Anda di halaman 1dari 15

PEMIKIRAN NABIA ABBOT TERHADAP HADIS

Disusun Oleh:

Kelompok 2

M Maulana Fahmi (11180360000029)

Susi Susanti (11180360000003)

PRODI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020
A. Pendahuluan
Studi hadis di kalangan Sarjana Barat berbeda secara fundamental dibandingkan
studi hadis seperti di kalangan Sarjana Timur Tengah dan Indonesia. Studi hadis di
kalangan Sarjana Timur Tengah dan Indonesia menekankan pada bagaimana melakukan
takhrij al-hadis untuk menentukan otentisitasnya, sedangkan studi hadis di kalangan
Sarjana Barat menekankan bagaimana melakukan dating (penanggalan) hadis untuk
menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap
peristiwa yang diduga terjadi pada masa awal Islam. Terlepas dari kesimpulan sarjana
Barat terhadap kualitas hadis yang sering dipandang kurang simpatik bagi sebagian orang
Islam, mempelajari metodologi mereka sangatlah bermanfaat jika dilihat dari perspektif
akademis. Karena, disamping mempelajari tentang studi keislaman, mereka juga
mengkritisi berbagai kekurangan dalam studi tersebut, sehingga dapat membuka wacana
kita untuk berupaya lebih baik lagi.1
Pada abad 19, berbagai permasalahan seputar keotentikan dan legalitas hadis
mulai muncul, termasuk di kalangan orientalis. Hal tersebut menjadi central object dalam
studi Islam, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam. Banyak dari mereka
mempertanyakan perihal status hadis, hal tersebut disebabkan karena sebagaimana yang
diketahui bahwa proses kodifikasi hadis dilakukan pada waktu yang cukup lama dari
peristiwa periwayatannya. Konsekuensi dari hal tersebut kemudian adalah munculnya
sikap skeptis (keraguan) mereka terhadap adanya hadis, yang menurut mereka terdapat
adanya perubahan seting sosio-kultural saat ini dengan kondisi ideal saat Nabi masih
hidup. Untuk itu, mereka melakukan beberapa metode untuk membuktikan keotentikan
hadis, diantaranya dengan menelusuri dan meneliti perkembangan literatur hadis, sebagai
media untuk mengetahui adanya proses transmisi hadis secara tertulis sejak masa Nabi,
sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh Nabia Abbott.2
Dalam tataran objektif, jika kita mengkaji ulang tulisan-tulisan kaum orientalis,
ternyata kita juga dapat menyimpulkan bahwa karya-karya mereka tidak bisa diremehkan
begitu saja dalam pengembangan studi Islam dan kebudayaan. Dengan metode ilmiah
yang diterapkan dalam penyusunan kamus dan ensiklopedi, mereka telah memberikan

1
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 1-2
2
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 2-3
andil besar dalam memperkaya kepustakaan Islam dengan berbagai karya di bidang
disiplin ilmu yang berbeda, yang salah satunya adalah hadis Nabi saw.3
Sebagai bukti kongkret dari hasil kajian para orientalis dalam bidang hadis atau
yang terkait dengannya, dapat terlihat dari banyaknya orientalis dan karya tulis mereka.
Antara abad ke-19 dan 20 nama-nama orientalis yang muncul lewat tulisan-tulisannya
dalam bidang hadis jumlahnya relatif cukup banyak. Diantara para orientalis atau sarjana
Barat yang berkecimpung dalam kajian hadis salah satunya adalah Nabia Abbot.4
Menurut Herbert Berg, Nabia Abbott merupakan seorang orientalis yang non-
skeptis. Dia seorang ahli ketimuran khusunya di bidang manuskrip-manuskrip Timur
Tengah. Dia beragumen untuk menjawab keraguan para skeptism terhadap keotentikan
hadis. Berbeda dengan Ignaz Goldizer yang menyatakan bahwa fenomena kitab hadis
yang muncul pada abad ketiga hijriyyah disebabkan pertumbuhan pada matannya yang
kemudian sebagai pintu awal munculnya pemalsuan hadis, Nabia Abbott menyatakan
bahwa fenomena tersebut karena pertumbuhan isnad yang berlipat ganda. Nabia Abbott
dalam hal ini menggunakan metode geometri untuk menjelaskan fenomena tersebut.

