Anda di halaman 1dari 13

Kajian Ilmiah Agama

Sayidina Abu Bakar as-Siddiq mengemukakan, ada delapan perhiasan indah bagi delapan hal lainnya:
pantang meminta-minta merupakan hiasan si miskin; bersyukur merupakan hiasan bagi anugerah; sabar
hiasan bagi musibah; santun hiasan bagi ilmu; banyak menangis hiasan bagi orang bertaubat;
menyembunyikan kebaikan hiasan bagi kebajikan; dan khusyuk hiasan bagi orang shalat.

Beranda

Selasa, 19 Juni 2012

FUAT SEZGIN DAN BUKTI TEKS-TEKS MASA AWAL Oleh: Pahriannor

A. Pendahuluan

Ulama Islam baik salaf maupun khalaf tidak ada yang pernah meyakini dan menyatakan bahwa seluruh
hadis yang beredar sekarang ini asli atau shahih semuanya. Sebaliknya, tidak ada pula yang meyakini
bahwa semua hadis yang ada itu palsu belaka. Asumsi bahwa semua hadis atau sebagian besar hadis
yang beredar sekarang adalah palsu pertama kali didengungkan oleh orientalis atau islamolog barat.
Menurut Syamsuddin Arif, pandangan tersebut pertama kali muncul pada abad ke-19 M, dibawa oleh
Alois Sprenger. Dalam pendahuluan bukunya Das Leben und die Lehre des Mohammad, Sprenger
menyatakan bahwa kumpulan hadis yang ada sekarang ini adalah anekdot (cerita bohong tapi menarik).
[1]

Pandangan tersebut diamini oleh banyak orientalis berikutnya. Sebut saja William Muir misalnya, dalam
bukunya The Life of Mohamet and the History of Islamic to the Era of Hegira, menyatakan bahwa nama
Nabi Muhammad sengaja dicatat dalam literatur hadis untuk menutupi bermacam-macam kebohongan
dan keganjilan. Ia juga mengatakan bahwa dari 4.000 hadis yang dianggap shahih oleh Imam Bukhari,
paling tidak separuhnya harus ditolak.[2] Belakangan muncul Pula Ignaz Goldziher dengan skeptisisme-
nya, Joseph Schacht dan Juynboll dengan teori Common Link, Back Projection dan Argument A Selentio-
nya dan orientalis lainnya. Semuanya meragukan otentisitas hadis-hadis yang beredar sekarang ini.
Sebagian besar argumen mereka adalah bahwa kompilasi hadis abad ke-3 H yang beredar sekarang ini
tidak memiliki pijakan referensi yang kuat. Hadis-hadis dalam kitab tersebut ditulis berdasarkan
periwayatan lisan, tidak tertulis. Sehingga kemungkinan besar dipalsukan oleh perawi, terutama perawi
tunggal (common link).
Gugatan dan serangan orientalis tersebut dibantah dengan baik oleh serjana-serjana muslim.
Skeptisisme Goldziher di bantah dengan argumen-argumen yang kuat oleh Ajjâj Al-Khâtib dalam
bukunya Al-Sunnah qabla Al-Tadwîn. Teori Common Link, Back Projection dan Argument A Selentio di
sanggah dengan baik oleh M. Musthafa Azami dalam Studies in Early Hadith Literature with a critical
Edition of Some Early Teks, Muhammad Hamidullah dalam Aqdam Al-Ta’lîf fî Al-Hadîs Al-Nabawî dan
Shahîfah Hammâm Ibn Munabbih wa Makânatuhan fî Târîkh Al-‘Ilm Al-Hadîs, dan lainnya.

Salah satu serjana muslim yang juga gigih melawan tudingan orientalis terhadap keotentisitasan hadis
adalah Fuat Sezgin. Ia berupaya keras mengumpulkan berbagai data dan bukti teks-teks masa awal
dalam Islam. Salah satu tulisannya yang berhasil mencakup berbagai bukti teks-teks masa awal Islam
adalah Geschichte Des Arabischen Schriffutms, atau dalam edisi arab adalah Târikh Al-Turâts Al-‘Arabî.
Makalah ini berupaya membahas bantahan Sezgin terhadap tudingan orientalis dan argumen
historisnya.

B. Biografi Singkat Fuat Sezgin

Fuat Sezgin adalah seorang sejarawan modern yang ahli dalam bidang sejarah Arab dan Islam. Bahkan ia
adalah guru besar sejarah di Universitas Farankâfurat . Ia lahir pada tanggal 24 Oktober tahun 1924 di
Batlîs, Turki dan tumbuh besar serta menuntut ilmu disana. Sekolah dasar dan menengah ia tempuh
ditempat kelahirannya, namun ketika beranjak kejenjang perguruan tinggi ia melanjutkan studi di
Furankâfurat, Universitas Yauhân untuk mendalami sejarah Arab dan Islam. Sebenarnya, sebelum
melanjutkan studi di perguruan tersebut, ia sempat bercita-cita ingin mendalami teknologi modern,
namun pihak keluarga menyerahkannya pada Hellmut Ritter, seorang orientalis. Sejak itu, yaitu tahun
1926, ia mendalami sejarah Arab dan Islam. Pada tahun 1954 ia berhasil meraih gelar doctor dengan
disertasinya Mashâdir Al-Bukhârî atau dalam edisi Jerman Bukharin nin Kaynaklari. Dalam tulisannya
tersebut, Sezgin menolak asumsi para orientalis Eropa yang menyatakan bahwa hadis-hadis dalam
shahih Bukhari tidak memiliki sumber yang otentik. Ia menegaskan bahwa hadis-hadis dalam shahih
Bukhari justru memiliki sandaran referensi yang berkesinambungan antara tradisi lisan dengan tradisi
tulisan. Setelah meraih gelar doktor, pada tahun yang sama ia langsung menjadi dosen sejarah di
Universitas Istanbul.

