Anda di halaman 1dari 8

NAMA : SASMITA YUNINDI

NIM : 19010101068

KELAS : PAI B

MATA KULIAH : ULUMUL HADITS

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS

1. Latar Belakang Lahirnya Ilmu Hadits


Dalam tataran praktisnya, ilmu hadis sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak
periode Rasulullah SAW., paling tidak, dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bersamaan
dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas
sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Berawal dengan cara yang sangat
sederhana , ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring dengan perkembangannya masalah
yang dihadapi. Pada akhirnya, ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi
pembahasan yang cukup rumit.
Pada periode Rasulullah SAW., kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis)
yang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama hadis dirayah dilakukan dengan cara yang
sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat
lainnya, ia segera menemui Rasulullah SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk
mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis
semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar Ash-Siddiq (573-634 H ; khalifah pertama dari
Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun atau Empat Khalifah Besar), misalnya tidak mau menerima suatu hadis
yang disampaikan oleh seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk
memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demkian pula, Umar bin Al-Khaththab (581-644 H ; khalifah kedua dari Al-Khulafa’ Ar-
Rasyidun). Bahkan Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang
meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661; khalifah
terakhir dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun) menetapkan persyaratan tersendiri. Ia tidak mau
menerima semua hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang yang menyampaikannya
bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut
persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan
kebenarannya, seperti Abu Bakar As-Shiddiq.
Semua yang dilakukan mereka bertujuan memelihara kemurnian hadis-hadis Rasulullah
SAW. Di antara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan kepribadian
sahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayat hadis adalah Anas bin Malik (w.95 H),
Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), dan Ubaidah bin Syurahbil Asy-Sya’bi (17-104 H), dan
Muhammad bin Sirin (w.110 H).
Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat. ‘Aisyah binti Abu Bakar r.a.,
misalnya pernah mengkritik hadis dari Abu Hurairah (w.57 H) dengan matan “Innal-mayyita
yu’azzabu bi buka’I ahlihi ‘alaihi” (Sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan
keluarganya). ‘Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah salah dalam menyampaikan hadis
tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu ketika Rasulullah SAW. melewati
sebuah kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya.
Melihat hal tersebut, Rasulullah SAW. bersabda “mereka sedang meratapi si mayat, sementara si
mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya.” Lebih lanjut ‘Aisyah berkata, “Cukuplah Al-
Quran sebagai bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari Abu Hurairah karena
maknanya bertentangan dengan Al-Quran.” Ia mengutip surat Al-An’am [6] ayat 16 yang
artinya, “… dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” Sejumlah sahabat
lainnya juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), dan Abdullah bin Abbas.
Pada periode Tabiin, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan
berkembangnya masalah-masalah matam yang mereka hadapi. Demikian pula dikalangan ulama-
ulama hadis selanjutnya.
Pada akhir abad ke-2 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis mengambil bentuk
sebagai ilmu hadis teoritis, di samping bentuk praktis seperti dijelaskan diatas. Imam Asy-Syafi’I
adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana
terdapat dalam karya momentalnya Ar-Risalah (kitab usul fiqh) dan Al-‘Umm (kitab fiqh).
Hanya saja, teori ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam pembahasan dua kitab tersebut.
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali
berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu
Muhammad Al-Hasan bin Abdullah Ar-Rahman bin Khalad Ar-Rahmahurmuzi (265-360 H)
dalam kitabnya, Al-Muhaddits, Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Menurut Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Meskipun
demikian, menurutnnya lebih lanjut, kitab ini smpai pada masanya merupakan kitab terlengkap,
yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya.
Kemudian, muncul Al-Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi (w. 405
H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits. Pada kitab ini
dibahas sebanyak 52 pembahasan. Namu seperti karya Ar-Ramarhumuzi, karya Al-Hakam ini
juga belum sempurna dan kurang sistematis disbanding dengan kitab-kitab karya ulama
berikutnya.
Kemudian, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah Ash-Asfahani (w. 430 H/1038 M),
muhaddits (ahli hadis) dari Astalun (Persia), berusaha melengkapi kekurangan tersebut melalui
kitabnya, Al-Mustakhraj ‘Ala Ma’rifa ‘Ulum Al-Hadits. Dalam kitab ini, ia mengemukakan
kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits karya Al-
Hakim.
Setelah itu, muncul Abu Bakar Ahmad Al-Khathib Al-Baghdadi (392 H/1002 M-463
H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu hadis, yakni Al-Kifayah fi Qawanin Ar-Riwayah dan
Al-Fami’ li Adab Asy-Syeikh wa As-Sami’. Selain itu, Al-Baghdadi menulis sejumlah kitab
dalam berbagai cabang ilmu hadis. Menurut Al-Hafiz Abu Bakar bin Nuqthah, ulama hadis
kontemporer dari Mesir yang menulis ilmu hadis setelah Al-Baghdadi pada dasarnya berutang
budi kepada karya-karya yang ditinggalkannya.
Selang beberapa waktu, menyusul Al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshibi (w. 544 H)
dengan kitabnya Al-Ilma fi Dabath Ar-Riwayah wa Taqyid Al-Asma’. Berikutnya adalah Abu
Hafish Umar bin Abd. Majid Al-Mayanji (w. 580 H) dengan kitab Ma la Yasi’u Al-Muhaddits
Fahluh. Berikutnya adalah Abu Amr ‘Usman bin Shalah atau Ibnu Shalah (ahli hadis; w. 642
H/1246 M) dengan kitabnya, ‘Ulum Al-Hadits yang dikenal dengan Muqaddimah Ibn Ash-
Shalah. Kitab ini mendapat perhatian banyak ulama sehingga banyak pula yang menulis syarah
(ulasan)-nya.
Kitab lainnya yang cukup terkenal diantaranya Tadrib Ar-Rawi oleh Jalaludin As-
Suyuthi, Taudih Al-Afkar oleh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani As-San’ani (1099 H/1688 M-
1182 H/1772 M), dan Qawa’id At-Tahdis karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin
Sa’id bin Qasim Al-Qasimi (1283-1332 H).

