Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam studi tafsir sufi, ada beberapa tokoh yang dianggap sebagi
pelopor penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan sufi, salah satunya adalah
tokoh Sahl al-tustari dimana beliau dianggap sebagi ulama pertama yang
menafsirkan al-Qur’an menggunakan pendekaran sufistik. Karena pada dasarnya
beliau adalah tokoh sufistik yang sudah menjadi sosok sufi sejak beliau kecil.
Sahl al-tustari dalam menuangkan penafsirannay pada kitab al-qur’an al-azhim.
Namun menurut ulama sebenarnya sahl sendiri belum pernah menulis sebuah
karya, melainkan karya-karya banyak yang dinisbatkan kepada beliau.

Walaupun demikian penafsiran sahl terhadap al-Qur’anmelalui


pendekatan sufistik menjadi tolak ukur para mufasir sufi lainnya dalam
menafsirkan Al-qur’an. Seperti yang kita ketahui bahwasannya para sufistik
lebih mengguankan akal dan juga hati dalam memaknai berbagai hal. Karena itu
penafsiran menggunakan pendekatan sufistik ini masih ada bebrapa pandangan
yang menentang.

Bagaimanapun penafsiran al-Qur’an menggunakan pendekatan


sufistik adalah suatu kajian yang di kaji dalam studi tafsir sufi, guna
mempelajari berbagi penafsiran-penafsiran ulama yang menggunakan
pendekartan sufistik.

B. Rumusan maslah
1. Bagaimana riwayat Hidup Sahl al-tustari?
2. Bagaimana pemikiran sufi Sahl al-Tustari?
3. Bagaimana penerapan pendekatan sufistik dalam penafsiran oleh Sahl al-
Tustari?

1
2

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sosok Sahl al-Tustari
2. Untuk mengetahui pemikiran sufi Sahl al-tustari
3. Untuk mengetahui penerapan sufistik dalam penafsiran al-Qur’an
3

BAB II

SAHL AL-TUSTARI

A. Biografi Sahl al-Tustari


1. Riwayat hidup Sahl al-Tustari

Abu Muhammad Sahl ibn Abdullah ibn Yunus ibn Isa ibn Abdullah ibn
Rafi’ al-Tustari, atau lebih dikenbal dengan Sahl al-Tustari, beliau adalah tokoh
sufi. Lahir di Tustar dekat kota Ahwaz Propinsi Khuzistan iran pada tahun 200
H. Pada usia 6 tahun Sahl memulai pendidikan formalnya di sebuah sekolah
tradisional al-Qur’an di Tustar.1 Beliau sudah dikenalkan tentang Sufi oleh
pamannya yakni Muhammad bin Sawwa<r. Pamannya inilah yang mengarahkan
Sahl dalam praktik Sufi, pada suatu malam pamananya ini memberikan arahan
kepada Sahl untuk berdzikir tanpa melafalkan kata dengan meyakinkan pada
diri sendiri bahwasannya Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah
menyaksikanku. Pamannya ini menyuruh Sahl untuk melakukannya dalam 3
waktu, kemudian berlanjut dalam 7 waktu, setelah berhasil dalam 7 kali
kemudian Sahl ini melaksanakan dalam 8 kali semalam. Dan Sahl melaksanakan
amalan ini sampai beliau meninggal, karena menurutnya ini akan memberikan
maanfaat yang besar dalam hidupnya baik di dubia maupun akhirat. Suatu saat
sang paman mengatakan ‚ jika Tuhan bersama seseorang dan melihat dan
mengawasinya, dapatkah orang tersebut tidak menurut? Tentu saja tidak bisa.‛
Ajaran pamannya mengenai pengingatan tuhan inilah yang memeberikan
pengaruh besar pada Sahl, dan juga dijadikan landasan bagi doktrin Mistisnya.
Selain memprkenalkan taswuf, pamannya juga menganlkan Sahl terhadap

1
Muhammad bin Abdullah Al hadi, Makna Implementasi Dalam Tafsir Sufi: Studi
Epistimologi al-Qur‟an al-„Azhim karya Imam Sahl al-Tustari. Jurnal UIN Syarif
Hidayatulloh, 2
4

penafsiran al-Qur’an dan Hadis.2 Beliau dikenal sebagi orang yang sangat wara’,
takwa dan arif.3