Pada tahun 1961, Sezgin pindah ke Almania dan menetap disana hingga meraih gelar professor pada
tahun 1963. Dalam upaya meraih gelar professor, ia menulis buku sejarah besar tentang Arab dan Islam
yang berjudul Geschichte Des Arabischen Schriffutms atau dalam edisi Arab Târîkh Al-Turâts Al-‘Arabi.
Buku tersebut terbit pertama kali pada tahun 1963 sebanyak 12 jilid besar. Buku yang berbicara tentang
sejarah Arab dan Islam tersebut banyak memaparkan peninggalan-peninggalan tertulis Arab dan Islam,
baik dalam bentuk manuskrip yang dikutip oleh ilmuan maupun yang berbentuk kitab-kitab sistematis.
Sezgin, dalam bukunya tersebut menentang keras anggapan para orientalis bahwa Islam masa awal
tidak banyak mengenal tradisi tulis menulis. Ia mengungkapkan sejumlah fakta mengenai peninggalan
tertulis Islam masa awal.

Pada masa-masa berikutnya, sezgin berjuang keras untuk mendirikan sebuah yayasan pengkaji sejarah
Arab dan Islam. Dengan upaya kerasnya, ia berhasil bekerjasama dengan 14 negara Arab untuk
mendirikan yayasan formal pengkaji sejarah Arab dan Islam, sehingga pada tahun 1978 berdirilah
Ma’had Târîkh Al-‘Ulûm Al-‘Arabiah Wa Al-Islâmiah Di Universitas Farankâfurat.[3]

C. Bukti-Bukti Teks Masa Awal Menurut Sezgin dan Bantahan Terhadap Skeptisisme Ignaz Gholdziher

Secara garis besar, pandangan Sezgin terhadap sejarah literatur hadis masa awal adalah bahwa koleksi
hadis klasik yang dikumpulkan pada abad ke-3 H merupakan hasil dari sebuah proses periwayatan
terpercaya atau kelanjutan dari kesinambungan praktek tulis menulis masa Nabi dan sahabat.[4] Sezgin
berpandangan bahwa sejak masa awal, bangsa Arab telah mengenal akrab kegiatan tulis menulis,
bahkan sejak masa Arab Jahiliyah pra-Islam. Keakraban dengan tulis menulis tersebut membuat generasi
Islam awal, selain meriwayatkan hadis dengan lisan juga konsisten meriwayatkannya dengan tulisan,
atau paling tidak menuliskannya dalam bentuk mansukrip.[5] Dalam upaya membuktikan tesisnya
tersebut, Sezgin mengutip laporan-laporan dari beberapa sumber muslim awal mengenai bukti-bukti
tulisan dan manuskrip yang ditemukan. Diantara referensinya adalah ‘Ilâl karya Imâm Ahmad Ibn
Hanbâl, Thabaqât Al-Kubrâ Karya Ibn Sa’ad (w. 230 H), Târîkh Karya Al-Bukhârî (w. 256 H), Taqdimah
Karya Ibn Abî Hâtim (w. 327 H), Taqyîd Al-‘Ilm karya Al-Khâtib Al-Baghdâdi (w. 403 H), Jâmi’ Al-Bayân
karya Ibn Abd Al-Bar (W. 463 H), Al-Muhaddis Al-Fâshil baina Al-Râwî wa Al-Wâ’î karya Al-Ramahrumûdzi
(w. 360 H), dan lain-lain.[6]

Dengan mengutip sumber-sumber klasik tersebut, Sezgin membantah anggapan bahwa periwayatan
hadis masa awal hanya dengan periwayatan lisan, sehingga membuat adanya kemungkinan pemalsuan
oleh ulama hadis belakangan. Sezgin kemudian menyebutkan sekian banyak manuskrip hadis masa awal,
baik pada masa Nabi dan sahabat maupun masa Umawi (Umayah) dan Abbasi. Ia menyebutkan,
diantaranya 18 kitab hadis masa Umawi dan 344 kitab masa Abbasi. Diantara delapan belas kitab hadis
masa Umawi tersebut adalah Shahîfah Al-Shâdiqah karya Abdullah Ibn ‘Amr Ibn ‘Ash (w. 65 H), Shahîfah
Samurah Ibn Jundub (w. 60 H), Shahîfah Jâbir Ibn Abdillah (w. 78 H), Shahîfah Hammâm Ibn Munabbih
(w. 154 H), dan lain-lain. Bukti-bukti teks masa awal tersebut ia kutip dari Thabaqât Al-Kubrâ karya Ibn
Sa’ad, Tahzîb Al-Tahzîb karya Ibn Hajar, dan ‘Ilâl karya Al-Turmudzi.[7]

Secara lebih detail, penulis merangkum argumen Sezgin terhadap berkesinambungannya penulisan
hadis masa awal tersebut dalam tiga argumen, yaitu; pertama, fase-fase evolusi literatur hadis menurut
Sezgin adalah fase Kitâbah Al-Hadîs, Tadwîn Al-Hadîs, dan Tashnîf Al-Hadîs.[8]

Kitâbah al-hadîs adalah fase penulisan hadis pada masa sahabat dan tabi’in awal dalam apa yang disebut
shahîfah. Sedangkan tadwîn al-hadîs adalah pengumpulan rekaman hadis yang bercerai berai di kwartal
terakhir abad pertama dan kwartal pertama abad ke-2 H. Fase berikutnya, tashnîf al-hadîs merupakan
fase penyusunan hadis menurut isi dan tema berawal pada 125 H dan seterusnya. Selanjutnya,
menjelang akhir abad ke-2 H, hadis disusun menurut nama-nama sahabat dalam apa yang disebut
Musnad. Pada abad ke-3 kitab-kitab yang sistematis tersebut di edit dan ditulis. Dalam literatur modern
kitab-kitab ini disebut Canonical Collection (Koleksi Kanonik).[9]

