Anda di halaman 1dari 18

TAFSIR AL-IBRIZ LI MA’RIFATI TAFSIR AL-QUR’AN AL-

‘AZIZ

KARYA BISHRI MUSTOFA

Makalah ini dibuat dan disusun untuk memenuhi tugas terstuktur pada mata kuliah
Studi Kitab Tafsir Dunia Melayu

OLEH :

NURUL HAFIZA HARAHAP (12030224470)

NUR HAFIFAH HASIBUAN (12030227632)

ZARFILA ABU RAHMAN (12030214795)

ILMU AL QUR'AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
PEKANBARU-RIAU

2023 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami diberikan waktu dan
kesempatan untuk menyelesaikan makalah “ Israiliyat dan Ad-Dakhil serta
keidentikannya.”

Adapun tujuan penyusunan makalah ini ialah untuk memenuhi Tugas


Terstruktur. pada mata kuliah Studi Kitab Tafsir Dunia Melayu. Dalam
penyusunan makalah ini, kami mengakui bahwa masih banyak kekurangan
dan keterbatasan yang ada di dalamnya. Kami selaku penulis sudah berupaya
sebaik mungkin untuk mengurangi kekurangan tersebut. Karena itu, kami
membutuhkan kritik yang membangun serta saran yang mendukung dari
semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya, kami berserah diri kepada Allah Swt.seraya memohon taufiq


dan hidayah-Nya semoga makalah ini dapat bermanfaat terkhusus bagi
penulis dan umumnya bagi para pembaca. Aamiin...

Pekanbaru, September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................1

C. Tujuan Masalah..........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................2

A. Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir.........................................................3

B. Biografi Tokoh..............................................................................................4

C. Kajian Metodologis.......................................................................................7

1. Sistematika Penulisan...............................................................................7

2. Metode Penafsiran....................................................................................8

3. Contoh Penafsiran....................................................................................9

4. Corak Penafsiran....................................................................................12

D. Komentar Ulama‟ dan Kenunikan Tafsir...................................................12

BAB III PENUTUP.......................................................................................14

A. Kesimpulan.................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah


Islam merupakan agama yang sempurna, yang dianugerahkan Allah untuk
umat Nabi Muhammad. Menyampaikan dan mengajarkan kepada keluarga,
kerabat, serta sahabat dan umatnya adalah salah satu cara Nabi dalam berdakwah,
baik itu berupa al-Qur‟an maupun hadis. Kemudian sahabat menyampaikan
kepada tabi’in, tabi’in kepada tabiit tabi’in hingga seterusnya.
Dengan bergulirnya zaman, semakin banyak sekali para ulama-ulama yang
ingin menafsirkan atau menjelaskan makna-makna dari al-Qur‟an itu sendiri tanpa
keluar dan merubah maksud dari al-Qur‟an. Sehingga banyak sekali para penafsir-
penafsir al-Qur‟an yang tersebar dimana-mana. Salah satunya Negara Indonesia,
juga banyak sekali para penafsir al-Qur‟an yang terlahir di Indonesia ini. Akan
tetapi, tak sedikit juga penyebaran Islam ke Indonesia ini dilakukan oleh
penyebar-penyebar Islam, baik dari Gujarat, Persia, maupun Arab. Mereka telah
memberikan corak budaya yang kuat bagi Islam yang berkembang di Indonesia.
Dalam makalah ini, penulis ingin menjelaskan tafsir al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr
al-Qur’an al-‘Azīz karya Bishrī Muṣṭofā yang meliputi biografi Bishrī Muṣṭofā,
sejarah penulisan tafsir, metode penulisan tafsir, dan contoh-contoh penafsiran
dalam kitab al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīz

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang penulisan tafsir Al-Ibriz karya Bishri Mustofa?
2. Jelaskan biografi Bishri Mustofa?
3. Bagaimana kajian metodologis penafsiran tafsir Al-Ibrizkarya Bishri Mustofa?
4. Bagaimana Komentar Ulama‟ dan Keunikan Tafsir terhaadap tafsir Al-Ibriz?

C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui latar belakang penulisan tafsir Al-Ibriz, biografinya, kajian
metodologis penafsirannya, komentar ulama terhadap tafsir Al-Ibriz serta
keunikan tafsir Al-Ibriz.

1
BAB II

PEMBAHASAN

I. Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr Al-Qur’an al-‘Azīz


Data Filologis Kitab
Nama Kitab : al-Ibrîz lima‟rifati Tafsîr al-Qur‟ân bi al-Lughah al-Jawiyyah.
Pengarang : KH. Bisri Musthafa.
Jilid : 30 jilid. Setiap jilid berisi 1 juz al-Qur‟ân.
Tulisan : Arab Pegon.
Madzhab Tafsir : Ahlu al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah.
Penerbit : Menara Kudus, Rembang.

2
A. Latar Belakang Penulisan Tafsir
Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz yang lebih dikenal dengan
sebutan tafsir al-Ibriz merupakan tafsir berbahasa Jawa dengan huruf arab pegon
karangan Bishrī Musṭofa. Bishrī Musṭofa mengarang tafsirnya dengan bahasa
jawa tidaklah tanpa sebab, ia juga tahu bahwasannya al-Qur‟an sudah banyak
diterjemahkan bahkan ditafsirkan oleh para ahli ke dalam berbagai bahasa, ada
bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Indonesia dan lain-lain. Bahkan ada yang
menggunakan bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sunda dan lain-lain. Dari
terjemah itulah, umat Islam dari berbagai bangsa dan suku-suku banyak yang bisa
mengerti makna dan artinya.1
Nama lengkap dari kitab Al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustofa adalah Al-Ibriz Li
Ma‟rifah Tafsir Al-Qur‟an Al-„Aziz, kemudian lebih masyhur dengan sebutan Al-
Ibriz. Sejak dekade 80-an telah ditemukan tafsir di Indonesia menggunakan
bahasa Jawa, inilah yang kemudian yang dikenal dengan Arab Pegon, dan karya
KH. Bisri Musthafa dalam kitab Ibriznya mengadopsi bentuk tulisan model seperti
ini. Lahirnya kitab tafsir ini secara sosiologis di tengah-tengah tradisi pesantren di
Jawa. Penulisan kitab Al-Ibriz dengan model Arab-Pegon tentunya atas
pertimbangan-pertimbangan komunitas pembaca Tafsir pada saat itu.2
Tafsir Al-Ibriz selesai ditulis KH. Bisri Musthofa pada tanggal 29 Rajab 1379
Hijriyah, bertepat dengan tanggal 28 Januari 1960 Masehi. Sebagaimana yang
diutarakan istri beliau Nyai Ma‟rufah bahwasanya penulisan kitab tafsir Al-Ibriz
bertepat dengan kelahiran putri terakhirnya yaitu Ning Atikah tahun1964.33 Pada
tahun 1961 kitab Tafsir Al-Ibriz dijual kepada penerbit Menara Kudus,
Semarang.34Sebagaimana yang disebutkan dalam Muqaddimah Al-Ibriz,
bahwasanya sebelum diterbitkan, tafsir tersebut di tashih oleh beberapa tokoh
ulma dari Kudus diantaranya adalah Kiai Arwani Amin, Kiai Abu Ammar, Kiai
Hisyam, dan Kiai Sya‟roni.353
Dalam kata pengantar kitabnya, KH. Bisri Musthofa menyebutkan Motivasi
atau latar belakang menulis kitab tafsirnya, beliau mengatakan bahwasanya:

1
Bishri Musṭofa, Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz, (Kudus: Maktabah wa
Maṭba‟ah Menara Kudus, tth),hlm, 2.
2
KH. Bisri Musthafa, Tafsir Al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz Bil Lugoh Al-
Jawiyah. (Kudus: Menara Kudus, 1960). Halaman Muqddimah Jilid 1.
3
Ibid

3
Tujuan penulisan kitab ini adalah untuk menambah khidmah dan usaha yang baik
dan mulia sehingga akan mendatangkan ridho dari Allah swt, karya tafsir ini
sengaja ditulis menggunakan Bahasa Jawa dengan maksud supaya masyarakat
Jawa mampu memahami isi kandungan Al-Qur‟an dengan gampang dan mudah.
Kitab tafsir ini disajikan dengan bahasa yang ringan dan mudah difahami, bahkan
oleh orang awam sekalipun. Kemudian beliau melanjutkan dengan mengatakan
bahwasanya beliau merujuk kepada kitab-kitab yang Mu‟tabarah, seperti; Tafsir
Jalalain, Tafsir Baidhowi, dan Tafsir Khozin.4

B. Biografi Mufassir
Bishri Muṣṭofa lahir di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun
1915. Awalnya namanya adalah Mashadi, tetapi namanya diganti dengan Bishrī
Muṣṭofā setelah ia menunaikan haji pada tahun 1923. Ia merupakan putra dari
Zainal dan Chotijah. Ia merupakan orang yang mempunyai kecerdasan yang luar
biasa.5
KH. Bisri Musthafa, nama kecilnya Mashadi, Nama Bisri ia peroleh setelah
menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah - Madinah pada tahun 1923 M. Ia
meninggal pada 16/24 Februari 1977.2 Mashadi adalah anak pertama dari empat
bersaudara, yaitu Mashadi, Salamah (Aminah), Misbah dan Khatijah.6
Sejak ayahandanya wafat pada tahun 1923 merupakan babak kehidupan baru
bagi KH. Bisri Mustofa. Sebelumnya ketika ayahnya masih hidup seluruh
tanggung jawab dan urusan-urusan serta keperluan keluarga termasuk keperluan
beliau menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu sepeninggal H. Zainal
Mustofa (ayahnya), tanggung jawab keluarga termasuk berada di tangan H.
Zuhdi.7
KH. Bisri Musthafa menikah dengan gadis Rembang bernama Ma‟rufah binti
KH. Khalil Kasingan Rembang yang berasal dari Sarang. Mereka dikaruniai
delapan orang anak;

4
Ibid
5
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), 168.
6
Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia, Jakarta Selatan: Teraju, 2003, cet. I, h. 244.
7
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa,Yogyakarta:
PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005, cet. I, h. 9

4
1. KH. Khalil Bisri, lahir pada tahun 1941 M (lebih dikenal dengan Mbah Kholil),
2. KH. Musthafa Bisri, lahir pada tahun 1943 M (lebih dikenal dengan Gus Mus),
3. KH. Adib Bisri, lahir pada tahun 1950 M,
4. Nyai. Fadhilah, lahir pada tahun 1952 M,
5. Nyai. Najikhah, lahir pada tahun 1955 M,
6. Ladib, lahir pada tahun 1956 M,
7. Nahayah, lahir pada tahun 1958 M,
8. Atikah, lahir pada tahun 1964 M.8
H. Zuhdi kemudian mendaftarkan Bisri ke sekolah HIS (Hollans Inlands
School) di Rembang. Bisri Mustofa di terima di sekolah HIS, sebab beliau diakui
sebagai keluarga Raden Sudjono, Mantri guru HIS yang bertempat tinggal di
Sawahan Rembang Jawa Tengah dan merupakan tetangga keluarga Bisri Mustofa.
Akan tetapi setelah Kyai Kholil Kasingan mengetahui bahwa Bisri Mustofa
sekolah di HIS, beliau langsung datang ke rumah H. Zuhdi di Sawahan dan
memberi nasehat untuk membatalkan dan mencabut dari pendaftaran masuk
sekolah di HIS.
Hal ini dilakukan karena Kyai Khalil mempunyai alasan bahwa HIS adalah
sekolah milik penjajah Belanda yang dikhususkan bagi para anak pegawai negeri
yang berpenghasilan tetap. Sedangkan Bisri Mustofa sendiri hanya anak seorang
pedagang dan tidak boleh mengaku atau diakui sebagai keluarga orang lain agar
bisa untuk belajar di sana. Beliau juga sangat khawatir kelak Bisri Mustofa
nantinya memiliki watak seperti penjajah Belanda jika beliau masuk sekolah di
HIS. Selain itu kyai Khalil juga menganggap bahwa masuk sekolah di sekolahan
penjajah Belanda adalah haram hukumnya.9
Pada akhirnya kiai bisri melanjutkan studinya di sekolah Jawa Ongko Loro di
kabupaten Rembang, atas saran KH Khalil. beliau lulus pada tahun 1926. Kiai
bisri juga pernah menjadi santri di pesantren Kajen selama tiga hari, juga di
pesantren Kasingan Rembang yang diasuh oleh KH. Khalil. Ia pulang ke
rumahnya setiap seminggu sekali untuk mengambil bekal. Ia juga belajar

8
Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011,hlm 125
9
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, hlm. 10-11.

5
membaca kitab suci Al-Qur‟an dan menulis Arab kepada beliau dan kepada H.
Zuhdi.10
Bishrī Musṭofa memperoleh dasar-dasar pendidikan dimulai dari
orangtuanya, dan menjadi siswa di sekolah ongko loro (sekolah yang waktu itu
tingkatannya sangat rendah, dan dikhususkan untuk rakyat pribumi jelata). Setelah
lulus dari ongko loro ia nyantri di pesantren Kajen untuk pasanan yang diasuh
kyai Chasbullah, tapi hanya tiga hari karena ia tidak betah. Kemudian ia
melanjutkan ke pesantren Kasingan Rembang yang di asuh olek Kyai Cholil, di
sana ia belajar ilmu nahwu dengan kitab alfiyah sebagai pegangan utama. Selain
itu ia juga sering nyantri pasanan di pesantren Tebuireng, Jombang asuhan KH.
Hasyim Ash‟ari. Ia juga belajar kepada Kyai Bakir, Syaikh Maliki, Sayyid Amin,
Syaikh Ḥasan Mashshath, Kyai Muhaimin, dan Syaikh Umar Ḥamdan al-
Maghribi di Mekkah pada tahun 1936.
Hasil karya KH. Bisri Musthafa umumnya mengenai masalah keagamaan
yang meliputi berbagai bidang, diantaranya; ilmu tafsir dan tafsir, ilmu hadis dan
hadis, ilmu nahwu, sharaf, akidah, syari‟ah, akhlak dan sebagainya. Adapun
bahasa yang digunakan bervariasi, ada yang menggunakan bahasa Jawa bertulisan
Arab pegon, bahasa Indonesia menggunakan bahasa Arab pegon, ada yang
berbahasa Indonesia bertulisan huruf latin, dan ada juga yang berbahasa Arab.1011
Adapun hasil karya-karyanya antara lain;
1. Bidang Tafsir
Selain tafsîr al-Ibrîz lima’rifati Tafsîr al-Qur’ân, KH. Bisri Musthofa juga
menyusun kitab Tafsîr Surat Yâsîn.
2. Hadits
a. Sullâmul Afhâm li Ma’rifati al-Adillati al-Ahkâm fî Bulûgh al-Marâm, terdiri
atas 4 jidil, berupa terjamah dan penjelasan.
b. al-Azwâd al-Mustofawiyah, berisi tafsiran Hadits Arba’in an-Nawaiy untuk
para santri pada tingkatan Tsanawiyah.
3. „Aqidah
a. Rawihât al-Aqwâm fî ‘Azmi ‘Aqîdah al-Awwâm.
b. Durar al-Bayân fî Tarjamati Syu’bah al-Îmân.
10
Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, hlm.126
11
Ibid, 130

6
Keduanya merupakan karya terjemahan kitab tauhid/aqidah yang dipelajari oleh
para santri pada tingkat pemula (dasar) dan berisi aliran Ahlu al-Sunnah wa al-
Jamâ’ah.
4. Syari‟ah
a. Sullâmul Afhâm li Ma’rifati al-Adillati al-Ahkâm fî Bulûgh al-Marâm.
b. Qawâ’id al-Bahîyah, Tuntunan Shalat dan Manasik Haji.
c. Islam dan Shalat.
Bishrī dikenal sebagai ulama yang demokratis dan mau bergaul dengan
berbagai lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan. Ia juga dikenal sebagai
sosok ulama yang moderat, selain itu Bishrī juga merupakan pejuang yang gigih
sejak era penjajahan Belanda dan Jepang. Ia juga merupakan seorang negosiator
dan orator andal, hal ini karena dalam setiap kampanye beliau selalu menjadi juru
kampanye andalan dari partainya. Ia meninggal pada hari Rabu, 17 Februari 1977/
27 Shafar 1397 H, waktu Ashar di Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang akibat
serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru.12

C. Kajian Metodologis

1. Sistematika Penyajian
Sistematika tafsir al-Ibriz mengikuti urutan ayat-ayatnya, dimulai dari surat al-
Fatihah sampai surat al-Nash. Setelah satu ayat ditafsirkan selesai, diikuti ayat-
ayat berikutnya sampai selesai.13

Bentuk penyajian penulisan tafsir Al- Ibriz di tulis sangat sederhana. Ayat-ayat
al- Qur‟an dimaknai ayat per-ayat dengan makna gandhul (makna yang ditulis
dibawah kata perkata ayat al-Qur‟an, lengkap dengan kedudukan dan fungsi
kalimatnya, sebagai subyek, predikat atau obyek dan lain sebagainya). Bagi
pembaca tafsir yang berlatar santri maupun non-santri, penyajian makna khas
pesantren dan unik seperti ini sangat membantu seorang pembaca saat memahami
makna dan fungsi kata per-kata. Hal ini sangat berbeda dengan model penyajian
yang utuh, di mana satu ayat diterjemahkan seluruhnya dan pembaca yang kurang

12
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, 170-171.
13
Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz, Jurnal “Analisa” Volume
XVIII, No. 01, Januari – Juni 201, hal. 32

7
akrab dengan gramatika bahasa Arab sangat kesulitan jika diminta menguraikan
kedudukan dan fungsi kata perkata.14
Setelah ayat al-Qur‟an diterjemahkan dengan makna gandul, di sebelah luarnya
yang dibatasi dengan garis disajikan kandungan al-Qur‟an (tafsir). Kadang-
kadang, penafsir mengulas ayat per-ayat atau gabungan dari beberapa ayat,
tergantung dari apakah ayat itu bersambung atau berhubungan dengan ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya atau tidak.
Kadang penafsir tidak memberikan keterangan tambahan apapun saat
menafsirkan ayat tertentu, nyaris seperti terjemahan biasa. Hal ini disebabkan
karena ayat-ayat tersebut cukup mudah dipahami, sehingga penafsir merasa tidak
perlu berpanjang-panjang kata. Berbeda jika ayat tersebut memerlukan penjelasan
cukup panjang karena kandungan maknanya tidak mudah dipahami.
Pada ayat-ayat tertentu, penafsir merasa perlu memberikan catatan tambahan,
selain tafsirnya, dalam bentuk faedah atau tanbih (warning). Bentuk pertama
mengindikasikan suatu dorongan atau hal positif yang perlu dilakukan. Sedang
yang kedua berupa peringatan atau hal-hal yang seharusnya tidak disalahpahami
atau dilakukan oleh manusia.

Tanbih juga kadang berisi keterangan bahwa ayat tertentu telah dihapus
(mansukh) dengan ayat yang lain. Terkait dengan asbab al-nuzul sebuah ayat,
penafsir memberikan keterangan secukupnya, misalnya Surat „Abasa. Penafsir
juga kadang menjelaskan ayat-ayat tertentu yang sudah dinasakh oleh ayat lain.
Keterangan ini tentu sangat berharga bagi pembaca awam sehingga tidak terjebak
pada pemahaman kaku ayat tertentu padahal ayat tersebut sudah dihapus oleh ayat
sesudahnya.15.

2. Metode Penafsiran
Menurut penulis metode yang di gunakan oleh KH. Bisri Musthafa dalam
menyusun tafsir yaitu metode tahlili yaitu suatu metode yang menjelaskan makna-
makna yang dikandung ayat al-Qur‟an yang urutannya disesuaikan dengan tertib
ayat mushaf al-Qur‟an. Penjelasan makna-makna ayat tersebut dapat berupa
14
Abu Rokhmad,Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz, Jurnal Analisa . Volume
XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011.hlm,33
15
Ibid

8
makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbab al-nuzul-nya,
serta keterangan yang dikutip dari Nabi, sahabat maupun tabi‟in.16
Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul, sedang
penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Dengan cara ini,
kedudukan dan fungsi kalimat dijelaskan detail, sehingga siapapun yang
membacanya akan mengetahui bahwa lafadz ini kedudukan sebagai fi‟il, fa‟il,
maf‟ul dan lain sebagainya.

Adapun sumber penafsiran dalam kitab tafsir ini ada dua macam; yaitu bi al-
Ma’tsûr, dan bi al-Ra’yi. Dalam tafsir ini Bisri Musthafa lebih cenderung
menafsirkan ayat al-Qur’ân secara bi al-Ra’yi. Karena pada kenyataannya tidak
semua ayat terdapat suatu riwayat atau ada keterkaitan dengan ayat yang lain.
Sehingga langkah yang bisa ditempuh untuk memahami ayat tersebut adalah
dengan cara bi al-Ra’yi.17
Kiai Bisri dalam menafsirkan ayat al-Qur’ân terkadang juga menampilkan
Hadis Nabi apa adanya, tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya dan status
hadisnya. Selain itu kiai Bisri juga terkadang menampilkan qoul para sahabat,
misalnya pendapat Ibn „Abbas dan „Aisyah. Sehingga patut jika dikatakan bahwa
manhaj yang dilakukan oleh beliau adalah al-Ma’tsûr. Tetapi dalam penukilan
hadis atau riwayat sahabat, tabi‟in serta ulama‟ tersebut adalah hasil dari
pemikiran Bisri Musthafa dalam penafsiran tafsir ini. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa jenis tafsir ini adalah tafsir bi al-Ra’yi.18

3. Contoh-Contoh Penafsiran dalam Kitab Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr


Al-Qur’an al-‘Azīz
1. Penafsiran terhadap ayat-ayat poligami

Contoh penafsiran Bishrī terhadap ayat poligami sebagaimana yang terdapat


dalam surat al-Nisā‟ ayat 3:

16
Abu Rokhmad,Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz, Jurnal Analisa . Volume
XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011.hlm,36
21 Fejrian Yazdajird Iwanebel, Corak
17
Muhammad Asif, Karakterisik Tafsir al-Ibriz Karya Bisri Musthafa, Skripsi di STAIN
Surakarta, 2010, hlm. 90.
18
Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, hlm,138.

9
‫ع‬ َ ‫اء َهخٌَْى َوح ُ ََل‬
َ ‫ث َو ُزبَا‬ ِ ‫س‬ َ ‫طىا فًِ ا ْلٍَتَا َهى فَا ًْ ِك ُحىا َها َط‬
َ ٌِّ ‫اب لَ ُك ْن ِهيَ ال‬ ِ ‫َوإِ ْى ِخ ْفت ُ ْن أ َ اَّل ت ُ ْق‬
ُ ‫س‬
‫اح َدةً أ َ ْو َها َهلَكَتْ أ َ ٌْ َواًُ ُك ْن ذَ ِلكَ أ َ ْدًَى أ َ اَّل تَعُىلُىا‬
ِ ‫فَ ِإ ْى ِخ ْفت ُ ْن أ َ اَّل ت َ ْع ِدلُىا فَ َى‬

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
(menikahilah) wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (menikahilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Bishrī menafsirkan seperti ini:
Wong-wong Islam zaman awal, yen ana kang ngerumat yatimah ing
mangka kabeneran ora mahram (anak dulur upamane) iku akeh-akehe nuli
dikawin pisan. Nalika iku nganti kedadeyan ana kang ndue bojo wolu utawa
sepuluh. Bareng ayat nomer loro mahu tumurun , wong-wong mahu nuli
pada kuatir yen ora bisa adil, nuli akeh kang pada sumpek, nuli Allah
Subḥānahu wa Ta’ālā nurunake ayat kang nomer telu iki, kang surasane:
yen sira kabeh kuatir ora bisa adil ana ing antarane yatim-yatim kang sira
rumat, iya wayoh loro-loro bahe, utawa telu-telu bahe utawa papat-papat,
saking wadon-wadon kang sira senengi, ojo nganti punjul sangking papat.
Lamun sira kabeh kuatir ora bisa adil nafaqah lan gilir, mangka nikaha siji
bahe, utawa terima ngalap cukup jariyah kang sira miliki, nikah papat utawa
siji, utawa ngalap cukup jariyah iku sejatine luwih menjamin keadilan (ora
mlempeng).

Orang-orang Islam zaman awal, ketika merawat anak yatim perempuan


yang kebetulan bukan mahram (seumpama anak saudara) kebanyakan
dinikahi juga. Ketika itu sampai ada peristiwa ada yang mempunyai isteri
delapan atau sepuluh. Ketika ayat nomer dua turun (maksudnya surat al-
Nisā‟ ayat kedua), orang-orang tadi lalu khawatir tidak bisa berbuat adil,
lalu banyak yang galau. Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta’ālā
menurunkan ayat nomer tiga (surat al-Nisā‟ ayat ketiga) yang isinya: ketika
kalian semu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim
yang kalian pelihara, maka nikahilah dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat

10
wanita-wanita yang kamu senangi, jangan sampai lebih dari empat. Ketika
kalian semua khawatir tidak dapat berlaku adil dalam hal nafaqah dan
menggilir, maka nikahilah satu wanita saja, atau merasa cukup dengan
jariyah yang kamu miliki, menikah empat atau satu, atau merasa cukup
jariyah itu sebenarnya lebih menjamin keadilan.

2. Penafsiran terhadap lafal min nafsin wahidin

Contoh penafsiran Bishrī dalam menafsirkan lafal min nafsin wahidin


sebagimana yang terdapat dalam surat al-Nisā‟ ayat 1:

‫ج‬‫اح َد ٍة َو َخلَقَ ِه ٌْ َها َش ْو َج َها َوبَ ا‬ ُ ‫ٌَا أٌَُّ َها الٌا‬


ِ ‫اس اتاقُىا َزبا ُك ُن الارِي َخلَقَ ُك ْن ِه ْي ًَ ْف ٍس َو‬
‫سا َءلُىىَ ِب ِه َو ْاْل َ ْز َحا َم إِىا ا‬
َ‫َّللاَ كَاى‬ َ َ ‫َّللاَ الارِي ت‬
‫سا ًء َواتاقُىا ا‬ َ ًِ‫ٍسا َو‬ ً ِ‫ِه ٌْ ُه َوا ِز َج ًاَّل َكخ‬
‫علَ ٍْ ُك ْن َزقٍِبًا‬
َ

