Ibn Abba>s yang memilki kitab tafsir
dan meriwayatkan banyak hadis kepada muridnya, dan Abu>
Hurairah. Selain itu juga tidak sedikit para sahabat yang
menyelesaikan polemik kontroversi di atas dengan menghafalkan dan
mengingat catatan hadis mereka, setelah itu catatan hadis tersebut
mereka bakar untuk menghindari jeratan hukuman Umar I. Sahabat
yang lainnya sangat berambisi untuk mengkoleksi hadis sehingga
mereka menuliskan hadis tersebut dengan tujuan disimpan untuk diri
mereka sendiri. Disamping itu, meskipun tulisan yang asli sudah
dihancurkan dan dibakar, namun duplikatnya dibiarkan tetap utuh.
Terdapat juga beberapa murid yang dengan sengaja berencana
menyimpan manuskrip hadis gurunya, sebagaimana yang dilakukan
oleh Sai>d ibn Jubair kapada Ibn Umar, atau hubungan orang tua
dan anak, sebagaimana yang dilakukan oleh anak Abdulla>h bin
Masu>d.12
Dukungan dan sikap kooperatif para sahabat dan selalu merasa
haus akan ilmu, apalagi yang berkaitan dengan pondasi agama yang
berasal dari Muhammad juga memiliki porsi penting dalam menjaga
keberadaan hadis agar tidak lenyap, terutama bagi beberapa sahabat
yang dekat dengan Nabi, seperti Anas bin Ma>lik, Abdulla>h bin Amr
bin As}, Ibn Abba>s, Abu> Hurairah, dan Amr ibn Hazm al
Ans}a>ri> yang memulai koleksi hadis dengan menuliskan beberapa
hadis tentang sedekah, warisan dan beberapa topik lainnya yang dia
terima secara langsung dari Muhammad pada tahun 631 H ketika
penunjukannya ke Najran guna menginstruksikan kepada masyarakat
Najran untuk mengumpulkan pajak dan zakat. Terdapat juga Abu> al
Yasr Kaab ibn Umar yang menjadi pelayan Muhammad dan
menemaninya sehingga dia memiliki beberapa manuskrip hadis.
11 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary
and Tradition, hal: 10-11.
12 Ibid, hal: 11.

Adapula Masru>q ibn al Ajda>, disebutkan bahwa Masru>q pernah


diadopsi oleh A>ishah sehingga dia memilki beberapa koleksi hadis
dari A>ishah dan melakukan perjalanan yang jauh juga untuk
mencari ilmu ke berbagai negara. Yemenite Amr ibn Maimu>n al
Awdi>, yang menjadi muallaf ketika Muhammad masih hidup.
Meskipun dia sendiri mengakui bahwa dia tidak pernah bertemu
secara langsung dari Muhammad, tapi dia memilki beberapa koleksi
hadis seputar ibadah haji yang dia dapatkan dari periwayatan Umar,
Ali>, Abdulla>h bin Masu>d dan sebagainya.13
Beberapa fakta tersebut dikemukakan oleh Nabia Abbott untuk
memperkuat teorinya bahwa gerakan penulisan hadis sudah terjadi
bahkan ketika Muhammad masih hidup. Kala itu para sahabat sudah
memiliki semangat yang sangat tinggi untuk menuliskan segala hal
yang berkaitan dengan kehidupan Muhammad, baik dalam hal ibadah,
muamalah, akhlak, dsb. Muhammad menempati posisi penting di hati
para sahabat sebagai figure yang selalu ingin diteladani setiap
tingkah lakunya. Keberadaan Muhammad seakan menjadi magnet
sahabat untuk tidak kenal lelah dalam mendokumentasikan hadis.
Nabia sudah memberikan contoh beberapa sahabat yang memiliki
semangat tinggi dalam menuliskan hadis, dan mungkin masih banyak
lagi para sahabat -diluar yang sudah disebutkan di atas- yang juga
memiliki beberapa koleksi hadis. Ultimatum yang disampaikan oleh
Umar I untuk tidak menuliskan hadis dan mencegah periwayatan
hadis ternyata tidak bisa menghentikan semangat para sahabat untuk
mencari ilmu dan menuliskan hadis. Faktanya, tidak ada bukti yang
menunjukkan kepada hal yang demikian. Bukti yang ada dan yang
sudah ditemukan malah terdapatnya banyak manuskrip hadis yang
berasal dari kalangan para sahabat, baik untuk disimpan secara
pribadi atau memang sengaja untuk diriwayatkan kepada generasi
setelahnya.
Adanya manuskrip-manuskrip hadis tersebut sebagai wujud
nyata dari usaha para sahabat dalam menuliskan hadis yang nantinya
akan menjadi sumber keilmuan bagi generasi setelahnya. Periwayatan
hadis pun lantas tidak terhenti antara Muhammad dengan para
sahabat saja, melainkan terus berlanjut sampai pada generasi
berikutnya. Hal ini bisa dilihat bahwa beberapa ahli hadis pada masa
sahabat telah memiliki murid yang berasal dari kalangan tabiin,
13 Ibid, hal: 11.

10

seperti Ibn Abba>s, Abu> Hurairah, dan Abdulla>h bin Umar.


Mereka pun tentunya tidak hanya memiliki satu murid saja, melainkan
banyak murid yang juga bertekad tinggi untuk mengkaji dan
meneladani sikap hidup Muhammad. Sehingga bisa dikatakan bahwa
masing-masing sahabat yang memiliki hadis, baik yang berada dalam
catatan-catatan kecil atau yang berada dalam memori otaknya,
meriwayatkan hadisnya tidak hanya kepada satu murid saja,
melainkan kepada banyak murid. Kita bisa bayangkan betapa
banyaknya hadis yang tersebar kala itu, dan betapa banyak orang
yang terlibat dalam periwayatan hadis. Jika kita berandai bahwa
masing-masing sahabat meriwayatkan kepada dua tabiin, maka tentu
akan ada banyak orang yang terlibat jika masing-masing tabiin
tersebut juga meriwayatkan kepada dua orang generasi dibawahnya.
Namun bagaimana jika masing-masing ahli hadis tidak hanya terbatas
meriwayatkan kepada dua orang saja, melainkan lebih dari itu. Maka
akan bertambah banyak lagi orang yang terlibat dalam periwayatan
hadis, dan akan terus bertambah di setiap generasi berikutnya. Inilah
yang kemudian menjadi asumsi dasar teori Explosive Isnad Nabia
Abbott.
Selanjutnya, keberadaan Isnad Family diakui oleh Nabia biasanya
dimulai

dari

dilanjutkan

generasi

oleh

tiga

para

sahabat

generasi

yang

terkenal

kemudian

setelahnya,

bahkan

terkadang

periwayatan Isnad Family melompati satu generasi dibawahnya,


seperti

ketika

seorang

kakek

menemukan

cucunya

sangat

berkeinginan mengikuti jejak langkah sang kakek untuk menjadi ahli


hadis dan meriwayatkan hadis. Atau masih tetap dikatakan Isnad
Family

ketika

jalur

periwayatan

tersebut

menyebrang

secara

menyamping melalui keponakan laki-laki dan atau melalui seseorang


yang memiliki kedekatan khusus dengan ahli hadis (mawa>li>).
Mereka,

dan

merupakan

beberapa
mawa>li>

sahabat
dari

Ibn

lainnya

seperti

Abba>s,

ikut

Ikrimah
andil

yang
dalam

meriwayatkan hadis untuk menaikkan status sosial dalam masyarakat


Arab

kala

itu,

sehingga

mendapatkan

kedudukan

central

di

masyarakat Arab, karena kala itu disiplin ilmu agama seakan menjadi
kebutuhan primer dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para sahabat

11

untuk mendapatkannya. Bahkan para sahabat rela meninggalkan


harta, keluarga dan sanak family hanya untuk mencari hadis dan
menimba ilmu secara langsung dari ahli hadis. Tidak sedikit cerita
para sahabat yang menunjukkan perjuangan mereka dalam mencari
ilmu. Beberapa contoh dari Isnad Family yang berhasil ditemukan oleh
Nabia diantaranya bisa dilacak dari para sahabat terkemuka, seperti
Anas bin Ma>lik, Zaid bin Tha>bit, Ibn Umar, Abdulla>h bin Amr bin
As}, Ibn Abba>s, dan Urwah ibn al Zubair.
Bagaimanapun juga, Nabia berpendapat bahwa keberadaan
Isnad Family memunculkan kecurigaan di kalangan para orientalis.
Namun untuk mengatakan bahwa semua jalur isnad patut untuk
dicurigai dan diragukan keotentikannya, hal tersebut tidak mendasar
dan tidak dapat dibenarkan. Karena keberadaan para ahli hadis yang
meriwayatkan hadisnya melalui Isnad Family tidak bisa dipisahkan
dari kenyataan bahwa mereka pun juga menuliskan dan membukukan
hadis hingga berbentuk manuskrip hadis, dan hal ini menjadi
penyokong dan bukti kuat bahwa kegiatan penulisan hadis sudah
dimulai

semenjak

awal

perkembangan

Islam,

bahkan

selama

Muhammad masih hidup. Beberapa sahabat tercatat dalam sejarah


sebagai orang-orang hebat yang mendokumentasikan hadis, seperti
Zaid ibn Tha>bit dan Ibn Umar. Sehingga tidak mengherankan jika
kemudian anak keturunan Ibn Umar begitu sangat menghormati ahli
hadis, seperti Na>fi, dan Sa>lim.14
Schacht meragukan keberadaan Isnad Family dan dinilai sebagai hal
yang tidak dapat dibenarkan. Kenyataannya memang Isnad Family
diriwayatkan oleh banyak sahabat yang kemudian namanya sering
kali tertera di dokumen-dokumen kitab hadis, seperti Na>fi dan
Sa>lim. Nama mereka seringkali ditemukan dalam banyak karya,
seperti karya Ibn Saad, Bukha>ri>, kitab yang memuat biografi
ulama hadis, dan selalu muncul lagi dan lagi di kitab standar koleksi
hadis.15 Bagi Schacht, kemunculan nama yang berulang kali dalam
14 Ibid, hal: 36.
15 Ibid.

12

kitab kanonik dinilai sebagai sesuatu hal yang tidak bisa dibenarkan
dan menimbulkan kecurigaan. Kamunculan nama yang berulang kali
membuat Schacht berfikir bahwa periwayatan hadis hanya didominasi
oleh

pihak

tertentu

saja,

sehingga

rentan

akan

pemalsuan

periwayatan hadis.
Bagi Nabia, tidak dapat dielakkan lagi bahwa ada hubungan khusus
antara Isnad Family dengan keberlangsungan penulisan periwayatan
hadis yang melibatkan banyak generasi. Berdasarkan penelitiannya,
bahwa kesuksesan keluarga kala itu diukur dari banyaknya generasi
yang meriwayatkan hadis dan seberapa banyak materi periwayatan
hadis