Pandangan terhadap evolusi literatur hadis ini, menurut Sezgin didasarkan pada informasi tentang
periwayatan tertulis yang terus menerus sejak masa-masa awal. Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari
kenyataan bahwa para muhaddisîn ketika menyampaikan karya-karyanya dalam bentuk lisan, juga saling
betukar rekaman tertulis.[10] Karena itulah dalam metode penulisan hadis ada istilah Istikhrâj, yaitu
penulisan hadis yang dikutip dari koleksi hadis awal dengan mencari dan mengoreksi sendiri perawi-
perawi dalam hadis tersebut.[11] Selain itu, Sezgin juga berargumen bahwa pengumpulan hadis pada
akhir abad pertama dan awal abad ke-2 yang diprakarsai oleh ‘Umar Ibn Abd Al-‘Azîz (w. 97 H) atas
perintahnya kepada Ibn Hazm (w. 120 H) dan Al-Zuhrî (w. 124 H), merupakan indikasi bahwa tulis
menulis hadis pada masa itu sudah matang. Sehingga dalam kurun waktu singkat, Ibn Hazm dan Al-Zuhrî
berhasil menghimpun hadis-hadis Nabi dalam sebuah kitab.[12]

Dalam tahapan fase ketiga, Sezgin beranggapan bahwa tashnîf al-hadîs secara sistematis (125 H dan
seterusnya), merupakan perkembangan lanjutan dari diskrifsi-diskrifsi monografik masa Umayah. Ia
kemudian menyebutkan beberapa nama yang dianggap sebagai mushannif tertua, seperti Ibn Juraij (w.
150 H) di Mekkah, Ma’mar Ibn Rasyîd (w. 153 H) di Yaman, Hisyâm Ibn Hasan (w. 148 H), Sa’id Ibn Abî
Rabû’ah di Bashrah dan Sufian Al-Tsauri di Kufah dan lainnya. Ia juga menyebutkan beberapa karya
tertua, seperti Al-Jâmi’ karya Ma’mar Ibn Rasyîd, kitab Al-Manâsik karya Qatâdah, dan Al-Jâmi’ karya
Rabî’ Ibn Habîb Al-Bashrî (w. 160 H).[13]

Kedua, berdasarkan kutipan terhadap kritikus hadis muslim klasik, Sezgin menyimpulkan ada delapan
metode periwayatan hadis (tahamul dan adâ’), yaitu; Samâ’, Qirâ’at, Ijâzah, Munâwalah, Kitâbah, I’ilâm
Al-Râwî, Washiyyah dan Wijâdah. Dalam delapan metode tersebut, menurutnya hanya dua metode yang
memungkinkan melibatkan hafalan, yaitu Samâ’ dan Qirâ’at, selebihnya menggunakan tulisan dan kitab.
Bahkan menurutnya, Samâ’ dan Qirâ’at-pun sering melibatkan tulisan. Lebih lanjut, Sezgin mengklaim
bahwa metode-metode ini, sudah diterapkan sejak masa-masa awal, dan dapat dipastikan hanya materi
tertulis saja yang digunakan dalam periwayatan, serta nama penulis tertera dalam isnâd.[14]

Dalam upayan mengokohkan tesis tersebut, Sezgin mengutip sejumlah fakta dalam kitab klasik, seperti
Ishâbah karya Ibn Hajar, Al-‘Ilâl karya Al-Turmudzi, Tahzîb Al-Tahzîb karya Ibn Hajar, Thabaqât karya Ibn
Sa’ad, Jâm’i Al-Bayan Al-‘Ilm karya Ibn Abd Al-Barr, dan lainnya. Kitab tersebut, menyebutkan misalnya,
sejumlah sahabat dikabarkan telah menyampaikan surat-surat Nabi. ‘Amr Ibn Hazm misalnya, dilaporkan
telah meriwayatkan surat Nabi kepadanya tentang Farâ’idh, Zakat dan Diyât. Abdullah Ibn ‘Ukhain Al-
Juhâni, menurut riwayat juga meriwayatkan surat Nabi kepada sukunya, Juhainah. Basher Ibn Nâhik,
seorang tabi’in dilaporkan pernah bertanya kepada Abu Hurairah, apakah ia dibolehkan meriwayatkan
tulisannya atas namanya sendiri, yang kemudian disetujui oleh Abu Hurairah. Semua riwayat tentang
periwayatan dengan tulisan tersebut menurut Sezgin dimuat dalam kitab-kitab hadis seperti disebutkan
sebelumnya. Hal itu menunjukkan pengumpulan dan penyusunan hadis pada masa belakangan banyak
mengutip riwayat hadis secara tertulis selain diverifikasi dengan lisan dari perawi.[15] Berdasarkan
metode-metode tersebut, Sezgin juga beranggapan bahwa isnad bukan hanya menunjukkan
periwayatan lisan, tapi juga menunjukkan periwayatan teks-teks tertulis.[16]

Ketiga, Sezgin mengklaim bahwa antara kitab-kitab koleksi hadis tua dengan koleksi hadis belakangan
terdapat hubungan yang erat dalam metode penyusunan. Menurutnya, penyusunan materi dan
pembagian bab-bab dari kitab belakangnan berasal dari kutipan terhadap kitab-kitab yang lebih tua yang
diriwayatkan oleh mushannif.[17] Ketika membahas masalah kitab-kitab fiqh, Sezgin berargumen bahwa
kitab-kitab besar belakangan, seperti kitab-kitab tafsir, fiqh, dan sejarah tentu banyak mengutip tulisan-
tulisan sebelumnya yang telah ada.[18] Ia menyebutkan misalnya, kitab fiqh Imam Ahmad Ibn Hanbâl
(w. 241 H), banyak mengutip tulisan-tulisan sebelumnya yang ia riwayatkan. Dalam kitab tersebut
misalnya disebutkan bahwa Anas Ibn Mâlik (w. 93 H) pernah menerima naskah (kitab) tentang zakat dari
Abu Bakr, Hafîd Al-Khalîfah, cucu ‘Umar Ibn Khattâb, mengaku pernah menemukan lembaran kertas
(shahîfah) tentang zakat dalam selongsong pedang kakeknya, dan lain-lain.[19]

