Anda di halaman 1dari 18

Pemikiran Tafsir Muhammad Ali Ash-Shabuni (Rawa’i Al-Bayan fi

Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an)

Dosen Pembimbing: Ahmad Nurul Hadi, S.Ag., MA

Disusun Oleh:

Muhammad Safwan (190303032)

Cut Rauzatul Jannah (190303016)

Nursyahindah Binti Mahmud (190303099)

Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM-BANDA ACEH

2022 M/1444 H
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Allah telah menurunkan al-Quran kepada umat Islam melalui Rasulullah
SAW sebagai petunjuk untuk menjalani kehidupan di dunia dengan baik
dengan tujuan agar sampai ke kehidupan akhirat dengan baik pula dan selamat
dari api neraka.Sebagai petunjuk kehidupan, al-Quran sarat dengan berbagai
muatan yang mencakup semua aspek kehidupan. Al-Quran merupakan
petunjuk yang masih bersifat sangat umum, yang oleh karenanya perlu dirinci dan
diperjelas lebih lanjut.Sejakmasa Rasulullah SAW, usaha untuk memahami al-
Quran telah terjadi di kalangan sahabat yang senantiasa bertanya kepada beliau bila
mendapatkan ayat yang tidak atau kurang mereka pahami. Usaha ini terus berlanjut
hingga sampai pada masa sekarang ini.

Mereka yang berusaha menjelaskan al-Quran dalam bentuk penafsiran-


penafsiran kemudian dikenal sebagai mufassir. Berbagai cara telah dilakukan oleh
para mufassir dalam usaha mereka memahami al-Quran, salah satunya dengan
mengkhususkan diri dalam hal ayat-ayat yangberkaitan dengan hukum
saja.Muhammad Ali al-Shabuni adalah salah seorang ulama mutakhir yang
berusaha memahami dan memahamkan ayat-ayat yang berkaitan dengan
hukum. Dalam usahanya, beliau menyusun sebuah kitab tafsir yang kemudian
diberinya nama Rawa’i` al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Ali Ash-Shabuni


Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Ali Ibn ‘Ali Ibn Jamil ash-Shabuni,
lahir di daerah Halb atau yang lebih dikenal dengan Aleppo di Suriah pada tahun
1928 M yang bertepatan pada tahun 1347 H.1 Namun, ada beberapa sumber lain
yang menyebutkan ash-Shabuni dilahirkan pada tahun 1930 M pada tanggal 1
Januari. Kota Aleppo yang juga disebut dengan Halb merupakan kota terbesar kedua
Suriah, setelah Damaskus, ibu kota Suriah, kota Aleppo menjadi bagian dari Negara
Suriah sejak tahun 1944.

Muhammad ‘Ali ash-Shabuni adalah seorang pemikir kontemporer yang


cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis, khususnya di bidang tafsir Al-
Qur’an (mufassir), dan lebih tepatnya adalah mufassir kekinian atau penafsir
kontemporer. Beliau adalah seorang professor di bidang Syari’ah dan Dirasah
Islamiyah (Islamic Studies) di Universitas King Abdul Aziz Makkah al-
Mukarramah. Al-Shabuni dibesarkan ditengah-tengah keluarga terpelajar. Ayahnya
adalah syeikh Jamil, yang merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Ia
memperoleh pendidikan dasar dan formal mengenai bahasa Arab, ilmu waris, dan
ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan sang Ayah langsung. Sejak usia kanak-kanak,
ia sudah memperlihatkan bakat dan kecerdasannya dalam menyerap berbagai ilmu
agama. Di usianya yang masih belia, al-shabuni telah menghafal Al-Qur’an.2

Sehingga tidak heran bila kemampuannya ini membuat banyak ulama di


tempatnya belajar sangat menyukai kepribadian al-Shabuni. Selain belajar kepada
sang Ayah, ash-Shabuni juga sering mengikuti pengajian ulama lainnya yang
diselenggarakan di berbagai masjid. Di antara gurunya adalah; Syeikh Muhammad
Najib Siraj al-Din, Syeikh Ahmad al-Sama, Syeikh Muhammad Sa’id al-Idlibi,

1
Muhammad Yusud, dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Cet. I: Yogyakarta: Teras, 2006), hlm. 49
2
Sya’roni as-Samfuriy, Biografi Ulama dan Habaib: Biografi Singkat Mufassir Syaikh Ali Ash-Shabuni,
Blog Sya’roni as-Samfuriy. http://biografiulamahabaib.blogspot.com/2012/12/biografi-singkat-mufassir-syaikh-
ali_6083.html (13 Juni 2014)
Syeikh Muhammad Ragib al-Tabbakh dan Syeikh Muhammad Najib Khayyatah. 3
Setelah menamatkan pendidikan dasar, beliau kemudian melanjutkan pendidikan
formalnya di sekolah milik pemerintah, Madrasah Tijariyyah, di madrasah ini ia
hanya mengenyam pendidikan selama satu tahun. Kemudian meneruskan pendidikan
di sekolah khusus syariah, Khasrawiyya, yang berada di Aleppo. Saat sekolah di
Khasrawiyya, beliau tidak hanya mempelajari bidang ilmu-ilmu islam, tetapi juga
bidang ilmu-ilmu umum. Kemudian ia berhasil menyelesaikan pendidikan di
Khasrawiyya dan lulus pada tahun 1949.

