Anda di halaman 1dari 1

PERKEMBANGAN KAJIAN HADITS KESARJANAAN BARAT

Muh. Zuhri IAIN Salatiga Email: muh.zuhri@yahoo.co.id

Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang sangat dihormati umat Islam setelah Al-Quran.
Hadits-hadits yang kemudian disistematisasikan dalam kitab-kitab hadits dianggap sebagai pembelajaran
yang berasal dari sabda/ perilaku Nabi dalam menjelaskan isi Al-Qur'an. Persoalannya, Al-Qur'an
langsung dikodifikasi secara kolektif beberapa dekade setelah wafatnya Nabi dalam masa Mushaf
(Utsmaniyah), sedangkan hadis-hadis dikodifikasi secara perorangan pada pertengahan abad ke-2 hingga
abad ke-4 Hijriah. Jarak waktu yang lama antara peristiwa yang diriwayatkan yang dialami Nabi hingga
kemunculan kitab-kitab hadis membuat para ulama hadis sibuk menyeleksi keaslian hadis. Tegasnya,
hadis-hadis sepanjang sejarahnya mengharuskan para ulama untuk mengakui adanya hadis-hadis yang
tidak autentik tentang Nabi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dihipotesiskan bahwa terdapat hadits
Qath'iyul wurud dan Zhanniyul wurud, terdapat juga hadits sahih, hasan dan dha'if. Para ulama juga
mengakui bahwa pembukuan hadis sebagaimana disebutkan di atas merupakan upaya agar hadis tidak
tercemar oleh beredarnya hadis palsu. Dengan cara ini, umat Islam yakin bahwa mereka dapat
menyelesaikan permasalahan dengan adanya keaslian hadis tanpa bantuan pemikiran luar, apalagi
pemikiran yang meremehkan kebolehan hadist sebagai sumber ajaran Islam yang sangat dihormati.
Hadits, sumber ajaran Islam yang kedua, telah menarik perhatian tidak hanya para ulama tetapi
juga para sarjana Barat. Awalnya mereka bermaksud mempelajari isi ajaran Islam, namun belakangan
mereka tertarik pada hadis karena masalah orisinalitas. Generasi pertama ulama Barat, dengan argumen
dan latar belakang ideologis yang agak berbeda, cenderung berpendapat bahwa secara umum, jika tidak
semua, hadis yang beredar di kalangan umat Islam menjadi kitab hadis klasik dan beberapa di dalam kitab
Tafsir dan Sirah adalah palsu, buatan manusia yang meriwayatkan hadis tersebut. Mereka disebut skeptis.
Namun klaim ini tidak sepenuhnya didukung oleh para sarjana Barat. Ketika argumen kaum skeptis
berpindah tangan dan berlanjut hingga pertengahan abad ke-20, muncul pula pemikir seperti Nabila
Abbot dan Fueck yang menentang cara berpikir skeptis tersebut. Pada akhir abad ke-20, hal ini menjadi
titik balik, ketika sejumlah cendekiawan Barat serta cendekiawan Muslim yang terlatih di Barat
“menyerang” pandangan-pandangan skeptis dengan menggunakan argumentasi pendapat dan perspektif
yang berbeda. Di kalangan cendekiawan Muslim tersebut, ada yang berpendapat bahwa teori-teori skeptis
tersebut berkaitan dengan ketidakpuasan sebagian sarjana, seperti Ignaz Goldziher, terhadap Islam.
Ketika mereka “menghancurkan” sejarah hadis tersebut, mereka tidak melanjutkan upaya mereka untuk
merekonstruksi karya sejarah yang benar. Seolah-olah mereka melancarkan serangan “tabrak lari”
terhadap sejarah hadis. Namun peneliti lain tidak mengaitkan penelitian ini dengan sentimen keagamaan.
Namun kajian para sarjana Barat tentang keunikan hadis telah membuka wawasan yang lebih luas baik
bagi umat Islam maupun non-Muslim. Artikel ini menantikan artikel-artikel selanjutnya yang akan
mengkaji pemikiran-pemikiran orang-orang tersebut di atas secara lebih detail.
Sumber: https://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ululalbab/article/view/3182/pdf

Anda mungkin juga menyukai