Disamping itu, menurut Sezgin ungkapan sanad dalam suatu kompilasi hadis belakangan selain
menunjukkan periwayatan lisan juga menunjukkan kesinambungan periwayatan tulisan. Sebagai contoh,
ia menyebutkan ungkapan Bukhari dalam shahihnya, “Haddasanâ Abdullah Ibn Muhammad qâla
haddasanâ Abd Al-Razzâq qâla akhbaranâ Ma’mar ‘an Hammâm ‘an Abî Hurairah…”[20]

Menurut Sezgin, dalam jalur isnâd ini semua nama tersebut terkenal sebagai penulis buku, kecuali Abû
Hurairah. Abd Al-Razzâq (w. 211 H) misalnya, terkenal banyak mempunyai karya kitab hadis, diantaranya
Mushannaf Abd Al-Razzâq, Ma’mar Ibn Rasyîd (w. 155 H) mempunyai karya Al-Jâmi’, Hammâm Ibn
Munabbih (w. 130 H) terkenal dengan karya shahîfah-nya. Meskipun nama pertama dan terakhir yaitu
‘Abdullah Ibn Muhammad dan Abû Hurairah tidak terkenal menulis hadis, namun nama-nama yang ada
dalam isnad mereka sudah memberikan fakta bahwa hadis tersebut diriwayatkan secara
berkesinambungan antara yang tertulis dengan lisan. Menurut Sezgin, semua hadis dengan jalur isnad
ini ditemukan dalam Mushannaf Abd Al-Razzâq dan dalam shahifah Hammâm dan sebagian dalam Jâmi’
Ma’mar.[21]

Dalam kasus jalur isnâd tersebut, menurut Sezgin, Imam Bukhari bisa saja mengambil hadis tersebut
langsung dari shahîfah Hammâm atau Mushannaf Abd Al-Razzâq dan menanyakan langsung kepada
gurunya Abdullah Ibn Muhammad. Jika kemungkinan kedua yang betul, maka wajar jika mayoritas
ulama hadis jarang menyebutkan sumber-sumber tua, selain sumber yang terdekat dengan mereka.
Jadi, meskipun manuskrip-manuskrip awal jarang ditemukan, menurut Sezgin, teks-teks awal dapat saja
ditemukan dari kompilasi-kompilasi belakangan yang pasti telah menggunakannya sebagai sumber
tertulis.[22]

Tiga argumen Sezgin diatas berupaya menolak pendapat Goldziher yang menganggap hadis Nabi baru
berkembang pada abad ke-2 H, sanad-sanad dipalsukan dan kemudian ditulis dalam buku-buku koleksi
hadis. Goldziher, seperti dipaparkan oleh Kamarudin Amin, memang tidak menafikan adanya
kemungkinan sahabat menyimpan rekaman ucapan dan tindakan Nabi dalam bentuk tertulis (shahîfah).
Namun, ia bersikeras mempertahankan adanya kemungkinan shahîfah-shahîfah tersebut dipalsukan
oleh generasi belakangan.[23]

Dalam makalah Reza Fahrevi, disebutkan bahwa paling tidak ada empat argumen Goldziher dalam
menolak otentisitas hadis. Dua diantaranya menyebutkan bantahan terhadap kesinambungan penulisan
hadis masa awal, yaitu; 1) kitab-kitab koleksi hadis belakangan tidak menjelaskan rujukannya kepada
kitab atau tulisan yang lebih awal; dan, 2) istilah-istilah yang digunakan dalam isnâd mengungkapkan
periwayatan secara lisan, bukan tertulis.[24]

Dua argumen Goldziher tersebut dibantah dengan baik oleh Sezgin. Argumen pertama misalnya,
meskipun koleksi kanonik hadis abad ke-3 tidak menjelaskan rujukannya secara eksplisit kepada kitab
atau tulisan sebelumnya, namun pengungkapan sanad dalam kitab tersebut sudah menunjukkan adanya
rujukan, tidak hanya lisan tapi juga tertulis. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, bahwa ulama hadis
biasa saling bertukar tulisan hadis ketika meriwayatkan suatu hadis, dan bahwa ulama hadis juga biasa
menyusun kitab hadis dengan metode istikhrâj, yaitu meriwayatkan hadis dari tulisan kitab awal dengan
meneliti sanad sendiri.

Argumen kedua terbantahkan oleh kesimpulan Sezgin terhadap metode-metode periwayatan hadis
seperti telah disebutkan sebelumnya. Menurutnya, dari delapan metode periwayatan hanya dua
metode yang menggunakan istilah untuk mengungkapkan periwayatan lisan, selebihnya menggunakan
ungkapan periwayatan tulisan. Bahkan dua metode pertama tersebut-pun, menurutnya juga sering
dibarengi dengan periwayatan tulisan. Sezgin kemudian menuding bahwa anggapan Goldziher tersebut
justru karena ketidak tahuannya terhadap metode-metode periwayatan hadis dalam tradisi Islam.
Menurutnya, Goldziher hanya mengetahui tiga metode periwayatan hadis, yaitu Al-Wijâdah, Al-
Munâwalah, Dan Al-Ijâzah.[25]