Memasuki usia 12 tahun, Sahl mulai melaksanakan puasa setiap hari,


melihat ritual ini tampak bahwa kecenderungannya terhadap sufi bertambah
kuat, hal ini bisa dilihat ketika dimana Sahl menemukan sebuah pertanyaan
yang Sahl sendiri tidak bisa menemukan jawabannya. 4 sehingga Sahl meminta
izin untuk melakukan perjalanan ke Basrah guna mencari jawaban dari
pertanyaan itu kepada ulama di Basrah tepatnyta ke pulau Abbadan(selatan
barat Iran), disinilah beliau bertemu dengan Abu Habib Hamza ibn Abdullah al-
Abadda>ni, yang mana beliau mampu memberikan jawaban dari pertantyaan Sahl
tersebut.5

Setelah bebrapa saat tinggal di Abadda>ni, dengan mengambil beberapa


manfaat dari Hamza, kemudian sahl kembali ke Tustar. Setelah kembalinya
Sahl ke Tustar, beliau menjalani kehidupan dimana bisa dikatakan bertama
selama beberapa puluh tahun dengan hidup asketis dan sering melakukan puasa,
menurutnya ia meraskan bahwasannya dia meraskan kekuatan dalam kelaparan
tersebut.6 Selama menetap di Tustar, beliau melakukan perjalanan ke Mekkah
dan disanalah Sahl bertemu dengan Z{un Nun al-Mis}ri.

Ada dua pendapoat tentang perjalanan sahl ke Mesir, pendapat pertama


nyetakan bahwasannya Sahl dalam perjalannya ke Mesir untuk berguru kepada
Z{un Nun dimana beliau yang terakhir mengajarkan sifat kepercayaan sejati pada
Tuhan, dimana doktrin inilah yang dijadikan kunci dalam menjalankan

2
Sahl b.‟Abd Allah al-Tustari, Tafsir al-Tustari, 2011, Royal Asl al-Bayt Institute for
Islamic Thought, Jordan, ter Annabel Keeler and Ali Keeler, xxi
3
Muhammad sofyan, Tafsir wal Mufassirun,Medan: kelompok penerbit perdana Mulya
Sarana, 2011, 94
4
Muhammad bin Abdullah Al hadi, Makna Implementasi Dalam Tafsir Sufi: Studi
Epistimologi al-Qur‟an al-„Azhim karya Imam Sahl al-Tustari. Jurnal UIN Syarif
Hidayatulloh, 7
5
Umar Abidin, Ta‟wil Terhadap Ayat Al-Qur‟an menurut Al-Tustari, Jurnal Pasca
Sarjana UNSIQ. 221
6
Ibid., 223
5

komentar Al-Qur’an.7 Sedangkan pendapat berpendapat bahwasannay tujuan


sahl melakukan perjalanan ke Mesir adalah untuk menemui Z{un Nun sebagai
tanda penghormatan. Jadi hubungan guru-murid dari dua tokoh mistik tersebut
masih belum jelas. Namun menurut Suhrawardi dua sufistik tersebut memilki
kesamaan dalam kebijaksannan dasar-dasar pemahaman kuno yang membentuk
dasar penerangan Filsafat (Hikmat al-Israq), dimana kebijaksanaan ini berasal
dari Dhun nun kemudian diteruskan kepada sahl.8 Sahl al-Tustari wafat di
Uzahlahnya di kota Basrah pada tahun 283 H.9

2. Karya-karya al-Tustari

Sebagian peneliti meyakini bahwasannya Sahl tidak pernah mengarang


suatu kitab sendiri, dimana pendapat ini dimabil dari bahwa ajarannya banyak
dinukil dan dibukukan. Namun ada beberapa kitab yang dinisbatkan kepada
beliau diantaranya adalah:

a. Tafsῑr al-Qur’ān al-‘Aẓῑm


b. Daqāiq al-Muhibbῑn
c. Mawā’iẓ al-‘Arifῑn
d. Jawābāt Ahl al-Yaqῑn
e. Al-Ghāyah li Ahl al-Nihāyah
f. Qaṣaṣ al-Anbiā
g. Al-Mu’āraḍah wa al-Radd ‘ala Ahl al-Farq wa Ahl al-Da’āwā
h. Fahm al-Qur’ān al-Karῑm
i. Risālah fi al-Hurūf.

