Anda di halaman 1dari 19

KITAB SHAFWA AT-TAFASSIR KARANGAN MUHAMMAD ALI AL-SHABUUNI

‫))كتاب صفوة التفاسيرللشيخ محمد علي الصابوني‬

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah: Studi Kitab Tafsir

Dosen Pengampu: H. Akhmad Dasuki, Lc. MA

Disusun Oleh:

Muhammad Nizzar Albadani P.


1803 1300 81
Nila Wati
1803 1300 80

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


JURUSAN USHULUDDIN
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
1442 H/2020 M
BAB I

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI MUHAMMAD ALI AL-SHABUUNI


Muhammad bin ‘Ali bin Jamal Al-Shabuuni atau yang sering dikenal Muhammad Ali
al-Shabuuni adalah ulama yang lahir di kota Helb (Aleppo), Syiria tahun 1928 M/1347 H
dan bermazhab sunni serta aqidahnya asy’ari.1 Dia dibesarkan dalam sebuah keluarga
yang terpelajar seperti, ayahnya bernama Syaikh Jamil merupakan seorang ulama senior
di Aleppo sehingga dia memperoleh pendidikan dasar dan formal mengenai Bahasa Arab,
Ilmu Waris (faraid), dan ilmu-ilmu agama lainnya dari bimbingan ayahnya secara
langsung.2
Selain memperoleh pendidikan melalui ayahnya, dia juga berguru pada ulama
terkemuka di Aleppo, seperti Syekh Muhammad Najib Sirajuddin, Syekh Ahmad al-
Shama, syekh Muhammad Said al-Idlibi, Syekh Muhammad Raghib al-Tabbakh dan
Syekh Muhammad Najib Khayatah serta sering menghadiri kajian-kajian para ulama
lainnya yang terselenggara di berbagai masjid.3
Pendidikan formalnya di Madrasah Al-Tijariyyah yang merupakan sekolah milik
pemerintah dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun, selanjutnya dia melanjutkan
pendidikan di Khasrawiyya sampai selesai pada tahun 1949 M. Selama menuntut ilmu di
Madrasah tersebut, dia mempelajari ilmu-ilmu keislaman dan mata pelajaran umum.
Berkat kecerdasannya dalam menangkap ilmu yang diajarkan kepadanya, maka dia
menerima beasiswa yang diberikan oleh Departemen Wakaf Suriah kemudian
melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar, Fakultas Syari’ah, Mesir, hingga
selesai strata satu pada tahun 1952 M dan dilanjutkan pada tahun 1954 M dia memperoleh
gelar magister dengan kosentrasi peradilan syari’ah atau perundang-undangan Islam.4
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mesir, kemudian dia kembali ke kota
kelahirannya dan mengajar di berbagai Sekolah di Aleppo. Dia berprofesi sebagai guru di
Sekolah Menengah Atas selama 8 (delapan) tahun, yakni sejak tahun 1955 M hingga
1962 M. Kemudian setelah beberapa waktu, dia berhijrah ke Arab Saudi setelah mendapat
1
Muhammad ‘Ali Iyaziy, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu’assasah al-
Tiba’ah wa al-Nasyr, 1415), h. 872.
2
‘Isam Ahmad ‘Irsan Syahadah, “al-Shabuuni wa Manhajuhu fi al-Tafsir min Khilali Kitabihi Safwat
al-Tafasir”, Tesis Magister, (Neblus: Universitas Najah al-Wataniyyah, 2013), h. 8.
3
Fahd Abd Rahman al-Rumi, Ijtihat al-Tafsir fi Al-Quran al-Rabi’ al-‘Asr, (Saudi Arabia: Idarah al-
Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, 1987) Jil. 2, h. 446
4
Muhammad Yusuf, dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer, (Yokyakarta: Teras, 2006) h. 56.
tawaran untuk mengajar di Universitas Ummu al-Qura Fakultas Syari’ah dan Universitas
King Abdul Aziz, keduanya berada di kota Mekkah. Dia pun mengajar dikedua
universitas tersebut selama kurang lebih 28 tahun.5
1. Aktivitas Keilmuan dan Perjuangannya

Disela kesibukannya mengajar, ia turut aktif dalam organisasi Liga Muslim


Dunia dan menjabat sebagai penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai Al-
Quran dan Sunnah selama beberapa tahun. Setelah itu, ia mengabdikan dirinya
sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian. Shafwa at-Tafassir merupakan
salah satu karyanya yang terkenal dan termasuk tafsir terbaik, karena luasnya
pengetahuan yang dimiliki oleh sang penulis. Selain dikenal sebagai hafiz Al-Quran,
Al-Shabuuni juga memahami dasar-dasar ilmu tafsir, guru besar ilmu syari’ah dan
ketokohannya sebagai seorang intelektual Muslim yang menambah bobot kualitas dari
tafsirnya ini.