Selain argumen-argumen tersebut diatas, Sezgin juga melampirkan banyak sekali data-data karya tulis
bangsa Arab, baik sebelum Islam maupun masa Islam. Ia juga mengklasifikasi karya-karya tersebut dalam
beberapa bagian, seperti sya’ir, fiqh, hadis, dan sebagainya. Dalam bagian tertentu ia juga
mengklasifikasi karya-karya tulis tersebut berdasarkan tempat, seperti pujangga Mekkah (syu’arâ
Mekkah), pujangga Madinah, Syam, dan sebagainya. Terkadang Sezgin juga mengklasifikasi berdasarkan
golongan tertentu, seperti ketika membahas masalah kitab-kitab fiqh dan teologi. Dalam membahas
kitab fiqh, ia membagi tulisan kitab berdasarkan mazhab empat ditambah mazhab Ismâ’ili, Ja’fâri, dan
Qharâmith.[26]

Dalam menguatkan pendapatnya bahwa eksistensi tulis menulis tidak asing pada bangsa Arab pr-Islam,
Sezgin melampirkan ratusan data penulis dan pujangga Arab, diantaranya Al-Nâbighah Al-Dzabyâni,
‘Unthurah, Thurfah, Zuhair Ibn Abî Salmî, ‘Alqamah, Imri’I Al-Qais, dan lain-lain.[27] Selain menyebutkan
bukti-bukti teks masa awal tersebut, Sezgin juga menyebutkan literatur yang berbicara mengenai
tulisan-tulisan tersebut. Ketika memaparkan enam pujangga (al-syu’arâ al-sittah) diatas misalnya, ia
melampirkan literatur-literatur yang memuat tulisan mereka, seperti Syarh Al-A’lâm karya Yûsuf Ibn
Sulaimân Al-Santamari (w. 476 H), Al-Kunnî karya Ibn Habîb, Al-Syi’r wa Al-Syu’arâ karya Ibn Qutaibah,
Jamharat Al-Nasab karya Al-Kilbî, dan lain-lain.[28]

D. Pro-Kontra Terhadap Tesis Sezgin

Menurut Kamaruddin Amin, Pandangan Sezgin terhadap praktik penulisan yang berkesinambungan dan
keterpercayaan isnâd mendapat dukungan sekeligus kritik, baik dari serjana muslim maupun non-
muslim. Dukungan dari kalangan serjana muslim dapat dilihat dalam karya-karya M. Z. Shiddiqi (Hadists
Literature, Its Origin, Development & Special Studies, The Islamic Teks Society), Muhammad Hamidullah
(Shahîfah Hammâm Ibn Munabbih), Musthafa Al-Shiba’i (Al-Sunnah Wa Makanatuha fi Tasyri’ Al-Islami),
Muhammad Ajjâj Al-Khâtib (Al-Sunnah Qabla Al-Tadwîn), M. Mushtafa Azami (Studies In Early Hadits
Literature), dan Abdul ‘Azhim Ibrâhîm Muhammad Al-Muth’îni (Al-Syubhat Al-Tsalâsun). Masih menurut
Kamaruddin Amin, metode, sumber dan kesimpulan serjana-serjana muslim ini mirip dengan metode,
sumber dan kesimpulan Sezgin.[29] Azami misalnya, identik dengan tesis Sezgin menyatakan bahwa
penulisan hadis bermula sejak masa awal Islam. Ia kemudian membuat daftar lima puluh sahabat, empat
puluh delapan tabi’in pada abad pertama hijriah, delapan puluh enam pada akhir abad pertama dan
awal abad ke-2, yang menurutnya terlibat dalam kegiatan tulis menulis tersebut.[30]

Serjana non-muslim yang memberikan dukungan pada metode dan kesimpulan Sezgin adalah Nabia
Abbott. Ia beranggapan bahwa kegiatan tulis menulis dikalangan bangsa Arab sudah eksis bahkan
sebelum Islam datang. Ia juga mengkritik pendapat Godziher dan orientalis lain yang menafikan
periwayatan secara tertulis dimasa awal Islam. Menurutnya, ketidak terkenalnya sumber hadis tertulis
dimasa awal Islam bukan karena tidak ada yang menulis, tapi karena umat Islam khawatir terhadap
tercampur aduknya antara Al-Qur’an dengan hadis. Menurutnya, kekhawatiran tersebut bertambah
ketika masa Umar Ibn Al-Khattab (khalifah kedua, w. 32 H) melarang keras penulisan hadis. Ketika Umar
wafat, kekhawatiran tersebut hilang dan periwayatan hadis secara tertulis disamping lisan berkembang
pesat.[31]

Pendapat Sezgin dan serjana muslim lainnya serta Abbott bahwa hadis telah diriwayatkan secara cermat
dengan bentuk tertulis sejak masa awal ditolak oleh mayoritas serjana barat. Diantaranya bersikeras
beranggapan bahwa periwayatan hadis masa awal pada umumnya secara lisan, dan hampir tidak ada
atau bahkan tidak ada sama sekali periwayatan secara tertulis. Sebagian lain yang lebih keras bahkan
menafikan adanya periwayatan hadis masa awal. Asumsi kedua ini, terutama di ikuti oleh para pengekor
Joseph Schacht, seperti Cook, Juynboll dan lainnya. Mereka beranggapan bahwa hadis dan sanadnya
baru muncul dan berkembang pada abad ke-2.