7
Sahl b.‟Abd Allah al-Tustari, Tafsir al-Tustari, 2011, Royal Asl al-Bayt Institute for
Islamic Thought, Jordan, ter Annabel Keeler and Ali Keeler, xxii
8
I Sahl b.‟Abd Allah al-Tustari, Tafsir al-Tustari, 2011, Royal Asl al-Bayt Institute for
Islamic Thought, Jordan, ter Annabel Keeler and Ali Keeler, xxv
9
Umar Abidin, Ta‟wil Terhadap Ayat Al-Qur‟an menurut Al-Tustari, Jurnal Pasca
Sarjana UNSIQ. 223
6

Kitab Tafsῑr al-Qur’ān al-‘Aẓῑm adalah kitab dimana lebih dikenal


sebagi kitab karya sahl al-Tustari, namun ha;l ini masih menjadi
perdebatan, apakah kitab ini ditulis langsung oleh al-tustari atau tidak.

3. Guru dan Murid al-Tustari


Sahl al Tustari mempunyai banyak murid, di antaranya adalah:
1. al-Hallaj
2. Barnahary
3. Akary
4. Jurayri
5. Muhammad Umar ibn Wasil „Anbari Basri
6. Abu Ya‟kub Susi
7. Ibn Munżir Hujami.

Guru-guru al Tustari selama hidupnya sangat banyak, namun yang populer


dan yang sangat berpengaruh ialah :

1. Muhammad Ibn Sawwar


2. Zun Nun al Misri
3. Abu Habib Hamza ibn Abdullah Abbadani.

Dilihat jika dilihat dari sudut pandang model penafsirannya terhadap al-
Qur‟an, tafsir al-Tustari termasuk tafsir tahlili, karena ia ini berusaha
menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an secara urut setiap ayat dan surat sesuai urutan
sebagaiamana dalam mushaf Uṡmani. Sedangkan corak penafsiran yang
dilakukan oleh al-Tustari terhadap ayat-ayat al-Qur‟an termasuk dalam kategori
tafsir bercorak sufistik abad pertengahan (abad ke-3-9 H/ke-9-15 M). berikut
beberapa pendapat ulama yang berkaitan dengan kitab tafsir Sahl al Tustari:
Ignaz Goldziher dalam bukunya, Madzāhib al-Tafsīr al-Islāmi
memberikan komentar bahwa tafsir al-Qur‟an karya Sahl al-Tustari merupakan
7

kitab tafsir yang cukup mencolok dalam literatur awal tafsir bercorak sufistik.
Tustari termasuk peletak dasar penafsiran al-Qur‟an dengan pendekatan tasawuf,
sehingga pada periode selanjutnya, makin berkembanglah corak penafsiran
sufistik seperti yang dilakukan As-Sulami (w.412 H) dengan karyanya, Haqāiq
al-Tafsīr, Al-Qusyairi (374-465) dengan Lathā’iful Isyārat-nya, Ibnu Arabi (560-
638 H), dll.
Al Ghazali berpendapat bahwa Sahl al Tustari dalam menafsirkan ayat al-
Qur‟an tidak hanya menemukan mana lahir, tetapi menjelaskan makna batin
yang berhasil disingkap setelah melakukan mukasyafah yang mendalam, dan
tentunya, pengetahuan makna lahir juga merupakan kewajiban dasar sebelum ia
melakukan kontemplasi dan berimajinasi tinggi untuk mendapatkan
“bimbingan cahaya ilahi”.

B. Ta’wil Sahl al-Tustari dalam Tafsῑr al-Qur’ān al-‘Aẓῑm

Menurut al-Tustari, ayat-per ayat dalam al-qur’an terdiri dari empat


makna yang fundamen, yakni: Z{a<hir, Ba<t}in, hadd, dan Mat{la’ Makna lahir
(Z{ah< ir) berarti makna yang dihasilkan dan sesuai dengan kata-kata pada bacaan
itu, tidak lebih dari kosakata tersebut, makan Ba<t}in yakni lebih pada
pemahaman yang dihasilkan dari makna lahir suatu ayat tersebut. Adapun
makan hudd, makna yang menunjukan kehalalan dan keharaman dari ayat al-
Qur;’an, dan makna Mat{la’ adalah manka yang diperoleh dari bimbingan hati
(isyra>f al-qalbi) untuk menemukan pemahaman yang dimaksud atau
dikehendaki oleh Allah SWT.