2. Pemikiran dan Karya-karyanya

Beliau adalah sosok ulama maupun mufassir serta penulis yang profilik dan
kreatif, di antara karya-karyanya adalah:6

 Shafwa at-Tafassir
 Rawa’i al-Bayan fii Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Quran
 Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir
 Mukhtasar Tafsir al-Thabari
 Al-Tafsir al-Wadih al-Muyassar
 Al-Tibyan fī ‘Ulum Al-Quran (Pengantar Studi Al-Quran)
 Qabasun min Nur Al-Quran (Cahaya Al-Quran)
 Jami’ al-Bayan
 Al-Mawarits fī al-Syari’ah al-Islamiyah ‘ala Dhau al-Kitab
 Tanwir al-Adham min Tafsir Ruh al-Bayan

B. Deskripsi Kitab Shafwa at-Tafassir

5
Muhammad Yusuf, dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer,… h. 57.
6
Majalah Al-Haramain Edisi 79, “Profil Syekh Muhammad Ali Al-Shabuuni; Ulama Mufasir yang
Produktif”, (Surabaya: Lazis al-Haramain, 2013), h. 15-17.
Kitab Shafwa at-Tafsir: Tafsir Al-Quran al-Karim, Jami’a baina al-Matsur wa al-
Ma’qul, Mstamd min Awtsn Kutib al-Tafsir ditulis oleh Muhammad Ali al-Shabuuni
dalam bahasa Arab terdiri atas 3 (tiga) jilid diterbitkan oleh Dar Al-Quran al-Karim,
Beirut namun ada beberapa terbitan lain. Disamping itu, kitab ini memiliki terjemahan
dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pustaka al-Kautsar bahkan kitab ini pun
memiliki aplikasi untuk android bernama ‫ للصابوني‬b-‫ صفوةالتفاسير‬yang dikembangkan oleh
So Smart Apps.

1. Latar Belakang Penulisan Shafwa at-Tafassir


Kitab ini dikemas dengan sistematika yang relatif sederhana dan mudah
dipahami dan butuh waktu sekitar 5 (lima) tahun bagi al-Shabuuni untuk
menyelesaikan penulisan kitab tersebut. Dalam hal ini, ia tidak menulis sesuatu
apapun tentang tafsir sebelum dia terlebih dahulu membaca materi tafsir yang
telah ditulis oleh para mufassir terdahulu, terutama dalam masalah pokok-pokok
kitab tafsir, sambil memilih mana yang lebih relevan dengan konteks saat ini.7
Di antara yang hal yang menjadi latar belakang penulisan Shafwa at-Tafassir
adalah keinginan al-Shabuuni untuk meneruskan tradisi ulama salaf yang menulis
karya dalam rangka memberi pemahaman terhadap kebutuhan umat dalam
memahami agama. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa Al-Quran akan
tetap membuka ruang yang luas untuk dikaji laksana hamparan lautan yang
memerlukan penjabaran dari kalangan ahli ilmu untuk menyingkap berbagai
macam kandungannya.8
Selain itu, al-Shabuuni menyadari bahwa mayoritas umat muslim saat ini lebih
disibukan dengan urusan dunia dan sedikit sekali hari-hari mereka yang
dipergunakan untuk mengkaji kitab-kitab tafsir, terutama kitab-kitab tafsir induk.
Pada lain sisi ia juga sadar bahwa kewajiban ulama tetap menjadi jembatan bagi
pemahaman umat terhadap Al-Quran dengan memberikan kemudahan dalam
mengkaji Al-Quran. Ia menyadari belum adanya kitab tafsir ketika itu yang dapat
memenuhi hajat umat dan terutama memicu semangat mereka untuk mengkaji Al-
Quran di sela-sela kesibukan hidup mereka.9 Dengan demikian, kitab tafsir ini
terlahir dari kondisi sosial-masyarakat yang menuntutnya untuk mengarang
sebuah kitab tafsir. Dalam hal ini, tujuan Al-Shabuuni dalam menulis Shafwa tl-
Tafassir antara lain adalah untuk mendekatkan masyarakat dengan tafsir Al-Quran