Selain pendapat yang mendukung dan menolak tesis Sezgin tersebut ada pula yang bersikap netral dan
mengambil jalan tengah. Kamaruddin Amin menyebutkan, Harald Motzki dan Schoeler adalah dua
diantara sekian serjana barat yang bersikap tengah-tengah antara Sezgin dan penentangnya. Schoeler
menolak tesis Sezgin yang menyatakan penulisan hadis secara berkesinambungan sejak masa awal
dalam bentuk buku. Namun demikian, ia juga mengkritik penentang Sezgin yang menurutnya terlalu
satu arah dan skeptis. Schoeler berpendapat bahwa periwayatan tertulis hadis berjalan
berkesinambungan dengan periwayatan lisan. Keduanya saling melengkapi, kadang ada yang
diriwayatkan secara lisan namun tidak ditemukan dalam tulisan, demikian sebaliknya.[32]

Motzki, meskipun ide dan metodenya berbeda dengan Sezgin, namun ia menyimpulkan bahwa
skeptisme Goldziher, Schacht dan lainnya tidak beralasan, terutama dalam kajiannya terhadap
Mushannaf Abd Al-Razzâq. Dalam penelitiannya terhadap Mushannaf karya Abd Al-Razzâq tersebut, ia
menyimpulkan bahwa common link (Abd Al-Razzâq) tidak memalsukan hadis dalam kitabnya, justru ia
menyandarkan hadis-hadisnya kepada sumber-sumber yang otentik.[33] Dengan demikian, paling tidak
skeptisme Goldziher dan lainnya tidak berlaku pada Mushannaf Abd Al-Razzâq. Dalam hal ini, ia sepakat
dengan Sezgin bahwa periwayatan hadis secara tertulis telah berlangsung sejak masa awal, namun
demikian ia juga menolak pendapat bahwa semua hadis telah tertulis sejak masa awal.[34]

E. Analisis Terhadap Metode dan Kesimpulan Sezgin


Kita patut berbangga mempunyai serjana muslim seperti Fuat Sezgin yang gigih membantah berbagai
serangan orientalis terhadap otentisitas hadis. Upayanya dalam mengumpulkan data-data mengenai
teks-teks Islam awal merupakan prestasi luar biasa. Namun, bukan berarti sempurna dan tidak
mempunyai celah. Paling tidak ada dua hal yang ingin penulis paparkan dalam bagian ini terkait kritikan
terhadap Sezgin. Pertama, Sezgin dalam memaparkan data-data teks masa awal hanya mengutip dari
kitab-kitab abad ke-3 dan ke-4 atau sesudahnya. Dengan kata lain, referensi Sezgin adalah kitab-kitab
yang semasa dengan kitab kompilasi yang justru di ragukan historisitasnya oleh kebanyakan orientalis.
Dengan demikian, boleh jadi orientalis kembali menuding bahwa atas dasar apa Sezgin mempercayai
begitu saja kitab-kitab yang dikutipnya, yang notabene semasa dengan kitab kompilasi.

Terbukti, Juynboll, seperti di sebutkan oleh Kamaruddin Amin, menganggap metode Sezgin adalah kaku
dan sirkular. Menurutnya, tidak ada alasan untuk mempercayai kitab-kitab yang dikutip oleh Sezgin.
Besar kemungkinan, kitab tersebut sengaja ditulis untuk membenarkan pemalsuan hadis dalam kitab
kanonik. Juynboll juga menyatakan, bahwa Sezgin percaya begitu saja terhadap istilah dalam metode
periwayatan hadis, seperti haddasanâ, akhbaranâ, dan lain-lain yang menurutnya menunjukkan
periwayatan tertulis. Bukankah istilah tersebut, demikian Juynboll, dapat direkayasa dan dipalsukan.[35]

Kedua, diantara argumen Sezgin seperti disebutkan sebelumnya adalah bahwa diantara delapan metode
periwayatan hadis, hanya dua yang menunjukkan periwayatan secara tertulis. Dua metode itu adalah
samâ’ dan qirâ’at. Dalam shîgat periwayatannya, kedua metode ini diungkapkan dengan akhbaranâ,
haddasanâ dan sami’tu. Dengan demikian menurut Sezgin, enam metode lainnya adalah periwayatan
tertulis. Argumen ini, memang kuat, namun jika dilihat dari istilah periwayatan dalam kitab-kitab hadis,
justru banyak mengungkapkan akhbaranâ, haddasanâ dan sami’tu. Sementara periwayatan dengan
istilah wajadtu (aku menemukan), kataba lî (menuliskan kepadaku), quri’a dan qara’tu (dibacakan
kepadaku dan aku membacakan), ajaztu (aku legalkan) dan lainnya yang banyak digunakan untuk
metode kitâbah, wijâdah, munâwalah, ijâzah dan lainnya, hanya sedikit ditemukan dalam kitab-kitab
hadis. Hal itu menunjukkan bahwa mayoritas periwayatan menggunakan metode samâ’ dan qirâ’at. Jika
asumsi ini benar, berarti argumen Sezgin tersebut turut mendukung pandangan orientalis bahwa hadis
masa awal hanya diriwayatkan secara lisan.[36]

Simpulan sezgin terhadap kajian teks-teks pra-Islam dan awal Islam, yaitu bahwa eksistensi tulis menulis
bukan merupakan hal asing dalam bangsa Arab pra-Islam, dan bahwa tradisi periwayatan hadis masa
awal tidak hanya lisan tapi juga tertulis, memang dapat diterima. Tidak hanya karena bukti-bukti dan
data teks yang menunjukkan hal itu memang banyak, tapi juga karena pada dasarnya Islam sangat
menganjurkan baca-tulis. Ayat yang pertama kali turun misanya, memerintahkan untuk membaca dan
hal yang terkait dengan bacaan, termasuk menulis.[37] Demikian pula ayat lain, seperti ayat perintah
menulis hutang, mencatat wasiat, dan sebagainya menunjukkan bahwa Islam sangat mejunjung tinggi
budaya tulis menulis.[38] Sebagai perintah langsung dari Allah melalui Al-Qur’an, paling tidak ada dua
simpulan dari masalah ini; pertama, bahwa Allah tentu mengetahui bahwa sahabat, ketika ayat tersebut
diturunkan sudah mengusai baca-tulis, sehingga Ia memerintahkan hambanya untuk menulis perjanjian
hutang; kedua, berdasarkan perintah langsung dari Allah SWT, tentu sahabat yang belum bisa baca-tulis
akan cepat belajar dan mengajarkannya, sehingga besar kemungkinan dalam masa-masa berikutnya
ketidak tahuan terhadap baca-tulis sudah sangat minim.
Selain itu, menurut sebagian ulama, latar belakang asumsi terhadap minimnya tradisi tulis-menulis di
jazirah Arab pra-Islam dan awal Islam adalah anggapan bahwa masyarakat Arab mempunyai kekuatan
hapalan yang mengagumkan dan bahwa kebiasaan menuliskan sesuatu adalah aib.[39] Padahal, asumsi
itu sebenarnya masih sangat lemah dan naïf. Karena itu, berargumen dengan alasan tersebut sangat
tidak bisa dipertanggung jawabkan.

