Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH MANAHIJ AL MUFASSIRIN

Telaah manhaj Said Hawwa tafsir Al-asas

UU

Disususun Oleh :

1. ANE YUSTIN AMORY (2020304051)


2. AL INSYIRAH (2030304057)

Dosen Pengampu :

DEDDY ILYAS,M.Us

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

TAHUN AJAR 2021


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi Wabarokaatuh

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas Rahmat Dan Karunia-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Tidak lupa penulis haturkan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah menyempatkan risalah yang penuh dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu keislaman,
sehingga dapat menjadi bekal bagi kita dalam menjalani kehidupan baik di dunia maupun di
akhirat.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan
informasi, pengarahan, bimbingan, motivasi, semangat, serta bantuan apapun yang sangat
berarti dalam penyusunan tugas ini.

Pada akhirnya penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa penulisan tugas ini belum
mencapai kesempurnaan dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk mengevaluasi dan memperbaikinya. Penulis juga
berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan khususnya bagi para pembaca
pada umumnya. Aamiin

Wassalamu’alaikum warahmatullahi Wabarokaatuh

Muaradua, 29 Agustus 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………......…... ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………...... iii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………………………………………………………......1


B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………......1
C. Tujuan ………………………………………………………………..……………......1

BAB II
PEMBAHASAN

a. Biografi sa’id hawwa………………………………………………………………......3


b. Histori kitab Al asas at tafsir………………………………………………..…………5
c. Latar belakang Penulisan tafsir…………………………………………………………6
d. Metode dan sistematika pembahasannya…………..………………………………......7
e. Contoh penafsiran pemikiran tafsir sa’id hawwa…………………………………......10

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………………......18
B. Saran………………………………………………………………...……………......19

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….…………20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

AL-Qur’an merupakan petunjuk dan rahmat bagi sekalian alam, serta mampu membimbing
umat islam dimanapun dan kapanpun. Akan tetapi, untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat
al-Qur’an tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah dan bisa diperoleh begitu saja. Memperoleh
“semua” itu tentunya perlu dan penting adanya upaya-upaya yang dilakukan untuk memahami
ayat-ayat al-Qur’an yang bisa dikatakan sangat “waw”. Memahami ayat al-Qur’an atau yang
dikenal dengan tafsir al-Qur’an membutuhkan intelektualitas dan metodologi penafsiran yang
tepat. Dengan metodologi penafsiran yang tepat tersebut al-Qur’an baru dapat “diajak”
berdioalog dalam susana bagaimanapun dan kapanpun.
Jika kita telaah lebih jauh, banyak karya-karya penafsiran yang telah dibentuk dan ditawarkan
oleh ulama’-ulama’ salaf sebagai upaya mereka mendialogkan al-Qur’an dengan konteks
mereka. Terbukti dengan banyaknya karya para ulama’ yang mencoba memahami dan
memberikan pemahaman melalui tulisan-tulisan tafsiran mereka.
Sebagian dari jajaran mereka ialah Said Hawwa, yang telah berhasil membuahkan karya tafsir
dengan nama Al-Asas fi Tafsir. Dalam tulisan singkat ini, kami mencoba menggambarkan
sedikit tentang siapa Said Hawwa dan Bagaimana orientasi penafsirannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi sa’id hawwa ?


2. Bagaimana histori kitab Al-asas at-tafsir ?
3. Apa Latar belakang penulisan tafsir ?
4. Bagaimana metode dan sistematika pembahasan ?
5. Apa contoh penafsiran pemikiran tafsir sa’id hawwa?

C. Tujuan

1. Mengetahui biografi sa’id hawwa.


2. Mengetahui histori kitab al-asas At-tafsir.
3. Mengetahui Latar belakang Penulisan tafsir.

1
4. Mengetahui metode dan sistematika pembahasan.
5. Mengetahui contoh Penafsiran pemikiran tafsir hawwa.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Biografi sa'id Hawwa


1
Nama lengkap beliau adalah Said bin Muhammad Daib Hawwa. Beliau adalah seorang tokoh
yang berasal dari Hama, Suriah yang lahir pada tahun 1935. Ibunya meninggal ketika ia berusia
dua tahun. Kemudian pindah ke rumah neneknya denagn bimbingan dari ayahnya seorang
pejuang pemberani yang berjihad melawan Perancis. Said Hawwa mempunyai potensi besar
dalam menulis, hanya dalam beberapa hari ia mampu menyelesaikan penulisan buku. Ia
mempunyai dinamisme yang bergelora tidak lesu atau jenuh. Ini berasal dari kegemarannya
dalam membaca buku-buku dakwah, fiqh, dan ruhiyah. Said Hawwa mengatakan tentang
hobinya dalam membaca buku “Dalam setiap jam saya membaca enam puluh halaman dan
pembimbingku di ikhwanul Muslimin adalah ustadz Mustahfa ash-Shairafi”.

Kegemaran Said Hawwa untuk menorehkan hasil pemikirannya dalam sebuah buku tidak bisa
dipungkiri lagi. Publikasi terhadap bukunya tahun 1968 membuatnya digolongkan dalam
pemikir Syiria yang menonjol. Semasa dalam tahanan akibat peristiwa Dastur, beliau menulis
tafsir yang berjudul al-Asas fit Tafsir yang terdiri dari sebelas jilid.

Said Hawwa adalah seorang penulis yang produktif, hasil karya meliputi berbagai macam
keilmuwan. Di antara buku-buku karangan Said Hawwa adalah:

1. Allah2 Jalla Jalaluh,


2. Ar-Rasul sallallahu ‘alaihi wasallama,
3. Al-Islam,
4. Al-Asas fit Tafsir,
5. Al-Asas fis Sunnah,
6. Tarbiyatuna,
7. Al-Mustakhlash fi Tazkiyatin Nufus,
8. Jundullah Safaqatan wa Akhlaqan,

1 Said Hawwa, al-Asas fit Tafsir (Kairo: Dar as-Salam, 1985).Jilid 1. Hlm. 30.
2 Al-Mustasyar Abdullah, Mereka yang Telah Pergi. Hlm. 401.

3
9. Min Ajli Khutwah ilal Amam ‘ala Thariqi Jihadil Mubarok,
10. Durus fil ‘Amalil Islami al-Mu’asyirin,
11. Fi Afaqit Ta’lim,
12. Ihya Rabbaniyyah,
13. Qaninul Bait al-Muslimin,
14. Al-Ijabah,
15. Jundullah Takhtitan wa tanziman, dan lain sebagainya.

Pada tahun 1952 ketika masih berada di bangku SMU beliau memilih untuk bergabung dengan
barisan Ikhwanul Muslimin. Keanggotaan Said hawa dalam jama’ah Ikhwanul Muslimin
membawanya masuk dalam banyak perseteruan dengan rezim pemerintah yang berkuasa saat
itu. Said Hawwa semasa kuliah pernah menggerakkan tiga kali demonstrasi, pertama ketika
Ikhwanul Muslimin Suriah menuntut dimasukkannya kepanduan di sekolah Tsanawiyah,
kedua pembelaan terhadap pembantaian Ikhwanul Muslimin di Mesir, ketiga peringatan duka
atas perjanjian Belfour. Dalam ketiga aksi ini beliau menjadi pembicara resmi dari Ikhawanul
Muslimin.

Selama di penjara Said Hawwa memperbaharui pengaruhnya dalam pergerakan Islam di Syiria
yang mulai layu. Selepas dari penjara Said Hawwa menjadi ideology utama dari gerakan
Ikhwanul Muslimin pada pertengahan tahun 1970an. Konfrontasi Said Hawwa dengan rezim
yang berkuasa mencapai klimaks ketika terjadi pemberontakan di Hama tahun 1982 yang
banyak mnumpahkan darah akibat penindasan dari rezim asad.

Keeratan beliau dengan jamaah Ikhwanul Muslimin juga terlihat dari banyaknya buku-buku
yang dikarangnya mengenai Ikhwanul Muslimin, terutama bukunya yang bertajuk fi Afaqit
Ta’lim yang isinya adalah upaya beliau untuk memahamkan aktifis dakwah dalam memahami
dua puluh prinsip yang ada dalam Risalah at-Ta’lim karya Imam Syahid Hasan al-Banna.

Pada tahun 1987 Said Hawwa menderita penyakit parkison, gula, darah tinggi, penyempitan
pembuluh nadi, ginjal, dan penyakit mata. Beliau juga dikabarkan menderita strok hingga
sebagian tubuhnya tidak bisa dgerakkan.

Penyakit-penyakit yang beliau idap mengharuskannya untuk opname di rumah sakit pada
tanggal 14 Desember 1988. Kondisi beliau memburuk hingga pada akhirnya meninggal pada

4
hari Kamis, 9 Maret 1989 di rumah sakit Islam Amman, Yordania. Jenazahnya dishalatkan di
Masjid al-Faiha dan dikebumikan di pemakaman Gerakan.

Historis Kitab Al-Asas fi at-Tafsir

Kitab3 al-Asas fi al-Tafsir ini sebenarnya adalah salah satu seri dari Kitab Said Hawwa yang
bertema al-Asas fi al-Minhaj yang terdiri dari tiga seri, yaitu al-Asas fi al-Tafsir, al-Asas fi al-
Sunnah wa Fiqhuha, al-Asas fi Qowa’id li ma’rifati wa dawabit al-Fahmi li an- Nusus.

Untuk mengetahui alasan dari penamaan tafsir ini tidak bisa dilepaskan dari seri buku beliau
yang bertema al-Asas fi al-Minhaj. Ketiga buku dalam seri ini kesemuanya bernama al-Asas
yang membahas pemahaman dasar tentang al-Qur’an, Sunnah, dan kaedah untuk memahami
kedua nash ini. Penamaan kitab ini dengan al-Asas untuk dijadikan sebagai sebuah landasan
yang dibangun diatasnya sebuah pemahaman. Asas yang dimaksud Said Hawwa disini ialah
pemahaman yang cermat terhadap kitab Allah. Hasil yang diharapkan dari kitab ini adalah
pemahaman terhadap keimanan secara mendalam dan keharusan untuk melaksanakan apa-apa
yang telah diwajibkan.

Said Hawwa dalam tafsirnya ini banyak mengambil pendapat-pendapat dari para mufassir baik
itu penafsir kontemporer maupun penafsir-penafsir salaf. Diantara mufassir salaf yang banyak
Said Hawwa ambil pendapatnya adalah Ibnu Katsir dan an-Nasafi.

Alasan Said Hawwa mengambil kedua tafsir ini, lebih pada keterbatasan bahan yang ada
padanya. Karena penulisan tafsir ini yaitu ketika Said Hawwa dalam tahanan. Hal ini bukan
berarti Said Hawwa mengambil bahan seadanya, akan tetapi said Hawwa mempunyai alasan
dari pengambilan kedua tafsir ini. Hal ini dapat kita lihat pada akhir Muqaddimah kitab
tafsirnya, said hawwa mengatakan:

“Dan bukan dari hasil ikhtiarku untuk menguatkan bagian pertama aku berpegangan hanya
pada dua tafsir yaitu tafsir Ibnu Katsir dan tafsir an-Nasafi. Tidak banyak bahan yang ada ketika
aku berada di penjara ketika aku mulai menulis tafsir ini kecuali kedua tafsir ini. Dan keduanya

3 Al-Mustasyar Abdullah, Mereka yang Telah Pergi. Hlm. 405.

5
adalah tafsir yang terkenal yang pertama adalah tafsir bil ma’tsur yang terkenal sedangkan yang
kedua adalah tafsir yang unggul dalam masalah-masalah ringkas dalam hal i’tiqodiyyah dan
madzhabiyyah. Dari kedua tafsir ini mencukupi untuk makna harfiyyah dalam kitab Allah.

Disamping dari kedua mufassir tersebut Said Hawwa juga banyak mengambil pendapat dari
al-Alusi dan juga Sayyid Qutb.Said Hawwa banyak mengambil dari kedua mufassir ini yang
berhubungan dengan masalah munasabah.

Latar Belakang Penulisan tafsir.


Ada4 beberapa permasalahan pada masa kini (masa hidup Said Hawwa) yang menjadi alasan
kepenulisan karya tafsir ini, ialah sebagai berikut.

a. Wujud al-Qur’an sebagaimana yang telah diketahui adalah mempunyai susunan ayat
dan surat sedemikian rupa. Ini menjadi sebuah pertanyaan yang baru terpikir oleh
banyak kalangan muslim, sehingga karena itu (menurut Said Hawwa) adalah
persoalan urgen untuk memberi penjelasan kepada mereka, berikut penjelasan rahasia
keterkaitan (munasabah) ayat dan surat dalam susunan al-Qur’an.

b. Ada banyak ragam ilmu yang berkembang di era sekarang, yang menimbulkan
pemahaman baru atau kecenderungan pada pemahaman lama yang menyebabkan
persoalan seputar makna-makna al-Qur’an.

c. Sekarang ini telah banyak orang yang melakukan pembandingan dan menyanggah al-
Qur’an, disebabkan munculnya pandangan yang penuh kebohongan dan berlawanan
dengan al-Qur’an. Sementara kalangan muslim kesulitan untuk menjelaskan bahwa
al-Qur’an adalah kitab suci yang berasal dari Tuhan yang tentu saja tidak bisa
dielakkan keabsahannya (kebenaran).

d. Degradasi moralitas umat islam pada nilai-nilai al-Qur’an, untuk itu diperlukan upaya
yang serius untuk mengembalikan al-Qur’an dalam hati umat Islam.

4 Al-Mustasyar Abdullah, Mereka yang Telah Pergi. Hlm. 406.

6
e. . muslim sekarang lebih memilih ringkasan-ringkasan bacaan karena itu lebih
memudahkan. Sedangkan kitab-kitab tafsir induk banyak sekali bahasan di dalamnya
(banyak perdebatan dan riwayat) yang hal itu menyulitkan untuk dibaca (butuh
pengkajian lama).

f. Banyak sekali hal-hal yang terabaikan oleh umat sekarang, padahal hal-hal itu penting
(hukum-hukum islam). Yang ada hanyalah perdebatan-perdebatan lanjutan masalah
klasik yang pangkalnya adalah perbedaan i’tikad (kepercayaan) dan madzhab (aliran).
Berkenaan itu, Said Hawwa ingin menutup persengketaan setiap kali bersinggungan
dengan masalah itu.

Metodologi dan Sistematika Pembahasan

Pada5 dasarnya, Said Hawwa menafsirkan secara urut dari al-Fatihah hingga akhir surat al-
Qur’an sebagaimana rentetan mushaf utsmani, atau dikatakan menggunakan metode tahlili,
yang berarti mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan ma’nanya, ayat demi ayat, dan
dari surat demi surat, sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf utsmani.
Dalam tafsir ini, Said Hawwa ingin menjelaskan sebuah tafsir ringkas yang mudah dipahami
dan tidak berbelit-belit. Memberikan keterangan arti kata, baik penjelasan itu dari ia sendiri
ataupun dari pendapat lain. Said Hawwa membagi surat-surat dalam kitab tafsirnya merujuk
sebuah hadits:

‫ِس قَا َل أَخ َ ََْبَنَ ِ ِْع َر ُان الْقَ َّط ُان ع َْن قَ َتا َد َة ع َْن أَ ِِب الْ َم ِلي ِح الْهُ َذ ِ ِ يل ع َْن َواثِ َ ََل ْب ِن ْ َاْل ْسقَع ِ أَ َّن النَّ ِ َِّب َص َّّل‬ َّ ‫َح َّدثَ َنا ُسلَ ْي َم ُان ْب ُن د َُاو َد أَبُو د َُاو َد‬
ُّ ِ ِ‫الط َيال‬
ِ‫َاِن َوفُ ِيضلْ ُت ِِبلْ ُمف ََّصل‬ َ ِ ‫يت َم ََك َن ْاْل ْ ِْنيلِ ا ْل َمث‬ ُ ‫يت َم ََك َن َّالزبُو ِر ا ْل َمئِ َني َوأُع ِْط‬ ُ ‫الس ْب َع َوأُع ِْط‬ َّ ‫يت َم ََك َن ال َّت ْو َرا ِة‬ ُ ‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ َّل قَا َل أُع ِْط‬
ُ َّ
ِ

5Itzchak Weismann, Said Hawa and Islamic Revivalisme in B’thist Syiria, vol 1. (Studia Islamica, 1997). Hlm.
133.

7
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud, Abu Daud Ath-Thayalisi berkata; telah
Mengabarkan kepada kami ‘Imran bin Al Qathan dari Qatadah dari Abu Al Malih Al Hudzali
dari Watsilah bin Al Asqa’ sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Saya
diberi ganti dari Taurat dengan as-saba’ (tujuh surat dalam Al qur’an yang panjang-panjang).
Saya diberi ganti dari Zabur dengan Al ma`in (surat yang jumlah ayatnya sekitar seratus). Saya
diberi ganti dari Injil dengan Al matsani (yaitu surat yang terulang-ulang membacanya dalam
setiap rekaat shalat) dan saya diberi tambahan dengan Al mufashal (surat yang dimulai dari
QAF sampai akhir surat).”
Hadits di sana menerangkan pembagian al-Quran menjadi empat: al-sab’u, al-miain, al-masani,
dan al-mufasshal. Said hawwa sangat terinspirasi oleh hadits ini sehingga ia menerapkan dalam
kitabnya ini. Detail pembagiannya sebagai berikut:
1. Qism Al-Sab’u al-Thiwal dimulai dari surat al-Baqarah hingga surat al-Bara’ah
2. Qism Al-Miain dimulai dari surat Yunus sampai surat al-Qashash
3. Qism Al-Masani dimulai dari surat al-Ankabut sampai surat al-Qaf
4. Qism Al-Mufasshal dimulai dari surat al-Dzariya sampai surat al-Nas6

Pembagian yang dilakukan bukan terhenti di sini saja, beliau juga membagi surat-surat dalam
al-Qur’an menurut tema secara urut menurut ijtihadnya sendiri. Beliau mengelompokkan
beberapa ayat terlebih dahulu. Dalam hal itu, ia menggunakan istilah-istilah untuk melakukan
pembagian.

• Qism
Adalah bagian yang mencakup beberapa surat yang sudah ditentukan. Ada beberapa
maqtha’ (penggalan) di dalamnya.
• Maqtha
Adalah bagian yang mencakup ayat-ayat yang memiliki beberapa pokok pembahasan.
• Faqrah
Adalah bagian yang mempunyai satu topik pembahasan tetapi didapati di dalamnya majma’
al-ma’ani al-raisiyyah (kumpulan makna utama)
• Majmu’ah

6 Said Hawwa, Al-Asas fi Tafsir, (Mesir: Darussalam, 1993 M/ 1414 H), Jilid 1, hlm.7

8
Kelompok bagian ini lebih sempit, ialah digunakan jika dalam faqrah dalam satu maqtha’
mempunyai makna lebih dari satu yang mengharuskan untuk diterangkan secara terpisah
dari yang sebelum dan sesudahnya.

Pembagian yang dilakukan Said Hawwa itu atas dasar makna dan petunjuk (al-ma’na wal
ma’alim). Pada permulaan sebuah maqtha’, baru beliau akan memulai dengan

a) Kalimat fi al-Maqtha’7
Sub ini menerangkan keterkaitan ayat-ayat. Misalnya pada penafsiran surat an-Nisa’ ayat
1 sampai ayat 18, beliau menjadikannya satu maqtha’. Penggunaan kalimah fi al-maqtha’
itu ketika memasuki maqtha’ baru yang membahas pokok pikiran dari sebuah maqtha’.
Lalu menjelaskan juga alasan ayat-ayat ini dijadikan satu maqtha’ dan menjelaskan
keterkaitannya.
b) Al-Ma’na al-Am
Bagian ini ada pada tiap pembagian-pembagian ayat yang sudah dilakukan Said Hawwa.
Di sini menerangkan pembahasan secara umum ayat yang sudah dibagi tersebut.
c) Al-Ma’na al-Harfi
Sub bagian yang menerangkan secara harfiyah sebuah ayat.
d) Al-Fushul
Menjelaskan bahasan-bahasan tambah yang tidak mungkin atau tidak sesuai jika
ditempatkan di sub bagian sebelumnya.
e) Fawaid
Memaparkan faedah-hikmah atas sebuah ayat. Said Hawwa mengambil pendapat-
pendapat dari para ulama’.
f) Kalimah fi al-Siyaq
Menjelaskan hubungan yang dimiliki sebuah ayat dengan yang lain.

Dalam tafsirnya, Said Hawwa merujuk pendapat-pendapat para mufassir, baik kontemporer
maupun salaf yang banyak beliau ambil dari tafsir Ibnu katsir dan tafsir al-Nasafi. Kedua tafsir
tersebut merupakan tafsir yang sudah populer. Tafsir Ibnu Katsir dikenal dengan tafsir bil
ma’tsur, sedang tafsir an-Nasafi dikenal unggul dengan ringkasan masalah i’tiqad (keyakinan)
dan madzhab (aliran).

7 Said Hawwa, Al-Asas fi Tafsir, (Mesir: Darussalam, 1993 M/ 1414 H), Jilid 1, hlm.6

9
Sebenarnya bukan kehendak Said Hawwa memulai penafsiran merujuk dari kedua tafsir di
atas. Hal ini lebih kepada alasan karena keterbatasan literatur yang ia punya, sebab ia berada
dalam kurungan penjara sehingga ia tidak dapat mengakses banyak buku.

Runtutan8 penafsiran disesuaikan dengan urutan surat – surat seperti yang terdapat dalam
Mushaf. Rangkaian metode penafsiran Sa’id Hawwa dapat dirumuskan sebagai berikut :

Pertama, menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok munasabahnya.


Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqtha’ dengan beberapa faqrahnya. Pada
setiap surat terlebih dahulu dijelaskan keberadaan surat tersebut baik menyangkut identifikasi
surat, tema surat, hubungan dengan surat lain atau kandungan surat secara global. Biasanya
disini ditampilkan riwayat bila menyangkut sebab turun dari suatu surat.

Kedua, Menafsirkan ayat.


Bentuk penafsiran yang dikemukakan Sa’id Hawwa mengenai ayat yang sudah disusun dalam
kelompok ayat yaitu dengan menjelaskan makna secara umum atau memberikan pengertian
secara global kemudian menerangkan pengertian teks ayat ( makna harfi ) dengan tinjauan
bahasa serta uslub ayat. Dalam hal ini ia sering menggunakan rujukan dari kitab tafsir an –
Nasafi dan Ibnu katsir juga tafsir Sayid Qutb dan al –Alusi. Dengan demikian makna harfi yang
dijelaskan cukup panjang berbeda dengan tafsir Jalalain yang sangat singkat. Penjelasan makna
umum dan makna harfi dengan terlebih dahulu mencantumkan ayat atau potongan ayat yang
ditulis dalam kurung.

Ketiga, Menjelaskan hubungan susunan ayat ( Munasabah ).


Disini Sa’id Hawwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan dalam satu
kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqtha’, atau satu faqrah.
Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar maqtha’ bahkan dijelaskan hubungan dengan
ayat lain pada surat yang berbeda.

Keempat, Menjelaskan hikmah ayat.

8 Said Hawwa, Al-Asas fi Tafsir, (Mesir: Darussalam, 1993 M/ 1414 H), Jilid 1, hlm.11

10
Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan fawaid. Dalam poin ini ada juga
dibahas tentang munasabah ayat khususnya hubungan suatu ayat dengan beberapa ayat lain
atau dengan hadis Nabi. Poin ini merupakan penafsiran yang lebih luas dan komprehensif oleh
Sa’id Hawwa dengan memahami ayat berdasarkan konteks.
Demikian langkah dari metode penafsiran Sa’id Hawwa yang lebih banyak menyorot aspek
munasabah dalam tafsirnya. Dua poin terakhir ini merupakan keunggulan dari tafsir Sa’id
Hawwa yang membedakannya dengan mufasir lain baik dari sisi ide ataupun metode.

Contoh9 Penafsiran dan Analisis Orientasi Pemikiran Tafsir Said Hawwa

Ayat tentang Kalam dan Analisa Orientasi Pemikiran Tafsirnya


Ayat yang kami jadikan contoh dalam pembahasan kalam disini ialah ayat yang berbicara
tentang kebebasan manusia. Sehubungan dengan kebebasan manusia yang merupakan salah
satu poin perdebatan aliran kalam. Perdebatan penafsiran tersebut dapat dilihat dalam
penafsiran ayat 29 surat al-Kahfi.

َ ُ ‫َوقُلِ الْ َح ُّق ِم ْن َّبري ُ ِْك ْۗ فَ َم ْن شَ ۤا َء فَلْ ُي ْؤ ِم ْن َّو َم ْن شَ ۤا َء فَلْ َي ْك ُف ْ ْۚر ِاَنَّ ٓ اَ ْعتَدْ َنَ لِ ّٰ يلظ ِل ِم ْ َني َنَ ًراۙ اَ َح َاط ِبِ ِ ْم‬
ِ‫ُسا ِدقُهَاْۗ َوا ِْن ي َّْس تَ ِغ ْيث ُْوا يُغَاثُ ْوا ِب َم ۤا ٍء ََكلْ ُمهْل‬
‫اب َو َس ۤا َء ْت ُم ْرتَفَقًا‬ ْۗ ُ ‫الَّش‬
َ َّ ‫يَشْ ِوى الْ ُو ُج ْو َهْۗ ِب ْئ َس‬

Katakanlah,” Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu ; maka siapa yang ingin beriman
hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. Sesungguhnya kami telah
sediakan bagi orang – orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. (al-Kahfi:
29)

Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa manusia bebas memilih apa yang dikehendaki untuk dirinya,
apa mau mengambil jalan menuju keselamatan atau memilih jalan menuju kehancuran.
Kemudian Allah kemukakan ancaman bagi orang yang memilih kekufuran yaitu neraka dengan
api yang bergejolak.

9 Said Hawwa, Al-Asas fi Tafsir, (Mesir: Darussalam, 1993 M/ 1414 H), Jilid 2, hlm.978

11
Penafsiran Sa’id Hawwa terkait ayat diatas terlihat, manusialah yang menentukan pilihan
hidupnya, bebas menggunakan daya yang ada dalam dirinya. Kalau begitu manusia juga siap
dengan segala akibat yang ditimbulkan seperti mendapat pahala dari pilihan baiknya dan
menerima hukuman atau azab dari pilihan salah yang diambilnya. Kebebasan memilih oleh
manusia muncul dari diri sendiri, bukan Tuhan yang mengarahkan. Pandangan Sa’id Hawwa
diatas ada kesejalanan dengan paham Mu’tazilah bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh
manusia sendiri yang bebas menentukan pilihan. Walaupun penafsiran Sa’id Hawwa tentang
ayat tersebut cenderung ke aliran Mu’tazilah namun ia tidak menyebut bahwa ia mengikuti
Mu’tazilah. Artinya ia tidak mempersoalkan antara Mu’tazilah atau Asy’ariyah tentang
penafsiran ayat – ayat kalam. Sama halnya ketika ia menafsirkan ayat 96 ash- Shaffat tentang
perbuatan manusia juga.

‫اَّلل َخلَقَ ُ ْك َو َما تَ ْع َملُ ْو َن‬


ُ ‫َو ّٰ ي‬

Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat. (Q.s Ash-shaffat:96)

Sa’id Hawwa menjelaskan, Allah sebagai pencipta ( Khalik ) mu dan pencipta perbuatan –
perbuatanmu ( a’malu kum ), maka mengapa kamu menyembah juga selainNya?

Bila diperhatikan ada kesan Sa’id Hawwa menilai perbuatan manusia diciptakan oleh Allah
seperti yang pernah dikemukakan oleh aliran Asy’ariyah bahwa perbuatan manusia
diwujudkan oleh Tuhan. Berbeda sekali dengan aliran Qadariyah / Mu’tazilah yang
memandang perbuatan manusia diwujudkan oleh daya yang ada pada mereka sendiri bukan
diwujudkan oleh Tuhan.(
Terkait penafsiran Sa’id Hawwa terhadap ayat diatas yang cenderung ke paham Asy’ariyah,
Sa’id Hawwa tidak menyebutkan bahwa pendapatnya mengikuti Asy’ariyah atau mencela
aliran Mu’tazilah. Ini merupakan indikator bahwa Sa’id Hawwa tidak tertarik memperdebatkan
persoalan kalam sebagaimana yang populer terjadi diantara mutakallimin. Melalui penafsiran
– penafsiran ayat kalam diatas terlihat Sa’id Hawwa tidak menegaskan bahwa ia penganut salah
satu aliran kalam. Memperhatikan rujukan tafsirnya yang sering mengutip an – Nasafi seorang
pengikut Asy’ariyah bisa digambarkan Sa’id Hawwa bisa menerima paham Asy’ariyah
walaupun ia tidak menyebut aliran tersebut dalam menafsirkan ayat.

12
Indikator lain yang mendukung pernyataan ini dapat ditelusuri penafsiran Sa’id Hawwa
terhadap surat al Qiyamah ( 75 ) : 22-23.

ٌ‫ِض ۙة‬
َ ِ َّ‫ُو ُج ْو ٌه ي َّ ْو َمى ٍذ َن‬
ِ
ٌ‫ِا ّٰٰل َر ِ ي َِبا َنَ ِظ َرة‬

Wajah – wajah orang mukmin pada hari itu berseri –seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.(Q.s al-Qiyamah:22-23)

Wajah orang mukmin senang karena memperoleh nikmat yaitu melihat Tuhan dengan mata
kepala sendiri. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengutip tafsir Ibnu Katsir ketika
menafsirkan nazhirah, ( yaitu tarahu ‘iyanan – ‫ ) تراه عيانا‬melihat dengan mata sendiri.
Disamping itu Ibnu Katsir mengungkapkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari
mengatakan Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu dengan mata sendiri. Penafsiran
Sa’id Hawwa tentang ayat melihat Tuhan sejalan dengan yang dipegang oleh paham
Asy’ariyah bahwa setiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat, Tuhan berwujud karena
itu dapat dilihat. ( Ibanah . h. 76 ).

Pandangan Sa’id Hawwa dalam hal ini sangat berbeda dengan yang dipegang oleh aliran
Mu’tazilah yang mengatakan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Surat al –Qiyamah diatas
mengenai kata nazhirah menurut Mu’tazilah bermakna menunggu. Jadi orang mukmin
menunggu pahala dari Tuhannya. Alasan lain adalah Tuhan tidak mengambil tempat karena itu
tidak bisa dilihat sebab yang dapat dilihat hanyalah sesuatu yang mengambil tempat. Pendapat
Mu’tazilah ini sejalan dengan paham mereka yang meniadakan sifat tajassum (
antropomorfisme ) pada Tuhan. Setentangan sifat Tuhan – berbeda dengan pandangan diluar
Mu’tazilah – bagi mereka ( aliran mu’tazilah ), Tuhan mengetahui dengan pengetahuan
sedangkan pengetahuan itu adalah zatNya sendiri. 10

10Bagi Asy’ariyah sifat Tuhan bukanlah Tuhan tapi tidak pula lain dari Tuhan. Sifat qudrat, iradat, sama’, bashar
dan seterusnya azali dan berdiri pada zat Allah. Senada dengan ini, menurut al – Ghazali sifat Tuhan tidak sama
dengan esensi Tuhan , lain dari esensi Tuhan tapi berwujud dalam esensi Tuhan. Lihat; Hasan Zaeni, Tafsir
tematik ayat – ayat kalam – tafsir al- Maraghi, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1997, Cet. Ke – h. 144 dan 155.
Lihat juga ; Machasin, al- Qadhi Abdul Jabbar : Mutasyabih Alquran – Dalih Rasionalitas Alquran, Yogyakarta :
LkiS, 2000, Cet. Ke – 1, h. 143 – 144.

13
Walaupun berbeda pemahaman dengan Mu’tazilah, Sa’id Hawwa dalam tafsirnya tidak
menyebut paham Mu’tazilah atau Asy’ariyah yang menjadi dasar pemikirannya. Namun
demikian dari penafsirannya terkait ayat diatas membuktikan secara implisit Sa’id Hawwa
bukanlah pengikut aliran Mu’tazilah. Penafsirannya menyangkut ayat – ayat yang bernuansa
kalam tidak pula secara tegas ia mengikuti pandangan Asy’ariyah . Artinya Sa’id Hawwa tidak
terikat dengan aliran – aliran kalam yang berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa Sa’id
Hawwa tidak memberikan perhatian besar kepada wacana pemikiran kalam dalam tafsirnya.

Ayat tentang Fiqih dan Analisa Orientasi Pemikiran Tafsirnya


Berkenaan dengan pemikiran fiqh Sa’id Hawwa dalam tafsirnya seperti dijelaskan diawal
bahwa ia tidak terlalu mempersoalkan perbedaan mazhab baik hukum atau teologi / kalam.
Terkait ayat hukum misalnya tentang ayat bersuci, QS. An – Nisa’ ( 4 ) : 43.

‫ا َْۗوا ِْن ُكنْ ُ ُْت َّم ْر ّٰ ٰٓض اَ ْو عَ ّّٰل َسفَ ٍر اَ ْو َج ۤا َء اَ َح ٌد ِ يمن ُ ْْك ِ يم َن الْغَ ۤاىطِ اَ ْو لّٰ َم ْس ُ ُُت النِ ي َس ۤا َء فَ َ ّْل ََتِدُ ْوا َم ۤا ًء فَ َتيَ َّم ُم ْوا َص ِع ْيدًا َط ِ ييبًا فَام َْس ُح ْوا‬
ِ
‫ْۗب ُِو ُج ْو ِه ُ ْك َواَيْ ِد ْي ُ ْك‬

Dan jika kamu sakit, keadaan musafir atau selesai buang hajat atau lamastumun nisa’,
kemudian kamu tidak menjumpai air maka bertayammumlah dengan tanah yang baik.

Menurut11 penafsiran Sa’id Hawwa kata lamastumun nisa’ menunjukkan arti bersetubuh. Ini
merupakan pendapat yang kuat dikalangan para mufasir, sebagaimana Ibnu Katsir juga
berpendapat demikian.

Mengenai tafsiran tentang tanah yang baik, disini Sa’id Hawwa menjelaskan pendapat dari
berbagai ulama mazhab seperti menurut Imam Malik, Sha’idan termasuk tanah padat, pasir,
pohon, batu, tumbuhan ( nabat ) artinya secara umum benda yang berada dimuka bumi. Hampir
sama dengan itu pendapat mazhab Hanifah, termasuk jenis tanah seperti pasir, kapur ( tanah
kapur ).Sedangkan menurut mazhab Syafe’I dan Hanbali yang dimaksud sha’idan adalah tanah
saja.

11 Said Hawwa, Al-Asas fi Tafsir, (Mesir: Darussalam, 1993 M/ 1414 H), Jilid 1, hlm.21

14
Disini Sa’id Hawwa tidak menegaskan, Ia mengikuti salah satu pendapat tersebut. Namun yang
jelas ia terbuka dalam masalah perbedaan mazhab dan tidak terlalu mempersoalkan perbedaan
– perbedaan dalam pemikiran keislaman baik yang terlihat juga ketika menyikapi persoalan
kalam. Sa’id Hawwa tampaknya mengemukakan dalam penafsirannya pandangan – pandangan
yang menurutnya sesuai dengan pemikirannya, tidak harus terikat dengan salah satu mazhab
pemikiran apalagi fanatik dengan kelompok tertentu.

Melihat cara Sa’id Hawwa mengungkapkan pendapat dari berbagai aliran, seperti persoalan
kalam Sa’id Hawwa tidak menyebut nama aliran kalam ketika menafsirkan ayat yang terkait
masalah tersebut. Sementara itu menyangkut persoalan fiqh, dikemukakan berbagai pandangan
serta nama mazhabnya. Dengan demikian bertambah jelas bahwa Sa’id Hawwa tidak mau
berpolemik masalah perbedaan mazhab. Apalagi ia sering mengemukakan perbedaan
pandangan mazhab tersebut dengan menyandarkan kepada berbagai kitab tafsir sebagai
rujukan utama yaitu Ibnu Katsir dan an – Nasafi. Hal ini menunjukkan ia sepaham dengan
aliran yang dianut oleh kedua mufasir tersebut. Suatu pendapat yang dikemukakan oleh
seseorang dalam uraiannya dan ia tidak ada persoalan berarti ia setuju dengan pendapat
tersebut.

Contoh lain, menyangkut persoalan haid sebagaimana tercantum dalam surat al- Baqarah ( 2 )
; 222.

‫َوي َْسـَلُ ْون ََك ع َِن الْ َم ِح ْي ِض ْۗ قُ ْل ه َُو اَ ًذ ۙى فَاع َ َِْتلُوا النِ ي َس ۤا َء ِِف الْ َم ِح ْي ِۙض َو َْل تَ ْق َربُ ْوه َُّن َح ّٰ يت ي َ ْطه ُْر َن ْۚ فَ ِا َذا ت ََطه َّْر َن فَأْت ُْوه َُّن ِم ْن َح ْي ُث‬
‫اَّلل ُ ُِي ُّب التَّ َّواب ْ َِني َو ُ ُِي ُّب الْ ُمتَ َطهيِ ِريْ َن‬ ُ ‫اَ َم َر ُُكُ ّٰ ي‬
َ ‫اَّلل ْۗ ِا َّن ّٰ ي‬

Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka itu suci, bila mereka telah suci maka
campurilah …

Ayat12 diatas berkaitan dengan waktu suci, ditafsirkan oleh Sa’id Hawwa bahwa bolehnya
mencampuri isteri yaitu bila selesainya haid dan telah mandi wajib atau bertayammum bila ada
uzur. Disamping itu, ia juga mengemukakan pendapat Ibnu Katsir dimana ulama sepakat
kecuali Abu Hanifah bahwa wanita yang sudah selesai haid tidak halal dicampuri sebelum

12 Said Hawwa, Al-Asas fi Tafsir, (Mesir: Darussalam, 1993 M/ 1414 H), Jilid 6, hlm 3175-3176

15
mensucikan diri dengan mandi. Adapun menurut Abu Hanifah bila wanita telah selesai haid
sudah boleh dicampuri. Bagi wanita yang masa haidnya 10 hari bila berhenti haidnya kurang
dari 10 hari diwajibkan mandi sebelum bercampur. Berdasarkan keterangan Sa’id Hawwa
terkait ayat tersebut dalam tafsirnya terlihat berbagai pendapat di kemukakannya dan ia tidak
secara tegas menyatakan ikut pada mazhab tertentu. Kalau diperhatikan penafsirannya
mengenai kata yath-hurna ia sependapat dengan Ibnu Katsir.

Pada penjelasan berikutnya, ditambahkan oleh Sa’id Hawwa untuk membuktikan wanita betul
– betul selesai haidnya yaitu dengan cara memasukkan kapas kedalam farajnya. Jika kapas
tersebut dikeluarkan dari faraj masih bersih tanpa ada noda berarti suci[20]. Penjelasan Sa’id
Hawwa ini mengulas dari pandangan Abu Hanifah tentang berhentinya haid sebagai tanda suci.
Disini sangat nyata bahwa Sa’id Hawwa tidak fanatik kepada mazhab fiqh tertentu walaupun
dari penafsirannya boleh dikatakan cenderung ke mazhab Hanafi. Bila dikatakan Sa’id Hawwa
terpengaruh dengan mazhab Hanafi sebagaimana terlihat dalam tafsirnya sangat mungkin
terjadi karena an – Nasafi sebagai rujukan pokok dalam tafsirnya merupakan pengikut mazhab
Hanafi dan berpaham teologi Asy’ariyah.

Ayat tentang Tasawuf dan Analisa Orientasi Pemikiran Tafsirnya


Ajaran13 tasawuf yang sempat dikritik oleh Sa’id Hawwa ialah mengenai konsep ittihad
tasawuf falsafi yang menyatakan kedekatan Tuhan dengan manusia sampai membentuk
kesatuan. Berdasarkan ini mereka sufi falsafi memperkuat keyakinan mereka akan konsep
ittihad sebagai hal dalam jalan tasawuf. Ayat yang dijadikan dasar adalah surat Qaf ( 50 ) : 16.

‫َولَقَدْ َخلَ ْقنَا ْ ِاْلن ْ َس َان َون َ ْع َ ُّل َما ت َُو ْس ِو ُس ِب ٖه ن َ ْف ُس ٗه َۖو ََن ُْن اَقْ َر ُب ِالَ ْي ِه ِم ْن َح ْبلِ الْ َو ِريْ ِد‬

Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh
hatinya dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.(Q.s Qaf:16)

Ibnu Arabi, misalnya memaknainya bahwa tidak ada jarak antara juzu dengan kulli. Hubungan
antara juzu dengan sesuatu yang disaksikan sehingga membentuk bergabungnya dua unsur
yang mulia dalam Ittihad hakiki.

13 Said Hawwa, Al-Asas fi Tafsir, (Mesir: Darussalam, 1993 M/ 1414 H), Jilid 8, hlm 4714

16
Menurut Sa’id Hawwa, ketika menafsirkan ayat itu dinyatakan bahwa yang dekat dengan
manusia dalam ayat itu adalah malaikat bukan Allah seperti yang dipahami oleh penganut
konsep ittihad atau hulul. Kalau Allah yang dimaksud seharusnya secara tegas dinyatakan
dengan lafaz ana ( aku ); ‫ أنا أقرب إليه من حبل الوريد‬.Dalam ayat disebutkan dengan lafaz nahnu
maka untuk memaknainya dipahami dulu pengertian lahirnya. Secara lahiriyah makna nahnu
umumnya menyangkut berbagai pihak, dalam hal ini pengertian nahnu tidak mutlak ditujukan
kepada Allah.

Ditambahkan oleh Sa’id Hawwa, posisi malaikat atau pihak lain yang dimaksud ayat yaitu
dengan melihat korelasi pada ayat lain. Pada ayat 18 surat Qaf dijelaskan bahwa ada dua
malaikat yang mengawasi manusia tentu merekalah yang selalu “ menempel “ dimanapun
berada. Ayat lain yang memperkuat alasannya yaitu tentang pemeliharaan Alquran.

َ ٌ‫َما َي ْل ِفظُ ِم ْن قَ ْو ٍل ا اَِّل لَدَ ْي ِه َر ِقيْب‬


ٌ‫ع ِت ْيد‬

Kata14 nahnu dalam ayat ini ditafsirkan bahwa ada keterlibatan pihak lain yang ikut menjaga
Alquran disamping Allah sendiri. Kami yang menurunkan Zikra; malaikat yang mewahyukan
Alquran kepada Nabi, kami juga akan menjaganya. Dengan demikian bisa di bandingkan
pemakaian ungkapannya. Menurut para ulama yang ikut memelihara keberadaan Alquran
termasuk malaikat dan para penghafal Alquran.

Tampak disini, penafsiran Sa’id Hawwa terhadap ayat tasawuf masih memegang makna zahir
ayat disamping mencari makna isyarinya. Dengan begitu, corak tasawuf Sa’id Hawwa bisa
dikatakan berbeda atau malah menyangkal pendapat kelompok para sufi falsafi. Pemahaman
Sa’id Hawwa ini menggunakan takwil dekat yang masih mempertahankan makna zahir ayat.
Kalau bagi kelompok tasawuf falsafi menakwilkan ayat dengan takwil jauh dibalik pengertian
lafaz15.
Dari penafsiran Sa’id Hawwa diatas dapat ditegaskan bahwa Ia tidak termasuk pengikut aliran
falsafi dalam paham tasawuf. Akan tetapi ia mengikuti aliran tasawuf amali yang dalam

14 Said Hawwa, Al-Asas fi Tafsir, (Mesir: Darussalam, 1993 M/ 1414 H), Jilid 11, hlm 6268-6269
15 Said Hawwa, Al-Asas fi Tafsir, (Mesir: Darussalam, 1993 M/ 1414 H), Jilid 2, 1076

17
kategori penafsiran disebut dengan tafsir sufi isyari dimana menafsirkan ayat dengan tetap
memperhatikan makna zahir disamping makna isyari.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Orientasi pemikiran Sa’id Hawwa dalam tafsirnya yang kita bahas diatas menyangkut tiga hal
yaitu orientasi kalam, fiqh dan tasawuf. Tiga aspek kajian keislaman ini sering mengundang
perdebatan diantara ulama dan menimbulkan berbagai aliran didalamnya karena perbedaan
dalam menafsirkan ayat sebagai dasar pemikirannya.
Sa’id Hawwa dalam tafsirnya terkait dengan tiga aspek diatas sebagaimana pembahasan diatas
tidak mempersoalkan berbagai pandangan yang kontroversi. Mengenai ayat – ayat kalam
misalnya, Sa’id Hawwa menafsirkan ayat tersebut berlandaskan pada keilmuan tafsir, ia tidak
menampakkan kecenderungan yang nyata pada salah satu aliran kalam. Ketika ia menafsirkan
ayat asejalan dengan pandangan Mu’tazilah, ia tidak mengatakan bahwa pendapatnya
mengikuti Mu’tazilah. Begitu pula sebaliknya bila ia sepaham dengan pandangan Asy’ariyah
ia tidak mengatakan bahwa menolak pendapat Mu’tazilah. Hanya saja secara implisit Sa’id
Hawwa banyak kesamaan dengan paham Asy’ariyah.
Begitupula dalam hal fiqh dan tasawuf, Sa’id Hawwa menerima pandangan yang sejalan
dengan pemikirannya ketika menafsirkan ayat – ayat terkait. Ia tidak terpengaruh kepada satu
pandangan dalam mazhab fiqh dan corak tasawuf. Sa’id Hawwa mengemukakan berbagai
pendapat sebagai perbandingan, terkadang ia secara implisit mengulas pandangan yang sama
idenya dengan pendapatnya. Kalaupun ia tidak sepaham dengan satu pendapat, ia tidak
menyebut ia tidak setuju dengan aliran tertentu tapi ada beberapa pendapatnya yang tidak ia
ikuti.

Kesimpulan kita mengenai orientasi Sa’id Hawwa yaitu tidak berpegang pada satu aliran dan
tidak mau berdebat masalah perbedaan aliran. Sa’id Hawwa menafsirkan ayat berpegang pada
makna zahir ayatnya, tafsir bahasanya kemudian ditafsirkan secara luas dengan tidak terikat
denga pandangan tertentu.

19
B. Saran

Demikianlah makalah ini kami susun dan tentunya jauh dari kesempurnaan.Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga para pembaca dapat
mengerti serta menambah wawasan nya. Terimakasih:)

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya.

Abdullah, Al-Mustasyar, Mereka yang Telah Pergi, Terj. Fachruddin (Jakarta: al-I’tisham
Cahaya Umat, 1998).

Arabi, Ibnu, Tafsir Ibnu Arabi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), Jilid II.

Hawwa, Said, al-Asas fit Tafsir (Kairo: Dar as-Salam, 1985).Jilid 1

Hawwa, Said, al-Asas fit Tafsir (Kairo: Dar as-Salam, 1985).Jilid 2

Hawwa, Said, al-Asas fit Tafsir (Kairo: Dar as-Salam, 1985).Jilid 6

Hawwa, Said, al-Asas fit Tafsir (Kairo: Dar as-Salam, 1985).Jilid 8

Hawwa, Said, al-Asas fit Tafsir (Kairo: Dar as-Salam, 1985).Jilid 9

Hawwa, Said, al-Asas fit Tafsir (Kairo: Dar as-Salam, 1985).Jilid 11

Machasin, al- Qadhi Abdul Jabbar : Mutasyabih Alquran – Dalih Rasionalitas Alquran,
(Yogyakarta : LkiS, 2000), Cetakan Ke-1

Weismann, Itzchak, Said Hawa and Islamic Revivalisme in B’thist Syiria, vol 1. (Studia
Islamica, 1997).

Zaeni, Hasan, Tafsir tematik ayat – ayat kalam – tafsir al- Maraghi, (Jakarta : Pedoman Ilmu
Jaya, 1997)

21

Anda mungkin juga menyukai