7
Muhammad ‘Ali al-Shabuuni, Shafwa at-Tafassir, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2001), h. 22.
8
Muhammad ‘Ali al-Shabuuni, Shafwa at-Tafassir,… h. 19.
9
Muhammad ‘Ali al-Shabuuni, Shafwa at-Tafassir,… h. 20.
dengan mempermudah gaya penyampaiannya dan tentu saja memberikan faidah
berupa jawaban-jawaban terhadap realitas umat ketika itu.
Shafwa at-Tafassir merupakan sebuah tafsir ringkas terhadap seluruh ayat Al-
Quran dan secara terang-terangan mendeklarasikan dirinya sebagai tafsir yang
menghimpun dua sumber material utama; tafsir riwayat dan tafsir rasional
sekaligus (jami’ bayna al-ma’sur wa al-ma’qul). Materi kitab ini secara umum
berdasarkan kepada kitab-kitab tafsir induk yang terdahulu seperti kitab Tafsir al-
Tabari, al-Kasysyaf, Ruh al-Ma’ani, Ibn Katsir, Bahr al-Muhit dan lain-lain,
dengan gaya bahasa yang mudah yang ditunjang dengan aspek sastrawi.10
2. Tahap Al-Shabuuni dalam Menafsirkan Al-Quran dalam Kitab Shafwa at-Tafassir
Al-Shabuuni mempunyai cara tersendiri dalam menafsirkan Al-Quran, dengan
menyajikan penafsiran dengan beberapa tahapan sebagaimana yang telah
disampaikan pada mukaddimah kitabnya,11 tahapan-tahapan tersebut yaitu:
 Menjelaskan secara global terhadap isi surah (Bayanu al-Ijmali li al-Surah al-
Karimah)
Sebelum menafsirkan dan membahas satu surah, Al-Shabuuni menjelaskan
terlebih dahulu tentang pokok-pokok isi surah secara global mulai dari awal
surah sampai ke penutup surah. Dalam penjelasan ini ada beberapa hal yang
dikemukakan oleh Al-Shabuuni, yaitu; isi surah, keutamaan surah dan
penamaan surah.
 Menjelaskan kesesuaian antar ayat (al-Munasabah)
Secara bahasa al-munasabah adalah berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat.
Secara istilah al-munasabah adalah kemirip-miripan yang terdapat pada hal-
hal tertentu dalam Al-Quran baik surah maupun ayat-ayatnya yang
menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya. 12 Pada aspek al-munasabah
ini, Al-Shabuuni menerangkan hubungan antara ayat yang akan ditafsirkan
dengan ayat yang telah ditafsirkan sebelumnya.
 Menggunakan tinjauan bahasa (al-Lughah)
Disepakati oleh semua pihak dan digaris bawahi pula oleh Allah SWT dalam
kitab suci-Nya, bahwa Al-Quran berbahasa Arab. Ini berarti bahwa syarat
mutlak untuk menarik makna dari pesan-pesan Al-Quran adalah pengetahuan
10
Deskripsi ini berdasarkan keterangan pada halaman judul kitab Shafwa at-Tafassir.
11
Muhammad Ali al-Shabuuni, Shafwah al-Tafsir, Juz. I (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah: 1420 H/
1999 M), hlm. 10
12
Rachmat Syafeii, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 37.
tentang bahasa Arab.13 Pada umumnya Al-Shabuuni akan menjelaskan makna
dari suatu lafal dan menyebutkan asal katanya serta menyelidiki perubahan
kata dari lafal tersebut. Kadangkala melengkapinya juga dengan memaparkan
ayat Al-Quran, hadist maupun syair-syair Arab untuk menjelaskan lafal
tersebut.
 Memaparkan sebab turunnya ayat (Asbab al-Nuzul)
Adapun asbab al-nuzul secara terminologi adalah: “Sesuatu” yang
menyebabkan diturunkannya ayat-ayat Al-Quran pada zaman turunnya Al-
Quran. Dimaksud dengan “sesuatu” di sini adalah peristiwa, pertanyaan atu
jawaban terhadap sebuah permasalahan yang terjadi pada masa Rasul
Muhammad SAW. Sedang yang dimaksud “zaman turunnya Al-Quran” adalah
keadaan atau kondisi yang menyelimuti turunnya sebuah ayat atau surah, baik
ayat tersebut turun secara langsung atau terlambat.14
 Menafsirkan ayat
Al-Shabuuni berbicara panjang lebar dalam menafsirkan ayat, semua hal yang
berhubungan dengan ayat tersebut ditafsirkan dengan rinci dan jelas, Al-
Shabuuniy memberikan penafsiran dengan bahasa yang mudah dimengerti
bagi siapapun yang membacanya.
 Aspek balaghah (al-Balaghah)
Salah satu ilmu yang harus dikuasai bagi seorang mufassir adalah mengetahui
ilmu balaghah, dalam istilah ahlinya ada tiga; al-ma’ani, al-bayani, dan al-
badi’.15 Keharusan mufasir mempelajari ilmu ini agar mengerti dengan analisis
dan tema-temanya serta permasalahannya. Hal ini diperlukan supaya dapat
dikenal perbadaan warna sasaran akhir kalimat Al-Quran. Dalam aspek
balaghah ini, al-Shabuuniy menerangkan dan mengungkap segi keindahan dan
kelebihan Al-Quran itu sendiri.
 Pelajaran dan petunjuk dari ayat (al-Fawaid wa lil Thaif)
Pada bagian akhir dari penafsiran Al-Shabuuni selalu memberikan pelajaran
dan petunjuk yang dapat diambil dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut hemat penulis, hal ini sangat diperlukan sekali agar setelah membaca

13
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat Al-Quran, Cet ke-III, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 35.
14
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an: Mengungkap Makna-makna Tersembunyi Al-Quran, (Ciputat: al-
Ghazali Center, 2010), h. 23.
15
Hasan Zaini dan Nofri Andy, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Lingkar Media, 2015), h. 41.
penafsiran dari ayat tersebut bisa memahami apa saja yang dapat diambil dan
amalkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan perintah Allah SWT yang
terdapat dalam ayat tersebut.
3. Metode Penafsiran Kitab Shafwa at-Tafassir
Kata metode dalam bahasa Arab digunakan dalam bentuk kata manhaj yang
berasal dari kata nahaja, berarti terang atau nyata. Sedangkan kata metode berasal
dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Secara terminologinya
adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud atau cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana suatu kegiatan guna mencapai
suatu yang ditentukan.
Jika dilihat metode penafsiran yang terdapat dalam kitab Shafwa at-Tafassir
adalah metode tahlili, yang dimaksud dengan metode tahlili adalah menjelaskan
ayat-ayat Al-Quran dengan menghidangkan seluruh aspeknya dan menyingkapkan
setiap tujuannya dengan mengikuti susunan ayat-ayat tersebut sebagaimana
terdapat di dalam mushaf.16 Kitab ini menggunakan metode tahlili, hal ini terbukti
ketika ia menggunaan langkah-langkah tafsir tahlili dalam kitab tersebut. Berikut
merupakan contoh bahwa kitab Shafwa at-Tafassir menggunakan metode tahlili,
langkah-langkah tersebut yaitu:
 Menetapkan ayat atau kelompok ayat yang akan ditafsirkan
Dalam kitab ini, ia melakukan penafsiran secara berurutan, tidak melompat-
lompat dari satu surah ke surah yang lainnya. Seperti memulai penafsirannya
dari awal surah Al-Fatihah hingga ke akhir surah An-Naas. Ia menuntaskan
penafsirannya terlebih dahulu dalam satu pembahasan atau ayat-ayat yang
masih berkaitan dalam satu pembahasan, setelah selesai membahas ayat-ayat
tersebut, lalu melangkah ke ayat yang lainnya.
 Mengkaji makna kosa kata (al-Ma’na al-Mufradat)
Ia menjelaskan kosakata atau menggali makna kata-kata yang sulit, sehingga
memudahkan pembaca untuk memahami ayat yang dijelaskan. Biasanya ia
menjelaskan makna dari suatu lafal dan menyebutkan asal katanya serta
menyelidiki perubahan kata dari lafal tersebut. Terkadang ia melengkapinya
dengan memaparkan ayat Al-Quran, hadist maupun syair-syair Arab.
 Mengungkapkan Asbab al-Nuzul ayat Al-Quran

16
Zulheldi, 6 Langkah Metode Tafsir Maudhu’i, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm. 9-10.
Asbab al-Nuzul adalah sebab-sebab diturunkannya suatu ayat. Sumbernya
berasal dari hadis Nabi maupun perkataan sahabat. Namun tidak semua ayat
Al-Quran memiliki asbab al-nuzul, hanya sebagian saja sehingga ia
memaparkan asbab al-nuzul -nya pada ayat tertentu saja. Setiap asbab al-
nuzul yang dikemukakan olehnya akan diberikan catatan kaki dengan
menyebutkan sumber pengambilannya.
 Mengungkapkan kajian aspek kebahasaan Al-Quran dari segi balaghah Al-
Quran
Pada aspek kebahasaan (balaghah), penulis menjelaskan unsur-unsur fasahah
dan bayan pada setiap kumpulan beberapa ayat yang di tafsirkan. Penjelasan
ini berupaya untuk mengungkap keindahan susunan kata pada ayat-ayat Al-
Quran. Penjelasan tersebut tertuang dalam tinjauan ke-balaghah-an pada
penafsirannya.
 Melakukan kajian munasabah suatu ayat dengan ayat-ayat di sekitarnya,
amupun antara satu surah dengan surah lain
Dalam menerangkan munasabah suatu ayat, ia hanya menjelaskan munasabah
antara kumpulan ayat dan tidak menjelaskan munasabah antara surah.
 Menjelaskan maksud ayat secara umum
Ia menjelaskan pokok-pokok isi surah secara umum pada bagian awal surah
sebelum melakukan penafsiran maupun menjelaskan kosakata dari ayat yang
akan ditafsirkan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pembaca untuk
memahami kandungan umum dari ayat-ayat yang terdapat pada surah tersebut.
 Menerangkan makna dan maksud dari ayat yang bersangkutan (al-Tafsir wa
al-Bayan)
Dalam menerangkan makna dan maksud dari ayat yang bersangkutan Al-
ِ Setiap ayat dari al-Qur‟an
Shabuuni menjelaskannya pada bagian ‫التفسري‬.
ِ
dijelaskan pada bagian ‫التفسري‬.