F. Penutup

Fuat Sezgin adalah salah satu serjana muslim yang membantah serangan orientalis terhadap otentisitas
hadis Nabi saw. Ia mengumpulkan berbagai data dan bukti tertulis serta teks-teks masa awal Islam dan
pra-Islam. Sedikitnya ia berhasil mengumpulkan 18 kitab hadis masa Umawi, 344 kitab hadis masa
Abbasi dan ratusan kitab fiqh serta sejarah. Semuanya berbentuk kitab tidak termasuk didalamnya yang
hanya berupa lembaran teks. Terhadap bukti teks-teks tulisan pra-Islam, Sezgin memaparkan banyak
sekali pujangga Arab dengan karya-karyanya, terklasifikasi berdasarkan tempat tinggal dan alirannya.

Data-data tersebut dimaksudkan untuk mematahkan asumsi orientalis bahwa tradisi tulis menulis
merupakan tradisi belakangan (abad ke-3 H), bukan tradisi awal Islam. Sezgin berupaya menegaskan
bahwa eksistensi tulis menulis telah berkembang pesat sejak pra-Islam. Sehingga periwayatan hadis
sebenarnya tidak hanya dengan tradisi lisan, tetapi juga dengan tradisi tulisan. Menurutnya, banyak-nya
hasil karya tulis masa awal Islam membuktikan bahwa perawi hadis selalu menuliskan hadis yang ia
dapat dari guru dan menyampaikannya kepada murid dengan bentuk tulisan serta lisan. Selain itu, ia
berargumen bahwa metode-metode serta shigat yang digunakan dalam periwayatan hadis juga
menunjukkan bahwa hadis diriwayatkan secara tertulis dan lisan.

Pandangan Sezgin tersebut menuai kontroversi. Banyak serjana muslim dan non-muslim yang
mendukungnya, namun tidak sedikit pula yang mengkritik dan menyerangnya. Diantara serjana muslim
yang mendukung pendapatnya adalah Muhammad Hamidullah, Musthafa Azami, dan lainnya. Serjana
non-muslim yang ikut mendukung pendapatnya adalah Nabia Abbott dan Schoeler. Sementara itu,
sebagian besar orientalis menolak pendapatnya dan menganggap tesisnya kaku, karena sebagian besar
data-data yang dipaparkan hanya dikutip dari kitab-kitab abad belakangan, yang semasa dengan kitab
koleksi kanonik atau setelahnya. Selain itu, ada pula serjana yang bersikap netral, setuju terhadap
sebagian dan mengkritik terhadap sebagian yang lain. Yang terakhir ini, diantaranya adalah Harald
Motzki.

Daftar Pustaka

Amin, Kamaruddin, Metode Kritik Hadis, Bandung: Mizan, 2009.

Al-‘Asqâlani, Ibn Hajar, Hady Al-Sârîy Muqaddimah Fath Al-Bârîy bi Syar Shahîh Al-Bukhâri, Beirut: Dâr
Al-Fikr, 1414/1993.
Al-Bukhâri, Muhammad Ibn Ismâ’îl, Shahîh Bukhâri, Bab Iqâmat Al-Shaf min Tamâmi Al-Shalat, Jld I, h.
253, Maktabah Al-Syâmilah.

Al-Kattâni, Muhammad Ibn Ja’fâr, Al-Risâlat Al-Mstathrafah, Beirut: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 1400 H.

Al-Maqdisî Al-Hâzimî, Muhammad Ibn Thâhir, Syurut Al-A’immat Al-Khamsah, Beirut: Dâr Al-Kutub
Al-‘Ilmiah, 1984.

Arif, Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008.

Azami, Muhammad Mushtafa, Studies in Early Hadith Literature with a critical Edition of Some Early
Teks, Beirut, 1968.

--------------Dirâsat fî Al-Hadîs Al-Nabawî wa Târîkh Tadwînih, Beirut: Al-Maktabah Al-Islâmi, 1413/1992.

Fahrepi, Reza, Nabia Abbott dan Kesinambungan Tradisi Lisan Fase Awal, Banjarmasin: Makalah Hadis &
Orientalisme, 2012.

‘Itr, Nûr Al-Dîn, Lahmât Mûjizah fî Manâhij Al-Muhaddisîn Al-‘Ammah, Damasyiq: Maktabah Dâr Al-
Furfûr, 1999/1420.

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Sezgin, Fuat, Geschichte Des Arabischen Schriffutms, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Ahmad
Fahmi Hijâzi, Tarîkh Al-Turâts Al-‘Arabî, Riâdh: Shâhib Al-Samû Al-Mâlikî, 1411/1991.

Syaifullah, Pemikiran Harald Motzki tentang Hadis, Banjarmasin: Makalah Hadis & Orientalisme, 2012.

www.marefa.org/index.php/‫فؤاد_سزكين‬, Jum’at 8 Juni 2012.