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu (QS. Al-Nisā‟: 1).Bishrī menafsirkan seperti ini:
Hai iling-iling para menusha khususe ahli makkah, umume menusha
kabeh. Sira kabeh padaha taqwa marang pengeran kang hanitahaken sira
kabeh saking wong siji iya iku Adam, lan nitahake garwane (ibu Hawa‟)
uga saking nabi Adam, lan nuli saking Adam Hawa‟ Allah ta‟ala nitahake
menusha akeh banget lanang lan wadon. Lan pada wediha marang Allah
kang asmane tansah sira anggo sumpah, lan padaha anjaga sana‟, ojo nganti
pedot. Sa‟temene Allah ta‟ala iku tansah nginjen-nginjen amal ira kabeh.

Hai sekalian manusia, khususnya ahli makkah, umumnya semua


manusia. Bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kalian
semua dari manusia yang satu yaitu nabi Adam, dan menciptakan istrinya
(Hawa‟) juga dari nabi Adam, dan dari Adan dan Hawa‟ Allah menciptakan

11
manusia yang sangat banyak laki-laki dan perempuan. Dan takutlah kalian
semua pada Allah yang namanya selalu kamu gunakan untuk sumpah, dan
saling menjagalah terhadap saudara, jangan sampai putus. Sesungguhnya
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā sealu menghitung-hitung amal kalian semua..

4. Corak Penafsiran
Dalam pendekatan atau corak tafsir al-Ibriz tidak memiliki kecenderungan
dominan pada satu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung bercorak kombinasi antara
fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi. Dalam arti, penafsir akan memberikan
tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial
kemasyarakatan. Corak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi
ini harus diletakkan dalam artian yang sangat sederhana.19

Dari sisi sosial, tafsir ini cukup bermanfaat dan memudahkan bagi
masyarakat pesantren yang nota bene adalah warga desa yang lebih akrab dengan
bahasa Jawa dibanding bahasa lainnya. Dari sisi politik, penggunaan bahasa Jawa
dapat mengurangi ketersinggungan pihak lain jika ditemukan kata-kata bahasa
Indonesia misalnya, yang sulit dicari padanannya yang lebih halus. Bahasa Jawa
memiliki tingkatan bahasa dari kromo inggil sampai ngoko kasar, yang dapat
menyampaikan pesan kasar dengan ragam bahasa yang halus.

penafsiran al-Ibrîz mengambil rujukan dari beberapa kitab tafsir


sebelumnya, seperti; Tafsir al-Jalâlain, Tafsir al-Baidowi, Tafsir al-Khâzin, dan
lain-lain.20

D. komentar Ulama’ dan Kenuikan Tafsir Al-Ibriz

Mustofa Bisri atau yang kerap disapa dengan Gus Mus. Keluwesan dan
kedalaman ilmunya seakan tak terbatas. Tidak saja mampu mengayomi santri-
santri yang berada disekelilingnya, akan tetapi juga seluruh muslim di
Indonesia, terutama Jawa. Namanya yang santer dibicarakan orang, seolah
telah sejajar dengan ketenaran Sang Ayahanda K.H. Bisri Mustafa. Salah
19
Abu Rokhmad,Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz, Jurnal Analisa . Volume
XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011.hlm,37
20
Bisri Musthafa, al-Ibrîz lima‟rifati Tafsîr al-Qur‟ân bi al-Lughah al-Jawiyyah,Rembang:
Menara Kudus, 1959, hlm,2.

12
seorang ulama kenamaan asal Rembang yang sekaligus juga merupakan ahli
tafsir di tanah Nusantara. Tafsir al-Ibriz mendapatkan pujian dari beberapa
ulama seperti Hasby Ash-Shiddiqi, Khadijah Nasution dan sarjana belanda
Martin Van Bruinessen. Ada juga seorang profesor muda ahli tafsir dan hadis
keturunan India kelahiran singapura yang bernama Muhammad Shahab Ahmed
yang menyatakan ketertarikannya mempelajari Tafsir al-Ibriz. Bahkan, beliau
merekomendasikan Tafsir al-Ibriz ini sebagai salah satu koleksi di
perpustakaan Universitas Harvard.

Keunikan kitab ini yakni terkait penggunaan bahasa dalam tafsir al-Ibrîz.
Selain lokal, Jawa, bahasa ini juga memiliki unggah – ungguh. Ada semacam
hirarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat
tergantung pihak – pihak yang berdialog. Ini adalah sebuah cita – rasa yang
khas yang dimiliki oleh bahasa Jawa. Kesimpulannya, bahasa Jawa yang
digunakan oleh kiai Bisri berkisar pada dua hirarki; bahasa ngoko (kasar), dan
bahasa kromo (halus).
Kedua hirarki bahasa ini dipakai pada saat berbeda. Bahasa ngoko
digunakan tatkala kiai Bisri menafsirkan ayat secara bebas, karena tidak ada
keterkaitan dengan cerita tertentu dan tidak terkait dengan dialog antar dua
orang atau lebih. Sementara bahasa kromo digunakan untuk mendeskripsikan
dialog antara dua orang atau lebih, yang masing – masing pihak memiliki
status sosial yang berbeda. Satu hina dan lainnya mulia. Misalnya, deskripsi
dialog yang mengalir antara Ashâb al-Kahf dengan Raja Rumania yang dzalim,
Diqyanus antara Qitmîr19 dengan Ashâb al-Kahf, antara Nabi Muhammad saw
dengan seorang konglomerat Arab-Quraisy bernama Uyainah bin Hishn, antara
Allah SWT dengan inlis yang enggan menuruti perintah-Nya untuk bersujud
pada Adam as., juga anatara Khidir as, dengan Musa as.21

21
Anwar Mujahidin, “Analisis Simbolik Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur‟an Sebagai Jimat
Dalam Kehidupan Masyarakat Ponorogo”. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam,
Vol.10, No. 01 Juni 2016, hlm.58

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari kajian di atas, ditemukan kesimpulan sebagai berikut: Tafsir al-Ibriz
karya KH. Bisri Mustofa disusun dengan metode tahlili, yakni suatu metode yang
menjelaskan al-Qur‟an secara kata per-kata sesuai tertib susunan ayat al-Qur‟an.
Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul sedang penjelasannya
(tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Makna gandul ini dibarengi dengan
analisis bahasa yang berguna untuk mengungkap struktur bahasa.

Dari sisi karakteristik, tafsir al-Ibriz sangat sederhana dalam menjelaskan


kandungan ayat al-Qur‟an. Pendekatan atau corak tafsirnya tidak memiliki
kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Tafsir ini merupakan kombinasi
berbagai corak tafsir tergantung isi tekstualnya. Dari segi aliran dan bentuk tafsir,
tafsir al-Ibriz termasuk beraliran tradisional dan ma’tsur dalam artian yang
sederhana. Hal yang buat lebih menarik lagi bahwa tafsir Al-Ibriz selain bersifat
lokal jawa, tafsir ini juga memiliki unggah-unggah, yang meiliki berbagai macam
hirarki bahasa.

Adapun tujuan tafsir ini ditulis yakni untuk menambah khidmah dan usaha
yang baik dan mulia sehingga akan mendatangkan ridho dari Allah swt, karya
tafsir ini sengaja ditulis menggunakan Bahasa Jawa dengan maksud supaya
masyarakat Jawa mampu memahami isi kandungan Al-Qur‟an dengan gampang
dan mudah. Kitab tafsir ini disajikan dengan bahasa yang ringan dan mudah
difahami, bahkan oleh orang awam sekalipun. Bishrī dikenal sebagai ulama yang
demokratis dan mau bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat tanpa membeda-
bedakan Ia meninggal pada hari Rabu, 17 Februari 1977/ 27 Shafar 1397 H, waktu
Ashar di Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang akibat serangan jantung, tekanan
darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru.

14
DAFTAR PUSAKA
Musṭofa,KH Bishri, Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz, Kudus:
Maktabah wa Maṭba‟ah Menara Kudus.
Musthafa,KH Bishri, Tafsir Al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz Bil
Lugoh Al-Jawiyah. Kudus: Menara Kudus,1960.
Amin Ghofur,Saiful, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga
Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013
Zainal Huda,Achmad, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri
Mustofa,Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005
Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011,
Rokhmad,Abu, Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz,
Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari – Juni 2001
Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Mujahidin, Anwar,“Analisis Simbolik Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur‟an Sebagai
Jimat Dalam Kehidupan Masyarakat Ponorogo”. Kalam: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam, Vol.10, No. 01 Juni 2016

15

Anda mungkin juga menyukai