yang

diriwayatkan,

sehingga

keluarga

yang

melakukan

periwayatan secara Isnad Family memilki banyak koleksi catatan


hadis dan kemudian mewariskannya kepada generasi berikutnya. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika keluarga Anas bin Ma>lik dan
Abdulla>h bin Amr bin As} memiliki beberapa generasi yang
menuliskan hadis dan menjaga dokumen hadis yang diterimanya
langsung dari Anas bin Ma>lik dan Abdulla>h bin Amr bin As. Salah
satu cucu Anas, Thumamah, menyerahkan catatan hadis yang
ditinggalkan oleh Anas ketika Umar bin Abdul Azi>z memerintahkan
Zuhri> untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadis.
Berbagai sumber juga menyatakan bahwa Abdulla>h bin Amr
bin al As} semenjak awal telah merekam dan manuliskan hadis. Isnad
Family nya mencakup empat generasi setelahnya. Selain itu juga
ditemukan bukti manuskrip hadis milik Abdulla>h bin Amr bin al As,
yang kemudian duplikatnya dikirimkan kepada khalifah Umar bin Abd
al Azi>z untuk digunakan mengkodifikasi hadis oleh Zuhri>. Selain itu
juga terdapat Abu> Hurairah, yang beberapa muridnya banyak yang
menuliskan hadis darinya. Diantaranya juga terdapat Marwa>n ibn al
H{akam, yang menyampaikan hadisnya kepada anaknya, Abd al
Azi>z yang kemudian tulisannya sampai kepada khalifah Umar bin

13

Abd al Azi>z. Ubadah ibn al Sha>mit al Ans}ari>, yang isnad family


nya dilanjutkan sampai kepada tiga generasi dibawahnya.16
Secara tidak langsung, Isnad Family yang melibatkan beberapa
generasi

dibawahnya

merupakan

estafet

kelanjutan

penulisan

periwayatan hadis dari seorang ahli hadis. Implikasinya, Isnad Family


tersebut memunculkan banyak ahli hadis yang diakui keahliannya
banyak

yang

bermunculan

dari

anggota

keluarga

ahli

hadis,

sebagaimana bisa dilacak dalam kitab-kitab kanonik. Disadari atau


tidak, secara tidak langsung keberadaan Isnad Family menunjukkan
pada fakta bahwa periwayatan hadis yang dilakukan oleh para
sahabat dan generasi setelahnya adalah periwayatan yang terus
tersambung dan tidak terputus. Hal ini lebih meyakinkan bagi
generasi selanjutnya bahwa apa yang diriwayatkan dari mereka
adalah

bersambung

langsung

kepada

Muhammad,

sehingga

meminimalisir pemalsuan hadis. Keberadaan Isnad Family yang selalu


melibatkan gerakan penulisan hadis, menghasilkan wujud nyata
manuskrip hadis dan menjadi warisan khazanah keilmuan bagi para
generasi selanjutnya. Sekali lagi, melalui Isnad Family ini, Nabia
menunjukkan

keotentikan

hadis

dan

menjadi

jaminan

keberlangsungan dokumentasi hadis.


4.

Formulasi dan Cara Kerja Teori Explosive Isnad dan Isnad Family dan Non
Family
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa teori Explosive Isnad yang

digagas oleh Nabia melibatkan banyak perawi hadis, dan jumlah para
perawi tersebut akan terus bertambah dalam setiap pergantian
generasi. Perhitungan teori Explosive Isnad dijelaskan oleh Nabia dengan
menggunakan deret geometri. Dengan menggunakan perhitungan
deret geometri tersebut, gambaran dari apa yang dimaksud oleh
Nabia lebih mudah untuk ditangkap oleh para pembaca. Perlu
diketahui bahwa rumus pokok dari perhitungan deret geometri adalah
dengan

mengkalikan

16 Ibid, hal: 37.

dua

bilangan

sebelumnya.

Maka

jika

14

dicontohkan, akan terbentuk formulasi 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256,


512,

1024,

dst.

Dan

tentunya

semakin

bertambah

belakang

perhitungannya, maka akan semakin banyak angka yang didapatkan.


Untuk lebih memahamkan pembaca, mari kita berasumsi
dengan perhitungan deret geometri jika diterapkan langsung pada
proses

periwayatan

hadis.

Ketika

Muhammad

menyampaikan

hadisnya, maka tentu para sahabatlah yang menerima hadis secara


langsung dari Muhammad. Karena sebagaimana yang disampaikan
oleh al-Bukha>ri> dalam kitab al Ja>mi al S}ahi>h nya, bahwa
sahabat adalah orang yang memeluk agama Islam, hidup bersama
dengan Rasulullah dan bertemu dengan Rasulullah.17 Hal demikian
juga diperkuat oleh Mah{mu>d al T{ah{h{a>n, bahwa sahabat
adalah

orang

yang

memeluk

agama

Islam,

bertemu

dengan

Rasulullah, dan mati dalam keadaan Islam.18 Oleh karena itu, orang
pertama yang menerima hadis dan mengetahui secara langsung
segala hal yang dilakukan oleh Muhammad adalah para sahabat.
Kemudian,

kita

anggap

saja

masing-masing

sahabat

tersebut

meriwayatkan hadis kepada dua orang generasi dibawahnya, yaitu


kepada tabiin. Maka akan diperoleh 2 jalur isnad (t}uru>q) pada
generasi kedua. Tidak menutup kemungkinan bahwa para sahabat
meriwayatkan hadisnya kepada lebih dari dua orang, sebagaimana
Abu> Hurairah dan Ibn Abba>s yang memiliki banyak murid, tentu
penyebaran hadis akan bertambah luas.
Selanjutnya

masing-masing

tabiin

tersebut

meriwayatkan

kepada dua generasi berikutnya, maka akan diperoleh 4 jalur isnad


pada generasi ketiga. Masing-masing perawi di generasi ketiga
selanjutnya meriwayatkan hadisnya kepada dua orang dibawahnya,
sehingga diperoleh 8 jalur isnad pada generasi keempat, dan begitu
seterusnya hingga kalau kita teruskan pada generasi kesepuluh, akan
diperoleh 1024 jalur isnad.
17 Abu> Amr Uthma>n bin Abd ar Rah{man ash Shahrazwari>, Ulu<m al
H{adi>th li Ibni S}ala>h, pentahqiq, Nu>r al Di>n al Itr, (ttp: tp, tt), hal: 293.

18 Mah{mu>d al T{ah{h{a>n, Taisi>r Mus{t}alah{ al H{adi>th,


(Iskandariyah: Marka>z al H{ikmah al Dira>sa>t, 1415), hal: 152.

15

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Nabia Abbott


sendiri:
Let us return to the Companions for a starting point.
Assuming that the average Companion transmitted one tradition
to two transmitters of the next generation and assuming that
this series was continued to the fourth and eighth tems-which
would correspond to the fourth and eight tabaq>at of
transmitters representing the generations of Zuhri and Ibn
Hanbal respectively -we would have a geometric progression
whose fourth and eight terms are 16 and 256 respectively. In
other words, the average Companions original tradition could
have been transmitted either literally or according to sense
through 16 different isnads or t}uruq in Zuhris time and
through 256 in Ibn Hanbals time. If we extend our hypotical
series to the tenth term, or the tenth tabaqah, the probable
number of isnads in the time of Ibn Hanbal and the next two
generation of transmitters would be ten per cent of 256, 512,
and 1024, that is 26, 51, and 102 turq respectively.19
Mari kita kembali pada masa sahabat untuk memulai
maksud bahasan kali ini. Berasumsi bahwa para sahabat
meriwayatkan satu hadisnya pada dua orang perawi pada
generasi berikutnya dan selanjutnya periwayatan tersebut
kemudian dilanjutkan pada empat dan delapan masa berikutnya
yang bisa diwakilkan pada generasi Zuhri> dan Ibn Hambal.
Pada pembahasan ini, kita menggunakan perhitungan deret
geometri dimana pada generasi keempat dan kedelapan akan
menghasilkan angka 16 dan 256. Dalam artian, rata-rata hadis
yang diriwayatkan oleh para sahabat setidaknya jika menurut
perhitungan tersebut akan melalui 16 jalur isnad yang berbeda
pada msa Zuhri> dan melalui 256 jalur isnad pada masa Ibn
Hambal. Jika kita memperluas hipotesa ini sampai pada masa
generasi kesepuluh, kemungkinan jumlah jalur perawi pada
masa Ibn Hanbal dan dua generasi setelahnya akan mencapai
10% dari 256, 512, dan 1024, yaitu kira-kira melibatkan 26, 51,
dan 102 jalur perawi secara berturut-turut.
Apa yang disampaikan oleh Nabia Abbott diatas sebenarnya
tidak jauh beda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Muh{ammad
Must{afa> Azami> ketika melakukan penelitian khusus tentang
hadis-hadis yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya
adalah naskah karya Suhail ibn Abi> S}a>lih} (w. 138 H). Suhail ibn
Abi> S{a>lih} adalah murid Abu> Hurairah, sahabat Nabi. Disebutkan
19 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary
and Tradition, hal: 72.

16

bahwa naskah ini berisi 49 hadis yang para periwayatnya diteliti oleh
Muh{ammad Must{afa> Azami> sampai kepada generasi Suhail
(generasi ketiga), termasuk tentang jumlah dan generasi mereka. Dari
penelitian itu, Muh{ammad Must{afa> Azami> menemukan bahwa
pada generasi ketiga, periwayat hadis tersebut berjumlah sekitar 2030 orang yang berdomisili secara terpencar, seperti di India, Turki,
Maroko, dan Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan
redaksinya sama. Degan demikian, menurutnya sangat mustahil
menurut ukuran situasi dan kondisi saat itu, para perawi yang banyak
tersebut

pernah

berkumpul

untuk

membuat

hadis

sehingga

menghasilkan redaksi yang sama. Sangat mustahil pula bila masingmasing mereka membuat hadis kemudian oleh generasi berikutnya
diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat sama.20
Secara

gamblangnya,

Muh{ammad

Must{afa>

Azami>

memberikan contoh melalui hadis Nabi yang berbunyi: apabila salah


seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka hendaknya ia
mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada
dimana.

Dalam

naskah

Suhail

bin

Abi>

S{a>lih},

hadis

ini

diriwayatkan oleh lima orang sahabat, yakni Abu> Hurairah, Ibnu


Umar, Ja>bir, A<ishah dan Ali bin Abi> T{a>lib. Abu> Hurairah
sendiri kemudian meriwayatkan hadis di atas kepada 13 orang tabiin.
Ketiga belas tabiin ini kemudian menyebar di berbagai daerah, 8
orang tinggal di Madinah, seorang tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di
Bashrah, dan seorang tinggal di Yaman, kemudian seorang lagi tinggal
di Syam. Kemudian ketiga belas tabiin ini meriwayatkan lagi kepada
generasi selanjutnya, dan jumlah mereka menjadi tidak kurang dari 16
orang. 6 orang tinggal di Madinah, 4 orang tinggal di Bashrah, 2 orang
Tinggal di Kufah, dan 1 orang tinggal di Makkah, juga 1 orang tinggal
di Yaman, 1 orang pula di Khurasan, dan yang terakhir 1 orang tinggal
Syam. Rasionalisasinya, mustahil dari 15 orang yang domisilinya
berpencar-pencar di tujuh kota yang berjauhan itu pernah berkumpul
pada suatu saat untuk bersama-sama membuat hadis palsu yang
20 Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2010),hal: 315.

17

redaksinya sama. Dan mustahil pula apabila mereka secara sendirisendiri di kediamannya masing-masing membuat hadis, dan kemudian
diketahui bahwa redaksi hadis tersebut secara kebetulan sama.
Kemudian keenam belas orang rawi di atas adalah hanya rawi-rawi
dari jalur sanad Abu> Hurairah. Apabila jumlah rawi itu ditambah
dengan rawi-rawi yang berada di empat jalur yang lainnya, yaitu Ibnu
Umar, Ja>bir, A<ishah, dan Ali>, maka jumlah rawi itu akan menjadi
lebih banyak.21
Selain teori Explosive Isnad, dikenal juga teori Isnad Family dan
Non Family. Keberadaan Isnad Family diakui oleh Nabia sering kali
terjadi dalam periwayatan hadis, meskipun tidak berarti bahwa Isnad
Family kemudian menjadi periwayatan hadis yang dominan. Kata
Family dalam istilah yang diungkapkan oleh Nabia tentu melibatkan
anggota keluarga dan orang-orang terdekat saja. Maka secara garis
besar, yang dimaksud dengan Isnad Family adalah periwayatan yang
hanya melibatkan anggota keluarga dan orang-orang terdekat saja
(mawali>). Jika kemudian periwayatan tersebut tidak melibatkan
anggota

keluarga

dan

orang-orang

terdekat

(mawa<li<)

maka

periwayatan tersebut diistilahkan oleh Nabia dengan periwayatan Non


Family. Dalam dunia periwayatan hadis, seseorang yang hendak
mencari dan mengumpulkan hadis biasanya melakukan rih{lah ke
berbagai negara untuk menemui ahli hadis dengan harapan agar
mendapatkan hadis darinya. Nah, contoh periwayatan seperti inilah
yang disebut dengan Isnad non Family. Dimana periwayatan tersebut
didapatkan seorang murid dari seorang ahli hadis yang kemungkinan
diantara

keduanya

belum

pernah

bertemu

dan

belum

saling

mengenal. Tentu keduanya belum memiliki kedekatan khusus apalagi


sampai memiliki hubungan darah (family).
Karena dasar dari teoti Isnad Family selalu melibatkan anggota
keluarga, maka formulasi dari teori Isnad Family biasanya disusun
dengan formula so-and-so (periwayatan hadis yang bersumber dari
ayahnya
21 Ibid.

dan

dari

kakeknya).

Hadis

secara

turun-temurun

18

diriwayatkan

kepada

periwayatan

tersebut

generasi
sudah

selanjutnya,

menjadi

tradisi

seakan

kegiatan

dalam

keluarga.

Keberadaan Isnad Family ini dimulai dari masa para sahabat yang
kemudian melanjutkan periwayatan hadisnya kepada tiga generasi
setelahnya

secara

berturut-turut.

Mari

kita

simak

apa

yang

disampaikan oleh Nabia dalam penelitiannya berikut:22


The family in this connection includes both blood
members and intimate mawa>li> such as Na>fi the client of
Ibn Umar and Muhammad ibn Siri>n the client of Anas bin
Ma>lik. Family isnads that start with famous Companions and
continue for three generations, usually with with the formula
so-and-so on the authority of his father on the authority of his
grandfather, are most frequent. Sometimes a family isnad
skipped a generation, when on older tradisionist found a
grandson eager to follow on his footsteps or crossed over to a
collateral branch when a nephew proved to be an apt pupil.
Kata family yang dimaksud kali ini meliputi anggota
yang memilki hubungan darah dan orang-orang yang memilki
kedekatan khusus (teman karib) mawa>li> seperti Na>fi yang
menjadi teman dekat (mawa>li>) dari Ibn Umar dan
Muhammad Ibn Siri>n sebagai mawa>li> Anas bin Ma>lik.
Family isnad yang dimulai dari para sahabat yang terkenal
kemudian dilanjutkan pada tiga generasi setelahnya, biasanya
dengan formula so-and-so yang melalui periwayatan ayahnya
yang diperoleh dari periwayatan kakeknya yang paling sering.
Kadang-kadang family isnad melompati satu generasi, ketika
ahli hadis yang tertua menemukan cucunya ingin sekali
mengikuti langkah atau jejak kakeknya atau menyebrang ke
turunan yang sejajar ketika keponakan laki-laki mnejadi seorang
murid yang cerdas.
5.

Kritik terhadap Teori Explosive Isnad dan Isnad Family dan Non Family
Apa yang dipersepsikan oleh Nabia mengenai hadis dan

perkembangannya cenderung lebih banyak mengikuti pola pikir


ulama hadis pada umumnya. Pemikiran Nabia banyak berbeda
dengan para orientalis lainnya, sebut saja Ignaz Goldziher, Joseph
Schacht,

G.H.A.

Juynboll,

yang

lebih

mencondongkan

paham

skeptisme dalam memahami hadis. Sedangkan Nabia tidak demikian.


Setidaknya dia mempercayai bahwa keberadaan hadis itu merupakan
sumber

yang

reliable

berasal

dari

Muhammad.

Pun

dalam

22 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary


and Tradition, hal: 36.

19

mendefinisikan term antara hadis dan khabar, persepsi Nabia juga


tidak jauh beda dengan ulama hadis.
Secara umum, antara hadis dan khabar sama-sama bermakna
laporan atau informasi. Namun di masa perkembangan Islam, hadis
memperoleh makna yang lebih spesifik. Hadis menjadi singkatan atau
perpendekan kata untuk penyebutan segala yang berasal dari
Muhammad,

yang

berupa

perkataan.

Pada

saat

yang

hampir

bersamaan juga terdapat istilah hadis sahabat atau atsar sahabat,


yang mengindikasikan untuk segala apa yang dikatakan oleh para
sahabat. Khabar, secara teknik berbeda dengan hadis, yang bermakna
cerita pendek yang berisi tentang informasi dari sumber-sumber yang
terpercaya. Secara umum, bahwa setiap hadis adalah khabar tetapi
tidak setiap khabar adalah hadis. Dua term tersebut tidak bisa dibalik
yakni dengan memberikan pernyataan bahwa setiap hadis adalah
khabar.23 Selain itu, dalam penjelasan yang lain disebutkan bahwa
khabar, juga berisi tentang sejarah para tokoh-tokoh terkenal dan
biografi yang berisi tentang informasi-informasi yang ada kaitannya
tentang disiplin intelektual kala itu.24
Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan khabar
memilki sifat global jika dibandingkan dengan hadis. Jika term hadis
bisa disandingkan dengan segala yang dikatakan oleh Muhammad
berikut pula para sahabat sebagaimana di atas, maka untuk term
khabar tidak hanya terbatas pada Muhammad dan para sahabat saja.
Apapun yang dikatakan oleh khalayak umum yang berisi tentang
segala informasi dari sumber-sumber yang terpercaya, baik oleh
Muhammad, para sahabat, tabiin, dan generasi berikutnya bisa
disebut khabar. Oleh karena itu Nabia kemudian mengerucutkan
pembahasan dengan mengatakan bahwa secara umum hadis adalah

23 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri I: Historical Text, hal: 7.


24 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri I: Historical Text, hal:
4.

20

khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadis, dan dua term tersebut
tidak bisa dibalik.
Ada beberapa hal yang membuat peneliti tidak mengamini
definisi sunah versi Nabia Abbott. Pertama, definisi yang diungkapkan
di atas terkesan bahwa ruang lingkup sunah itu sangatlah sempit,
hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat administratif. Padahal jika
kita melihat definisi sunah versi ulama hadis, terlihat bahwa sunah itu
tidak hanya yang ada kaitannya dengan administrasi, bahkan lebih
dari itu. Sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ajja>j al Kha>t}i>b,
bahwa makna sunah menurut ulama hadis sangat luas mencakup
segala aspek yang berasal dari Nabi berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, sifat fisik dan budi pekerti, jalan hidup yang baik, baik
yang terjadi sebelum diutus menjadi rasul seperti ketika bertahannus
di gua Hira ataupun sesudahnya.25 Kedua, jika Nabia mengatakan
bahwa cakupan term sunah tidak hanya sebatas pada teladan
Muhammad semata, melainkan juga dapat digunakan bagi para
khalifah seperti Abu> Bakar, Umar bin Khatta>b dan beberapa pihak
yang terlibat dalam bidang pemerintahan. Agaknya pendapat ini
terlalu berlebihan, karena peneliti sendiri memandang bahwa cakupan
sunnah dikhususkan untuk segala yang berasal dari Muhammad
sebagai seorang nabi dan rasul. Baik ulama hadis, ulama ushul dan
ulama fiqih, semuanya sepakat bahwa definisi dari sunnah adalah
segala hal yang berasal dari Muhammad. Untuk penyebutan segala
hal yang berasal dari para sahabat, seperti Abu> Bakar, Umar bin
Khatta>b dan beberapa sahabat lainnya, lebih pas nya disebut
dengan hadis. Oleh karena itu kemudian muncullah istilah hadis
marfu> (hadis yang bersambung kepada Nabi), hadis mauqu>f (hadis
yang hanya bersambung sampai pada sahabat), dan hadis maqt}u>
(hadis yang hanya bersambung sampai tabiin).

Ketiga, Nabia

menyebutkan bahwa yang disebut sunnah adalah tidak lantas


kemudian

diperuntukkan

untuk

segala

aktifitas

yang

terjadi,

25 Muhammad Ajjaj al Khat{i>b, tt, Ushu>l al-Hadi>th, (Kairo: Maktabah


as-Sunnah), hal: 19.

21

melainkan hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan bidang


administratif dan praktek-praktek yang legal (sah). Ini bukanlah
definisi yang dimaksudkan oleh para ulama hadis. Karena yang
dimaksud dengan sunnah versi ulama hadis cakupannya sangat luas,
mencakup segala aspek kehidupan Nabi semenjak lahir hingga wafat,
setelah

diangkat

menjadi

Nabi

ataupun

sebelumnya,

dan

menunjukkan hukum syari atau tidak.26 Ditambah lagi dengan definisi


yang disampaikan oleh ulama ushul fiqh yang memandang sunnah
sebagai hal yang berkaitan dengan hukum syara dan perbuatan
mukallaf. Hal-hal yang berkaitan dengan hukum syara tidak hanya
terbatas pada shadaqah, zakat, diyat, dan fara>id, tetapi juga tentang
shalat, puasa, haji, dsb. Oleh karena itu sangat tidak pas jika
kemudian dikatakan bahwa keberadaan sunah hanya berperan
sebagai pedoman bagi hal-hal yang berhubungan dengan bidang
administrasi negara.
Selanjutnya, Nabia menganggap bahwa Muhammad adalah
seorang yang bisa membaca dan menulis. Dia menunjukkan fakta
bahwa Muhammad pernah mempelajari isi dari kitab Injil dari Waraqah
bin Naufal, salah seorang pendeta kitab Injil. Nabia menyematkan
gelar S{a>bi dan mengatakan bahwa Muhammad adalah orang
pertama yang disebut S{a>bi, sedangkan definisi dari Sa>bi sendiri
adalah seseorang yang dapat membaca ataupun menulis. Nabia
menganggap

bahwa

Muhammad

seperti

halnya

A<ishah

dan

H{afs}ah, yang mampu membaca sehingga dimungkinkan juga bisa


menulis.27
Kata Sa>bi (plural: S{a>biu>n) terdapat dalam al Quran surat
al Baqarah ayat 62, dimana kata tersebut memilki pengertian sebagai
kaum yang keluar dan selalu condong dari satu agama ke agama yang
lain, artinya mereka tetap mengakui akan satu agama. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai asal ususl kata dan pengertian
26 Idri, Studi Hadis, hal: 3.
27Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary
and Tradition, hal: 6.

22

etimologinya. Pertama, kata S{a>biu>n terambil dari kata at T{ulu


wa

al

Zuhu>r

yang

berarti

terbit/lahir

atau

tampak.

Kedua,

S{a>biu>n memiliki makna keluar dari sesuatu menuju suatu yang


lain. Orang-orang S{a>biu>n disebut demikian karena mereka keluar
dari agama Yahudi atau Nashrani untuk kemudian membentuk agama
sendiri. Ketiga, kata S{a>biu>n diambil dari kata S{aba-Yas{bu yang
berarti condong kepada sesuatu dan untuk kemudian mencintainya.
dalam hal ini Sayyid Qut{b memberikan pandangannya tentang
batasan

orang-orang

S{a>biu>n

yaitu

sekelompk

orang-orang

musyrik sebelum bitsah kenabian Muhammad, dimana mereka


dihantui dengan keragu-raguan tentang kepercayaan yang dianut
mereka

dengan

menyembah

berhala.

Lalu

mereka

mencoba

melakukan pengkajian akidah yang mereka suka untuk dijadikan


pedoman atau pegangan, kemudian mereka pun menuju kearah
akidah tauhid seraya mereka berujar bahwa mereka beribadah
menurut

millah

Ibrahim

yang

terdahulu.

Mereka

pun

lantas

meninggalkan praktik ibadah yang dilakukan kaumnya selama ini.


Kelompok inilah yang oleh orang-orang musyrik dikatakan sebagai
S{a>biu>n yakni mereka berpaling dari ajaran agama nenek moyang
mereka. Bahkan orang-orang muslim pun oleh kaum musyrikin Arab
dijuluki pula sebagai as S{a>biah karena tidak mau mengikuti ajaran
agama nenek moyang mereka.28
Setelah melihat penjelasan kata S{a>biu>n di atas, terlalu
berlebihan jika Nabia menyebut Muhammad sebagai orang pertama
yang mendapatkan gelar S{a>bi. Kata S{a>bi versi Nabia adalah
seseorang yang dapat membaca ataupun menulis. Pengertian ini jauh
berbeda dengan penjelasan di atas yang tidak ada hubungannya
sama sekali dengan membaca atau menulis. Pun, jika kemudian
menggunakan definisi di atas, gelar S{a>bi juga masih terlalu
berlebihan jika disematkan pada Muhammad. Muhammad terjaga dari
perbuatan syirik dan kafir. Muhammad terjaga dari sifat-sifat ahli
28 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis,
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014), hal: 190-191.

23

kitab. Muhammad bukanlah penganut agama Yahudi atau Nasrani


(ahli kitab) yang kemudian keluar dan mendirikan agama yang baru.
Al Quran dan hadis sendiri memberikan penjelasan mengenai
karakter dan sifat-sifat yang kurang terpuji yang dimilki ahli kitab,
diantaranya

adalah

sikap

permusuhan

dan

kebencian

mereka

terhadap Islam, mereka selalu menampakkan sikap permusuhan


kepada orang-orang beriman. Sikap lain yang ditunjukkan oleh para
ahli kitab sebagaimana yang terdapat dalam al Quran adalah sikap
ekstrem (melampaui batas) dalam beragama dan mendustakan
agama. Orang-orang ahli kitab disebutkan dalam al Quran sebagai
kelompok yang suka mencampuradukkan antara al h{aq dan al
bat}i>l. sehingga jika sebelumnya disebutkan bahwa pengertian dari
S{abiun adalah karena mereka keluar dari agama Yahudi atau
Nasrani untuk kemudian membentuk agama sendiri, maka pengertian
ini sungguh tidak layak jika disematkan pada Muhammad, karena
Muhammad tersucikan dari sifat-sifat ahli kitab yang batil.
Peneliti

mengakui

kesungguhan

Nabia

dalam

upaya

membuktikan otentisitas hadis dengan melakukan teknik analisis


sejarah yang cukup detail. Sebagai contoh adalah ketika Nabia
menjelaskan apa yang dimaksud dengan teori Isnad Family. Banyak
contoh yang dikemukakan oleh Nabia untuk menjelaskan kepada
pembaca maksud dari Isnad Family. Namun hal yang janggal
dirasakan oleh peneliti manakala terdapat beberapa contoh dari Isnad
Family yang tidak sesuai dengan definisi yang disampaikan oleh
Nabia. Dalam definisinya, Nabia menyebutkan bahwa keberadaan
Isnad Family dimulai dari periwayatan hadis yang dilakukan oleh para
sahabat yang terkenal dan kemudian dilanjutkan pada tiga generasi
setelahnya secara berturut-turut, sebagaimana ungkapannya: Family
isnads start with famous Companions and continue for three
generations, usually with formula so-and-so..

29

salah satu contoh

yang disebutkan oleh Nabia adalah periwayatan yang dilakukan oleh


29 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary
and Tradition, hal: 36.

24

Ah{mad bin H{ambal kepada anaknya. Nabia menyebutkan bahwa


periwayatan yang dilakukan oleh Ah{mad bin H{ambal kepada
anaknya adalah periwayatan Isnad Family. Padahal jika melihat pada
definisi yang disampaikan oleh Nabia, dimana periwayatan Isnad
Family dimulai dari sahabat yang terkenal, maka harusnya contoh
periwayatan yang dilakukan oleh Ah{mad bin H}ambal tidak bisa lagi
disebut sebgai Isnad Family karena Nabia tidak menyebutkan nama
sahabat yang meriwayatkannya dan perawi-perawi sebelumnya. Ada
kemungkinan perawi sebelum Ah{mad bin Ha{mbal adalah perawi
yang tidak meriwayatkan hadisnya secara Isnad Family.
Masih berhubungan dengan contoh dari Isnad Family, Nabia
mencontohkan periwayatan Abu> Hurairah yang bukan termasuk
Isnad Family karena Abu> Hurairah meriwayatakan hadisnya kepada
murid-muridnya, salah satunya adalah kepada Marwa>n bin al
H{akam. Dalam periwayatan Marwa>n bin al H{akam ini, Nabia
menyebutnya sebagai periwayatan Isnad Family karena Marwan
meriwayatkan

hadisnya

kepada

anaknya,

Abd

al

Azi>z

dan

selanjutnya diteruskan kepada anaknya Umar II.


Jika melihat pada dua contoh yang diutarakan oleh Nabia diatas,
bisa disimpulkan bahwa periwayatan Isnad Family itu tidak harus
selalu dimulai dari para sahabat yang terkenal. Toh kenyataannya,
Nabia tetap menyebutkan periwayatan Ah{mad bin Hambal dan
Marwan bin al H{akam sebagai periwayatan Isnad Family meskipun
tidak dimulai dan tidak menyebutkan sahabat yang terkenal. Entah,
apakah memang yang dimaksudkan oleh Nabia dengan Isnad Family
itu harus dimulai dari para sahabat yang terkenal, atau tetap disebut
sebagai Isnad Family meskipun tidak dimulai dari para sahabat yang
terkenal asalkan perawi dibawahnya meriwayatkannnya secara Isnad
Family. Dan kesimpulan yang kedua ini sepertinya lebih mencocoki
terhadap contoh-contoh yang terdapat dalam penelitian Nabia.
Kemudian, bahasan Isnad Non Family kurang begitu tersentuh
oleh Nabia. Dalam karyanya yang berjudul Studies in Arabic Literary

25

Papyri II: Quranic Commentary And Tradition yang diterbitkan oleh


The University of Chicago Press, Nabia cenderung memfokuskan
arahan pembahasan kepada Isnad Family. Bahkan ketika peneliti
mengemukakan definisi dari

Isnad Non Family, peneliti cukup

kesulitan, akhirnya peneliti menggunakan teori al mafhu>m al


mukha>lafah untuk mendapatkan definisi dari Isnad Non Family.
Diakui memang Nabia cukup apik dan detail dalam melakukan analisis
sejarah, namun terkadang pembahasan Nabia terlihat melebar
sehingga menyebabkan inti pembahasan yang beliau kemukakan
tidak maksimal. Ini terlihat jelas ketika Nabia tidak memberikan
batasan-batasan yang jelas antara teori Isnad Family dan Isnad NonFamily. Bahkan dalam mendefinisikan teori Isnad Family Nabia masih
belum

memberikan

batasan-batasan

yang

jelas

sehingga

menimbulkan kerancuan sebagaimana yang sudah peneliti jelaskan di


atas. Pun dalam membahas Isnad Non Family, Nabia juga kurang
begitu menyentuh contoh-contoh periwayatan Isnad Non Family.
Mengesampingkan kekurangan yang ada pada sistematika
penelitian Nabia, peneliti sangat apreciate sekali atas karya Nabia
Abbott. Bagaimana tidak, Nabia Abbott melakukan analisis sejarah
yang

cukup

mengagumkan

dan

terperinci

guna

membuktikan

otentisitas hadis. Di samping itu, belum terdapat tokoh orientalis


wanita yang sangat concern dalam melakukan kajian terhadap hadis.
Hasil penelitian Nabia ini merupakan hal yang sangat luar biasa. Pada
umunya, mayoritas orientalis berangkat dari paham skeptisme dalam
mengkaji hadis, bahkan mengabaikan fakta-fakta sejarah yang
berhasil

terekam.

Mereka

cenderung

menolak

dan

meragukan

otentisitas hadis dan tidak meneliti terlebih dahulu data-data sejarah


yang ada, sehingga kesimpulan yang dihasilkan sarat akan distorsi
dan pendangkalan fakta. Hal ini berbeda dengan Nabia Abbott, dia
dengan serius mengkaji dan meneliti manuskrip-manuskrip hadis yang
ada sebagai bukti adanya gerakan penulisan hadis pada masa
sahabat. Dia meneliti dengan seksama dan detail untuk membuktikan
keberadaan fakta histori yang pernah ada.

26

Sebagai seorang orientalis, dia cenderung memiliki sikap


obyektif dan jujur dalam melakukan penelitiannya. Melalui karyanya,
Nabia

sekaligus

membuktikan

bahwa

tidak

semua

orientalis

meragukan keberadaan hadis sebagai sumber yang otentik. Apalagi


teori-teori yang disampaikan oleh Nabia, seperti teori Isnad Family,
Isnad

Non

Family

dan

Explosive

Isnad

semakin

memperkuat

keberadaan bahwa periwayatan hadis dilakukan secara bersambung


dan tidak terputus. Selain itu, teori Explosive Isnad yang dibuktikan
oleh Nabia

Abbott menunjukkan bahwa periwayatan hadis itu

melibatkan banyak orang yang tersebar di berbagai daerah dan


wilayah.

Jumlah

yang

semakin

besar

di

setiap

generasi

ini

menunjukkan bahwa mustahil mereka melakukan pembohongan


massal untuk memalsukan hadis.

Anda mungkin juga menyukai