[1] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 28.

[2] Ibid

[3]Semua biografi Fuat Sezgin tersebut merupakan terjemahan penulis terhadap sumber
www.marefa.org/index.php/‫( فؤاد_سزكين‬Jum’at 8 Juni 2012).

[4] Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, (Bandung: Mizan, 2009), Cet ke-I, h. 120.

[5] Fuat Sezgin, Geschichte Des Arabischen Schriffutms, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh
Ahmad Fahmi Hijâzî, Târîkh Al-Turâts Al-‘Arabî, (Riâdh: Shâhib Al-Samû Al-Mâlikî, 1411/1991), Jld I. 125.

[6] Kamaruddin Amin, Metode, h. 121.

[7] Sezgin, Târîkh, Jld I, h. 153-157.

[8] Ibid, Jld I, h. 119.


[9] Ibid, h. 120-121.

[10] Kamaruddin Amin, Metode, h. 121.

[11] Ibid

[12] Kamaruddin Amin, Metode…, h. 122.

[13] Sezgin, Târîkh, Jld I, h. 123.

[14] Ibid, h. 123-125.

[15] Kamarauddin Amin, Metode…, h. 123.

[16] Ibid, h. 124.

[17] Ibid, h. 124-125.

[18] Sezgin, Târîkh, Jld III, h. 3.

[19] Ibid, Jld III, h. 4-5

[20] Lafal hadis dalam jalur sanad tersebut adalah ‫إنما جعل اإلمام ليؤتم به فال تختلفوا عليه فإذا ركع فاركعوا وإذا قال‬
‫سمع هللا لمن حمده فقولوا ربنا لك الحمد وإذا سجد فاسجدوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا أجمعين أقيموا الصف في الصالة فإن إقامة‬
‫( الصف من حسن الصالة‬Muhammad Ibn Ismâ’îl Al-Bukhâri, Shahîh Bukhâri, Bab Iqâmat Al-Shaf min Tamâmi
Al-Shalât, Jld I, h. 253, Maktabah Al-Syâmilah). Sebenarnya, hadis-hadis shahih bukhari dalam jalur sanad
tersebut sangat banyak, meskipun perawi terakhir bukan Abdullah Ibn Muhammad. Lihat, Muhammad
Ibn Thâhir Al-Maqdisî Al-Hâzimî, Syurut Al-A’immat Al-Khamsah, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 1984),
h. 60.

[21] Kamaruddin Amin, Metode…, h. 125.

[22] Ibid, h. 126.

[23] Ibid, h. 120.

[24]Reza Fahrepi, Nabia Abbott dan Kesinambungan Tradisi Lisan Fase Awal, (Banjarmasin: Makalah
Hadis & Orientalisme, 2012), h. 1.

[25] Sezgin, Târîkh, Jld I, h. 125.

[26] Pembahasan keberadaan teks-teks fiqh di paparkan oleh Sezgin khusus dalam jilid III & IV,
Selanjutnya pembahasan mengenai sya’ir, teologi, dan lainnya.

[27] Sezgin, Târîkh, Jld V, h. 3. Pembahasan mengenai sya’ir dipaparkan secara gamblang oleh Sezgin
dalam bukunya Târîkh Al-Turâts Al-‘Arabî, jilid V dan seterusnya.

[28] Ibid, Jld V, h. 4 dan 5.


[29] Kamaruddin Amin, Metode…, h. 126-127.

[30] Muhammad Mushtafa Azami, Studies in Early Hadith Literature with a critical Edition of Some Early
Teks, (Beirut, 1968), h. 34-182.

[31] Fahrepi, Nabia…, h. 5-6.

[32] Kamaruddin Amin, Metode…, h. 128-129.

[33]Syaifullah, Pemikiran Harald Motzki tentang Hadis, (Banjarmasin: Makalah Hadis & Orientalisme,
2012), h. 2.

[34q Kamaruddin Amin, Metode…, h. 129.

[35] Ibid, h. 124.

[36] Penjelasan lebih lanjut mengenai metode periwayatan hadis dan istilah lafal-nya lihat, Nûr Al-Dîn
‘Itr, Lahmât Mûjizah fî Manâhij Al-Muhaddîsin Al-‘Ammah, (Damasyiq: Maktabah Dâr Al-Furfûr,
1999/1420), h. 41-48.

[37] QS Al-Qalam [96]: 1-5.

[38] QS Al-Baqarah [2]: 282.

[39] Lihat, Ibn Hajar Al-‘Asqâlani, Muqaddimah Fath Al-Bâri bi Syar Shahîh Al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Al-
Fikr, 1414/1993), h. 6. Atau, Muhammad Ibn Ja’fâr Al-Kattâni, Al-Risâlat Al-Mustathrafah, (Beirut: Dâr Al-
Kutub Al-‘Ilmiah, 1400 H), h. 5. Lihat juga, Muhammad Musthafa Azami, Dirâsat fî Al-Hadîs Al-Nabawî wa
Târîkh Tadwînih, (Beirut: Al-Maktabah Al-Islâmî, 1413/1992), Jld I, h. 72. Atau, Saifuddin, Arus Tradisi
Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 94.

http://nazir_ahmd.com di 4:19:00 PM

Berbagi

1 komentar:

ianthyaquidley4 Maret 2022 14.54

Harrah's Lake Tahoe - MapyRO

Harrah's Lake 양산 출장마사지 Tahoe. Stateline, 전라남도 출장샵 NV 포천 출장마사지 89449.


Directions · (775) 646-6000. Map Directions 계룡 출장샵 · (775) 646-6000. Casino. Map Map 속초
출장마사지 & Directions · Stateline
Balas

Beranda

Lihat versi web

Mengenai Saya

Foto saya

http://nazir_ahmd.com

Mahasiswa FU IAIN Antasari Bjm

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai