Anda di halaman 1dari 26

BAB III

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Setting Penelitian

1. Biografi Wahbah az-Zuhaili

Wahbah Az-Zuhaili adalah salah satu ulama fikih Suriah yang terkenal

di abad 20. Dr Wahbah Az-Zuhaili lahir di sebuah desa bernama Dair

'Athiyah, salah satu desa di Damaskus pada 6 Maret 1932 M. atau bertepatan

dengan tahun 1351 Hijriah, beliau dilahirkan dari seorang ibu shalihah

bernama Fatima binti Musthafa Sa'dah. Sedangkan ayah beliau bernama H.

Musthafa Az-Zuhaili, seorang yang terkenal dengan ketakwaannya, hafal al-

Qur'an, seorang manusia biasa, bukan seorang ilmuwan, ulama atau

cendekiawan melainkan seorang petani.1

Pada tahun 2014, ia masuk dalam daftar 500 tokoh Muslim

berpengaruh di dunia. Tokoh yang berpengaruh luar biasa banyak melakukan

sesuatu yang luar biasa dalam hidup mereka. Menurut kesaksian murid-

muridnya, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menghabiskan waktu sekitar 15 jam

sehari untuk menulis dan membaca. Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili wafat pada

malam Sabtu , 8 Agustus 2014, dalam usia 83 tahun. Berita wafatnya Dr. Al-

Sheikh Wahbah Az-Zuhaili membuat duka umat Islam. Semoga Tuhan

menerima semua kontribusi dan amalnya untuk agama ini.

1
Dr. Badi’ Sayyid Lahham, Wahbah Az Zuhaili (Damaskus: Dar al-Qolam, 2001), 11.

59
60

2. Keilmuan Wahbah az-Zuhaili

Sebagai seorang ayah yang taat pada perintah agama, Musthafa Az-

Zuhaili (ayah dari Wahbah Az-Zuhaili) selalu mendorong anaknya untuk

menuntut ilmu meski beliau hanya seorang petani. Wahbah Az-Zuhaili mulai

belajar Al-Qur'an dan sekolah Madrasah Ibtidaiyah di desanya sejak usia

muda. Dan sekolah Madrasah Tsanawiyah di Damaskus ketika masih remaja

pada tahun 1946 M. Ia sangat gemar belajar, terbukti ia melanjutkan

pendidikannya di Kulliyyah Syar'iyyah Damaskus, tamat pada tahun 1952 M.

Ia kemudian melanjutkan studinya lagi di Kairo. Ia mengikuti beberapa

perkuliahan sekaligus, yakni Fakultas Syariah dan Bahasa Arab Universitas

Al-Azhar dan Fakultas Hukum Universitas 'Ain Syam.2

Beliau memperoleh gelar Sarjana Syari'ah dan Takhassus Pengajaran

Bahasa Arab dari Al-Azhar pada tahun 1956 M. Ia kemudian memperoleh

gelar Licence (Lc) dari Universitas Ain Syam 1957 M, Magister Syariah dari

Universitas Kairo pada tahun 1959 dan menerima gelar Doktor pada tahun

1963. Catatan penting adalah bahwa Wahbah Az-Zuhaili selalu menduduki

peringkat teratas di semua tingkat pendidikannya. rahasia kesuksesannya

adalah serius dan sungguh-sungguh menekuni pelajaran dan menjauh dari apa

pun yang menghambat belajar. Motto hidup beliau adalah :

‫الصلَ ِة ِِبهللِ َعَّز َو َج َّل‬


ِ ِ
ِّ ‫اح ِِف ا حْلَيَاة إِ حح َسا ُن‬
ِ ‫َّج‬ َّ ‫إِ َّن‬
َ ‫سر الن‬
Artinya: “Sungguh rahasia sukses dalam hidup adalah memperbaiki hubungan
dengan Allah ‘Azza wa Jalla.”

2
Dr. Badi’ Sayyid Lahham, Wahbah Az Zuhaili (Damaskus: Dar al-Qolam, 2001), 16.
61

Dalam lima tahun ia memperoleh tiga ijazah, yang kemudian diteruskan

ke studi pascasarjana di Universitas Kairo, yang ia selesaikan selama dua

tahun dan menyelesaikan gelar M.A. dengan tesis 'al-Zira'i fi al-Siyasah al-

Syar'iyyah wa al - Fiqh al-Islam", dan ia tidak puas dengan pendidikannya,

lalu meneruskan studi doktoral, yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan

disertasi " Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami" dibimbing oleh Dr. Muhammad

Salam Madkur.

Pada tahun 1963 ia diangkat sebagai dosen di Fakultas Syariah di

Universitas Damaskus dan kemudian menjadi Wakil Dekan universitas

tersebut. Pada tahun 1967-1970 M. diangkat menjadi Dekan dan Ketua

Jurusan Fiqh Islam wa Madzaibu di fakultas yang sama. Setiap hari ia

mengabdikan diri pada dunia ilmu fikih dalam waktu 16 jam dan selama

lebih dari tujuh tahun, sehingga dikenal sebagai ahli di bidang fiqh dan ushul

fiqh.3 Masih banyak profesi lain dalam hukum Syariah, antara lain:

a. Kepala pengawas studi syari’ah lembaga perbankan Islam dan salah satu

anggota majelis Syari’ah Bank Islam.

b. Anggota lembaga fiqh di berbagai negara seperti Mekkah, Jeddah,

Sudan, Hindia dan Amerika

c. Kepala bidang Syariah dan Hukum Islam di Universitas Uni Emirat

Arab selama empat tahun

3
Dr. Badi’ Sayyid Lahham, Wahbah Az Zuhaili (Damaskus: Dar al-Qolam, 2001), 28.
62

d. Anggota lembaga negara, salah satu Lembaga Ahlul Bait bidang Studi

Peradaban Islam Yordania

e. Pembimbing untuk mahasiswa Magister dan PhD di Universitas

Damaskus dan Universitas Imam al-Auza'i di Lebanon

f. Pembimbing dan penguji lebih dari tujuh puluh tesis dan disertasi di

berbagai kota, seperti Beirut, Damaskus, dan Khurtum.

g. Pemrakarsa Fakultas Syari'ah Ialamiyah Universitas Damaskus dan

Program Studi Syari'ah Wal Qanun Universitas UEA.

h. Tahun 1988 M, sebagai kontributor majalah Syari'ah dan Studi Islam

Universitas Kuwait,

i. Dan pada tahun 1999 Masehi dia juga terlibat dalam pengembangan

metode atau perencanaan institusi Syariah di Suriah,

Dan masih banyak tugas, profesi dan kontribusi lainnya bagi umat,

agama dan negara.

3. Karya-karya Wahbah Az-Zuhaili

Syekh Wahbah Zuhaili banyak menulis buku dan artikel tentang

berbagai ilmu keislaman. Ada lebih dari 133 buku karya beliau dan risalah

kecil lebih dari 500 artikel. Seolah-olah beliau adalah as-Suyuti ats-Tsani

pada periode ini, dengan mengambil sampel dari Imam Syafi'iyyah, yaitu

Imam as-Suyuti. Di antara buku-bukunya, sudah dicetak dan didistribusikan

ke seluruh dunia, terutama di negara-negara Muslim, khususnya di

Indonesia, diantaranya:
63

a. Tafsir Al Munir

Wahbah Az-Zuhaili pernah mengatakan bahwa Tafsir al-Munir

bukan sekedar kutipan dan kesimpulan dari beberapa tafsir. Inilah tafsir

yang ditulisnya berdasarkan kriteria yang lebih shahih, bermanfaat dan

lebih dekat dengan ruh (esensi) Al-Qur'an baik tafsir klasik maupun

modern dan tafsir bi al-Matsuri atau bi al-Ra'y . Beliau mencoba untuk

menghindari perbedaan teoretis atau pandangan teologis yang tidak

perlu dan tidak berfaidah.4

Sumber tafsir berupa perpaduan antara model tafsir bi al ma'tsur

dan bi al ra'yi, gaya dan cara berpikir, pokok bahasannya modern,

redaksinya sederhana, ungkapannya jelas, pendekatan makna dan

keyakinannya untuk generasi modern, disertai dengan teori-teori ilmiah

yang konsisten dan benar.

Tujuan Wahbah Az-Zuhail adalah menggabungkan orisinil dan

otentik masa lalu dengan keindahan masa kini, yang menarik, seperti

kata pengantar kitabnya. Ia pun berupaya menanggapi kritik dari banyak

pihak yang mengatakan bahwa tafsir klasik tidak bisa memberikan

solusi atas persoalan modern, sedangkan mufassir kontemporer kerap

memutarbalikkan tafsir Al-Qur'an dengan kedok reformasi atau

pembaharuan.

Mengenai tata cara penafsiran, di awal setiap surat, mufassir

menjelaskan tentang ciri-ciri, keutamaan dan ruang lingkup surat,

4
Wahbah Az-Zuhaili, At Tafsir Al Munir (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), 12.
64

tempat-tempat yang dideskripsikan oleh surat tersebut, dan menjelaskan

surat secara umum. Ia memberikan ayat-ayat serasi yang membentuk

satu tema, kemudian mengubah kesatuan tema itu menjadi sebuah tafsir

yang memiliki tiga aspek sekaligus:

1) Secara linguistik, ia mencoba menjelaskan mufradata (kosa kata) al-

Qur'an dan aspek-aspek yang sangat penting seperti Balaghah dan

I'rab, yang juga mencakup ilmu-ilmu Al-Nahw dan Al-Sharaf.

2) Dalam penjelasan dan interpretasi. Dalam hal ini, beliau

memberikan gambaran yang komprehensif tentang ayat-ayat al-

Qur'an yang menunjukkan makna al-Qur'an dan hadis-hadis shahih.

3) Untuk memahami kehidupan dan hukum. Dalam hal ini beliau

menunjuk pada ayat-ayat yang menyampaikan sesuatu tentang

persoalan hidup yang perlu diusahakan dan dilaksanakan.

Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, bersamaan dengan

tanggal 13 Zulqa'dah 1408 H / 27 Juni 1988 M. Dan saat itu beliau

berusia 56 tahun. Beliau mengarang mulai tahun 1962 dengan penuh

dengan kesulitan, terutama karena harus meninggalkan keluarganya

selama beberapa tahun.

b. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu.

Pembahasan kitab ini menekankan pada metode perbandingan

pendapat empat imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, Hanbali) dan

tidak terfokus pada mazhab tertentu. Wahbah Az-Zuhaili mencoba

merujuk langsung ke rujukan utama masing-masing madzhab. Kitab ini


65

juga mentakhrij dan mentahqiq hadits yang dijadikan sebagai dalil

argumen suatu hukum.5

Dari segi pembahasan hukum, kitab ini membahas perbedaan

hukum yang terdapat pada setiap masalah fiqhiyyah dan

membandingkan masalah satu madzhab dengan madzhab lainnya.

Kemudian disebutkan pendapat yang rajih, apalagi jika di antara

pendapat-pendapat itu ada yang didasarkan pada hadits dhai'if atau jika

suatu pendapat lebih berpotensi mendatangkan kemaslahatan dan

menangkal mudharat. Selain itu, karya ini juga memuat materi fikih

dengan disertai kesimpulan hukum (Istinbath al-Ahkam) dari sumber

hukum Islam (Al-Qur'an dan Al-Hadis). Selain itu, ia menggunakan

bahasa yang mudah dipahami, kalimat-kalimatnya sederhana, dan

sistemnya sesuai dengan pemahaman modern.

c. Ushul Al-Fiqh Al-Islamy

Kitab ini terdiri dari dua bagian dan merupakan kelanjutan dari

kitab Al-Wasith fi Ushul Fiqh Islamy yang merupakan kitab wajib

dalam kurikulum Fakultas Syariah Universitas Damaskus. Karya ini

(Al-Wasith fi Ushul Fiqh) hanya membahas beberapa masalah Ushul

Fiqh dan karenanya Ushul Fiqh dikembangkan secara keseluruhan

dengan judul Ushul Al-Fiqh Al-Islamy.

5
Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu, vol.1 (Damaskus: Dar al-Fkir,
1985), 8.
66

Kitab ini juga secara sistematis menyajikan setiap pendapat

dengan dalil-dalil dasarnya, baik dari Al-Qur'an, Al-Hadits, Ijma

maupun hipotesis-hipotesis rasional.6 Selain itu, ia secara independen

mengomentari perbedaan perspektif dalam argumentasi tersebut,

menyampaikan hasil analisisnya sebagai sebuah preferensi (tarjih), yang

tentu saja terkadang tidak terlepas dari subjektivitas. Pembahasan

dalam kitab ini meliputi pendahuluan dan terdiri dari delapan bab.

Presentasi meliputi: Ta'rif (Pengertian) Ushul Fiqh, Penjelasan Topik

Ushul Fiqh dan Tujuan Kajian Ushul Fiqh. Inti pembahasan terdapat

delapan bab7, yaitu:

1) Bab pertama membahas Hukum Syariah (al-Ahkam al-Syar'iyyah),

yang terdiri dari empat pasal, yaitu: Al-Quran, Hadits, Ijma' dan

Qiyas

2) Bab kedua membahas tentang metode penggalian Hukum (Istinbath

al-Ahkam) dari nash, yang terdiri dari dua pasal, yaitu: Al Quran

dan Hadist.

3) Bab ketiga membahas tentang sumber-sumber Hukum Syariah

(mashadir al-Ahkam al-Syar'iyyah), yang terdiri dari dua pasal,

yaitu: Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i

4) Bab keempat tentang Naskh, yaitu: Mengubah, mengangkat atau

mengganti Hukum Syara dengan dalil baru atau yang lebih tinggi.

6
Wahbah Az-Zuhaili, Al Wajiz (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), 20.
7
Wahbah Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi Al Islmay (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 13.
67

5) Bab kelima membahas 'illat-'illat nash (Ta'lil al-Nash).

6) Bab keenam membahas tujuan umum Syariah (Maqashid as-

Syar'iyyah al-'Ammah).

7) Bab ketujuh menceritakan tentang Ijtihad dan Taqlid.

8) Bab kedelapan tentang pertentangan pendapat dan prefensi di

antara dua dalil (Al-Ta'arudh wa al-Tarjih baina al-Adillah)

Karya beliau yang lain diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Atha>r al-H}arb fi al-Fiqh al-Isla>mi>: Dira>sat Muqa>ranah

2) Al-Wasi>t} fi> Us}u>l al-fiqh

3) Al-Fiqh al-Isla>mi>fi>Usl>ub al-Jadi>d

4) Al-Us}ul> al-'Ammah li Wah}dah al-Di>n al-H}aq

5) Al-'Alaqa>t al-Dawliyah fi>al-Isla>mi

6) Fiqh al-Mawa>ris fi>Shari>'ah al-Isla>miyah

7) Al-Qur'an al-Kari>m al-Bunyatuh al-Tashri>'iyyah aw Khas}a>'is}uh

8) Al-Rukhs}ah al-Shari>'ah Ahka>muha> wa D}awa>bituha>

9) ich. Khas}a>'is} al-Kubra>li H}uqu>q al-Insa>n fi al-Isla>m

10) Al-'Ulu>m al-Shari>'ah Bay>an al-Wah}dah wa al-Istiqla>l

11) Al-Asa>s wa al-Mas}a>dir al-Ijtiha>d al-Mushtarika>t Baya>n al-Sunnah

wa al-Shi>’ah.

4. Guru dan Murid Wahbah al-Zuh}aili>

a. Guru Wahbah al-Zuh}aili>


68

Kebesaran nama Syekh Wahbah al-Zuh}aili> tak lepas dari peran

para guru yang telah mendidiknya, ketika Wahbah al-Zuh}aili> menimba

ilmu. Di antara guru-guru al-Zuh}aili> sebagai berikut8:

1) Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafi’i (w. 1958 M), guru ilmu

fiqh.

2) Mahmud Yassin (w. 1948 M), guru Ilmu Hadith.

3) Muhammad Hasyim al-Khatib al-Shafi'i>, (w. 1958 M), guru Ilmu

Fiqih.

4) 'Abd Al-Razzaq al-Hamasi (w. 1969 M), guru ilmu fiqih.

5) Syaikh Sadiq Jankah Al-Maidani, guru Tafsir dan Ilmu Tafsir

6) Syaikh Hasan Janka, guru Tafsir dan Ilmu Tafsir.

7) Muhammad Saleh Farfur (w. 1986 M), Ilmu bahasa Arab.

8) Muhammad Abu Zahrah (w. 1395 H).

9) Abdul Ghani Abdul Khaliq (w. 1983 M).

10) Mahmud Syaltut (w. 1963 M). Syekh

11) 'Ali Muhammad Khafif (w. 1978 M).

12) Jad al-Rabb Ramadhan (w. 1994 M).

13) Syekh Uthman al-Maraziqi.

14) Syekh Mustafa Abdul Khaliq.

15) Syekh Mahmud Abdul Da'im.

16) Syekh Mustafa Mujahid.

17) Syekh Hasan Wahdan.

8
Dr. Badi’ Sayyid Lahham, Wahbah Az Zuhaili (Damaskus: Dar al-Qolam, 2001), 19.
69

18) Syekh Muhammad al-Zafzaf.

19) Syekh Muhammad al-Banna (w. 1949).

20) Syekh Muhammad 'Ali al-Za'bi.

21) Syekh Muhammad Hafizh Ghunaim.

22) Syeikh Faraj al-Sanhuri.

b. Murid Wahbah al-Zuh}aili>

Di antara murid Wahbah al-Zuh}aili> adalah Muhammad Faruq

Hamdan, Muhammad Na'im Yasin, Abdul al-Satar Abu Ghadah, 'Abd al-

Latif Farfur, Muhammad Abu Lail, dan termasuk putranya sendiri,

Muhammad al-Zuh}aili> serta masih banyak lagi murid-muridnya ketika ia

mengajar sebagai dosen di fakultas Syari'ah dan perguruan tinggi lainnya.

B. Temuan

1. Pendapat Wahbah az-Zuhaili tentang pernikahan beda agama

Dalam kitab Al Fiqhu Al Islamy Wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili

membagi pernikahan beda agama menjadi 3 bagian :

a. Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita musyrikah

Wahbah az-Zuhaili mendifinisikan musyikah sebagai :

1) Wanita yang menyebah Allah dan tuhan yang lain. Seperti

menyembah berhala, bintang, api, hewan.

2) Wanita yang mengingkari wujud Allah. seperti mulhidah (atheis) dan

madiyah (wanita yang meyakini materi sebagai tuhan)


70

3) Wanita yang tidak mengakui agama samawi. Seperti komunis,

Wujudiyah, Bahai, Qadiyani, dan Budhis.

4) Beliau juga menukil pendapat ulama’ syafiiyah dan hanafiyah yang

menyamakan wanita murtad (wanita yang keluar dari Islam) dengan

musyrikah.9

Menurut pendapat Wahbah az-Zuhaili, Hukum laki-laki muslim

menikahi wanita musyrikah adalah haram. Hal ini sejalan dengan

kesepakatan ulama’. Wahbah az-Zuhaili berargumen dengan dalil :

1) Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 221 :

‫ات َح َّ َّٰت يُ حؤِم َّن ۚ َوََل ََمةٌ ُم حؤِمنَةٌ َخ حْيٌ ِم حن ُم حش ِرَك ٍة َولَ حو‬
ِ ‫وََل تَ حنكِحوا الحم حش ِرَك‬
ُ ُ َ
‫أ حَع َجبَ حت ُك حم‬
Artinya : “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik,
sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya
perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik meskipun dia menarik
hatimu.”10
Huruf ‫َل‬ pada lafadz ِ ‫وََل تَ حنكِحوا الحم حش ِرَك‬
‫ات‬ berfaedah ‫هني‬ atau
ُ ُ َ
larangan, dan larangan menunjukkan keharaman.11

2) Sebab diharamkannya menikahi Wanita musyrikah adalah tidak ada

kepastian rumah tangga tersebut akan tenang, harmonis, saling

tolong-menolong antara suami istri. Dikarenakan perbedaan

keyakinan akan menyebabkan ketidakstabilan rumah tangga,

9
Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu, vol.7 (Damaskus: Dar al-Fkir,
1985), 151.
10
Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an Kemenag RI, Al Qur’an dan Terjemahannya
(Jakarta: Balitbang dan Diklat Kemenag RI, 2019), 46.
11
Wahbah Az-Zuhaili, Al Wajiz (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), 15
71

perseteruan dan kebencian antara mereka. Maka kehidupan rumah

tangga akan jauh dari cinta dan kasih sayang. Kemudian istri yang

tidak memiliki cahaya iman akan mudah berkhianat, berbuat

kejelekan, tidak amanah, tidak adanya konsistensi dan kebaikan

karena sang istri percaya pada khurafat dan keyakinan semu, ia

terpengaruh hawa nafsu dan watak yang tidak terdidik. Karena tidak

ada agama yang membimbingnya.

b. Pernikahan laki-laki kafir dengan Wanita Muslimah

Menurut Wahbah az-Zuhaili, pernikahan antara laki-laki kafir

(baik musyrik ataupun ahl al-kitab) dengan wanita muslimah adalah

haram, hal ini sesuai dengan kesepakatan ulama. Argumen yang beliau

jadikan dasar hukum adalah :

1) Al Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 221 :

‫ني َح َّ َّٰت يُ حؤِمنُوا ۚ َولَ َعحب ٌد ُم حؤِم ٌن َخ حْيٌ ِم حن ُم حش ِر ٍك َولَ حو‬ ِ ِ


َ ‫َوََل تُحنك ُحوا الح ُم حش ِرك‬
‫اَّللُ يَ حدعُو إِ ََل ا حلَن َِّة َوالح َمغح ِف َرةِ ِبِِ حذنِِه‬ َ ِ‫أ حَع َجبَ ُك حم أُوٰلَئ‬
َّ ‫ك يَ حدعُو َن إِ ََل النَّا ِر ۖ َو‬
Artinya : Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik
(dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
berima. Sungguh, hamba sahaya lakilaki yang beriman
lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia
menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

ِ ‫ َوََل تُحنكِ ُحوا‬berfaedah ‫هني‬


Huruf ‫َل‬ َ ‫الح ُم حش ِرك‬
pada lafadz ‫ني‬ atau larangan,

dan larangan menunjukkan keharaman.12 dan Al Qur’an surat Al


Mumtahanah ayat 10 :

12
Wahbah Az-Zuhaili, Al Wajiz (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), 15
72

ۖ ‫وه َّن إِ ََل الح ُكفَّا ِر ۖ ََل ُه َّن ِحلٌّ َلُحم َوََل ُه حم ََِيلُّو َن َلُ َّن‬ ِ ٍ ِ ِ
ُ ‫فَإِ حن َعل حمتُ ُم‬
ُ ُ‫وه َّن ُم حؤمنَات فَ ََل تَ حرجع‬
Artinya : “jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak
halal bagi orang-orang kafir itu, dan orangorang kafir itu
tidak halal bagi mereka.”

2) Sebab diharamkannya pernikahan laki-laki kafir dengan wanita

muslimah adalah dalam pernikahan ini ada potensi wanita muslimah

tersebut akan murtad dan menjadi kafir, karena suami biasanya akan

mengajak istri untuk masuk dalam agama suami. Sedang wanita

biasanya akan menaati perintah suami dan akan mengikuti agama

suami. Wahbah az-Zuhaili berpendapat di dalam surat al-Baqarah

ٰ ُ ْ ٰ ٰ ‫ُ ٰئ‬
َّ‫ون إ َٰل انل‬
ayat 221, lafadh ‫ار‬
ِ ِ ‫وَلك يدع‬
ِ ‫ أ‬maksudnya adalah mereka (laki-

laki kafir) akan mengajak perempuan mukmin ke dalam kekafiran.

Dan mengajak ke dalam kekafiran sama saja dengan mengajak ke

neraka.13 Pernikahan muslimah dengan Non- Muslim adalah

membuka jalan menuju hal yang diharamkan, maka hukumnya juga

haram. Wahbah az-Zuhaili juga berpendapat meskipun dalam ayat

ٰ ‫ال ْ ُم ْْشك‬, tetapi illat keharaman


tersebut lafadh yang digunakan adalah ‫ي‬ ِِ

yakni semua laki-laki kafir mengajak ke neraka, maka hukum haram

menjadi umum disebabkan keumuman illat.

3) Wahbah az-Zuhaili juga memberikan alasan mengapa laki-laki ahl al-

kitab juga haram menikahi wanita muslimah, yaitu karena syariat

13
Wahbah Az-Zuhaili, At Tafsir Al Munir (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), 662.
73

telah memutus wilayah (kekuasaan) orang kafir dari orang yang

beriman. Yaitu surat An-Nisa ayat 141 :

‫ني َسبِحي ًَل‬ ِِ ِ ِ


َ ‫َولَ حن َحي َع َل للاُ للح َكاف ِريح َن َعلَى الح ُم حؤمن ح‬
Artinya : “Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk
mengalahkan orang-orang beriman.”
Beliau mengatakan :

‫ت لَهُ َعلَحي َها ِم حن َسبِحي ٍل َوَه َذا ََل َيُ حوُز‬ ِ ِ


َ َ‫فَلَ حو َج َاز تَ حزِويح ُج الح َكاف ِر الح ُم حؤمنَةَ لَثَب‬
“Maka kalau memang pernikahan laki-laki kafir dengan wanita
muslimah diperbolehkan maka pasti Allah akan membuka jalan
untuk orang kafir menguasai wanita muslimah, akan tetapi
kenyataannya Allah telah menutup (melarang) hal tersebut.” 14

Maka pernikahan laki-laki kafir baik musyrik atau ahl al-kitab

dengan wanita muslimah jelas hukumnya haram.

c. Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab

Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan wanita ahl al-kitab adalah

wanita yang beriman dengan agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani.

Mereka adalah ahl al-kitab karena yahudi berpegang pada kitab Taurat

dan Nasrani berpegang pada kitab Injil.15

Wahbah az-Zuhaili memberikan dalil tentang ahl al-kitab adalah

Yahudi dan Nasrani, yaitu dalam al Qur’an surat Al An’am ayat 156 :

‫ني ِم حن قَ حبلِنَا‬
ِ ‫اب َعلَى طَائَِفتَ ح‬ ِ
ُ َ‫أَ حن تَ ُق حولُوا إََِّّنَا أُنح ِزَل احلكت‬
Artinya: (kami turunkan Al Qur’an itu) supaya kamu (tidak)
mengatakan “Kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan sebelum kami (Yahudi dan Nasrani)”.

14
Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu, vol.7 (Damaskus: Dar al-Fkir,
1985), 152.
15
Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu, vol.7 (Damaskus: Dar al-Fkir,
1985), 153.
74

Hukum pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab

adalah boleh. Sejalan dengan pendapat mayoritas ulama’. Wahbah az-

Zuhaili menyampaikan beberapa argumen tentang kebolehan menikahi

wanita ahl al-kitab :

1) Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 5

ۖ ‫اب ِحلٌّ لَ ُك حم َوطَ َع ُام ُك حم ِحلٌّ َلُحم‬ ِ ِ َّ ‫الحي وم أ ُِح َّل لَ ُكم الطَّيِبات ۖ وطَع‬
َ َ‫ين أُوتُوا الحكت‬
َ ‫ام الذ‬
ُ َ َ ُ َِّ ُ َ‫َح‬
‫اب ِم حن قَ حبلِ ُك حم إِذَا‬ ِ
َ َ‫ين أُوتُوا الحكت‬
ِ َّ ِ ‫ات والحمحصن‬
َ ‫ات م َن الذ‬
ِ ِ
ُ َ َ ‫ات م َن الح ُم حؤمنَ َ ُ ح‬
ِ َ‫والحمحصن‬
ُ َ ‫َ ُح‬
‫َخ َد ٍان‬ ِِ ِِ ِِ
‫ني َوََل ُمتَّخذي أ ح‬
َ ‫ني غَ ح َْي ُم َسافح‬
َ ‫ورُه َّن ُحُمصن‬
َ ‫ُج‬
ُ ‫وه َّن أ‬
ُ ‫آتَ حي تُ ُم‬
Artinya : “Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang baik-
baik, makanan (sembelihan) ahl al-kitab itu halal bagimu
dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan
bagimu menikahi) perempuanperempuan yang menjaga
kehormatan di antara perempuan- perempuan yang
beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara yang diberi kitab sebelum kamu,
apabila kamu membayar maskawin mereka untuk
menikahinya, tidak dengan berzina dan bukan untuk
menjadikan perempuan piaraan.

2) Wahbah az-Zuhaili memberikan alasan para sahabat nabi ada yang

menikahi ahl al-kitab yang dzimmi. Seperti :

a) Khalifah ketiga Utsman bin Affan pernah menikahi seorang

wanita ahl al-kitab yang bernama Na’ilah binti Al-Farafisah Al-

Kalabiyah. Utsman menikahi Na’ilah saat masih menganut

agama Nasrani, dan akhirnya ia masuk Islam.

b) Hudzaifah al yamani yang menikahi seorang wanita Yahudi dari

penduduk Madain.

c) Sahabat Jabir dan Sa’ad bin Abi Waqqash juga pernah menikahi

Wanita Ahl al-Kitab pada zaman pembebasan Kufah.


75

3) Wahbah Az-Zuhaili juga memberikan alasan mengapa menikahi

wanita kafir yang ahl al-kitab boleh sedang menikahi wanita

musyrikah tidak boleh yaitu ahl al-kitab memiliki persamaan dengan

muslim dalam ajaran dasar keimanannya yaitu muslim dan ahl al-

kitab sama-sama meyakini bahwa Tuhan itu ada, meyakini adanya

rasul, hari kiamat, hari perhitungan dan siksa neraka. Adanya

persamaan inilah yang menjadi jembatan titik temu dalam kehidupan

rumah tangga, dan umumnya rumah tangga tersebut akan tenang dan

diharapkan istri akan masuk islam.

4) Wahbah az-Zuhaili juga memberikan alasan mengapa menikahi

Wanita kafir yang ahl al-kitab (yahudi dan Nasrani) diperbolehkan

yaitu : seorang muslim beriman kepada semua nabi dan rasul

termasuk nabi Musa dan nabi Isa karena termasuk bagian rukun

Islam. Mengimani kedua kitab suci mereka Taurat dan Injil,

walaupun sudah mengalami banyak penyimpangan. Dengan

demikian suami muslim tidak akan menyakiti istri kitabiyahnya.

Berbeda jika suami yang Non-Muslim, tidak beriman pada kitab Al-

Qur’an dan Nabi Muhammad Saw., dengan begitu akan sangat mudah

menyakiti istrinya yang muslimah, karena tidak meyakini, mencintai

terlebih mengagungkan Nabi Muhammad.

Namun meski Wahbah az-Zuhaili membolehkan pernikahan laki-

laki muslim dengan wanita ahl al-kitab, tetapi beliau tidak

menganjurkannya untuk saat ini. Alasannya adalah adanya ancaman


76

bahaya untuk kehidupan sosial, nasionalisme, dan agama. Karena wanita

ahl al-kitab terkadang akan kembali ke negaranya dan mendidik anak-

anaknya dengan tradisi dan keyakinan bukan islam dan bahkan menikah

dengan wanita non muslim akan menyebabkan wanita muslimah

terlantar, tidak ada yang menikahinya. Seperti yang dilakukan oleh

sayyidina \Umar yang menyuruh Hudzaifah untuk menceraikan istri ahl

al-kitabnya karena khawatir orang-orang islam akan ikut-ikutan untuk

menikahi wanita non muslim yang akan membuat fitnah untuk wanita

muslimah.16

Adapun wanita Samirah (salah satu sekte yahudi) dan Shabi’ah

(salah satu sekte Nasrani), maka menurut Wahbah az-Zuhaili pendapat

yang benar adalah boleh menikahi Wanita Samirah atau Shabi’ah

apabila dalam masalah usuluddin atau akidah tidak bertentangan dengan

yahudi atau Nasrani. Akan tetapi jika bertentangan maka hukumnya

tidak boleh.17

Dalam kitab al fiqhu al islamy waa adillatuhu, Wahbah az-

Zuhaili menyampaikan beberapa perbedaan tentang pernikahan laki-laki

muslim dengan wanita ahl al-kitab. Hukum menikahi wanita ahl al-kitab

baik menurut ulama’ syafiiyah ataupun Wahbah az-Zuhaili adalah

boleh. Akan tetapi ulama’ syafiiyah memberikan ketentuan sebagai

berikut:

16
Wahbah Az-Zuhaili, At Tafsir Al Munir (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), 665-666.
17
Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu, vol.7 (Damaskus: Dar al-Fkir,
1985), 156.
77

a. Yang dimaksud ahl al-kitab adalah Yahudi dan Nasrani bukan yang

berpegang pada kitab Zabur atau Shuhuf Syits, Idris dan Ibrahim.

b. Hukum menikahi wanita ahl al-kitab adalah boleh tapi makruh.

c. Jika wanita ahl al-kitab adalah Israily (Bani Israel) maka boleh seorang

muslim menikahinya ketika tidak diketahui nenek moyangnya pertama

kali masuk agama yahudi setelah tahrif (penyelewengan dan perubahan

ajaran agama Yahudi) atau minimal masih ragu antara sebelum atau

setelah tahrif. Jika diketahui nenek moyangnya masuk agama Yahudi

setelah tahrif maka hukumnya tidak boleh.

d. Jika wanita ahl al-kitab adalah Nasrani maka menurut pendapat al-adhar

diperbolehkan seorang muslim menikahinya jika diketahui nenek

moyangnya masuk agama Nasrani sebelum tahrif (penyelewan ajaran

nabi Isa) akan tetapi jika nenek moyangnya masuk agama nasrani

setelah tahrif maka tidak diperbolehkan menurut pendapat yang lebih

shohih.

Wahbah az-Zuhaili setuju dengan ulama madzhab syafi’i dalam

hukum pernikahan dengan Wanita ahl al-kitab. akan tetapi beliau

berbeda dalam ketentuannya. Bagi beliau pendapat yang unggul (rajih)

adalah wanita ahl al-kitab adalah Yahudi atau Nasrani tanpa ketentuan

apapun.18 Beliau mengatakan

18
Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu, vol.7 (Damaskus: Dar al-Fkir,
1985), 155.
78

‫ات ُد حو َن تَ حقيِحي ٍد‬


ِ َّ‫الزو ِاج ِِبحلكتِاَبِي‬ ِ ِِِ ِ ِِ َّ ‫الر ِاج ُح لَ َد‬
َ َّ ‫ي ُه َو قَ حو ُل ا حلُ حم ُه حور لطح ََلق الح َقاضيَة بَ َواز‬ َّ ‫َو‬
‫بِ َش حي ٍء‬
“Pendapat yang unggul menurutku adalah pendapat mayoritas ulama’,
karena kemutlakan qadliyah, yaitu boleh menikahi Wanita ahl al-kitab
dengan tanpa syarat apapun”.
2. Istinbath Wahbah Az-Zuhaili tentang hukum menikahi wanita Ahl Al-Kitab

Hukum jawaz dalam pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahl

al-kitab yaitu bersumber dari QS. al-Maidah ayat 5 :

ۖ ‫اب ِحلٌّ لَ ُك حم َوطَ َع ُام ُك حم ِحلٌّ َلُحم‬ ِ ِ َّ ‫الحي وم أ ُِح َّل لَ ُكم الطَّيِبات ۖ وطَع‬
َ َ‫ين أُوتُوا الحكت‬
َ ‫ام الذ‬
ُ َ َ ُ َِّ ُ َ‫َح‬
‫اب ِم حن قَ حبلِ ُك حم‬ ِ
َ َ‫ين أُوتُوا الحكت‬
ِ َّ ِ ‫ات والحمحصن‬
َ ‫ات م َن الذ‬
ِ ِ ِ َ‫والحمحصن‬
ُ َ َ ‫ات م َن الح ُم حؤمنَ َ ُ ح‬ُ َ ‫َ ُح‬
Dalam ayat tersebut secara jelas manyatakan bahwa boleh seorang

muslim menikahi al-muhshanat (perempuan merdeka atau terjaga dari zina)

dari wanita mukmin dan ahl al-kitab.

Permasalahan muncul ketika ulama’ berbeda dalam menafsirkan lafadh

al-musyrikat pada QS. al-Baqarah ayat 221. |Ada yang menganggap ahl al-

kitab termasuk al musyrikat ada pula yang membedakannya. Untuk itu

Wahbah Az Zuhaili mengungkapkan pandangan terhadap dua pendapat

tersebut :

a. Sebagian ulama berpendapat al-musyrikat adalah wanita kafir secara

mutlak. Artinya menikahi wanita beda agama tidak diperbolehkan

secara mutlak baik penyembah berhala ataupun ahl al-kitab. Lebih lebih

yahudi yang menganggap Uzair putra Allah atau Nasrani yang

menganggap Isa putra Allah. Sedangkan dalam QS. al-Maidah ayat 5

menunjukkan boleh hukumnya menikahi wanita beda agama. Sehingga

menurut Wahbah Zuhaili kedua dalil tersebut merupakan dalil ta’ârud


79

(kontradiktif) dalam menyelesaikan persoalan hukum perkawinan beda

agama. Sebab dalil yang pertama menjelaskan hukum keharaman

melakukan perkawinan dengan orang kafir. Sedangkan dalil kedua

menjelaskan hukum kebolehan untuk melakukan perkawinan dengan

wanita kafir ahl al-kitab. Oleh karena itu, Wahbah az Zuhaili

berpendapat jika terjadi ta’ârud̠ antara dua dalil, maka langkah-langkah

yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut19:

1) Dengan mengkompromikan antara dua dalil, selama ada peluang

untuk melakukannya, karena mengamalkan kedua dalil itu lebih

baik dari hanya memfungsikan satu dalil saja.

2) Jika tidak dapat dilakukan kompromi terhadap dalil-dalil tersebut,

maka jalan keluarnya adalah dengan jalan tarjih.

3) Jika dalam tahapan tarjih tidak dapat juga dilakukan, maka langkah

selanjutnya adalah dengan meneliti mana di antara dua dalil itu

yang lebih dahulu datangnya.

4) Jika tidak juga dapat menemukan mana dalil yang terlebih dahulu

datang, maka jalan keluarnya dengan tidak memakai dua dalil itu

dan dalam kondisi yang seperti ini seharusnya seorang mujtahid

merujuk kepada dalil-dalil yang lebih rendah bobotnya.

Adapun langkah yang dilakukan oleh Wahbah az Zuhaili dalam

menyelesaikan kontradiksi dalil pada persoalan perkawinan beda agama

19
Wahbah Az-Zuhaili, Al Wajiz (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), 245.
80

ini adalah berusaha untuk mengkompromikan antara kedua dalil

tersebut. Sehingga kedua dalil tersebut masih berfungsi hukumnya.

Dalam mengkompromikan dalil pada QS. al-Baqarah ayat 221

yang menjadi penekanannya adalah penafsiran lafadz al-musyrikât

sebagai al-kafirot (semua wanita kafir baik musyrik atau ahl al-kitab),

Wahbah az Zuhaili berpendapat keumuman ayat tersebut dikhususkan

dengan QS. Al Maidah ayat 5 artinya semua wanita kafir haram dinikahi

kecuali wanita ahl al-kitab.

b. Pandangan Mayoritas ulama berpendapat kata al-musyrikat pada QS. Al

Baqoroh 221 tidak bersifat umum. Artinya al-musyrikat berbeda dengan

Ahl Al-kitab. Pendapat jumhur ulama yang dikutip oleh Wahbah az

Zuhaili menjelaskan bahwa mereka sepakat wanita ahl al-kitab itu tidak

termasuk dalam bagian tersebut. Alasan mendasar yang mempengaruhi

pemikiran jumhur ulama adalah berdasarkan QS. al-Bayyinah ayat 1 :

ُ‫ني َح ََّّت َتحتِيَ ُه ُم الحبَيِِّنَة‬ ِ ِ ِ َ‫َلح ي ُك ِن الَّ ِذيحن َك َفروا ِمن أَ حه ِل الحكِت‬
َ ‫اب َوالح ُم حش ِرك ح‬
َ ‫ني ُمحن َف ِّك ح‬ ‫َ ُ ح‬ َ
Dalam ayat ini cakupan orang kafir dijelaskan menggunakan

huruf min yaitu terdiri dari ahl al-kitab dan musyrikin. Dalam redaksi

tersebut penyebutan ahl al-kitab dipisah dengan huruf ‘at̠haf berupa

wawu di mana huruf ‘athaf yang digunakan dalam ayat tersebut adalah

berfungsi menghubungkan antara dua kata yang berbeda.20 Oleh karena

itu, secara zahir lafadznya al-musyrik berbeda dengan ahl al-kitab.

Sehingga antara dua dalil tersebut tidaklah bertentangan. Artinya

20
Wahbah Az-Zuhaili, At Tafsir Al Munir (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), 664.
81

memang hukum menikahi wanita musyrikah itu haram berbeda dengan

hukum menikahi wanita ahl al-kitab.

C. Analisis

Indonesia merupakan negara hukum, yaitu negara yang sistem

kenegaraannya menggunakan norma-norma hukum yang berlaku. Secara

keseluruhan kehidupan dan pergerakan bangsa Indonesia ini diatur oleh sebuah

hukum. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang

berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.21

Dalam pasal tersebut terlihat bahwa negara benar-benar telah menjamin para

penduduknya untuk dapat memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan

kehendak nurani masing-masing.

Meskipun negara telah menjamin kebebasan para penduduknya untuk dapat

memeluk agama sesuai dengan kehendak dan keyakinannya, tetapi dalam urusan

perkawinan tetap memperhatikan keterlibatan aspek agama dalam peraturannya

secara lebih rinci. Alasan keterlibatan aspek agama adalah dengan tujuan untuk

menjaga ketertiban bersama serta agar tidak menimbulkan konflik horizon di

masyarakat. Oleh karena itu, negara telah mengatur persoalan perkawinan pada

Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang berbunyi :

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

21
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2
82

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu disebutkan pada Pasal 8

(f) tentang perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang

oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Salah satu aspek yang dimaksud dalam pasal tersebut yakni, menjelaskan

bahwa suatu perkawinan dilaksanakan menurut masing-masing agama.

Perkawinan beda agama menurut hukum agama-agama yang ada di Indonesia

dapat diketahui bahwa masing-masing agama yang ada di Indonesia secara

substansinya tidak memberikan peluang kepada umatnya untuk menikah dengan

umat di luar agamanya.

Tidak adanya peluang yang diberikan oleh agama-agama yang ada di

Indonesia untuk melakukan perkawinan dengan umat di luar agamanya

menunjukkan bahwa perkawinan beda agama sesungguhnya tidak dikehendaki

oleh setiap ajaran agama. Jika dikaitkan dengan aturan hukum negara, maka

sesuatu yang diajarkan oleh agama-agama di Indonesia menjadi suatu hal yang

linier dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1. Oleh karena itu,

pada pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 8 (f) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

mengatur tentang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 44 telah

secara jelas menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang beragama Islam tidak

dibenarkan melakukan perkawinan beda agama baik menurut syariat maupun

undang-undang yang berlaku.

Menurut analisis penulis, pendapat yang dikemukakan oleh Wahbah

Zuhaili dalam persoalan perkawinan beda agama tidak relevan dan tidak sejalan
83

dengan UU yang berlaku di Indonesia. Ada beberapa alasan yang membuat nikah

beda agama tidak sesuai dengan konteks Indonesia :

1. Warganegara Indonesia adalah mayoritas islam bermadzhab Syafi’i. yang

mana dalam madzhab Syafi’i syarat ahl al-kitab yang boleh dinikahi

seorang muslim harus jelas silsilah nenek moyangnya mengikuti agama

yahudi atau Nasrani sebelum tahrif. Adapun Kristen di Indonesia apakah

sudah dipastikan ajarannya memiliki silsilah sampai nabi Isa? Apalagi

Yahudi yang harus wanita Israily, apakah ada wanita di Indonesia yang

asli Israily? Hal ini masih perlu kajian dan penelitian mendalam. Yang

jelas, menikahi Wanita Kristen atau yahudi yang tidak jelas nasabnya

tidak boleh dinikahi menurut madzhab syafi’i.

2. MUI telah melakukan kajian dan telah menyatakan bahwa pernikahan

beda agama hukumnya haram dan tidak sah, karena bahaya yang

ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya. Karena dinilai tidak memenuhi

tujuan dasar agama yaitu menjaga agama dan menjaga nasab. Seperti

contoh hak waris, hak perwalian dll. tidak bisa dilakukan oleh orang yang

berbeda agama.

3. Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”

mencerminkan bahwa Indonesia menghendaki warganegaranya mencintai

dan mengikuti agama masing-masing termasuk aturan pernikahan. Ketika

pernikahan beda agama terjadi, maka potensi orang untuk memperkuat

agamanya akan melemah, dikarenakan pernikahan agama sedikit banyak

akan berpengaruh pada percampuran keyakinan dalam rumah tangga,


84

anak akan terdidik dalam dua keyakinan yang bertentangan.

Menyebabkan semangat berpegangteguh pada agama masing-masing

akan hilang.

4. Wahbah az Zuhaili sendiri meski berpendapat boleh hukumnya laki-laki

muslim menikahi wanita ahl al-kitab, tapi beliau juga tidak

menyarankannya untuk dilakukan saat ini, karena efek negative yang

ditimbulkan sangat besar. Diantaranya : terlantarnya wanita muslimah

sebab laki-laki muslim lebih memilih wanita non muslim yang lebih

cantik, hilangnya jatidiri sebagai seorang muslim karena wanita non

muslim sedikit banyak akan memberikan pengaruh pada keluarganya

terutama anak-anak akann dididik dengan pola nonmuslim dan lain

sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai