A. Biografi al-Sulami
Ibn Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī.1 Sedangkan menurut Mahjuddin nama lengkap al-
Sulami adalah Abi Abdi al-Rahman Muhammad bin Husayn bin Muhammad bin
Musa al-Sulami al-Azdi, lahir di Khurasan Iran lahir pada 16 April tahun 325 H/937
M dan wafat pada bulan Sya'ban pada 3 november 412 H/1012 M.2
Al-Sulamī termasuk keturunan suku Arab suku Azd bin Ghawts dari garis
ayahnya, dan Sulaym bin Mansur dari garis ibu. Beberapa ulama terkenal yang
termasuk dalam garis keturunan ibunya adalah Ahmad bin Yusuf bin Khalid al-
Naisaburi, seorang ahli hadis; dan Abu Amr Isma'il bin Nujayd (w.360 H/971 M)
yang selain ahli hadis juga seorang tokoh sufi abad ke-4 H.3
perkembangan intelektual al-Sulamī. Memulai periwayatan hadis dari Ibn Nujayd, al-
Sulami dikenal sebagai seorang yang tsiqat yang menjadi sumber bagi Hakim al-
1
Taqiy al-Din Ibn Shalah, Fatawa, Kairo: Idara Thaba'a al-Muniriyya,1438 H, h.29
2
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf II (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 41.
3
Ibid
1
Naisaburi (w.405/1014), al-Qusyairi, Abu Bakr al-Bayhaqi (w.458/1066) dan Abu
Nu'aym al-Isfahani.4
meriwayatkannya. Ia mempelajari hadis dari beberapa guru seperti Syekh Abu Bakar
As-Sibhghi dan Imam Abu Nua‟im al-Isbahani, pengarang kitab mengenai tasawuf,
sebagai rujukan banyak ulama. Oleh karena itu al-Sulami terkenal sebagai seorang
pakar hadis, guru para sufi, dan pakar sejarah. Dia seorang syekh tariqah yang telah
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, mengalami puncak kemajuan ilmu tasawuf .
Tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah Swt., (ma'rifah) yang tadinya hanya
sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan tasawuf
teoritis.6 Al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal
sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu
dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah.7 Selain itu, dia juga terkenal dengan
kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-biografi para sufi. 8 Al-
perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syekh, serta bersifat pemaaf.
4
M. Anwar Syarifuddin. “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur‟an” Jurnal Studi AGAMA DAN
MASYARAKAT vol. 1, no.2 Desember 2004, Jurnal ini dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (P3M) STAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah.
5
Sara Saviri. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), .23.
6
Asmaran, MA. Pengantar Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 258.
7
Gafna Raizha Wahyudi. Warisan Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), 73.
8
A. J. al-Berry. Tasawuf Versus Syari'at, Terj. Bambang Herawan, (Jakarta: Hikmah, 2000), 94.
2
2. Karya-karya al-Sulami
misalnya Ibn Manazil (W 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, dan ia juga pernah
belajar ilmu tasawuf pada Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-
Tasawuf) (W. 369 H/979 M), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya.
Oleh karena itu otomatis corak pemikiran tasawuf al-Sulamī sedikit banyak
dipengaruhi oleh tasawuf mereka. Ia termasuk sufi yang beraliran sunni, yang selalu
9
Media Zainul Bahri. Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Erlangga, 2010), 64.
10
Muhammad Hisyam Kabbani.Tasawuf dan Ikhsan Antivirus Kebatilan dan Kedzaliman (Jakarta: PT Serambi
Ilmu semesta, 2007), 94.
11
Jamaluddin Kafi. Tasawuf Kontemporer, (Prenduan: al-Amin, 2003), 10.
3
B. Gambaran Umum Haqā’iq al-Tafsīr
Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr atau yang lebih dikenal dengan tafsir al-Sulami
hanya ada satu jilid besar, dan terdapat dua salinan yang ada di perpustakaan al-
Azhar, Mesir. Kitab ini diterbitkan pada tahun 1986 di Beirut, Libanon. Manuskrip
sekitar 150 tahun setelah al-Sulami wafat. Pada abad 7 terdapat manuskrip dalam dua
versi, yaitu versi panjang dan pendek. Sedangkan pada abad 9 terdapat juga
materi tentang sejarah sufi yang tidak ditemukan dalam kitab manapun. Selain itu
kitab ini adalah sebagai sebuah pendapat, maka al-Sulami banyak menggunakanm
pendapat para ulama sufi diataranya Ja‟far Ibn Muhammad al-Shadiq, Ibnu
12
Hilman Mulyana. “Kematian Perspektif Haqa’iq al-Tafsir” Skripsi Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin 2018, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13
Ibid
14
Ibid
4
2. Pendapat Ulama Mengenai Haqā’iq al-Tafsīr
Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr merupakan kitab yang secara umum sulit dipahami
al-Sulami bermaksud mengumpulkan pandangan para tokoh yang termasuk ahli al-
haqiqa tentang al-Qur'an. Sebagaimana orang lain telah menyusun banyak karya
yang menampilkan ilmu-ilmu yang termasuk dalam dimensi zhahir al-Qur'an seperti
fawa'id, musykilat, ahkam, i'rab, lughah, mujmal dan mufassar, nasikh mansukh dan
lainnya.15
Hal ini menjadikan Haqā‟iq al-Tafsīr sebagai kitab yang berisi penjelasan
makna ayat-ayat al-Qur'an di luar kategori proses pengambilan makna secara i'tibari
seperti yang berlaku dalam tafsir. Belum lagi, penilaian yang beragam terhadap
metode penafsiran yang dilakukan oleh para sufi itu, di mana setiap individu
kepribadian mereka dari yang paling taat dan salih sampai kepada beberapa pribadi
(syathahiyyat).16
Dalam hal ini selain memuat padangan Ja'far al-Sadiq, Dhu al-Nun al-
Misri, Junayd, Sahl al-Tustari, Ibn Atha al-Baghdadi, Abu Bakr al-Wasiti, Fudhayl
bin Iyadh, serta Shibli, tuduhan yang memberatkan kitab ini adalah ketika al-Sulami
15
Ibid
16
Ibid
5
juga memuat pandangan-pandangan Abu Manshur al-Hallaj, seorang sufi martir
kekhalifahan Abbasiah.17
Meskipun begitu, adalah sangat mungkin bila kritik pedas al-Wahdidi dan
Ibn Shalah ditujukan bukan untuk mengahakimi penafsiran sufi yang telah
dikumpulkan oleh al-Sulami, tetapi lebih sebagai peringatan keras kepada teman
sejawat yang masih sesama penganut mazhab Syafi'i untuk tidak memasukkan
baru dianggap sebagai kesalahan prosedur ketika isi matan hadis yang dikandungnya
memang berkaitan dengan aspek ibadah yang mengandung unsur legalitas atau
riwayat.19
seperti juga halnya mau'idhah yang baik, tidak begitu mensyaratkan kesahihan sanad
karena banyak hadis yang berisi mau'idhah hasanah tetap bisa ditrima dan
17
Ibid
18
Ibid
19
Ibid
6
karenanya, sebagaimana Khatib al-Baghdadi dan Subki yang menilai al-Sulami
sebagai perawi yang tsiqat, persoalan penghilangan sanad dalam proses penukilan
penafisrannya dikritik pedas oleh kalangan muhadditsun, seperti diwakili oleh al-
sebagai tafsir dalam arti penjelasan tentang makna yang dikehendaki Allah Swt., dari
ayat-ayat al-Qur'an, Ibn Shalah memberikan jawaban dalam fatwanya, "...Imam Abu
al-Hasan al-Wahidi, seorang mufassir al-Qur'an, menyatakan bahwa Abu Abd al-
Rahman al-Sulami telah menyusun Haqā‟iq al-Tafsīr. Jika dia meyakininya sebagai
tafsir, maka dia telah kafir. Saya berpendapat bahwa ini sangat diragukan datang dari
memasukkannya sebagai tafsir, atau penjelasan apapun yang berkaitan dengan ayat-
ayat al-Qur'an, karena hal itu sama saja dengan cara yang ditempuh oleh kelompok
Bathiniyyah..."
Oleh karena itu, kenyataan bahwa al-Sulami sendiri tidak meyakini apa
baginya dari tuduhan bahwa ia telah bertindak melampui batas keimanan. Tuduhan
20
Ibid
21
Ibid
7
kufur baru dikenakan bila ternyata ia memang menjalankan metode yang ditempuh
sebutan itu karena mereka menyandarkan interpretasi terhadap teks al-Qur'an bukan
melalui indikasi yang tertuang dalam makna zhahir, tetapi dengan mengambil makan
batin yang hanya diketahui oleh imam Shi'ah yang digelari dengan julukan para
mu'allim."22
anutan ideologis yang berbeda untuk menolak syari'ah dengan bersembunyi di balik
penafsiran batin.23
Agama sudah menjelaskan bahwa manusia mengalami suatu hal yang serupa
dengan kematian, yakni tidur. Salah satu konsentrasi kematian dalam Haqaiq al-Tafsir
adalah mengenai tidur menjadi bagian dari kematian. Tidur dalam Kamus Besar
22
Ibid
23
Ibid
8
Bahasa Indonesia, tidur berarti keadaan berhenti badan dan kesadarannya (biasanya
laku yang reversible, dan tidak berespons terhadap lingkungan. Tidur dibutuhkan otak
untuk menunjang proses fisiologis. Tidur adalah suatu fenomena kehidupan yang
berlangsung dalam suatu siklus sirkadian yang memengaruhi siklus endokrin dan pola
ِ َّ خلَق
س ْ َّه َار َعلَى اللَّْي ِل ۖ َو َس َّخَر الش
َ َّم َ ض بِاحْلَ ِّق ۖ يُ َك ِّوُر اللَّْي َل َعلَى الن
َ َّها ِر َويُ َك ِّوُر الن َ اَأْلر
ْ الس َم َاوات َو َ َ
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia
menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan
matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah
sebagai berikut:
9
ان اهلل اذا ت ويف االنفس اخ رج ال رح الن ورمن لطي ف نفس الطب ع الكث ف فل ذى يت ويف الن وم: ق ل س هل
الن ورمن لطي ف نفس الطب ع ال رح فالن ا ئم يتنفس نفس لطيف ا وه و نفس ال رح ال ذي اذا زال مل يكن
. للعبدحركة وكان ميتا وقال حياة النفس الطبيعي ب نور لطيف و حياة لطيف نفس الروح بالذكراهلل
ال روح تق وم بلطيف ة يف ذاهتا بغ ري نفس الطب ع اال ت ري ان اهلل خ ا طب الك ل: وق ال ايض ا
يف.................
Mati mempunyai dua makna, yaitu tidur sebagai mati ringan (al-mawt-
khafif) dan mati dalam arti yang sebenarnya (al-mawt al-tsaqil). Mati dalam arti tidur
kutipan dari Imam Sahal bahwa dalam jiwa itu terdapat Nafs yakni tempat atau jasad
seseorang, jadi apabila seseorang mengalami kematian bukan berarti ruh nya yang
mati tetpi ada komponen Jasad yang mempunyai tanda-tanda seperti berhentinya
kitabnya menyatakan bahwa: sesungguhnya pada anak Adam terdapat jiwa dan ruh
yang dihubungkan antara keduanya oleh semacam cahaya matahari, Jiwa adalah
tempat akal dan pikiran, sedangkan ruh adalah yang menyebabkan adanya nafas dan
gerakan, keduanya diwafatkan saat terjadi kematian, adapun saat tidur hanya jiwa
10
yang di wafatkan. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menahan (memegang) nafs (jiwa
atau ruh) manusia dari dunia fana ketika telah tiba ajal manusia tersebut, dan
Sedangkan (jiwa atau ruh) yang dimatikan Allah SWT., ketika tidur adalah jiwa yang
berhubungan dengan akal pikiran. Karena sebenarnya manusia itu mempunyai dua
jiwa, yakni jiwa yang berhubungan dengan kehidupan dan akan terpisah ketika
datangnya maut dan akan hilang seiring dengan hilangnya kehidupan manusia
Jiwa yang kedua adalah jiwa yang berhubungan dengan akal pikiran, yang
terpisah ketika tidur dan tidak akan hilang dengan hilangnya jiwa-jiwa (ruh-ruh).
Maka ketika Allah SWT menetapkan kematian seseorang, maka Dia akan menahan
ruh-ruh tersebut untuk tidak kembali kepada jasadnya. Dalam kondisi yang lain Allah
SWT akan melepaskan ruh-ruh tersebut kembali kepada jasadnya, ketika kematian
tidak ditetapkan atasnya, hingga datang saat ajal kematiannya. Dikatakan juga bahwa
sesungguhnya manusia itu mempunyai nafs pada jasad. Kemudian, ketika manusia
terbangun dari tidurnya, kembali ruh tersebut ke dalam jasad dengan segera.
11