Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TAFSIR ISYARI

Diajukan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Tafsir Sufi 1

Dosen pengampu:H.Dimas Yodistira,Lc,M.Ag

Disusun oleh :

NAUFALLINO ADIBA (2271014)

ADITIYA SAEFUL M (2271010)

SHABRIE RAJA W H

FAKULTAS DAKWAH PRODI ILMU TASAWUF

INSTITUT AGAMA ISLAM LATIFAH MUBAROKIYAH

PONDOK PESANTREN SURYALAYA TASIKMALAYA

2023/2024

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas taufik dan hidayah-Nya telah
memberikan kesabaran, kesungguhan dan kemampuan yang ada,sehingga kami
dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “TAFSIR ISYARI”
dengan tepat waktu.

Ucapan terima kasih kepada H.Dimas Yodistira,Lc,M.Ag. selaku dosen mata


kuliah TAFSIR SUFI yang telah membimbing kami dalam menyusun penulisan
makalah ini sehingga dapat terselesaikan.

Tak lupa ucapan terima kasih juga kepada seluruh tim kelompok yang telah
mampu bekerja sama dengan baik,serta kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan makalah ini dengan sepenuh hati kami ucapkan terima kasih.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


penulisan makalah ini,dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahun yang
dimiliki penyusun. Dengan keterbatasan tersebut kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.

Demikian makalah ini kami susun, semoga dapat bermanfaat bagi seluruh
pihak yang membutuhkan terutama bagi kami yang menyusun.

Tasikmalaya, 7 November 2023

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................I

DAFTAR ISI...............................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................1


1.2 Perumusan Masalah.........................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................5
2.1 Filsuf yunani.....................................................................................6
2.2 Filsuf Muslim...........................................................................................6
2.3 Filsuf Abad Pertengahan......................................................................6
2.4 MetodePenafsiran................................................................................11
2.5 Contoh-contoh penafsiran..........................................................................11

BAB III PENUTUP.............................................................................................13

3.1 Kesimpulan..........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................III

II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam, ditandai oleh praktikpraktik asketisme
dan askapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam, hal ini dimulai sejak munculnya konflik
politis sepeninggal Nabi Muhammad SAW, praktik seperti ini terus berkembang pada masa
berikutnya. Seiring berkembangnya aliran sufi, mereka pun menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan
paham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat Al-Qur’an bukan
sekedar dari lahir yang tersurat saja, namun mereka memahami secara batin atau secara tersurat.
Para sufi pada umumnya berpedoman pada hadits Rasulullah SAW: ‫لكل أية ظهر و بطن و لكل حرف حد‬
‫ ولكل حد مطلع‬Artinya: “Setiap ayat itu mempunyai makna dhahir dan batin, dan setiap huruf itu
mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat melihatnya.” Hadits di atas adalah merupakan
dalil yang digunakan oleh para sufi untuk menjastifikasi tafsir mereka yang eksentrik, menurut
mereka dibalik makna zahir dalam redaksi teks Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka
menganggap penting makna batin ini, mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah
unsure asing
(ghaib) melainkan sesuatu yang indera
dengan Al-Qur’an. (Abidu, 2007:54).
Tafsir jenis ini telah dikenal sejak awal
turunnya Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW
sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada
penafsiran Al-Qur’an melalui hirarki
sumber-sumber Islam tradisional yang
disandarkan kepada Nabi, para sahabat dan
kalangan tabi’in.
Disamping itu, selain penafsiran yang
disandarkan melalui jalan periwayatan secara
tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup
kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa
para wali merupakan pewaris kenabian.
Mereka mengaku memiliki tugas yang
serupa, meski berbeda secara substansial.
Jika para rasul mengemban tugas untuk
menyampaikan risalah ilahiyah kepada umat
manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama,
maka para sufi memikul tugas guna

3
menyebarkan risalah akhlaqiyah, ajaranajaran moral yang mengacu kepada
keluhuran budi pekerti.
Klaim sebagai pengemban risalah
akhlaqiyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima
pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati
mereka ketika mencapai tahapan makrifat
dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah
SWT. Walhasil, dalam penafsiran sufi
mufassirnya tidak menyajikan penjelasan
ayat-ayat Al-Qur’an melalui jalan i’tibari
dengan menelaah makna harfiyah ayat secara
zahir. Tetapi lebih pada menyuarakan
signifikansi moral yang tersirat melalui
penafsiran secara simbolik atau dikenal
dengan penafsiran isyari.
Ketika ilmu-ilmu agama dan sains
mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan
Islam menyebar keseluruh pelosok dunia dan
mengalami kebangkitan dalam segala seginya, maka berkembanglah ilmu tasawuf.
1.2 Rumusan Masalah
A. Bagaimana perjalanan imam al alusi?
B. Ada berapa tafsir yang telah dihasilkan?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah

Mengetahui bagaimana perjalann hidup seorang ahli tafsir

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi Imam Al Alusi

Al-Alūsī memiliki nama lengkap Abu Al-Fadhl Syihab al-Din alSayyid Mahmud Afandi
al-Alūsī al-Baghdadi. Akan tetapi, dalam kitab karangan imam al-Dzahabi yang berjudul
al-Tafsīr wa al-Mufassirūn menulis Abu al-Tsana‟ sebagai ganti Abu Fadhl. Beliau lahir
di Baghdad, pada tahun 1217 H/1802 M. Beliau merupakan ulama tertua di Irak (Al-
Dzahabi, t.t: 250). Nama al-Alūsī merupakan nama sebuah desa yang bertempat di
tengah-tengah sungai Eufrat. Sebab, dari desa itulah nenek moyang al-Alūsī berasal.
Ketika beliau berusia 13 tahun, beliau telah disibukkan dengan mengajar dan mengarang.
Beliau juga menuntut ilmu dari beberapa guru. Selain menjadi mufassir, beliau juga
merupakan orang yang memiliki kecakapan dalam bidang ilmu naqli maupun aqli (Al-
Dzahabi, t.t:251). Pada tahun 1267 H/1850 M, imam al- Alūsī melakukan perjalanan ke
Istambul. Kemudian beliau singgah sejenak di rumah Mahmud Afandi alUmari di
Maushil yang dikenal sebagai filosofis. Sesampainya di sana beliau menunjukkan serta
membacakan tafsir al-Qur‟ān (rūh al-ma‟āni) yang telah beliau tulis sebelumnya di suatu
majlis yang dihadiri oleh ulama Maushil (Hati, 2013:26).
Pada saat beliau mengadakan perjalanan pulang dari Istambul menuju Baghdad, beliau
jatuh sakit yang berlangsung secara terus-menerus. Sehingga pada Jum‟at tanggal 25
Dzulqa‟dah 1270 H/1854 M al-Alūsī menghembuskan nafas terakhir pada usia 53 tahun.
Oleh pihak keluarga, beliau dimakamkan di pemakaman dekat kuburan Syaikh Ma‟ruf al-
Karkhi, yang merupakan salah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh
pada saat itu. Sebelum beliau menduduki jabatan sebagai mufti dari madzhab Hanafi,
beliau juga pernah menjabat sebagai pemegang bidang wakaf Marjaniyah yang
merupakan sebuah yayasan pendidikan yang mensyaratkan bahwa penanggung jawabnya
merupakan seorang tokoh ilmuan. Selain itu, beliau juga memiliki kesibukan lain selain
mengarang, yaitu mengajar di berbagai perguruan. Banyak diantara murid beliau yang
datang dari berbagai pelosok negeri selain tempat beliau berasal (Ilyas, 1998:33).
Sementara itu, pada bulan Syawal 1263 H, setelah beliau menyelesaikan serta
menyempurnakan penulisan kitab tafsirnya, beliau melanjutkan perjalanan menuju
Konstantinopel yang saat ini dikenal sebagai Istanbul, Turki. Kemudian beliau
mengajukan karyanya tersebut kepada Rajan Abdul Majid Khan. Al-Alūsī merupakan

5
seorang ulama yang terkenal di Irak yang pernah menjadi seorang mufti di Baghdad,
beliau juga merupakan seorang pemikir dan ahli polemik serta memiliki pengetahuan
yang luas. Sehingga tidak heran apabila beliau dijuluki sebagai „allamah yang merupakan
seorang
ulama besar baik dalam ilmu naqli (al-Qur‟ān dan al-hadis) maupun aqli.

2.2 Karya-karya yang di hasilkam

Terdapat sekitar 56 judul buku serta tulisan karangan beliau. Selain sebagai mufassir, Al-
Alūsī juga menaruh perhatian kepada beberapa ilmu, seperti: ilmu qira‟ah, ilmu munasabah
dan ilmu asbabun nuzul. Beliau juga memiliki kebiasaan melihat syair Arab yang
mengungkapkan suatu kata dalam menentukan sababun nuzul (Al-Dzahabi, t.t:252). Adapun
setelah beliau wafat, kitab Rūh al-Ma‟ānī disempurnakan oleh anaknya yang bernama As-
Sayyid Nu‟man Al-Alūsī. Disebutkan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, bahwa setelah
beliau kembali dari Istambul, beliau menulis tiga buah karya lagi, diantaranya:

1. Nasywat al-Syamsu Fī al-Dzahab al-Istanbul

2. Al-„Awd ila Daar al-Salām

3. Gharā‟ib al-Ightirah wa Nuzhat al-Albāb

Adapun kitab karangan beliau yang diterbitkan di Baghdad sebanyak dua kali, yaitu antara tahun
1291-1293 H/ 1874-1876 M, dan pada ketiga kalinya pada tahun 1327 H/1909 M (Al-Dzahabi,
t.t:251)

2.3 Pandangan Mufassir dan Tafsir Isyari'

A. Pandangan Mufassir Terhadap Surah Thaha Ayat 132

1. Pandangan Quraish Shihab.

Terhadap firman Allah SWT sebagai berikut:

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan

bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki

kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik)

itu adalah bagi orang yang bertakwa.”

6
Kata ( ‫ ( أهلل‬ahlaka / keluarga jika ditinjau dari masa turunnya ayat

ini, maka ia hanya terbatas pada istri Nabi Muhammad SAW yaitu Khadijah

ra. dan beberapa putra beliau bersama „Ali Ibn Abi Thalib ra. yang beliau

pelihara sepeninggal Abu Thalib. Tetapi bila dilihat dari penggunaan kata

ahlaka yang dapat mencakup keluarga besar, lalu menyadari bahwa perintah

tersebut berlanjut sepanjang hayat, maka ia mencakup keluarga besar nabi

Muhammad saw, termasuk semua istri dan anak cucu beliau. Bahkan

sementara ulama memperluasnya sehingga mencakup seluruh umat

beliau.Putra kandung Nabi Nuh as.tidak dinilai Allah sebagai ahl / keluarga

beliau dengan alasan dia tidak beramal saleh. Dengan demikian, semua orang

yang beramal saleh dapat dinilai termasuk keluarga beliau dan karena itu

pula, Salman al-farisi yang tidak memiliki hubungan darah dengan Nabi

Muhammad saw. bahkan bukan orang Arab, tetapi dari Persia, dijadikan Nabi

Muhammad saw. sebagaiahl / keluarga dengan sabdanya: “Salman dari

(keluarga) kita, ahl al-Bait”. Ini karena keimanan dan kesalehan beliau.

Kata (‫( اصطثس‬ishthabirdari kata (‫( اصثس‬ishbir / bersabarlah dengan

penambahan huruf (‫( ط‬tha‟.Penambahan itu mengandung makna penekanan.

Nabi saw. diperintahkan untuk lebih bersabar dalam melaksankan shalat,

karena shalat yang wajib bagi beliau hanya shalat lima waktu, tetapi juga

shalat malam yang diperintahkan kepada beliau untuk melaksanakannya

selama sekitar setengah malam setiap hari, ini memerlukan kesabaran dan

ketekunan melebihi apa yang diwajibkan atas keluarga dan umat beliau.

7
Firman- Nya: (‫ْ( زشقا سألًلل‬la nas‟aluka rizqan / Kami tidak meminta

kepadamu rezeki, serupa dengan firman-Nya, [51]: 56-57.

Artinya: “aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka

menyembah-Ku, Aku tidak menghendaki dari mereka sedikitpun rezeki

dan tidak juga menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.

Sesungguhnya Allah adalah Dia Yang Maha Pemberi rezeki Yang

memiliki kekuatan lagi Maha Kokoh. (Departemen Agama RI, 2010: 523).

Kata (‫( زشق‬rizq pada mulanya, sebagaimana ditulis oleh pakar bahasa

arab, Ibn Faris, berarti pemberian untuk waktu tertentu. Namun demikian, arti

asal ini berkembang sehingga rezeki antara lain diartikan sebagai

pangan,pemenuhan kebutuhan, gaji, hujan dan lain-lain, bahkan sedemikian

luas dan berkembang pengertiannya sehingga anugerah kenabian pun dinamai

rezeki.

Setiap makhluk telah dijamin Allah rezekinya.Jaminan rezeki yang

dijanjikan itu bukan berarti Allah swt.memberinya tanpa usaha. Harus

disadari bahwa yang menjamin itu adalah Allah yang menciptakan makhluk

serta hukum-hukum yang mengatur makhluk dan kehidupannya. Kemampuan

tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh rezekinya, serta organ-organ yang

menghiasi tubuh manusia dan binatang, insting yang mendorongnya untuk

hidup dan makan, semuanya adalah bagian dari jaminan rezeki

Allah.Kehendak manusia dan instingnya, perasaan dan kecendrungannya,

selera dan keinginannya, rasa lapar dan hausnya, sampai kepada naluri

8
mempertahankan hidupnya, adalah bagian dari jaminan rezeki Allah kepada

makhluk-Nya. Tanpa itu semua, maka tidak akan ada dalam diri manusia

dorongan untuk mencari makan. Tidak pula akan terdapat pada manusia dan

bintang pencernaan, kelezatan, kemampuan membedakan rasa dan

sebagainya.

Allah sebagai Ar-Razzaq menjamin rezeki dengan menghamparkan

bumi dan langit dengan segala isinya. Dia menciptakan seluruh wujud dan

melengkapinya dengan apa yang mereka butuhkan, sehingga mereka dapat

memperoleh rezeki yang dijanjikan Allah itu. Rezeki dalam pengertiannya

yang lebih umum tidak lain kecuali upaya makhluk untuk meraih kecukupan

hidupnya dari dan melalui lain. Semua makhluk yang membuthkan rezeki

diciptakan Allah SWT membutuhkan makhluk lain untuk dimakannya agar

dapat melanjutkan hidupnya.

B, Pandangan Tafsir Isyari menurut Ulama

Hukum Tafsir bil-isyarah: Para ulama

berselisih pendapat dalam menghukumi tafsir

isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian

lainnya melarangnya (Az-Zarqani: 546).

Tafsir Isyari dapat dibenarkan selama:

1. Maknanya lurus, tidak bertentangan

dengan hakikat-hakikat keagamaan, tidak

juga dengan lafazh ayat.

9
2. Tidak menyatakan bahwa itulah satusatunya makna untuk ayat yang ditafsirkan.

3. Ada korelasi antara makna yang ditarik

itu dengan ayat.

Sementara ulama menambah syarat

keempat bahwa ada dukungan dari sumber

ajaran agama yang mendukung makna Isyari

yang ditarik.

Badruddin Muhammad Ibn Adbullah

Az-Zarkasyi adalah termasuk golongan

orang yang tidak mendukung tafsir isyari

(menolak tafsir bil isyari), hingga beliau

mengatakan: “Adapun perkataan golongan

sufi dalam menafsirkan Al-Qur’an itu bukan

tafsir, melainkan hanya makna penemuan

yang mereka peroleh ketika membaca”.

Seperti kata sebagian mereka tentang firman

Allah dalam Surat At-Taubah ayat. 123:

Artinya : Hai orang-orang yang beriman,

perangilah orang-orang kafir yang di sekitar

kamu itu, dan hendaklah mereka menemui

kekerasan daripadamu, dan ketahuilah,

bahwasanya Allah bersama orang-orang

10
yang bertaqwa. (QS. At-Taubah:123).

Yang dimaksudkan disini adalah

“nafsu”. Alasannya: Illat perintah memerangi

orang yang disekeliling kita itu adalah karena

“dekat”. Padahal tidak ada suatu yang lebih

dekat kepada manusia dari pada nafsunya

sendiri.