2. Macam – macam ilmu hadits


Penulisan ilmu-ilmu Hadits secara parsial dilakukan oleh para ulama pada abad ke-3 H.
Jadi secara garis besar para ulama Hadits mengelompokkan ilmu Hadits ini menjadi dua bagian
yaitu : Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
1) Ilmu Hadits Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau, jadi secara bahasa Hadits Riwayah adalah ilmu
Hadits yang berupa periwayatan, sedangkan para ulama berbeda pendapat mendefenisikan
tentang ilmu Hadits Riwayah, namun yang paling terkenal di antara para ulama yaitu defenisi
ibnu Al-Akhfani beliau berpoendapatan bahwa ilmu Hadits riwayah adalah ilmu yang membahas
ucapan-ucapan danperbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya dan
penelitian lafadz-lafadznya.
Sedangkan menurut istilah Hadits Riwayah adalah ilmu yang menukukan segala yang
disadarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taarir maupun sifatnya begitu
juga yang menukukan segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib menjelaskan ilmu Hadits adlaah ilmu
yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan) sifat jasmaniah atau tingkah laku
(akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
Objek kejadian ilmu Hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
SAW, sahabat dan tabiin yang meliputi :
a. Cara periwayatannya yakni cara penerimaan dan penyampaian Hadits dari sesorang
periwayat (rawi) kepada periwayat lain.
b. Cara pemeliharaan yakni penghapalan, penulisan dan pembukuan Hadits.
Sedangkan tujuan atau urgensi ilmu Hadits Riwayah ini adalah pemeliharaan terhadappp
Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan
dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan maupun pembukuannya.
Ulama yang terkenal dan yang terpandang sebagai pelapor ilmu Hadits Riwayah ini
adalah abu bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H). Jadi apabila kita lihat
perkembangan sejarah Hadits, Az-Zuhri ini sebagai ulama pertama yang dapat menghimpun
Hadits Nabi SAW atas perintah khalifah Umar bin Abdul Azis atau Khalifah Umar II.
2) ilmu Hadits Dirayah
Menurut As-Suyuti ilmu Hadits Riwayah inimuncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi
yaitu pada masa Al-Akfani, ilmu Hadits Dirayah ini banyak juga nama sebutannya antara lain
ilmu ushul Al-Hadits, Ulum Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits dan Qawaid Al-Hadits.
Secara istilah yang dimaksud dengan ilmu Hadits Dirayah adalah undang-undang atau
kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. Sedangkan para ulamapun
memberikan defenisi yang bervariasi tentang pengertian ilmu Hadits Dirayah diantaranya adalah
ibn Al-Akfani memberikan defenisi ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk
mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat,macam-macam dan hukum-hukumnya keadaan para
perawi, syarat-syarat mereka jenis yang diriwayatkan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya.
Sedangkan menurut M. Ajjaj Al-Kitab beliau mengatakan bahwa hadits Dirayah adalah
kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari
segi diterima atau ditolaknya.
Menurut At-Turmuzi mendefenisikan ilmu itu adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui
keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain.
Sedangkan yang terakhir mendefenisikan ilmu Hadits Dirayah yaitu para ulama Hadits, beliau
mengatakan bahwa Hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-
kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan antara Hadits yang
shahih yang didasarkan kepada Rasulullah SAW dan Hadits yang diragukan penyampaiannya
kepada beliau.
Sasaran kajian ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan
yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas Hadits pokok pembahasan
tentang sanad adalah :
a. Persambungan sanad
b. Keterpercayaan sanad
c. Kejanggalan yang terdapat atau sumber dari sanad
d. Keselamatan dari cacat
e. Tinggi rendahnya suatu martabat seorang sanad.
Sedangkan sasaran kajian terhadap masalah yang menyangkut matan ada tiga yaitu :
a. Kejanggalan-kejanggalan dari redaksi.
b. Terdapat catat pada makna Hadits.
c. Dari kata-kata asing.
Sedangkan tujuan atau faedah ilmu Hadits Dirayah ini ada empat antara lain :
1. Mengetahui pertumbuhan danperkembangan ilmu Hadits.
2. Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha yang dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara,
periwayatan Hadits.
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama.
4. Mengetahui istilah-istilah dan kriteria-kriteria Hadits sebagai pedoman untuk menetapkan
hukum syara.
3. Cabang cabang ilmu hadits
Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ini, muncul juga cabang-cabang ilmu Hadits
lainnya seperti ilmu Rijal AL-Hadits, ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, ilmu Fannil Mubhamat, ilmu
‘Ilali Al-Hadits ilmu Gharib Al-Hadits, ilmu Nasikh wa Al-mAnsukh, ilmu Taqfiq al-Hadits,
ilmu Tashif wa at-Tahrif, ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits dan ilmu Musthalah ahli Hadits.
Secara singkat kami akan menjelaskan cabang-cabang ilmu Hadits sebagai berikut :
1) ilmu Rijal Al-Hadits
Secara bahasa kata Rijal Al-Hadits artinya orang-orang di sekitar Hadits, sedangkan
secara istilah kata ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para Perawi Hadits
dalam kapasitas mereka sebagai Perawi Hadits. Sedangkan para ulama Hadits menerangkan
ilmu Rijal Al-Hadits ini adalah ilmu yang membahas para Rawi Hadits, baik dari kalangan
sahabat, tabiin maupun dari generasi-generasi sesudahnya.
2) Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dul
Secara etimologi kata Al-Jarh dapat diartikan sebagai cacat atau luka dan kata Al-Ta’dil
artinya menyamakan, sedangkan secara terminologi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah
kecacatan pada perawi Hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan perawi.
Sedangkan para ulama Hadits mendefenisikan ilmu ini adalah menyifatkan perawi dengan
sifatsifat yang membersihkannya, maka nampak keadilannya dan riwayatnya di terima.
3) Ilmu Fannil Mubhamat
Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang
tidak disebutkan dalam Matan atau dalam Sanad.
4) Ilmu Ilal Al-Hadits
Secara bahasa kata ilal dapat diartikan penyakit atau sakit, namun secara istilah ilmu ‘ilal
al-hadits adalah sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang terakibat tercatatnya hadits,
namun dari sudut zhahirnya nampak selamat dari sebab itu. Sedangkan menurut ulama ahli
hadits mendefenisikan ilmu ini adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang
dapat mencatatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan bersambung terhadap hadits yang
menqati, memasukkan hadits ke dalam hadits lam dan lam-lam.
5) Ilmu Gharib al- Hadits
Menurut Ibnu shalah, beliau menjelaskan tentang ilmu Gharib al –Hadis yaitu ilmu yang
digunakan untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat paa lafal-lafal hadis
yang jauh dan sulit dipahami karena jarang digunakan orang umum.
6) Ilmu Nasikh wa Al-Mansuk
Secara etimologi kata nasakh mempunyai dua pengertian yaitu menghilangkan dan
menyalin. Sedangkan secara terminologi kata nasakh dapat diartikan sebagai syari’
mengangkat [membatalkan] suatu hukum syar’i yang datang kemudian. Adapun yang
dimaksud dengan ilmu Nasikh wa Al- mansunkh menurut para pakar ahli hadis adalah ilmu
yang membahas tentang hadis – hadis yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan
dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang kemudian
dinamakan Nasikh.
7) Ilmu Talfiq al-Hadits
Menurut ahli hadis ilmu talfiq dapat didepenisikan adalah ilmu yang membahas cara
mengempulkan hadis- hadis yang berlawanan.
8) Ilmu Tashif wa Al-Tahrif
Ilmu Tashif wa al- tahrif dapat didepenisikan sebagai berikut ilmu yang berusaha
menerangkan dan menjelaskan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau sakal nya dan
bentuknya.
9) Ilmu Asbab al-wurud al-Hadits
Secara bahasa ilmu ini dapat di artikan sebagai sebab-sebab adanya hadis, sedangkan
secara istilah dapat diartikan yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab atau
latar belakang di wurutkannya hadis, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan
menurut As-suyuti pengertian ilmu ini adalah sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik
berkaitan dengan arti umum dan khusus, mutlak atau muqqaiyad,dinasakhkan, dan
seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya.
10) Ilmu Musththalah Ahli Hadits
Menurut ulama ahli hadis mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu ini sebagai ilmu yang
menerangkan atau menjelaskan pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang dipakai oleh
ahli-ahli Hadits.

Referensi

Anda mungkin juga menyukai