Menurutnya dalam pemahaman umum suatu ayat akan diperoleh melalui


pengetahuan yang Z{ah< ir,. Sedangkan dalam pemahaman yang dikehendaki oleh
ayat, hanya dapat diperoleh melalui isyarat-isyarat yang bersifat bathini.10
Dalam artian, Sahl hanya mengatakan bahwasannya makna-makna Z{a<hir,al-
Qur’an yang bersifat umum dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami al-

10
Muhammad sofyan, Tafsir wal Mufassirun,Medan: kelompok penerbit perdana
Mulya Sarana, 2011, 95
8

Qur’an secara Grametikal bahasanya. Sementara dalam memahami ayat-ayat


yang bersifat Ba<t}in, hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu yang
11
mendapatkan pelajaran oleh Allah. Tustari meyakini bahwasannya adanya
makna bathin dari firman Allah yang merupakan pemberian kepahaman darri-
Nya untuk manusia. Tustari membenarkan adanya makna terdalam (makna
batun) yang diberikan Allah kepada orang-orang yang dipilih oleh-Nya sesuai
dengan usaha mereka dan doa mereka kepad-Nya. Hal ini karena petunjuk dan
bimbingan Allah atas rahasia-Nya yang tak terlihat didalam khazanah (gudang
pengetahuan).12

Dengan latar belakang kehidupannya yang kental dengan sarat Sufistik,


dalam pemikirannya yang dituangkan dalam tafsirnya terhadap al-Qur’an.
Dalam mena’wilkan ayat-ayat al-Qur’an terutama dalam ayat-ayat mutasaybih.
Sahl ini di anggap sebagai orang pertama yang menafsirkan al-Qur’an dengan
pendekatan sufistik.13

Dengan penafsiran bercorak sufistik, tustari merupakan peletak dasar


bagi perkembangan tafsir berikutnya, dimana Sahl berusaha menafsirkan ayat
al-Qur’an dengan makna lahir sekaligus makna bathin. Dalam hal ini perlu
digaris bawai bahwasannya penafsiran al-Tuatari adalah penafsiran sufistik,
dimana sangat terkait dengan pengalaman pribadi sang penafsir sebagai pelaku
sekaligus, bukan hanya teori. Maka dari itu tidak jarang penafsiran al-Tustari
sulit untuk dijelaskan.

Jika dlihat bagaimana al-Tustari dalam penafsiranya memperhatikan


tentang adna empat makna-makan yang dapat diperoleh dari al-Qur’an, maka
langkah-langkah atau proses penafsiran yang dilakukan oleh Sahl al-Tustari
dapat disipulkan sebagai berkut:

11
Umar Abidin, Ta‟wil Terhadap Ayat Al-Qur‟an menurut Al-Tustari, Jurnal Pasca
Sarjana UNSIQ. 224
12
Ibid.,
13
Ibid., 226
9

1. Al-Tustari tetap mempercayakan adanya makna Z{ah< ir dari suatu


ayat al-Qur’an, sehingga ketika menafsirkan al-Qur’an harus tetap
memperhatikan kaidah-kaidah bahasa Arab
2. Makna Bathin bisa diperoleh setelah engetahui makna Zahir suatu
lafadz dari ayat yang ia tafsirkan sesuai kaidah bahasa yang benar
3. Makna tersembunyi merupakan usaha dalam menyingkap makna
yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam suatu ayat al-Qur’an
tersebut. Lalu didukung dengan ayat lain yang mmperkuat argumen
makna yang di hasilkan.14

C. Contoh penafsiran Sahl terhadap ayat al-Qur’an menggunakan pendekatan


sufistik.

Pemahaman makna bathin oleh Sahl al-tustari dituangkan dalam Qs al-


Baqarah ayat 22

َ‫فَالَ ت َْج َعلُ ْو ِ َلِلِ ْا ْندَادًا َواَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

‚maka itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi allah,


padahal kamu mengetahui.

Sahl al-tustari dalammenta’wil kata ‫( ْا ْندَادًا‬sekutu-sekutu) dengan


ْ
‫(اضدادا‬lawan-lawan). Dimana lawan terbesar adalah al-nafsu al-ammarah bi al-
amma<rah bi al-su>’ (nafsu yang selalu menyuruh pada kejahatan) yang selalu
berambisi untuk mendapatkan kesenangannya tanpa petunjuk Allah SWT.

Dalam hal ini Sahl mengungkapkan bahwasannya nafsu ammarah


termasuk dalam sekutu, hingga jika dilihat perincian ta’wil ayat tersebut adalah
‚maka janganlah kamu menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu, berhala, setan,
nafsu.... jika dilihat dalam konteks ayat ini dan juga indikasi-insikasi yang
melingkupinya menunjukan bahwa yang dimaksud sekutu-sekutu (andad) adalah

14
Umar Abidin, Ta‟wil Terhadap Ayat Al-Qur‟an menurut Al-Tustari, Jurnal Pasca
Sarjana UNSIQ. 226
10

segala sesuatu yang disembah selain Allah SWT.15 Kata anda<d juga
mencangkup nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia,
bahwasannya karebna manusia menyekutukan Tuhannya dengan menjadi hamba
bagi nafsu amarahnya.

Maka Sahl menafsirkan kata ‫( ْا ْندَادًا‬tandingan-tandingan) sebagai ( yang


bertentangan), karena menurut beliau tandingan yang paling besar adalah nafsu,
walaupun jika lihat dari zahirnmya ayat ini tidak berbicara tentang nafsu,
melainkan tandingan maupun sekutu bagi Allah, yang disembah orang-orang
musyrik.

15
Umar Abidin, Ta‟wil Terhadap Ayat Al-Qur‟an menurut Al-Tustari, Jurnal Pasca
Sarjana UNSIQ. 227
11

KESIMPULAN

Abu Muhammad Sahl ibn Abdullah ibn Yunus ibn Isa ibn Abdullah ibn
Rafi’ al-Tustari. Beliau adalah tokoh sufi yang bepengaruh dalam dunia
penafsiran al-Qur’an menggunakan pendekatan sufistik. Beliau sudah mengenal
sufi sejak kecil dimana hal itu dikenalkan oleh sang pamannya.

Menurut al-Tustari, ayat-per ayat dalam al-qur’an terdiri dari empat


makna yang fundamen, yakni: Z{a<hir, Ba<t}in, hadd, dan Mat{la’ Makna lahir
(Z{ah< ir) berarti makna yang dihasilkan dan sesuai dengan kata-kata pada bacaan
itu, tidak lebih dari kosakata tersebut, makan Ba<t}in yakni lebih pada
pemahaman yang dihasilkan dari makna lahir suatu ayat tersebut. Adapun
makan hudd, makna yang menunjukan kehalalan dan keharaman dari ayat al-
Qur;’an, dan makna Mat{la’ adalah manka yang diperoleh dari bimbingan hati
(isyra>f al-qalbi) untuk menemukan pemahaman yang dimaksud atau
dikehendaki oleh Allah SWT.
12

Daftar Pustaka

Abdullah al-Hadi. Muhammad. Tt. Makna Implementasi Dala Tafsir Sufi: Studi
Epitemologi al-Qur’an al-‘Azhim . jurnal UIN Syarif Hidayatulloh
Abdullah. Al-Tustari. 2011. Tafsir al-Tustari. Jordan. Royal Asl al-Bayt Institute
for Islamic Thought. Terj Annabel Keeler and Ali Keeler
Muhammad sofyan, Tafsir wal Mufassirun,Medan: kelompok penerbit perdana
Mulya Sarana, 2011
Sahl b.‟Abd Allah al-Tustari, Tafsir al-Tustari, 2011, Royal Asl al-Bayt Institute
for Islamic Thought, Jordan, ter Annabel Keeler and Ali Keeler
Sofyan. Muhammad. 2011. Tafsir wal Mufassirun. Medan. Kelompok Penerbit
Perdana Mulya Sarana
Umar Abidin, Ta’wil Terhadap Ayat Al-Qur’an menurut Al-Tustari, Jurnal Pasca
Sarjana UNSIQ
Umar. Abidin. Tt. Ta’wil Terhadap Ayat Al-Qur’an menurut Al-Tustari. Jurnal
Pasca Sarjana UNSIQ

Anda mungkin juga menyukai