4. Corak Penafsiran Kitab Shafwa at-Tafassir


Al-Shabuuni dalam tafsirnya menjelaskan setiap ayatnya dengan dikaitkan
dengan tatanan masyarakat sehingga ia banyak mengambil hikmah dari ayat-ayat
yang dibahas kemudian dikaitkan dengan tatanan masyarakat masa kini. Selain
dari penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam ayat tersebut, ia juga banyak
menambahkan penjelasan-penjelasan yang penting terhadap pemahaman ayat Al-
Quran yang ditafsirkan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa corak
penafsiran dalam kitab Shafwa at-Tafassir adalah adabi al-ijtima’i. Corak
penafsiran adabi al-ijtima’i adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra
budaya kemasyarakatan.
5. Menimbang Shafwa at-Tafassir
a. Apresiasi positif
Testimoni positif terkait Shafwa at-Tafassir di antaranya disampaikan
oleh ‘Abdul Halim Mahmud (Rektor Universitas Al-Azhar tahun 1973-1978
M). Ia menyinggung tiga poin penting yang menjadikan kitab tersebut layak
untuk dibaca dan diambil sebagai referensi, yaitu:17 (1) Shafwa at-Tafassir
cenderung terbebas dari keberpihakan sektarianisme, (2) mengambil pendapat
ahli tafsir paling sahih, dan (3) dikemas dalam bentuk ringkasan dan memiliki
karakter memudahkan.
Abdullah bin Humaid menjelaskan beberapa point dalam komentarnya,
di antaranya ia mengatakan bahwa penulis mencurahkan semua ijtihad dalam
penyusunan kitab ini dan memilih pendapat mufassir yang paling sahih dan
rajih. Selain menggabungkan metode tafsir bil ma’tsur dan bil ma’qul,
pemaparannya dengan menggunakan gaya bahasa yang jelas dan lugas dan
mengambil hadits-hadits yang mudah dipahami.18
Abu Hasan Al-Nadwi (Ketua Perhimpunan Ulama India) mengatakan
bahwa kitab ini menunjukan dari berbagai keluasan ilmiah; mulai dari tafsir,
hadits, sirah dan tarikh. Ia memudahkan para pembacanya, terutama pada
masa sekarang lebih mendekati apa yang dibutuhkan pada pemecahan
permasalahan kekinian. Tidak hanya pikiran yang penulis curahkan melainkan
waktu, tenaga, harta dan lain-lain. Karya ini disusun dengan upaya penilaian
ilmu tafsir yang cukup lama sehingga memberikan gambaran yang mendalam
dari sisi kualitas tafsirnya.19
Pujian juga datang dari ulama Saudi. ‘Abdullah ‘Umar Nasif (Rektor
King Abdul Aziz University 1980-1983 M) mengatakan bahwa kehadiran
kitab tafsir ini memberikan kemudahan kepada umat dalam penyampaiannya,
karena Allah SWT telah mencurahkan hidayah dan taufiq kepada pengarang
kitab ini. Rasyid bin Rajih (Dekan Fakultas Syariah dan Pendidikan Islam
17
Muhammad ‘Ali al-Shabuuni, Shafwa at-Tafassir, Juz 1,… h. 6.
18
Muhammad ‘Ali al-Shabuuni, Shafwa at-Tafassir, Juz 1,… h. 6.
19
Muhammad ‘Ali al-Shabuuni, Shafwa at-Tafassir, Juz 1,… h. 6.
Mekkah al-Mukarramah) juga mengatakan beliau telah memperhatikan dan
membaca lembaran dari kitab Shafwa al-Tafassir yang kemudian menjumpai
kitab ini sebagai kitab yang berharga yang memuat apa yang dikatakan oleh
para imam ahli tafsir. Karya ini bertujuan untuk memudahkan bagi pencari
ilmu dengan gaya bahasa yang mudah dan jelas yang didukung dengan
keterangan bahasa, sehingga layak untuk dicetak dan disebarluaskan.20
b. Resepsi negatif
Disamping banyaknya resepsi positif terhadap kitab Shafwa al-
Tafassir, tak sedikit pula resepsi negatif terhadap kitab ini. Beberapa kritik
tersebut terutama digulirkan oleh ulama-ulama Saudi. Diantara kritikus
tersebut adalah Bakr Abu Zayd yang mengkritik dengan mengatakan bahwa
penulis telah menghapus akidah salaf dengan cendrung kepada khalaf yang ia
ambil dari dua imam besar dalam tafsir Al-Quran yaitu Al-Tabari dan Ibn
Katsir. Menurutnya, ini adalah kesalahan besar tatkala Al-Shabuuni mengutip
keduanya dengan berdalih ringkasan dan pemurnian.21
Sementara itu Muhammad bin Jamil Zainu mengumpulkan kritikan-
kritikan terhadap kitab ini khusus dalam perkara akidah yang dimuatnya dalam
buku berjudul Tanbihat Hammah ‘ala Kitab Shafwa al-Tafassir.22 Beberapa
catatan kesalahan penulisnya menurut Ibn Jamil Zainu diantaranya sebagai
berikut:23
 Penulis meringkas hadis tanpa memuatnya secara sempurna. Hal ini
dicontohkan ketika penulis menafsirkan ayat 42 dari surah Al-Qalam.
 Penulis memuat qiraat syaz dan dhaif, hal ini terlihat ketika menguraikan
surah Al-Talaq ayat 1.
 Penulis dalam menerangkan ayat 56 dari surah Al-Azhab bahwa
Rasulullah merupakan “mata air rahmat” (manba’ ar-rahmah) dan “mata
air seluruh manifestasi” (manba’ at-tajalliyat), Zainu keberatan dengan
perlakuan berlebihan seperti ini kepada Rasulullah, menurutnya Rasulullah
tidak akan rela disifati seperti ini sekiranya masih hidup. Ia beranggapan
penulis telah berlebihan (ghuluww) dengan menyandarkan sesuatu yang
hanya pantas dialamatkan kepada Allah, bukan kepada mahluk-Nya.
20
Muhammad ‘Ali al-Shabuuni, Shafwa at-Tafassir, Juz 1,… h. 6.
21
‘Isam Ahmad ‘Irsan Syahadah, “al-Shabuuni wa Manhajuhu” ... h. 188.
22
‘Isam Ahmad ‘Irsan Syahadah, “al-Shabuuni wa Manhajuhu” ... h. 189.
23
‘Isam Ahmad ‘Irsan Syahadah, “al-Shabuuni wa Manhajuhu” ... h. 7-33.
 Penulis mencoba menafsirkan ayat sifat Allah, yang semestinya hal
tersebut tidak perlu ditafsirkan seperti pada surah Sad ayat 75, Al-
Shabuuni menafsirkan kata “bi yadayya (dengan tangan-Ku)” dengan kata
“bi zati (dengan dzat-Ku)” yang menurut Zainu bahwa mazhab Salaf akan
menetapkan “dua tangan” kepada Allah, tetapi dalam gambaran yang layak
bagi-Nya, tanpa ada unsur penyerupaan dan permisalan.
 Penulis menyebutkan bahwa Khidir dalam cerita Al-Quran bersama
dengan Nabi Musa adalah hanya sebatas hamba Allah yang saleh. Ia tidak
menyebutnya dengan Nabi, padahal menurut Zainu jika mayoritas ulama
berdasarkan dalil-dalil, menunjukkan bahwa Khidir adalah seorang Nabi.
Hal ini bisa dilihat ketika penulis menguraikan ayat 65 dalam surah Al-
Kahf.
 Penulis mengatakan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang kekal dan
keterputusan, akan tetapi ia adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat
yang lain. Seseorang yang telah mati bisa mendengar, melihat, serta
merasakan dalam kubur mereka terhadap orang yang hidup. Zainu
mempertanyakan ketika penulis yang mengatakan “melihat dan
merasakan”, sedangkan menurutnya yang disebutkan dalam hadis hanya
“mendengar”.
 Penulis juga menyebutkan bahwa dalam Al-Quran terdapat susunan
asonansi atau repetisi bunyi sebagaimana dalam puisi (al-saj’), semisal
tercermin dalam kata-kata midrara, atwara, anhara, waqara. Argumentasi
ini dibantah oleh Zainu yang mengatakan bahwa sajak itu tidak ada di Al-
Quran, karena sajak adalah perkataan dukun yang tercela, dan beberapa
catatan lainnya.

Rata-rata kritikus Al-Shabuuni berdasarkan kajian dari Iṣam Ahmad


Syahadah, dapat dipetakan menjadi 4 (empat) kelompok, yakni (1) Kritik yang
disebabkan metode Al-Shabuuni dalam menafsirkan ayat-ayat sifat. (2) Kritik
yang disebabkan metode takhrij hadits. (3) Kritik yang disebabkan
pengambilan sumber yang kurang teliti dan cermat. (4) Kritik yang disebabkan
bersandar pada sumber-sumber yang tidak dianjurkan (dalam perspektif
kritikus).24

24
‘Isam Ahmad ‘Irsan Syahadah, “al-Shabuuni wa Manhajuhu” ... h. 187-198.
C. Contoh Beberapa Penafsiran dari Kirab Shafwa at-Tafassir
1) Ayat Sifat dalam Tafsir Al-Quran

Pada dasarnya Al-Shabuuni menggunakan metode kelompok Salaf (salafiyyul


manhaj) dalam pengertian yang telah diuraikan, dalam mayoritas penafsirannya
tentang ayat-ayat sifat. Hal ini sebagaimana dikonfirmasi oleh sebuah wawancara
yang dilakukan oleh ‘Isam Ahmad ‘Irsan Syahadah kepada penulisnya ketika
melakukan riset seputar karya tafsirnya. Dalam wawancaranya, Al-Shabuuni
mengatakan:

“Saya mengikuti metode salaf dalam penafsiran ayat-ayat sifat, bagaimanapun


saya tidak keluar dari dalil yang ada…” 25

Prinsip kelompok salaf yang ia maksudkan terlihat dari keterangan yang ia


berikan di pendahuluan tafsir surah Al-Ikhlas:

“Sungguh, saya telah bertutur tentang sifat-sifat Allah Yang Maha Mulia dan
Maha Esa, Yang Menghimpun Kesempurnaan Sifat, yang setiap saat menjadi
tujuan, Yang Kaya tidak tertandingi, Yang Suci dari sifat kekurangan, dari
yang serupa dan semisal”.26

Dalam tafsirnya, penulis menggunakan metode salaf terutama ketika menafsirkan


ayat-ayat sifat, sebagai contoh ketika ia menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 158,

١٥٨ ‫…فَا ِ َّن هّٰللا َ َشا ِك ٌر َعلِ ْي ٌم‬

Artinya:

…maka sesungguhnya Allah Maha “Mensyukuri” kebaikan lagi Maha Mengetahui.

Ia mengatakan bahwa syukr yang secara literal bermakna “melakukan pemujian


dan kebaikan karena telah diberikan nikmat dan kebajikan”, tentunya mustahil bagi
Allah, dikarenakan tidak ada seorangpun yang menyebabkan Allah harus bersyukur
kepadanya. Terkait makna kata ini, ia berkata:

“Para ulama mengasosiasikannya (kata syukr) dengan konotasi makna ‘pahala


dan ganjaran’, dengan pengertian bahwa Allah yang memberikan pahala
kepada seseorang dan Allah tidak akan menyia-nyiakan ganjaran bagi orang
yang beramal. Saya mengatakan; yang benar adalah pendapat ulama salaf
yang menetapkan sifat tersebut sebagaimana adanya, yakni syukur
25
‘Isam Ahmad ‘Irsan Syahadah, “al-Shabuuni wa Manhajuhu” ... h. 147.
26
Al-Shabuuni, Shafwat Al-Tafsir, Juz 3,… h. 536.
sebagaimana makna yang layak dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya,
yakni bermakna Allah memuji atas apa yang dilakukan hambanya yang
beriman atas apa yang Allah cintai.” 27

Contoh lain ketika menafsirkan surah Asy-Syura ayat 11

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ٖه َش ْي ٌء ۚ َوهُ َو ال َّس ِم ْي ُع ْالب‬


١١ ‫ص ْي ُر‬ َ ‫…لَي‬

Artinya:
… tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha
Mendengar dan Melihat.

Al-Shabuuni mengatakan bahwa tidak ada bagi Allah yang semisal, baik sifat-
Nya atau perbuatan-Nya. Dia-lah yang satu, satu sebagai sandaran, atau dalam
pengertian penyucian Allah dari permisalan makhluk. Huruf kaf di sini adalah
penguat akan ketiadaan permisalan. Prinsip ini adalah bagian dari hal yang
menunjukkan bahwa Al-Shabuuni menggunakan metode salaf dalam penafsiran
ayat-ayat sifat dan meniadakan permisalan terhadap Allah. Dalam hal ini, ia
bahkan menukilkan perkataan Al-Wasiti bahwa hal ini adalah pendapat dari
“mazhab orang yang benar (ahl al-haqq) dan ahlu as-sunnah wa al-jama’ah”. 28

Contoh berikutnya ketika menafsirkan ayat 4 dari surah Al-Hadid,

ِ ۚ ْ‫ض فِ ْي ِستَّ ِة اَي ٍَّام ثُ َّم ا ْست َٰوى َعلَى ْال َعر‬
… ‫ش‬ َ ْ‫ت َوااْل َر‬ َ َ‫ه َُو الَّ ِذيْ َخل‬
ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬
Artinya:

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘arsy.

Al-Shabuuni mengatakan bahwa istiwa’ dalam ayat ini adalah hal yang layak
bagi Allah, tanpa permisalan atau perumpamaan. Ia mengutip pendapat Imam
Malik tatkala ditanya soal ini, bahwa istiwa’ itu adalah perkara yang diketahui,
sedangkan bagaimana keadaan istiwa’ itu adalah sesuatu yang tidak diketahui,
dan bertanya tentang itu adalah suatu perkara bid’ah.29

2) Penggunaan Metode Ta’wil

27
Al-Shabuuni, Shafwat Al-Tafsir, Juz 1,… h. 66.
28
‘Isam Ahmad ‘Irsan Syahadah, “al-Shabuuni wa Manhajuhu” ... h. 147.
29
Al-Shabuuni, Shafwat Al-Tafsir, Juz 1,… h. 208.
Meskipun Al-Shabuuni pada dasarnya menggunakan metode salaf, hanya saja
ia juga men-ta’wil-kan beberapa ayat sifat, sebagaimana yang dilakukan oleh
Kelompok Khalaf. Masih dalam konfirmasinya dalam wawancara ‘Isam Ahmad
Syahadah, Al-Shabuuni menambahkan bahwa dalam beberapa hal, ia juga
bersepakat dengan sebagian penakwilan ayat yang dilakukan oleh kelompok
Asy’ariyyah. Hal inilah yang menjadi bahan kontroversi para ulama dan
memunculkan sebagian anggapan bahwa ia merupakan pengikut Asy’ariyyah
dalam ayat-ayat sifat. Pemakaian metode kelompok Khalaf ini terlihat ketika ia
menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 26,

… ۗ ‫ضةً فَ َما فَوْ قَهَا‬ ‫هّٰللا‬


َ ْ‫ب َمثَاًل َّما بَعُو‬
َ ‫۞ اِ َّن َ اَل يَ ْستَحْ ٖ ٓي اَ ْن يَّضْ ِر‬

Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak akan segan membuat perumpamaan berupa nyamuk
atau yang lebih rendah dari itu.

Al-Shabuuni mengatakan bahwa al-haya’ (malu) secara literal bermakna


sesuatu yang apabila dikeluarkan dari seseorang maka ia akan ketakutan karena
aibnya. Apa yang dimaksudkan disini dengan malu secara adalah
“meninggalkan”, seperti apa yang diungkapkan oleh Al-Zamakhsyari, yang
menafsirkan ayat tersebut dengan “tidak meninggalkan untuk memberikan contoh
dengan perumpamaan seekor nyamuk”. 30

Contoh lain dari penafsiran Al-Shabuuni yang menggunakan metode ta’wil


adalah penafsiran “kedua tangan” dalam surah Sad ayat 75 dan surah Yasin ayat
71,

َّ ‫ت بِيَ َد‬
…ۗ‫ي‬ َ ‫قَا َل ٰيٓا ِ ْبلِيْسُ َما َمنَ َع‬
ُ ‫ك اَ ْن تَ ْس ُج َد لِ َما خَ لَ ْق‬

Artinya:
Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang
telah Ku-ciptakan dengan “kedua tangan-Ku”. Apakah kamu menyombongkan
diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi.

ْ َ‫اَ َولَ ْم يَ َروْ ا اَنَّا خَ لَ ْقنَا لَهُ ْم ِّم َّما َع ِمل‬


٧١ َ‫ت اَ ْي ِد ْينَٓا اَ ْن َعا ًما فَهُ ْم لَهَا مٰ لِ ُكوْ ن‬

Artinya:
30
Al-Shabuuni, Shafwat Al-Tafsir, Juz 1,… h. 21.
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan
binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan
dengan “tangan Kami sendiri”, lalu mereka menguasainya?

Dalam hal ini Al-Shabuuni men-taw’il-kan kata ‫دي‬b‫ بي‬pada surah Sad
ayat 75 dan kata ‫دينا‬b‫ اي‬pada surah Yasin ayat 71 dengan “dzat” Allah.31 Hal ini
bersesuaian dengan prinsip Kelompok Khalaf yang menakwilkan ayat sifat ke
dalam makna yang layak dan pantas bagi Allah. Dengan demikian, Al-
Shabuuni memperlakukan ayat-ayat sifat pada dasarnya dengan metode salaf,
akan tetapi ia juga terkadang memberlakukan metode takwil kaum khalaf.
Dalam tiga kategorisasi Al-Zarqani, Al-Shabuuni lebih mendekati kepada
kelompok terakhir (al-mutawassitun) yang memberlakukan kedua metode
dalam menafsirkan ayat-ayat sifat sesuai dengan situasi tertentu.

3) Penafsiran tentang Ru’yatullah


Contohnya terdapat dalam surah Al-Qiyamah ayat 23 berikut,

ۙ
ِ ‫ اِ ٰلى َربِّهَا ن‬٢٢ ٌ‫ض َرة‬
٢٣ ۚ ٌ‫َاظ َرة‬ ِ ‫ذ نَّا‬bٍ bِ‫ُوجُوْ هٌ يَّوْ َم ِٕٕى‬

Artinya:

Mereka melihat sang pencipta dan layak bagi mereka untuk berseri-seri ketika
mereka melihat Sang Pencipta.