Kemudian setelah itu beliau meneruskan belajarnya di Universitas Al-


Azhar Mesir, hingga mendapatkan gelar Lc (sama dengan gelar Sarjana/S1) pada
tahun 1371 H/1952). Setelah selesai mendapatkan gelar tersebut Ali ash-Shabuni
meneruskan belajarnya di universitas yang sama sampai mendapatkan gelar
Magister pada tahun 1954 M, dalam bidang spesialisasi hukum syar’i. beliau
menjadi utusan dari kementrian Wakaf Suria untuk menyelesaikan Al-Dirasah
Al-‘Ulya (sekolah pasca sarjana).4 Setelah selesai dari Mesir, beliau kembali ke
Aleppo untuk mengajar di sekolah-sekolah menengah atas, hal ini dilakukan oleh
ash-Shabuni selama 8 tahun lamanya, mulai dari tahun 1955 sampai pada tahun
1962. Setelah itu, Ash-Shabuni mengajar di Fakultas Syari’ah Umm al-Qura dan
juga Fakultas Ilmu Pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz. Aktivitas
mengajar ini beliau jalani selama 28 tahun, karena prestasi akademik dan
kemampuannya dalam menulis, ash-Shabuni pernah menjabat sebagai ketua fakultas
Syari’ah dan juga dinobatkan sebagai guru besar ilmu tafsir pada Fakultas Ilmu
Pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz.5

Ash-Shabuni tidak hanya mengajar di kedua universitas tersebut, ia juga


memberikan kuliah terbuka bagi masyarakat umum yang bertempat di Masjidil
Haram, kuliah umum serupa mengenai tafsir, kegiatan ini berlangsung selama 8
tahun. Setiap materi yang disampaikannya dalam kuliah umum ini , oleh Syeikh
Ash-Shabuni direkamnya dalam kaset, bahkan tidak sedikit dari hasil rekaman

3
Muhammad Hasyim , dkk., Merubah Pena Menjadi Pedang Peradaban, Majalah Langitan, Jumat 3
Mei 2013. http;//majalah langitan.com/merubah-pedang-menjadi-peradaban/(13 Juni 2014)
4
Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhun wa Manhajuhum, Wizarah al-Syaqafah wa al-Irsyad
al-Islami, t.th., hlm 507-508
5
Putri Saima, Metodologi Penafsiran Surah Al-Fatihah Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni Dalam
Tafsir Rawai’ul Al-Bayan Fi Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-qur’an, Medan: Skripsi, UIN SUMUT, 2019, hlm.28
tersebut yang kemudian ditayangkan dalam program khusus di televisi. Proses
rekaman yang berisi kuliah-kuliah umum Ash-Shabuni ini diselesaikan pada tahun
1998.

Berkat kiprahnya dalam dunia pendidikan Islam, pada tahun 2007 panitia
penyelenggara Dubai International Qur’an Award (DIQA) menetapkan Ash-Shabuni
sebagai Personality of The Muslim World. Beliau dipilih dari beberapa ora g
kandidat yang diseleksi langsung oleh Pangeran Muhammad Ibn Rasyid al-Muktum,
wakil Kepala Pemerintahan Dubai. Penghargaan serupa juga pernah diberikan
kepada sejumlah ulama dunia lainnya, seperti Syeikh Yusuf Qardhawi. Selain sibuk
pada bidang pendidikan, al-Shabuni juga aktif dalam bidang organisasi Liga Muslim
Dunia, saat di Liga Muslim Dunia beliau menjabat sebagai penasehat pada Dewan
Riset Kajian Ilmiah mengenai Al-Qur’an dan Sunnah dalam beberapa tahun. Saat ini
ia juga dipercaya menjadi ketua Persatuan Ulama Suriah.6

B. Karya-Karya Muhammad Ali Ash-Shabuni


Ash-Shabuni merupakan mufassir yang produktif dalam aktivitas
penafsiran Al-Qur’an, ia menjelaskan makna ayat dengan detail kandungannya serta
keindahan dalam tampilan uraiannya. Syeikh Abdul al Qadir Muhammad Salih
dalam Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Asr al-Hadist menyebutnya sebagai akademisi
yang ilmiah dan banyak melahirkan karya-karya bermutu. Diantara karya-karyanya
adalah:7
1. Rawai’ al-Bayan tafsir ayat al-Ahkam min al-Qur’an
2. Al-Tafsir al-Wadih al-Muyassar
3. Al-Qur’an al-karim wa bi Hamisyihi Durrah al-Tafasir
4. Mukhtasar Tafsir Ibn Kasir
5. Al-Mawarisi fi al-Syari’ah al-Islamiyah fi Dau’ al-Kitab wa al-Sunnah
6. Al-Syubuhat wa al-Batil Haula Ta’addud Zaujat al-Rasul
7. Al-Nubuwwah wa al-Anbiya’
8. Al-Fiqh al-Syar’i al-Muyassar fi Dau’ al-kitab wa Sunnah Fiqh al-Mu’amalah
9. Al-Fiqh al-Syar’i al-Muyassar Dau’ al-Kitab wa al-Sunnah Fiqh al-‘Ibadah
6
Hujjatul Islam: Syekh Ali Ash-Shabuni (3-habis), Republika Online. Selasa, 17 Juli 2012, 22.57 WIB,
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/07/17/m7bbix-hujjatul-islam-syekh-ali-ashshabuni-
3habis (Jumat, 15 Sya’ban 1435/13 Juni 2014).
7
Abd. Al-Qadir Muhammad al-Salih, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Asr al-Hadist (Cet. I: Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1424 H/2003 M), hlm 183
10. Hadiyyah al-Afrah li al-‘Arusyain al-Zawaj al-Islami al-Mubakkar : Sa’adah wa
Hasanah
11. Mauqif al-Syari’ah al-Gurrah min Nikah al-Mut’ah
12. Min Kunuz al-Sunnah Dirasah Adabiyyah wa Lugawiyyah min al-Hadist al-
Syarif
13. Al-Sunnah al-Nabawiyyah Qismun min al-Wahy al-IIahi al-Munazzal
14. Mawsu’ah al-Fiqh al-Gurra’ min al-Muyassar
15. Mawqif al-Syari’ah al-Gurra’ min Nikah al-Mut’ah
16. Harakah al-Ard wa Dauranuha Haqiqah ‘Ilmiyyah Asbataha al-Qur’an
17. Risalah fi Hukum al-Taswir
18. Ma’an al-Qur’an al-karim li Abi Ja’far al-Nuhas
19. Al-Mukhtafat min ‘Uyun al-Syi’ir
20. Mukhtasar Tafsir al-Tabari
21. Tanwir Al-Azhan min Tafsir Ruh al-Bayan
22. Al-Syarh al-Muyassar li Shahih al-Bukhari
23. Al-‘Ibda’ al-Bayan
24. Al-Mahd wa Asyrat al-Sa’ah
25. Aqidah Ahl al-Sunnah fin Mizan al-Syar’i
26. Jarimah al-Riba’ Akhtar al-Jaraim al-Diniyyah al-Ijtima’iyyah
27. Qabasun min Nur al-Qur’an
28. Fath al-Rahman bi Kasyf ma Yaltabis fi al-Qur’an
29. Safwah al-Tafsir
30. Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an

C. Sistematika Penulisan Kitab Rawai’ Al-Bayan


Sistematika penyusunan kitab Rawai al-Bayan adalah mengurutkan susunan
tafsir yang dimulai dari surah al-fatihah hingga al-Muzammil, dan hanya
memfokuskan pada ayat-ayat hukum, sehingga tidak semua ayat dalam surah
ditafsirkan, dengan demikian ia tetap menafsirkan sesuai susunan mushaf atau tartib
mushaf, setiap ayat-ayat hukum diberikan judul sesuai tema pembahasan yang
berkaitan dengan ayat-ayat tersebut, kemudian dibahas dengan sistematika berikut
yaitu:
1. Mengurai lafal (al-tahlil al-lafzi) tertentu yang diperkuat dengan berbagai
pendapat mufassir dan pakar-pakar bahasa Arab.
2. Menerangkan pengertian secara umum (al-ma’na al-ijmali) dari ayat-ayat
hukum yang akan di bahas.
3. Menyebutkan sebab nuzul ayat jika ayat-ayat yang bersangkutan memang
memiliki sebab nuzul.
4. Memaparkan segi-segi hubungan (irtibat/munasabah) antara ayat.
5. Membahas perihal penafsiran dari segi al-qiraat al-mutawatirah.
6. Membahas secara ringkas ayat yang sedang di bahas dari segi I’rab
7. Mengupas kedalaman tafsir yang meliputi rahasia-rahasia keindahan bahasa
(balagah) al-Qur’an.
8. Pengungkapan kandungan hukum-hukum syar’i dan pendapat fuqaha (ulama
fiqih) berikut dalil-dalilnya untuk kemudian melakukn tarjih guna untuk
mengambil dalil yang lebih kuat.
9. Mengambil intisari (kesimpulan) yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang
dibahas.
10. Penutup pembahasan yang dilakukan dengan mengetengahkan hikmah
pensyari’atan masalah yang terkandung dalam ayat-ayat hukum yang
disebutkan.8

Sepuluh sistematika merupakan kerangka kerja (framework) yang


digunakan ash-Shabuni dalam kitabnya tafsir Rawai’ al-Bayan (Tafsir Ayat Al-
Ahkam) secara rinci dan menyeluruh, sepuluh langkah tersebut digunakan
sebagai subjudul dalam menerangkan ayat-ayat hukum ini.

D. Corak dan Metode penafsiran tafsir Kitab Rawai’ Al-Bayan


Kitab tafsir karya Ali al-Shabuni ini termasuk kitab tafsir yang
bercorak fiqh yang bersifat netral dan tidak berpihak kepada salah satu
madzhab fiqh yang empat9. Dalam hal ini, beliau menyebut kitabnya sebagai
kitab tafsir yang khusus membahas ayat-ayat hukum dengan referensi kitab-kitab
tafsir klasik dan modern yang dianggap paling kuat. Disajikan dengan gaya
bahasa yang lugas,

8
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur’an, Jilid I hlm 8
9
Al-Sayyid Muhammad Ali Iyazi, h. 471
Metode muhammad Ali Ash-Shabuni ketika menafsirkan ayat dalam
Rawāiu’ al Bayān hanya mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum,
sehingga disusun per materi. Terdapat beberapa langkah yang harus ia lakukan
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, pemaparan yang baru dengan yang
mudah, yakni dengan metodologi penulisan yang cermat dan penuh kehati-hatian,
ayat-ayat dibahas dan ditinjau dari sepuluh segi, seperti yang disebut diatas.

Dalam tafsir ini, Ali al-Shabuni merangkum berbagai pendapat dan


pemikiran para mufassir, baik klasik maupun modern, para fuqaha,
muhaddits, ahli bahasa, ahli ushul, dan para ulama yang menulis tentang al-
Quran al-Karim. Secara jujur, al-Shabuni menyatakan bahwa metode yang
dilakukannya dalam menulis kitab ini adalah dengan meringkas pendapat para
pendahulu dan juga ulama mutakhir, memadukan antara pendapat klasik
dan modern. Dalam hal ini, referensi yang digunakan untuk menulis kitab ini
tidak kurang dari 15 referensi induk dalam bidang tafsir; di tambah lagi dengan
referensi bahasa, hadits, dan lain-lain. setelah menelaah referensi-referensi itu,
barulah al-Shabuni menulis modul perkuliahan ini, dengan senantiasa
merujuk kepada buku-buku referensi di atas dengan segala kecermatan dan
kehati-hatian10.

Tafsir karya al-Shabuni ini merupakan karya yang sangat


memudahkan bagi para pencari ilmu, khususnya dalam bidang tafsir yang
berkaitan dengan fiqh (tafsir ahkam). Dengan penyajian yang begitu sistematis,
gaya bahasa yang sederhana namun padat makna, penggunaan kosa kata yang
mudah, sungguh merupakan kenikmatan tersendiri dalam membacanya tanpa
mengurangi pemahaman yang seharusnya dimengerti oleh seorang
mahasiswa/pencari ilmu.11. Kitab Tafsir tersebut terdiri dari dua jilid besar, dan
disusun berdasarkan tema-tema hukum di setiap pertemuan.

Tafsir Ash-Shabuni ini dapat dikatagorikan sebagai tafsir muqarin atau


tafsir perbandingan, karena di dalam tafsirnya ia mengngkapkan pendapat dari
10
muhammad Ali al-Shabuni, hlm. 12

11
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, Beirut : Muassasah
Manahil al-Irfan, 1980), hlm. 3
para mufasir sebagai sumber perbandingan, kemudian ia menguatkan pendapat
yang paling sahih di antara pendapat-pendapat yang telah ia bandingkan.

E. Pemikiran Kitab Rawai’ Al-Bayan

Karya Tafsir Ash-Shabuni yang ini tampak menjelaskan dalil-dalil guna


meng-Istimbath hukum, atau mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilya.
Sehingga Rawaiu’l Bayan dapat dikatakan sebagai tafsir yang menampilkan
ketetapan-ketetapan hukum dari ayat-ayat hukum, dan dalam menetapkan Ash-
Shubuni mengikuti cara ahli Ushul, yakni menggunakan ijtihad. Ijtihad menurut
Asy-Syaukani dalam Irsyadu’l Fushul adalah “Mengerahkan kekuatan untuk
mendapatkan hukum syar’I yang bersifat praktek dengan metode istimbath”. Al-
Amidi mendefinisikan Ijtihad adalah “Mengerahkan segenap kemampuan dalam
rangka mendapatkan dugaan atas sesuatu dari hukum-hukum syariyah pada satu
pendapat, dimana jiwa telah merasa cukup atas hal itu”. Disebutkan pula dalam
Ensiklopedia Fikih Kuwait (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah) bahwa
kata ijtihad menurut ahli Ushul Fiqihialah mengerahkan segenap kekuatan yang
dilakukan oleh seorang ahli fikih untuk menghasilkan hukum Syari yang bersifat
Zhanni.
Dengan demikian ijtihad tidak dapat dilakukan manakala kasus yang hendak
ditetapkan hukumnya telah ada dalil yang sarih serta qat’I (pasti). Hal ini karena
wilayah ijtihad hanya berkisar di seputar hukum yang dalil-dalinya bersifat
Zhanni. Sedangkan hukum yang dalilnya qat’i, maka tidak ada ijtihad.karena
memang tidak dibutuhkan untuk itu. Orang yang berijtihad dinamakan Mujtahid,
namun demikian tidaklah semua mujtahid berada di posisi yang sama. Hal ini
karena setiap mujtahid memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Urutannya
ialah, mujtahid muthlaq mustaqil, mujtahid mutlak ghairu mustaqil, mujtahid
muqayyad, mujtahid tarjih, mujtahid fatwa lalu tingkatan para muqallid.
Di bawah ini beberapa penjelasan mengenai urutan-urutan mujtahid diatas. 12

a. Mujtahid Mutlak Mustaqil

12
Muhammad Ali As Shabuni, “Rawāiu’l Bayān Tafsīru Āyāti’l Ahkām mina’l Qurān” (Syiria
Damaskus,: Maktabah Al-Ghazali, 1980) vol. I, hlm. 11
Mujtahid mutlak atau Mujtahid Mutlak Mustaqil adalah seseorang yang memiliki
kemampuan untuk membuat kaidah dalam membuat kesimpulan-kesimpulan
hukum fikih. Atau ketika berfatwa terhadap suatu masalah mereka menggunakan
kaidah-kaidah yang diciptakan sendiri sebagai hasil dari pemahaman mereka
yang dalam terhadap Al-Quran dan Sunnah. Misal dari mujtahid ini adalah Imam
Abu Hanifah (80-150 H), Imam Malik bin Anas (93-179 H), Imam Muhammad
bin Idris Asy-Syafi’I (150-204 H) dan Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
b. Mujtahid Mutlak Ghairu Mustaqil
Mereka adalah seorang ulama yang memenuhi kriteria Mujtahid Mutlak
Mustaqil, hanya saja ia belum dapat membuat kaidah-kaidah sendiri dalam
menyimpulkan masalah-masalah fikih. Meeka masih menggunakan kaidah-
kaidah yang dipakai oleh para imam madzhab masing-masing dalam ijtihadnya.
Diantara mereka yang berada pada level ini adalah para murid Imam Madzhab,
yaitu, Abu Yusuf, Muhammad, Zufar bermazhab Hanif, Ibnu Qasim, dan Asad
Ibnu Furat bermazhab Maliki, Al- Buwaithi dan Al-Muzani bermazhab Syafi’i,
dan Abu Bakar Al-Astram bermazhab Hambali. Menurut Ibnu Abidin mereka
mampu menyimpulka hukum fikih berdasarkan dalil-dalil yang merujuk pada
kaidah yang digunakan oleh guru-guru mereka.

c. Mujtahid Muqayyad
Mereka adalah ulama yang berijtihad daam masalh-masalah yang tidak terdapat
keterangannya dalam kitab-kitab madzhab, seperti Al-Hashafi, Al-Thahawi, Ibnu
Abu Zaid, Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la dan Abi Musa. Mereka juga dinami imam
wujuh, karena mereka dapt menyimpulkan suatu hukum yang tidak ada
keterangannya dalam kitab mazhab mereka. Dinamakan wajhan dalam mazhab
maksudnya adalah satu versi dalam mazhab atau satu pendapat dalam mazhab.

d. Mujtahid Tarjih
Mereka adalah ulama yang mampu menguatakan (Mentarjih) salah satu pendapat
daru satu imam mazhab dari pendapat-pendapat mazhab imam lain. Atau dapat
menguatkan pendapat salah satu imam mazhab dari pendapat para muridnya atau
pendapat imam lainnya. Yang termasuk di antara mereka seperti Al-Murghainain
(pengarang kitab Al-Hidayah) bermadzhab Hanafi, Imam Kholil bermazhab
Maliki, Imam Rafi’I dan Imam Nawawi bermazhab Syafi’i, Abu Khottob Mahfuz
bin Ahmad al-Kalwadzani bermazhab Hambali.

e. Mujtahid Fatwa
Mereka adalah ulama yang senantiasa mengikuti salah satu mazhab, mengambil
dan memahami masalah-masalah yang sulit ataupun yang mudah, dapat
membedakan mana pendapat yang kuat dari yang lemah, mana pendapat yang
rajih dan marjuh. Namun demikian, kekurangan mereka ialah lemah dalam
menetapkan dalil-dalil.

f. Muqallid
Mereka adalah siapa saja yang tidak mampu melakukan hal-hal di atas, seperti
membedakan mana yang kuat dan yang lemah, namun demikian ia masih
mengikuti pendapat- pendapat ulama yang ada.
Ash-Shabuni dalam karyanya Rawāi’ul Bayāndapat dimasukkan dalam
katagori Mujtahid Tarjih, yakni ulama yang mampu menguatakan (Mentarjih)
salah satu pendapat daru satu imam mazhab dari pendapat-pendapat mazhab
imam lain. Atau dapat menguatkan pendapat salah satu imam mazhab dari
pendapat para muridnya atau pendapat imam lainnya. Hal itu lantaran ia dalam
mengemukakan permasalahan-permasalahan hukum selalu menyebutkan
beberbagai pendapat yang berbeda disertai dengan dalil-dalil dan alasannya. Lalu
kemudian, ia mengakhiri pembahasannya dengan tarjih (penguatan pendapat)
antara yang lebih sahih ketimbang yang sahih, atau antara yang sahih dan tidak
sahih.
Di saat yang sama, kaya Ash-Shabuni ini, juga tidak terikat pada salah
satu mazhab tetentu. Misalnya pembahasan mengenai sihir, menurutnya,
pendapat jumhur ulama lebih kuat ketimbang pendapat Mu’tazilah. Dalam hal
wajib tidaknya qadha puasa sunah yang rusak, ia lebih memilih pendapat
Hanafiyah ketimbang Syafi’iyah, sementara mengenai “Kesucian debu” ia
menguatkan pendapat Syafi’iyah ketimbang Hanafiyah.13

F. Contoh Penafsiran Kitab Rawai’ Al-Bayan


13
Muhammad Ali As Shabuni, “Rawāiu’l Bayān Tafsīru Āyāti’l Ahkām mina’l Qurān” , Ibid.
hlm. 23
Adapun contoh penafsiran Ali Al-Shobuni tentang ayat riba yang termuat
dalam Q.S Al-Baqarah Ayat 275 -280:

‫َأنَّ ُه ْم‬Cِ‫ َك ب‬Cِ‫س ۚ ٰ َذل‬ َّ ُ‫ه‬Cُ‫و ُم الَّ ِذي يَت ََخبَّط‬CCُ‫ونَ ِإاَّل َكمَا يَق‬CC‫الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ ال ِّربَا اَل يَقُو ُم‬
ِّ ‫ ْيطَانُ ِمنَ ا ْل َم‬C‫الش‬
‫الربَا ۚ فَ َمنْ جَ ا َءهُ َم ْو ِعظَةٌ ِمنْ َربِّ ِه فَا ْنتَ َه ٰى‬ ِّ ‫قَالُوا ِإنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّربَا ۗ َوَأ َح َّل هَّللا ُ ا ْلبَ ْي َع َوحَ َّر َم‬
‫ق‬ُ ‫﴾ يَ ْم َح‬٢٧٥ ﴿  َ‫اب النَّا ِر ۖ ُه ْم فِي َها َخالِدُون‬ ُ ‫ص َح‬ ْ ‫سلَفَ َوَأ ْم ُرهُ ِإلَى هَّللا ِ ۖ َو َمنْ عَا َد فَُأو ٰلَِئ َك َأ‬ َ ‫فَلَهُ َما‬
‫وا‬CCُ‫وا َو َع ِمل‬CCُ‫﴾ ِإنَّ الَّ ِذينَ آ َمن‬٢٧٦ ﴿ ‫يم‬ ٍ ِ‫ َّل َكفَّا ٍر َأث‬CC‫ت ۗ َوهَّللا ُ اَل يُ ِح ُّب ُك‬ ِ ‫ َدقَا‬CC‫الص‬َّ ‫ربِي‬CC ْ ُ‫الربَا َوي‬ ِّ ُ ‫هَّللا‬
‫ َد َربِّ ِه ْم َواَل خَ ْوفٌ َعلَ ْي ِه ْم َواَل ُه ْم‬C ‫ ُر ُه ْم ِع ْن‬C‫اَل ةَ َوآتَ ُوا ال َّزكَاةَ لَ ُه ْم َأ ْج‬C ‫الص‬
َّ ‫ت َوَأقَا ُموا‬
ِ ‫الِ َحا‬C ‫الص‬
َّ
‫ هَّللا َ َو َذ ُروا مَا بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا ِإنْ ُك ْنتُ ْم‬C‫وا‬CCCCُ‫وا اتَّق‬CCCCُ‫﴾ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬٢٧٧ ﴿  َ‫ون‬CCCCُ‫يَ ْح َزن‬
ُ ‫ولِ ِه ۖ وَِإنْ تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء‬CC‫س‬
‫وس‬ ٍ ‫وا فَْأ َذنُوا بِحَ ْر‬CC ُ‫﴾ فَِإنْ لَ ْم تَ ْف َعل‬٢٧٨ ﴿  َ‫ْؤ ِمنِين‬CC ‫ُم‬
ُ ‫ب ِمنَ هَّللا ِ َو َر‬
ْ‫ َر ٍة ۚ َوَأن‬CC‫س‬ ْ ‫﴾ وَِإنْ كَانَ ُذو ع‬٢٧٩ ﴿  َ‫ون‬CC‫ونَ َواَل تُ ْظلَ ُم‬CC‫ َوالِ ُك ْم اَل تَ ْظلِ ُم‬CC‫َأ ْم‬
َ ‫ َرةٌ ِإلَ ٰى َم ْي‬CC‫ َر ٍة فَنَ ِظ‬CC‫ُس‬
﴾٢٨٠ ﴿ ‫ون‬ َ ‫ص َّدقُوا َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ۖ ِإنْ ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُم‬
َ َ‫ت‬

Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan


seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orangorang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghunipenghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(275) Allah
swt memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai
Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (276).

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (278) Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya. (279) Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran,
Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (280) Menurut
Muhammad Ali ash Shabuni maksud dari kata ya’kuluna pada surah Al-Baqarah
ayat 275 tersebut ialah mengambil dan membelanjakannya. Disini diungkapkan
dengan kata (makan), karena makan adalah tujuan utama.

Kata makan ini sering pula dipakai dengan arti mempergunakan harta
orang lain dengan cara yang tidak benar dan selainnya hanya mengikuti
Dipersamakannya pemakan-pemakan riba dengan orangorang yang kesurupan,
adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu: Allah swt memasukkan riba
kedalam perut mereka itu, lalu barang itu memberatkan mereka. Hingga mereka itu
sempoyongan bangun dan jatuh. Hal itu akan menjadi tanda mereka nanti di hari
kiamat sehingga semua orang akan mengenalnya. Perkataan innamal bai‟u mitslu
riba(sesungguhnya jual beli sama dengan riba) itu disebut tasybih maqlub
(persamaan terbalik. Sebab musyabah bih-nya memiliki nilai lebih tinggi. Sedang
yang dimaksud disini ialah: riba itu sama dengan jual beli. Sama sama halalnya.
Tetapi mereka berlebihan dalam kenyakinannya, Bahwa riba itu dijadikan sebagai
pokok dan hukumnya halal, sehingga dipersamakan dengan jual beli. Disinilah
letak kehalusannya. 14

Dalam ayat tersebut yang menjadi menjadi titik tinjauan ialah kata
Yamhakullah al-Ribaawa yurbhi Sadaqaah (Allah swt memusnahkan riba dan
menumbuhkan sedekah), ialah bahwa periba mencari keuntungan harta dengan
cara riba, dan pembangkang sedekah mencari keuntungan harta dengan jalan tidak
mengeluarkan sedekah. Untuk itulah, maka Allah swt. Menjelaskan bahwa riba
menyebabkan kurangnya harta dan penyebab tidak berkembangnya harta itu.
Sedang sedekah adalah penyebab tumbuhnya harta dan bukan penyebab
berkurangnya harta. Keduanya itu ditinjau dari akibatnya di dunia dan akhirat
kelak.15

Menurut Muhammad Ali ash Shabuni, kata “perang” (harbun) dengan bentuk
nakirah adalah untuk menunjukan besarnya persoalan ini, lebih-lebih dengan
dinisbatkannya kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Seolah-seolah Allah swt
mengatakan: percayalah akan ada suatu peperangan dahsyat dari Allah swt dan
Rasul-Nya yang tidak dapat dikalahkan. Ini memberi isyarat, bahwa akibat yang
14
Ash Shabuni, Rawai‟ul al Bayan fii Tafsir ayatil ahkam , hlm. 78.
15
Ash Shabuni, Rawai‟ul al Bayan fii Tafsir ayatil ahkam , hlm. 79.
paling buruk akan dialami oleh orang-orang yang biasa makan harta riba. Dalam
kitab tafsir Jalalain karya Al-Imamaini yakni Syeh Jalaluddin Muhammad bin
Ahmad Al Mahallii dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin Abu Kar As Syuyuti,
menafsiri bahwa Lafadz “‫“وما أتيتم من ربا‬yakni umpamanya sesuatu yang diberikan
atau dihadiahkan kepada orang lain supaya dari apa yang telah diberikan orang lain
memberikan kepadanya basalan yang lebih banyak dari apa yang telah ia berikan,
pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksudkan dalam
masalah muamalah. Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli tafsir menjelaskan
‫ أيهالذين أمنوا يا‬bahwa lafadz ini yang dimaksud adalah kaum Sakif atau golongan
manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz ‫عافا‬cc‫ا أض‬cc‫ل الرب‬cc‫ ال تأك‬ini yang dimaksud
adalah di dalam harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguat
yaitu ‫ مضاعفة‬ini maksudnya adalah ‫ الَجم‬misi atau tujuan, kemudian dilanjutkan lagi
dengan kata ‫ واتقوا هللا‬takutlah kamu semua orang yang beriman kepada Allah di
dalam memakan sesuatu yang mengandung riba. ‫ون‬cc‫ لعلكم تفلح‬ini dengan maksud
supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka siksaan Allah swt.16

Adapun Makna Ayat Secara Global menurut Muhammad Ali ash Shabuni
bahwa Allah Swt. memberi kabar kepada orangorang yang melakukan praktek
riba, yang menghisap darah orang lain, bahwa mereka tidak akan bangkit dari
kuburnya, melainkan dalam keadaan seperti orang yang terkena penyakit epilepsy
ketika kambuh penyakitnya dan kemasukan syaitan. Mereka tergelincir dan lalu
jatuh dan tidak bisa berjalan tegak karena kesurupan syaitan. Semuanya itu terjadi
akibat ulah mereka yang menghalalkan riba, padahal Allah swt. telah
mengharamkannya. Mereka mengatakan, bahwa riba itu sma dengan jual beli,
karena itu mengapa diharamkan, Alllah swt., lalu menjawab dengan tegas kepada
mereka, tentang penyerupaan yang tidak sehat itu, yaitu bahwa jual beli adalah
tukar menukar manfaat yang dihalalkan oleh Allah swt., sedangkan riba adalah
tambahan biaya dari hasil jerih payah orang yang berhutang atau dari dagingnya
yang telah diharamkan-Nya.17

Haramnya riba adalah baik yang di ambil sedikit maupun banyak, baik yang
mengambil keuntungan riba secara berlipat ganda maupun yang tidak berlipat

16
Ibn Thohir bin Ya‟kub Al-Fauruzi zadi, Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas
terjemahan,( Dar Al-Fikr, tth), hlm. 56
17
al-Shobuni. Rawai‟ul al-Bayan fi Tafsir Ayat al- Ahkam min Alquran,hlm. 152
ganda. Seperti pengharaman khomar, bahwa khomar sedikit maupun banyak
adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar yang merupakan salah
satu budaya dari masyarakat Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya
masyarakat Arab yang sangat kuat. Oleh karena itu Allah swt dalam pengharaman
riba menurunkan ayatnya secara bertahap sebagaimana pengharaman khomar yang
juga bertahap Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, riba yang di syariatkan dalam
hukum Islam itu ada dua macam: Riba Nasiah dan Riba Fahdl. Riba Nasi;‟ah ialah
riba yang sudah ma‟ruf di kalangan jahiliyah, yaitu: seseorang menghutang uang
dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, misalnya sebulan
atau setahun, dengan syarat berbunga sebagai imbalan limit waktu yang diberikan
itu.18

Riba semacam inilah yang kini berlaku di bank-bank, dimana mereka


mengambil keuntungan tertentu, misalnya 5 atau 10%, lalu uang itu diserahkan
kepada syarikat-syarikat atau beberapa orang. Dan riba fadhl ialah riba yang
dijelaskan oleh sunnah misalnya seseorang menukarkan barangnya yang sejenis
dengan suatu tambahan. Misalnya: gandum 1 kg ditukar dengan 2 kg gandum. Satu
rithl madu syam ditukar dengan 1 1/2 rithl madu hijaz. Begitulah berlaku dalam
semua yang ditakar maupun yang ditimbang. Sebagian orang-orang muslim yang
lemah imannya mengatakan, bahwasannya riba yang diharamkan hanyalah riba
yang keji, riba yang bunganya tinggi dan bermaksud menjerat leher orang lain.
Sedangkan “riba yang sedikit” yang tidak melebihi 2 atau 3 85 persen tidaklah
diharamkan. Dalam menguatkan pendapatnya yang sesat ini, mereka
mengemukakan dalil berupa firman Allah swt, yang artinya:” Janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda”. Berdasarkan firman Allah swt. ini mereka
beranggapan, bahwa larangan memakan riba ini adalah datang dengan syarat dan
qayid (batasan), yakni adanya riba itu berlipat ganda. Apabila ternyata tidak
demikian, dan prosentasi bunganya sedikit, maka tidaklah diharamkan.19

G. Kelebihan Dan Kekurangan Penafsiran Kitab Rawai’ Al-Bayan


1. Kelebihan

18
Misaeropa, Penafsiran Ayat-Ayat Riba Menurut Muhammad Ali AShobuny Analisis Tafsir
Rawaiul Bayan fi Tafsi>r Ayat Ahka min Al-Qur’an. hlm.85
19
Misaeropa, Penafsiran Ayat-Ayat Riba Menurut Muhammad Ali AShobuny Analisis Tafsir
Rawaiul Bayan fi Tafsi>r Ayat Ahka min Al-Qur’an .hlm.85
 Sistematika penulisannya yang komprehensif dengan menggunakan
Bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami.

 Ayat-ayat yang ditafsirkan sesuai temanya memiliki beberapa aspek


pembahasan sekaligus, di antaranya aspek bahasa, di mana al-Sabuni
berusaha menjelaskan makna kosa kata, dan segi-segi yang penting.

 Penafsiran-penafsirannya jauh dari hal-hal yang dapat merusak


kemurnian sebuah penafsiran, seperti riwayat-riwayat israliliyyat20.

2. Kekurangan

 Secara umum dari perkataan al-Sabuni, dapat tergambar bahwa belum


ada perubahan mendasar dan representatif, karena belum terlihat jelas
titik-titik perbedaan yang signifikan dan fundamental dengan pendapat
mayoritas dari kalangan ulama

 Tidak menyebutkan rawi dan sanad riwayat secara keseluruhan, padahal


penyebutan sanad cukup penting karena jalan untuk mengetahui kualitas
sebuah riwayat adalah dengan melihat perawinya, dan menghilangkan
sanad menjadi salah satu penyebab kelemahan.21

BAB III

KESIMPULAN

20
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, Beirut : Muassasah
Manahil al-Irfan, 1980), hlm. 3

21
Al-Sayyid Muhammad Ali Iyazi, hlm. 471
Muhammad ‘Ali Ibn ‘Ali Ibn Jamil ash-Shabuni, lahir di daerah Halb
atau yang lebih dikenal dengan Aleppo di Suriah pada tahun 1928 M yang
bertepatan pada tahun 1347 H. Muhammad ‘Ali ash-Shabuni adalah seorang
pemikir kontemporer yang cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis,
khususnya di bidang tafsir Al-Qur’an (mufassir), dan lebih tepatnya adalah
mufassir kekinian atau penafsir kontemporer. Kitab tafsir karya Ali al-Shabuni
ini termasuk kitab tafsir yang bercorak fiqh, dalam hal ini, beliau menyebut
kitabnya sebagai kitab tafsir yang khusus membahas ayat-ayat hukum dengan
referensi kitab-kitab tafsir klasik dan modern yang dianggap paling kuat dan
disajikan dengan gaya bahasa yang lugas.
Dalam tafsir ini, Ali al-Shabuni merangkum berbagai pendapat
dan pemikiran para mufassir, baik klasik maupun modern, para fuqaha,
muhaddits, ahli bahasa, ahli ushul, dan para ulama yang menulis tentang al-
Quran al-Karim. Tafsir karya al-Shabuni ini merupakan karya yang sangat
memudahkan bagi para pencari ilmu, khususnya dalam bidang tafsir yang
berkaitan dengan fiqh (tafsir ahkam).

DAFTAR PUSTAKA

Muassasat al-Thiba’ah wa al-Nasyr Wizarat al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islami.

Cetakan I, 1414 H,

Qurthubi, Muhammad ibn Ahmad al-Anshari, al-, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Beirut:

Dar al-Fikr, 1994

Shabuni, Muhammad Ali al-, Rawa’i Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, Beirut :

Muassasah Manahil al-Irfan, 1980)


Biografi-syaikh-muhammad-ali-ash-shabuni”http://www.fimadani.com.diunduh pada

15November 2020pukul10:10WIB

Abd. Al-Qadir Muhammad al-Salih, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Asr al-Hadist (Cet.

I: Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1424 H/2003

Putri Saima, Metodologi Penafsiran Surah Al-Fatihah Menurut Muhammad Ali Ash-

Shabuni Dalam Tafsir Rawai’ul Al-Bayan Fi Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-qur’an,

Medan: Skripsi, UIN SUMUT, 2019

Muhammad Yusud, dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Cet. I: Yogyakarta: Teras,

2006)

Muhammad Ali As Shabuni, Rawāiu’l Bayān Tafsīru Āyāti’l Ahkām mina’l Qurān

Ibid. vol I

Al-Fauruzi zadi, bin Ya‟kub Ibn Thohir, Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas

terjemahan. Dar Al-Fikr, tth.

Misaeropa, Penafsiran Ayat-Ayat Riba Menurut Muhammad Ali A-


Shobuny Analisis Tafsir Rawaiul Bayan fi Tafsi>r Ayat Ahka min Al-Qur’an

Anda mungkin juga menyukai