Demikian juga An-Nasafi mengatakan,

sebagaimana dijelaskan Az-Zarqani dan AsSuyuti bahwa: “Nash-nash itu harus berdasarkan
zahirnya, memutarkan pada arti lain

yang dilakukan oleh orang kebatinan adalah

merupakan bentuk penyelewengan”

(Hadnan, 1993: 46)

2.4 Metode Penafsiran


metode penafsiran melalui isyarat suci yang timbul dari riyadhah ruhiyah. Orang sufi
meyakini bahwa riyadhah ruhiyah bisa mengantarkan seseorang ke dalam derajat
yang bisa membuka isyarat-isyarat suci.
2.5 Contoh – contoh Penafsiran isyari
1. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari
antara lain adalah pada ayat:
‫ِإَّن اَهللا ي‬‫ْأم‬‫ر‬‫ُك م‬ ‫َأن ت‬‫ْذ ب‬‫ح‬‫و‬‫ا ب‬‫َقر‬٦٧) : ‫ًة (البقرة‬
Yang mempunyai makna zhahir
adalah “...Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi
makna dengan “...Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih nafsu
hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang
terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary,
Tafsir Ibnu Araby.
2. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari
antara lain adalah pada ayat:
١) ‫ اذا جـاء نصر اهللا والفتح (النصر‬:
Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”.

11
Tetapi dalam tafsir Isyari diberi
makna bahwa ayat tersebut menunjukkan
isyarat dekatnya ajal Nabi Saw.
3. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari
antara lain adalah pada ayat:
‫اذهب إلى فرعون إنه طغى‬
Artinya: “Pergilah kepada Fir’aun;
sesungguhnya ia telah melampaui
batas.” (QS. Thaahaa: 24)
Dalam hal ini para sufi mentakwilkan Fir’aun dengan Hati. Maksudnya
bahwa Fir’aun itu sebenarnya hati setiap
manusia yang mempunyai sifat melampaui batas.
4. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat: 4’¯

4. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari

antara lain adalah pada ayat:

Artinya: “Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi

ular dan) Musa melihatnya bergerakgerak seolah-olah dia seekor ular yang

gesit, larilah ia berbalik ke belakang

tanpa menoleh (kemudian Musa diseru),

“Hai Musa datanglah kepada-Ku dan

janganlah kamu takut. Sesungguhnya

kamu termasuk orang-orang yang

aman”. (QS.Al-Qashash: 31), (AsySyarifain,1971:20).

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tafsir yang dalam memberikan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an kental dengan takwil, aspek-
aspek esoterik dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam teks ayat-ayat Al-Qur’an. Terlepas
dari kontroversi yang terjadi dalam mengomentari jenis tafsir ini, yang jelas tafsir isyari adalah
merupakan bentuk dari kontribusi dari ulama dalam memperkaya pembendaharaan literatur
tafsir yang sekaligus juga memperluas pemahaman tentang makna Al-Qur’an. Ala kulli hal
tafsir isyari telah memberi warna yang khas dalam diskursus tafsir dari masa ke masa.
Sebagaimana aliran tafsir lainnya yang berpaling untuk dikembangkan, tafsir isyari pun
berkemungkinan bagi upaya pengembangannya untuk masa kini dan masa mendatang. Tentu
saja perhatikan terhadap rambu-rambu penafsiran supaya termasuk tafsir isyari al-maqbul
bukan tafsir isyari almardud. Berbeda dengan tafsir bi al-ma’sur dan tafsir bi ar-ra’yi yang
kebenaran (termasuk pengembangannya) relatif mudah untuk diukur penerapan kriteria
kebenaran tafsir isyari sangatlah sulit. Ini terjadi karena sumbernya lebih mengandalkan hati
atau intuisi yang juga sangat sulit untuk dibedakan dari kemungkinan terkontaminasi dengan
hawa nafsu yang keliru.

13
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.iain-palangkaraya.ac.id/1194/1/Skripsi%20Pauji%20Amrullah%20-%201201111731.pdf

file:///C:/Users/Win7/Downloads/17-Article%20Text-65-1-10-20200814%20(1).pdf

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/25685/BAB%20IV.pdf?
sequence=8&isAllowed=y

https://m-kumparan-com.cdn.ampproject.org/v/s/m.kumparan.com/amp/berita-hari-ini/macam-
macam-tafsir-lengkap-dengan-penjelasan-dan-kitabnya-1xGEE4x2DpQ?
amp_gsa=1&amp_js_v=a9&usqp=mq331AQIUAKwASCAAgM%3D#amp_tf=Dari
%20%251%24s&aoh=16986846003377&csi=1&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&ampshare=https%3A%2F%2Fkumparan.com%2Fberita-hari-ini%2Fmacam-
macam-tafsir-lengkap-dengan-penjelasan-dan-kitabnya-1xGEE4x2DpQ

14

Anda mungkin juga menyukai