Dari aspek balaghah susunan kalimat ‫ ٍذ‬bِ‫( ُوجُوْ هٌ يَّوْ َم ِٕٕى‬wajah pada hari itu), menurut
Al-Shabuuni susunan kalimat tersebut merupakan majaz mursal, yang dikatakan
“wajah” namun yang dimaksudkan adalah keseluruhan. Ini termasuk
mengucapkan sebagian namun bermaksud menyebutkan secara keseluruhan.32

ِ ‫ اِ ٰلى َربِّهَا ن‬, ia menafsirkan bahwa, nikmat terbesar


Dalam menafsirkan ayat ٌ‫َاظ َرة‬
bagi penghuni surga adalah melihat Allah Yang Mulia tanpa tabir. Jika dilihat
penafsiran dalam kitab Shafwa at-Tafassir tentang ayat ini, penulis berasumsi
bahwa ketika menafsirkan ayat ini, ia sepaham dengan apa yang menjadi doktrin
teologi ahlusunnah yang mengatakan bahwa diakhirat Tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala. Ini jelas terlihat dalam penafsirannya mengenai ayat ini yang tidak
men-ta’wil kata nazhirah karena menurutnya bahwa nikmat terbesar bagi
31
Al-Shabuuni, Shafwat Al-Tafsir, Juz 3,… h. 126.
32
Al-Shabuuni, Shafwa at-l-Tafassir, Juz 3,… h. 464.
penghuni surga adalah melihat Allah tanpa tabir, sebagaimana ayat ini dan yang
dijelaskan dalam hadits shahih.

Zamakhsyari menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bahwa kata nazhirah


diartikan bukan melihat Tuhan, tetapi at-taqqu’ wa ar-raja’ yang berarti
intazhara ila ni’matillah (menunggu nikmat Tuhan), agar sesuai dengan ideologi
madzhabnya, yang berpemahaman bahwa di akhirat Tuhan tidak bisa dilihat
dengan mata.33

Menurut Asy’ariah kata nazhirah dalam ayat ini tak bisa diartikan dengan
memikirkan, karena akhirat bukanlah tempat berfikir. Juga tak bisa diartikan
menunggu, karena wujuh yaitu muka atau wajah tidak dapat menunggu, yang
menunggu ialah manusia. Oleh karena itu makna kata nazhirah mesti berarti
melihat dengan mata.34

33
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir¸ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 135.
34
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 5, (Jakarta: UI
Press, 1986), h. 140.
HALAMAN GAMBAR

Sampul Kitab Shafwa at-Tafassir


Sampul Aplikasi Kitab Shafwa at-Tafassir

Kitab Shafwa at-Tafassir Terjemahan Bahasa Indonesia


BAB II

PENUTUP

Kesimpulan

Muhammad bin ‘Ali bin Jamal Al-Shabuuni atau yang sering dikenal Muhammad Ali
al-Shabuuni adalah ulama yang lahir di kota Helb (Aleppo), Syiria tahun 1928 M/1347 H dan
bermazhab sunni serta aqidahnya asy’ari.

Kitab Shafwa at-Tafsir: Tafsir Al-Quran al-Karim, Jami’a baina al-Matsur wa al-
Ma’qul, Mstamd min Awtsn Kutib al-Tafsir ditulis oleh Muhammad Ali al-Shabuuni dalam
bahasa Arab terdiri atas 3 (tiga) jilid diterbitkan oleh Dar Al-Quran al-Karim, Beirut namun
ada beberapa terbitan lain.
DAFTAR PUSTAKA

Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).

Rahman al-Rumi, Fahd Abd. Ijtihat al-Tafsir fi Al-Quran al-Rabi’ al-‘Asr. Jil. 2 (Saudi
Arabia: Idarah al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, 1987)

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. 5,


(Jakarta: UI Press, 1986).

Zaini, Hasan dan Nofri Andy. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Lingkar Media, 2015).

‘Irsan Syahadah, ‘Isam Ahmad. “al-Shabuuni wa Manhajuhu fi al-Tafsir min Khilali Kitabihi
Safwat al-Tafasir”. Tesis Magister. (Neblus: Universitas Najah al-Wataniyyah, 2013).

Majalah Al-Haramain Edisi 79. “Profil Syekh Muhammad Ali Al-Shabuuni; Ulama Mufasir
yang Produktif”. (Surabaya: Lazis al-Haromain, 2013).

Al-Shabuuni, Muhammad ‘Ali, Shafwa at-Tafassir, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2001).

Al-Shabuuni, Muhammad ‘Ali, Shafwa At-Tafassir, Juz. I (Beirut: Dar al-Kutub al-
Alamiyyah: 1420 H/ 1999 M).

Iyaziy, Muhammad ‘Ali. Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum. (Teheran: Mu’assasah


al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1415).

Yusuf, Muhammad, dkk. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: Teras, 2006).

Umar, Nasaruddin. Ulumul Qur’an: Mengungkap Makna-makna Tersembunyi Al-Quran.


(Ciputat: al-Ghazali Center, 2010).

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syatrat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-ayat Al-Quran. Cet ke-III. (Tangerang: Lentera Hati, 2015).

Syafeii, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. (Bandung: Pustaka Setia, 2006).

Zulheldi. 6 Langkah Metode Tafsir Maudhu’i. (Depok: Rajawali Pers, 2017).

Anda mungkin juga menyukai