B. Biografi Nabia Abbot


Nabia Abbot, seorang wanita professional yang lahir pada 31 Januari 1897 di
Mardin sebelah barat daya Turki dan meninggal pada tahun 1981. Ayahnya seorang
pedagang, ia dan keluarganya sudah terbiasa dengan hidup yang nomaden yaitu
berpindah-pindah tempat dari satu negara ke negara yang lain. Ketika masih kecil, Nabia
dan keluarganya menempuh perjalanan jauh yang sampai ke daerah Mosul, berlayar dari
Tigris ke Baghdad, kemudian melewati Teluk Persia dan Laut Arab dan akhirnya sampai
di Bombay pada tahun 1907.

C. Latar Belakang Pendidikan dan Karyanya


Di Bombay, Nabia mengenyam pendidikan di sekolah inggris, dan setelah lulus
Nabia melanjutkan pendidikannya di luar negeri yaitu di Universitas Cambrigde pada
tahun 1915. Namun selama perang dunia pertama berlangsung, ia kembali lagi ke India,
kemudian melanjutkan perjalanannya ke arah selatan di perguruan tinggi Isabella
3
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 3
4
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 4
Thorbom, Lucknow, dan lulus dengan meraih gelar BA dengan predikat kehormatan pada
tahun 1919.
Setelah lulus, Nabia memulai program women’s education di kerajaan Irak. Dari
sana kemudian ia ikut bersama keluarganya untuk pindah ke Boston, dan di Universitas
Boston, ia mendapatkan gelar M.A. pada tahun 1925. Setelah lulus, ia bergabung menjadi
staff pengajar di Department of Education di Asbury College, Wilmore, dan menjadi
kepala Department of History pada tahun 1925-1933.
Ketika keluarganya pindah ke Chicago, di sana Nabia menjadi Professor Arab di
Oriental Institute, Chicago tahun 1933. Nabia Abbot merupakan wanita pertama yang
mengajar di Oriental Institute. Ia menjadi pioneer wanita yang banyak menghabiskan
waktunya dengan mengkaji naskah-naskah kuno Arab dan kebudayaan awal Islam.
Beberapa karya Nabia Abbot, diantaranya ialah:
1. The Rise of The North Arabic Script and Its Qur’anic Development with a Full
Description of The Qur’an Manuscript in The Oriental Institute
2. Aishah: The Develoved Muhammad
3. Studies in Arabic Literary Papyri Volume I: Historical and Texts
4. Studies in Arabic Literary Papyri Volume II: Qur’anic Commentary and
Tradition
5. Studies in Arabic Literary Papyri Volume III: Language and Literatur
6. The Monasteries of The Fayyum
7. The Kurrah Papyri From Aproditho In The Oriental Institute
8. Two Queens Baghdad: Mother and Wife of Harun Al-Rashid
9. Qur’anic Commentarry and Tradition

D. Teori-teori Nabia Abbot


a. Pemikiran tentang Makna Hadis dan Sunnah
Menurut Nabia, hadis menjadi perpendekan kata untuk penyebutan segala
yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. yang berupa perkataan. Pada saat yang
hampir bersamaan juga terdapat istilah hadis sahabat atau atsar sahabat, yang
mengindikasikan untuk segala apa yang dikatakan oleh para sahabat. Selain hadis,
terdapat pula istilah khabar yang dianggap oleh Nabia memiliki makna yang
berbeda dengan hadis, karena khabar berisi tentang sejarah dan biografi para
tokoh-tokoh terkenal yang memuat informasi-informasi yang ada kaitannya
dengan disiplin intelektual kala itu. Nabia juga menambahkan definisi khabar
dengan cerita pendek yang berisi tentang informasi dari sumber-sumber yang
terpercaya.
Hadis dan khabar sama-sama bermakna laporan atau informasi, namun
secara teknik hadis berbeda dengan khabar. Hadis memperoleh makna yang lebih
spesifik. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa keberadaan khabar memiliki sifat
global jika dibandingkan dengan hadis. Jika istilah hadis bisa disandingkan
dengan segala yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw. Kemudian juga para
sahabat, maka untuk istilah khabar tidak hanya terbatas pada Nabi Muhammad
Saw. dan para sahabat saja, melainkan juga mencakup khalayak umum. Apapun
yang dikatakan oleh khalayak umum yang berisi tentang segala informasi dari
sumber-sumber yang terpercaya, baik oleh Nabi Muhammad saw., para sahabat,
tabi’in, dan generasi berikutnya bisa disebut khabar. Oleh karena itu, Nabia
kemudian mengerucutkan pembahasan dengan mengatakan bahwa setiap hadis
adalah khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadis.
Sementara sunnah dipahami sebagai tradisi atau kebiasaan yang berlaku
di komunitas umat muslim yang berkaitan dengan perihal keagamaan atau hukum,
baik setelah Islam datang ataupun sebelumnya, yang berlangsung secara terus
menerus dan dianggap sebagai sebuah peninggalan yang mesti untuk diikuti.
Konsep sunnah terbentuk untuk memberikan pengaruh dan pembenaran dalam
memerintah suatu individu ataupun komunitas dalam peradaban Arab, yang
kemudian mengalami penyempitan makna ketika Islam muncul. Keberadaan
sunnah kemudian dibatasi hanya pada jalan hidup masyarakat yang berkenaan
dengan kepercayaan agama Islam. Goldziher kemudian menekankan bahwa
keberadaan sunnah pada mulanya terkait dengan kehidupan masyarakat pra Islam
sebagai perangkat tradisi dan kebiasaan leluhur yang kemudian menjadi sumber
kebiasaan dalam kehidupan. Sunnah dapat pula dipahami sebagai perangkat tata
nilai kehidupan mayarakat tertentu yang dalam perkembangannya kemudian
dipahami sebagai tradisi dan pola kehidupan yang bersifat universal.
Dalam pemaparannya, Nabia secara eksplisit tidak menyebutkan tentang
pengertian hadis itu sendiri. Awal penelitian yang beliau lakukan berangkat dari
kegelisahan beliau tentang keotentikan dokumen-dokumen hadis yang
bermunculan sejak masa Nabi sampai masa pemerintahan Umayah, dimana ketika
periode Umar bin Khattab (w. 23/ 644), melarang beredarnya dokumen-dokumen
hadis tersebut dan menghukum bagi siapa yang berkecimpung di dalamnya. Hal
tersebut dilakukan karena beliau melihat kurangnya perhatian kaum Muslim
terhadap studi al-Qur’an pada saat penakhlukkan wilayah luar Arab. Sebagaimana
yang dikatakan Nabia;
The problem for Abbott, given this suggestion, is the obvious lack of any early
attempt to standardize all these reports about Muhammad and, more tacitly, the
lack of extant manuscripts from this period. Her solution to this conundrum is to
lay the blame squarely on the shoulders of the second caliph, `Umar I (d.
23/644). Because of the lack of familiarity with the Qur'an in the newly
conquered lands outside Arabia, the caliph feared "a development in Islam,
parallel to that in Judaism and Christianity,." So he destroyed the manuscripts of
hadiths he discovered and punished those who had possessed them.5

Permasalahannya bagi Abbot adalah bagaimana usaha untuk


menstandarisasikan beberapa laporan-laporan tentang Muhammad saw. yang
pada periode tersebut belum berkembang. Hal tersebut menurut Abbott menjadi
tanggung jawab khalifah kedua Umar bin Khattab (w. 23/ 644), karena Umar
melihat kurangnya perkembangan studi al-Qur’an pada saat penakhlukkan
wilayah luar Arab. Khalifah khawatir, ”perkembangan dunia keislaman akan
tergantung dengan budaya Yahudi dan Kristen,” oleh karena itu, beliau akhirnya
beliau memusnahkan sejumlah manuskrip hadis dan memberikan sanksi bagi
siapa yang berkecimpung di dalamnya.
Mengenai pengertian sunnah, Nabia berpendapat bahwa kata sunnah yang
kadang menggunakan bentuk plural (sunnan), tidaklah hanya terbatas pada
perilaku (teladan) dari Nabi saja, melainkan juga berlaku dan digunakan untuk

5
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 59
para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar ibn Khattab, yang sekaligus memiliki
kedudukan tertinggi dalam pemerintahan khilafiyah.
Sementara itu, dilihat dari segi fungsi dan kedudukannya, Nabia
berpandangan bahwa sunnah secara spesifik yaitu lebih diartikan hanya sebagai
sebuah praktik hukum atau legalitas terhadap suatu bidang, dibanding sebagai
jawaban atau solusi beberapa aktifitas kehidupan. Sebagaimana pemaparan
beliau;
”...The term sunnah, which frequently alternates with the plural sunan, is not
limited to the example or conduct of Muhammad but applies also to at least the
caliphs Abu Bakar and Umar I and to a number of outstanding men who held
high office under these three heads of state. The sunnan is question refer not to
general activities in any phase of life whatsoever but to spesific fields of
administrative and legal practices.

“Definisi sunnah yang dalam bentuk jama’nya sunan, tidaklah hanya sebatas
tentang contoh atau perilaku Nabi Muhammad saja, namun juga digunakan
untuk khalifah Abu Bakar dan Umar I dan untuk sejumlah tokoh terkemuka yang
duduk di pemerintahan. Sunnah bukan hanya merupakan solusi dari beragam
aktifitas dalam kehidupan, namun secara spesifik merupakan bagian dari bidang
administrasi dan sebuah praktek hukum.”
Dari pemaparan Nabia diatas, tergambar bahwa pada dasarnya Nabia
mengakui keberadaan hadis sebagai sumber hukum. Yang menjadi permasalahan
kemudian adalah ketika beliau meragukan keotentikan dokumen-dokumen hadis
yang bermunculan. Namun pada akhirnya, hal tersebut terjawab dengan hasil
penelitian beliau sendiri tentang keberadaan dan keotentikan dokumen-dokumen
hadis yang sebagian besar menurut beliau muncul pada abad kedua dan ketiga
Hijriah.6

b. Pemikiran tentang Penulisan Hadis

6
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 60-61
Nabia mengakui keberadaan hadis, bahkan ketika Nabi Muhammad saw.
masih hidup. Nabia menuturkan bahwa sebenarnya keberadaan hadis sudah ditulis
ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, meskipun diakui oleh Nabia bahwa
penulisan tersebut masih bersifat non massif. Kala itu hadis lebih cepat
berkembang melalui sistem oral (penyampaian hadis dari lisan ke lisan),
meskipun hal demikian tidak menafikan bahwa ada beberapa sahabat yang sudah
mendokumentasikannya melalui tulisan. Kegiatan periwayatan ini terus berlanjut
bahkan sampai Nabi Muhammad saw. wafat. Hadis tumbuh dan menyebar di
berbagai kalangan, sehingga alur perkembangan Islam beserta kebudayaannya
dapat dilacak melalui jalur hadis. Antusiasme para sahabat dalam menulis dan
meriwayatkan hadis sangatlah tinggi. Sikap antusiasme tersebut terus berlangsung
di kalangan sahabat meskipun Nabi Muhammad saw. sudah wafat, sampai
kemudian ‘Umar I (‘Umar bin al Khattab) memberikan ultimatum dengan
memberikan sangsi dan hukuman yang berat kepada siapa saja yang berusaha
menulis atau mengumpulkan hadis. Alasan ‘Umar I memberikan ultimatum
tersebut karena adanya kekhawatiran yang timbul ketika semangat gerakan
penulisan hadis dikalangan para sahabat disejajarkan dengan gerakan penulisan al
Qur’an. Oleh sebab itu, agar perhatian para sahabat terhadap al Qur’an tidak
terganggu, apalagi keberadaan al Qur’an kala itu masih belum familiar khususnya
di daerah-daerah yang baru ditaklukan oleh pasukan Islam. Dan lagi, belum
distandarkan penulisan dan penyusunan al-Qur’an menjadi mushaf yang utuh
menjadi bagian dari pertimbangan ‘Umar memberikan larangan untuk menuliskan
hadis.
Bagi Nabia, hadis telah ditulis bahkan Nabi Muhammad saw. masih
hidup. Kala itu laju pertumbuhan hadis berkembang melalui oral dan penulisan,
kegiatan ini terus berlangsung sampai Nabi wafat. Pada masa berikutnya, kegiatan
penulisan hadis pada masa sahabat terjadi secara parsial. Beberapa sahabat
mendukung upaya penulisan hadis sebagai bentuk pelestarian hadis dan beberapa
sahabat mencegah diri dari penulisan hadis khawatir akan disalahgunakan oleh
orang-orang setelahnya. Sehingga pada masa kepemimpinan sahabat besar telah
terjadi taqlil al riwayah juga dikenal pula istilah al tathabbut fi al riwayah.
Meskipun penulisan hadis pada masa itu terjadi secara parsial, namun
bentuk usaha para sahabat dalam mengumpulkan, merekam dan meriwayatkan
hadis dilakukan dengan sangat berhati-hati. Hal tersebut berlangsung tidak hanya
ketika mereka meriwayatkan hadis dari Muhammad secara langsung, namun juga
ketika mereka meriwayatkan hadis dari keluarga Muhammad atau dari para
sahabat yang dekat dengan Nabi Muhammad saw., seperti Anas bin Malik,
‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘As, Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah.
Pernyataan Nabia tersebut sebagai bukti bahwa hadis sebenarnya telah
muncul dan berkembang pada awal Hijriyah, bahkan ketika Rasulullah masih
Hidup. Banyak para sahabat yang terlibat di dalamnya. Semangat penulisan dan
dokumentasi hadis tidak terhenti begitu saja ketika masa sahabat telah berakhir.
Semangat itu diwariskan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya, yaitu
tabi’in. Rentetan periwayatan hadis yang bersambung semenjak generasi pertama
sampai generasi mukharrij hadis menjadi bukti dan penguat bahwa keaslian hadis
bisa dibuktikan dan dibenarkan keberadaannya. Inilah yang dipercayai oleh Nabia
dan dianggapnya sebagai sebuah kebenaran yang sesuai dengan bukti yang ada.

c. Pemikiran tentang Isnad: Explosive Isnad, Isnad Family dan Isnad Non
Family
Dalam pembahasan isnad, Nabia memiliki teori yang mendukung
kebenaran jalur periwayatan (sanad). Teori tersebut dikemukakannya dengan
istilah explosive isnad, isnad family dan non family. Maksud dari teori explosive
isnad yang terdapat dalam salah satu penelitian Nabia Abbott yang berjudul
Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary And Tradition yang
diterbitkan oleh The University of Chicago Press, Nabia menyatakan bahwa
terdapat satu sampai dua ribu nama sahabat dan tabi’in yang telah terlibat
periwayatan hadis, dimana masing-masing dari mereka meriwayatkan rata-rata
dua sampai lima hadis. Hal tersebut mampu menunjukkan kepada kita perkiraan
jumlah hadis yang dibukukan pada abad ketiga Hijriyah. Nabia menyadari bahwa
keberadaan jalur isnad telah melibatkan sekian banyak orang dalam periwayatan
hadis sehingga menghasilkan suatu explosive isnad (meledaknya isnad) karena
banyaknya orang yang terlibat dalam periwayatan hadis dan jumlahnya akan
selalu bertambah banyak di setiap masing-masing thabaqat (generasi).
Nabia Abbot berasumsi bahwa rata-rata para sahabat meriwayatkan satu
Hadis kepada dua tabi'in, dan kemudian masing-masing tabi'in tersebut
meriwayatkan kepada dua generasi berikutnya (tabi' al tabi'in), dan rangkaian
periwayatan tersebut akan terus berlanjut sampai 4 atau bahkan 8 generasi di
bawahnya. Nabia mencontohkan ini dengan periwayatan hadis pada masa Al
Zuhri yang terus berlanjut dan berkesinambungan sampai pada masa Ahmad Ibnu
Hanbal dengan menggunakan perhitungan deret geometri.7
Selain teori explosive isnad, dikenal juga teori isnad family dan non
family. Term family dalam pembahasan ini adalah hubungan yang mencakup
antara anggota keluarga dan teman karib (mawali), yang biasanya disusun dengan
formula so-and-so (periwayatan hadis yang bersumber dari ayahnya dan dari
kakeknya). Formula so-and-so ini yang biasanya sering terjadi dalam periwayatan
Isnad family. Hal ini bisa diartikan bahwa ahli hadis menyampaikan hadisnya
kepada orang tertentu yang memiliki hubungan darah dengannya, atau kepada
kerabat dekatnya, seperti Nafi’ yang merupakan teman karib (mawali) dari
Ibn‘Umar dan Muhammad Ibn Sirrin yang merupakan teman karib (mawali) dari
Anas bin Malik.
Menurut Nabia, periwayatan isnad family dimulai dari masa para sahabat
yang terkenal dan kemudian dilanjutkan sampai tiga generasi setelahnya secara
berturut-turut, seperti seorang ayah yang melanjutkan periwayatan hadisnya
kepada anaknya dan begitu seterusnya sampai kepada generasi dibawahnya lagi,
atau terkadang jalur isnad family melompati satu generasi dibawahnya, seperti
seorang kakek yang memiliki seorang cucu yang sangat antusias mengikuti jejak
langkahnya dalam meriwayatkan hadis, atau terkadang jalur tersebut
bersebarangan dalam mata rantai keluarga ketika keponakan laki-laki
berkeinginan untuk ikut andil dalam meriwayatkan hadis (mawali).
Keberadaan isnad family diakui oleh Nabia seringkali terjadi dalam
periwayatan hadis, meskipun tidak berarti bahwa isnad family kemudian menjadi
7
Idri, Hadis dan Orientalis Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis Nabi, 2017, Depok:
Kencana, hlm 229
periwayatan hadis yang dominan. Kata family dalam istilah yang diungkapkan
oleh Nabia melibatkan anggota keluarga dan orang-orang terdekat saja. Maka
secara garis besar, yang dimaksud dengan Isnad Family adalah periwayatan yang
melibatkan hanya anggota keluarga dan orang-orang terdekat saja (mawali). jika
kemudian periwayatan tersebut tidak melibatkan anggota keluarga dan orang-
orang terdekat (mawali) maka periwayatan tersebut diistilahkan oleh Nabia
dengan periwayatan non family. Dalam dunia periwayatan hadis, seseorang yang
hendak mencari dan mengumpulkan hadis biasanya melakukan rihlah
(perjalanan) ke berbagai negara untuk menemui periwayat Hadis dengan harapan
agar mendapatkan hadis darinya. Contoh periwayatan seperti inilah yang disebut
dengan Isnad non family karena periwayatan tersebut didapatkan seorang murid
dari seorang periwayat Hadis yang di antara keduanya kemungkinan belum
pernah bertemu dan belum saling mengenal. Tentu, keduanya belum memiliki
kedekatan khusus apalagi sampai memiliki hubungan darah (family).
Ada beberapa catatan berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh
Nabia Abbot, sebagai berikut:
1. Berhubung teori yang dikemukakan oleh Nabia Abbot baik tentang
eksplosive isnad maupun isnad family dan non family tidak bertentangan
dengan teori yang dikemukakan oleh ulama hadis, maka berdasarkan
kaidah-kaidah dalam ilmu Hadis, teori tersebut dapat diterima.
2. Teori eksplosive isnad benar untuk hadis tertentu terutama hadis yang
secara konsisten diriwayatkan dalam jumlah yang semakin banyak,
sehingga bisa diukur dengan hitung deret geometri. Untuk hadis-hadis
yang parsial, teori eksplosive isnad tidak berlaku.
3. Tampaknya melalui teori isnad family, Nabia tidak mengklaim
keautentikan hadis dalam arti bahwa isnad family dapat dijadikan sebagai
kriteria kesahihan suatu hadis. Hal ini sejalan dengan ulama hadis yang
tidak pernah menyebutkan bahwa hadis yang diriwayatkan dalam satu
keluarga pasti sahih, sehingga mereka tidak memasukkannya sebagai salah
satu kriteria hadis shahih. Dengan kata lain, hadits dengan isnad family
bisa saja sahih, hasan, dhaif bahkan maudhu (palsu).
4. Pendapat Nabia berseberangan dengan Joseph Schacht yang mengklaim
bahwa kebanyakan hadis yang diriwayatkan dengan sanad keluarga
berkualitas palsu. Karena itu, pernyataan Nabia Abbot sebagai tanggapan
terhadap kecurigaan sebagian orientalis seperti Joseph Schacht yang
meragukan hadis-hadis yang diriwayatkan melalui satu jalur keluarga,
sebagaimana pernyataannya bahwa isnad-isnad keluarga adalah palsu,
demikian pula materi yang disampaikan didalam isnad-isnad itu.8

E. Dukungan dan bantahan terhadap Nabia Abbot


Joseph Schacht meragukan keberadaan isnad family dan dinilai sebagai hal yang
tidak dapat dibenarkan. Kenyataannya memang isnad family diriwayatkan oleh banyak
sahabat yang kemudian namanya sering kali tertera di dokumen-dokumen kitab hadis,
seperti Nafi’ dan Salim. Nama mereka seringkali ditemukan dalam banyak karya, seperti
karya Ibn Sa’ad, Bukhari, dan kitab-kitab koleksi hadis lainnya. Bagi Schacht,
kemunculan nama yang berulang kali dalam kitab kanonik dinilai sebagai sesuatu hal
yang tidak bisa dibenarkan dan menimbulkan kecurigaan. Kemunculan nama yang
berulang kali membuat Joseph Schacht berfikir bahwa periwayatan hadis hanya
didominasi oleh pihak tertentu saja, sehingga rentan akan pemalsuan periwayatan hadis.9
JuynBoll berpendapat, bahwa Abbott terlalu mempercayakan sebagian besar
informasi pada isnad dan sumber-sumber tentang tiga tabaqat tertua. Padahal, isnad
muncul tiga perempat abad setelah kematian Nabi. Nama-nama di dalamnya (perawi),
lebih sering memakai nama fiktif (karangan). Disamping itu, Nabia begitu meyakini akan
keberadaan sahifah-sahifah yang tidak pasti. Ahli tradisi dari abad dua dan tiga, mungkin
lebih mudah disesatkan oleh sahifah-sahifah ini dibanding oleh koleksi yang
dikumpulkan lewat banyak perantara, hal tersebut boleh jadi disebabkan oleh ketenaran
keluarga pemilik sahifah-sahifah tersebut.
Menanggapi hal tersebut, James Robson berpendapat bahwa harus diakui adanya
isnad family menjadi jaminan yang berharga bagi dokumentasi hadis. Namun, harus

8
Idri, Hadis dan Orientalis Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis Nabi, 2017, Depok:
Kencana, hlm 32-33
9
Digilib.uinsby.ac.id (jurnal), hlm 65-66
disadari pula bahwa dengan adanya modal periwayatan seperti itu akan membawa
konsekuensi terjadinya pemalsuan hadits. Karena kualitas periwayatan suatu periwayatan
tidak dapat disamakan dengan periwayat lainnya. Beberapa contoh isnad family yang
meragukan adalah Ma'mar bin Muhammad dan periwayatannya dari ayahnya, Isa bin
'Abd Allah dari ayahnya.10
Diantara hal yang membedakan penelitian Nabia dengan beberapa pendahulunya
adalah, dari beberapa pemikiran beliau yang lebih bersikap objektif dan tidak mengekor
semata, meskipun beliau secara signifikan berkaitan dengan beberapa pemikiran
pendahulunya yaitu Goldziher dan Schacht. Sebagaimana diketahui, bahwa mayoritas
Sarjana Barat (orientalis) dalam mengkaji ilmu keislaman cenderung bersikap negatif
bahkan tidak jarang melecehkan Islam. Berbeda dengan Nabia, yang justru melakukan
suatu kajian yang sejalan dengan pemikiran sarjana muslim sebagai contoh seperti M.
Mustafa Azami, tentang adanya penulisan hadis pada awal periode Islam, yaitu pada
masa Nabi yang mana sebelumnya diyakini oleh para orientalis sebelum Nabia, sebagai
hal yang mustahil.
Studi keotentikan hadis yang dilakukan oleh Nabia ini, membawa implikasi bagi
perkembangan studi hadis yaitu dengan bermunculannya para ahli hadis yang termotivasi
untuk melakukan kajian yang sama dan lebih komprehensif, khususnya di kalangan
sarjana hadis Muslim, diantaranya seperti; Muhammad Zubayr Siddiqi, Muhammad
Hamidullah, Mustafa as Siba’i, Muhammad Ajjaj Al-Khatib dan Muhammad Mustafa
Azami. Mereka berupaya membuktikan keotentikan hadis dengan menemukan sekaligus
meneliti beberapa dokumen yang ditemukan pada awal periode Islam.11

F. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Nabia Abbot adalah
seorang orientalis wanita yang menaruh perhatiannya dalam kajian hadis dan
pembahasannya sangat komprehensif. Konsep dasar yang dilakukan Nabia Abbot dalam
pengkajian Hadis yaitu awalnya dengan menguji sumber-sumber hadis yang ada pada
sahabat-sahabat yang mengoleksi hadits dengan merujuk dan meneliti langsung kepada
10
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 72
11
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 117
referensi-referensi klasik yang ada. Dengan demikian, Nabia Abbot memberikan
pemahaman bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam yang kegiatan tulis-menulis
hadis dan periwayatan secara tertulis maupun lisan telah berjalan beriringan sejak awal
Nabi Muhammad SAW. masih hidup yang dalam kenyataannya menepis anggapan
orientalis lain yang bersikap skeptis terhadap hadis.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Isnaeni, Pergumulan Pemikiran Hadis di Barat, 2013, Jurnal IAIN Raden Intan
Lampung
Badri Khaeruman, OTENTISITAS HADIS studi kritis atas kajian Hadis Kontemporer,
2004, Remaja Rosdakarya, Bandung
Digilib.uinsby.ac.id, Jurnal UIN Sunan Ampel Surabaya
Hamzah Harun Al Rasyid & Abd. Rauf Amin, Melacak Akar Isu Kontektualisasi Hadis
Dalam Tradisi Nabi & Sahabat, 2018, Bantul: Lembaga Ladang Kata
Https://tahdits.wordpress.com/2013/03/04/nabia-abbott/
Idri, Hadis dan Orientalis Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis
Nabi, 2017, Depok: Kencana
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, Skripsi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Shinta Sodikin, Pemikiran Hadis Nabia Abbot, Jurnal Academia.edu

Anda mungkin juga menyukai