Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TAFSIR IBNU ABBAS

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu Tafsir

Dosen Pengampu:
Aulya Adhli, M.Ag

Kelompok 1:
Ismi Zakiyah Dly (22100018)
Miladiyah (22100006)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang selalu memberikan kita
kesehatan dan kesempatan, sehingga penulis masih bisa mengerjakan makalah ini.
Tidak lupa shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw. yang sangat kita
harapkan syafa’atnya di hari akhir kelak.
Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Aulya Adhli, M.Ag, selaku dosen
pengampu dalam mata kuliah Ilmu Tafsir yang membantu dan memberikan pengarahan
kepada penulis dalam menyusun makalah ini. Selanjutnya kepada teman-teman
dimohonkan partisipasinya dalam kelancaran presentasi makalah kami ini. Penulis juga
menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna.

Panyabungan, 13 September 2023

Penulis,
Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...............................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................1
C. TUJUAN MAKALAH.............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2
A. Sejarah Tafsir Ibnu Abbas.........................................................................2
1. Biografi Singkat Ibnu Abbas.................................................................2
2. Alur Tafsir Ibnu Abbas..........................................................................2
B. Metode Tafsir Ibnu Abbas.........................................................................3
C. Corak Penafsiran Ibnu Abbas.....................................................................6
BAB III PENUTUP...............................................................................................7
A. KESIMPULAN........................................................................................7
B. SARAN.....................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................8

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penafsiran al-Qur’an dalam perkembangannya menjadi sesuatu yang penting
seiring berkembangnya berbagai permasalahan yang membutuhkan jawaban.
Islam memiliki al-Qur’an yang dianggap kapabel sebagai harapan utama umat
dalam menjawab persoalan dan menyelesaikanya sesuai syar’i. Permasalahanya
ialah, berbagai ungkapan dalam al-Qur’an tidaklah dapat dengan mudah difahami
oleh semua kalangan. Untuk itu, perlu lah ada suatu penjelasan ulama yang
memang ahli dibidang al-Qur’an beserta ilmunya yang membantu umat dalam
memahami isi kandungan al-Qur’an.
Pada mulanya, sahabat yang dijuluki rasulullah sebagai bintang, memulai
sejarah penafsiran tidaklah dengan leluasa karena masih berpegang teguhnya
mereka pada nash sehingga muatan tafsir bil-Ra’yi sangat lah terbatas. Namun
seiring perkembanganya, tafsir mulai tumbuh dengan memperluas metode dan
dengan menggunakan berbagai sumber yang terus bergerak dengan pesat. Kajian
ini nanti akan mengangkat tokoh yang representatif dalam mewakili ulama tafsir
pada masanya yang memiliki kapabilitas yang tidak diragukan sesuai argumen
ulama, julukan yang ia sandang yang menunjukan betapa hebatnya ulama’ ini,
yakni sang turjuman al-Qur’an Ibnu Abbas. Ia hidup di awal abad pertama
Hijriyah, mengkajinya sama halnya dengan mengkaji suasana, nilai dan
bagaimana ciri khas, metode, kecondongan tafsir pada masa itu yang tentunya
memiliki pengaruh dalam tafsir kontemporer ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Tafsir Ibnu Abbas?
2. Bagaimana Metode Tafsir Ibnu Abbas?
3. Bagaimana Corak Penafsiran Ibnu Abbas?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Tafsir Ibnu Abbas.
2. Untuk Mengetahui Metode Tafsir Ibnu Abbas.
3. Untuk Mengetahui Corak Penafsiran Ibnu Abbas.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Tafsir Ibnu Abbas


1. Biografi Singkat Ibnu Abbas
Dalam sejarah penafsiran dikenal tokoh ulama’ ahli tafsir pertama yakni ialah
Habrul Ummah, Ibnu Abbas R.A. beliau merupakan sepupu rasulullah. Jika dilihat
dari namanya pun sudah dapat diketahui secara jelas yakni Abdullah bin Abbas bin
Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi sedangkan
Ibunya bernama Umul Fadl lubanah bint al-Harits al-Hilaliyah. Kedekatanya
dengan rosulullah mewarnai perjalanan tafsir Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas lahir di Syi’b dan mengenai waktu lahir Ibnu Abbas, telah terjadi
perbedaan dikalangan ulama. Menurut Husain ad-Dhahabi dalam Tafsir wa al-
Mufassirun, Ibnu Abbas berusia 13 tahun ketika rasulullah wafat (633 M) itu
artinya ia lahir sekitar tahun (620 M) yang bertepatan dengan tahun pertama
Hijriyah dan juga bertepatan dengan peristiwa pembaikotan kaum Quraisy kepada
kaum Hasyim. Namun menurut Imam Mana’ al-Khattan ia mengungkapkan bahwa
ada dua pendapat, yakni Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum Hijriyah dan menurut
sebagian lainya Ibnu Abbas lahir 5 tahun sebelum Hijriyah. Dan pendapat yang
lebih di pegang oleh Mana’ al-Khattan ialah tahun 3 sebelum Hijriyah.1
Ibnu Abbas merupakan ulama yang tidak diragukan lagi tentang kapabilitasnya
sebagai seorang yang mendalami berbagai ilmu yang dibutuhkan dalam penafsiran,
ia merupakan orang yang bahkan dikatakan mampu melakukan loncatan penafsiran
kedalam tafsir yang bernuansa isy’ari. Dengan alasan inilah Ali bin Abi Tholhah
(w. 143 H)—salah satu orang yang mengumpulkan berbagai riwayat penafsiran
Ibnu Abbas—menjuluki Ibn Abbas dengan “Orang yang bisa melihat hal ghoib
secara jelas dibalik tabir”. Selain itu banyak lagi julukan yang disandang oleh Ibnu
Abbas seperti Habrul (Pemuka, sang tokoh), bahrul (lautan) dan masih banyak lagi
julukan yang ia sandang, seperti turjuman al-Qur’an 2 yang mendeskripsikan
tentang keluasan ilmu dan perangainya. Bahkan ia dikatakan sebagai juru tafsir
paling baik oleh Baihaqi dalam kitabnya ad-Dala’il yang meriwayatkan dari Ibn
Mas’ud.

2. Alur Tafsir Ibnu Abbas


Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau
selalu hadir bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal
dari Rasul, dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan
turunnya ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan
Malaikat Jibril bersama dengan Nabi.
Dari sahabat-sahabat senior, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan
dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an, sebab-sebab turunnya
ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan
oleh Ibnu Abbas sendiri, “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan
1
https://nderestafsir.wordpress.com/2013/11/07/tafsir-ibn-abbas/
2
Muhammad Abdul Azim al Zarqani, Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, 243

2
Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku akan
mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur
kemudian aku bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi”.
Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya
dengan uslub-uslubnya dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk
mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an. Kecerdasan otak yang
merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbas mampu untuk berijtihad dan
berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam penafsiran al
Qur’an. Mana’ al-Khattan dalam kitabnya memasukan penafsiran Ibnu Abbas
sebagai Tafsir yang landasanya ialah bil Ma’tsur yang artinya ialah dalam
menafsiri, Ibnu Abbas berpedoman pada landasan Nash. Namun perlu tidak
dilupakan ketika kita membaca tafsir Ibnu Abbas ini akan banyak ditemukan suatu
penafsiran yang lebih bercorak Isy’ari dan hal ini diperkuat dengan kisahnya ketika
duduk bersama pemuka umat pada masa Umar dalam menafsiri surat al-Nashr.
Selain itu juga rasul mendo’akan Ibnu Abbas agar diajarkan oleh Allah suatu
Ta’wil menunjukan bahwa tafsir ini diwarnai pula oleh landasan isy’ary. Mencoba
mencari kejelasan mengenai hal ini, bahwa pernyataan Imam Mana’ al-Khattan
tidaklah salah jika ia menganggap Isy’ari merupakan cakupan dari bi al-Ra’yi.
Selain itu, sebagai alasan lain juga tidaklah salah jika ia menganggap dalam tafsir
Ibnu Abbas lebih didominasi oleh ke-ma’tsur-an.
Pada era kontemporer, setelah banyak dilakukan penelitian, Prof.
Ignazgoldziher menyatakan dalam kitabnya Madzahib al-Islamiyah fi Tafsir al-
Qur’an menyatakan bahwa Ibnu Abbas dengan tanpa melakukan seleksi ketat,
mengutip dengan sembarangan kisah ahli kitab. Pendapat ini disepakati pula oleh
Prof. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam. Namun keduanya dibantah oleh
Prof. Muhammad Husain adzahabi yang menjelaskan mengenai upaya yang
dilakukan Ibnu Abbas dalam menggali informasi dari Ahli Kitab tidaklah
berkenaan dengan penafsiran tentang ayat yang menjadi pokok ibadah, namun
berkenaan dengan hal-hal lain dan yang dianggap telah valid nilai kebenarannya
sehingga bukan secara babi buta.
Perjalanan hidup Ibnu Abbas selanjutnya mengalami berbagai masa dengan
berbagai peristiwa yang dramatis, Pada tahun 36 H, beliau ditunjuk oleh Khalifah
Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul Haj sebelum Usman terbunuh oleh kudeta
yang terjadi sekitar (655 M). Ia pernah menjadi Gubernur Bashroh dan menetap di
sana sampai Ali wafat, kemudian ia mengangkat Abdullah bin Haris sebagai
penggantinya sebagai Gubernur Bashrah, sedang ia sendiri pulang ke Hijaz. Ibnu
Abbas menghembuskan nafas terakhir di Tha’if, namun mengenai waktu beliau
wafat kembali terjadi perbedaan pendapat diantaranya ialah 65, 67, dan 68 H.
namun pendapat terakhir inilah yang dipandang shahih oeh para ulama.

B. Metode Tafsir Ibnu Abbas


Abdullah Ibnu Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas
menjadi salah satu nama yang paling populer dalam menafsirkan wahyu Allah
yakni al-Qur’an. Kemampuan yang ia miliki telah diakui oleh berbagai kalangan,
terutama kalangan para sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar bin Khattab
dan Ali bin Abi Thalib. Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al-Qur’an

3
pun menjadi salah satu model yang mengilhami model-model penafsiran era
berikutnya. Kota suci Makkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu
Abbas yang juga menghasilkan ulama’-ulama’ baru seperti Said bin Jubair dan
Mujahid bin Jabr. Karena tingkat keilmuan yang sangat luas, Ibnu Abbas pun
menjadi imam dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, dan syair. Atha’ pernah berkata,
“aku tidak pernah melihat satu majelis yang lebih mulia daripada majelis Ibnu
Abbas. Dia orang yang paling banyak mengetahui fiqih dan paling besar rasa
takutnya. Ahli Qur’an ada bersamanya dan ahli syair ada bersamanya. Dia
memberikan ilmu kepada mereka dari lembah yang luas.”
Mujahid berkata, “Ibnu Abbas disebut dengan al-bahr (laut) karena
ilmunya yang luas.” Husain al-Dzahabi menyatakan bahwa pengetahuan Ibnu
Abbas tentang bahasa dan sastra Arab kuno sangat tinggi dan luas, hal ini
merupakan tameng bagi mereka yang meragukan tafsir ibnu Abbas yang seolah
jauh dari makna tekstual namun sebenarnya Ibnu abbas sebagaimana yang
dijelaskan oleh Mana’ al-Khattan bahwa ia dalam menafsiri suatu lafadz tidaklah
dengan babi buta, karena Abbas tidaklah orang yang kosong akan pengetahuan
mengenai imu kebahasaan. Ibnu Abbas merupakan peletak dasar dari teori
penafsiran yang banyak mengilhami model-model penafsiran era berikutnya.
Pemikirannya diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat,
baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al-ra’yi.
Bahkan secara tradisional beliau dipercaya sebagai salah seorang tokoh yang
telah berhasil menanamkan embrio Hermeneutika al-Qur’an.3
Bagi kelompok bi al-ma’tsur (penafsiran melalui tradisi) Ibnu Abbas telah
memberikan panduan penafsiran al-Qur’an terbaik, dengan membiarkan al-
Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan antara satu ayat
dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an sendirilah
yang memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan
penjelasan tersebut dari al-Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang
sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi al-Qur’an juga diyakini
sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang cukup sulit
untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh Ibnu Abbas tersebut pada
akhirnya menjadi standar baku bagi kelompok penafsir al-Qur’an bi al-ma’tsur
untuk masa selanjutnya. Kelompok mufassir bi al Ra’yi (Penafsiran melalui
nalar) juga memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh
Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat tidak ia
temukan di dalam al-Qur’an atau dari hadits Nabi, maka beliau berupaya untuk
merujuknya kepada syair-syair Arab kuno ataupun percakapan-percakapan Arab
Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi.
Keluarnya Ibnu Abbas dari lingkaran al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut
adalah sebuah keberanian dan merupakan ijtihad dalam bentuk lain. Dan tentunya
keberanian untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian yang bersifat apriori,
3
Munzin Hitami, Menangkap Pesan-Pesan Allah,(Pekanbaru: Suska Press, 2006), 34

4
namun dilandasai oleh niat dan keinginan yang kuat untuk menyingkap makna-
makna terdalam dari al-Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas,
bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al-samawaat sampai suatu
ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui tengah bertikai masalah sebuah
sumur. Salah seorang dari Arab Badui mengatakan, “ana Fathortuha” (aku yang
membuatnya). Dengan adanya percakapan tersebut, barulah beliau mengetahui
maksud dari kata Faatirun. Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari
sumber penafsiran dari kalangan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam,
baik dari kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan
Nasrani seperti Ibnu Juraij.
Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Husain az-Zahabi, bahwa
eksplanasi tersebut hanya berkaitan dengan pambahasan yang sangat terbatas dan
adanya kecocokan sejarah antara al-Qur’an dan kitab-kitab samawi lainnya. Akan
tetapi jika berseberangan dengan keterangan al-Qur’an atau bahkan bertentangan
dengan syari’at Islam, menurut Az-Zahabi, Ibnu Abbas tidak mempergunakan
penafsiran ahli kitab. Keberanian Ibnu Abbas untuk mencari sumber-sumber
penafsiran dari selain al-Qur’an dan hadits nabi menjadi inspirasi penting bagi
kalangan ahlu al-ra’yi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran
sebagai salah satu alternatif penafsiran al Qur’an. Secara eksplisit terungkap,
Ibnu Abbas memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal fikiran yang jernih
dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar
baku penafsiran ayat dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits Nabi. Beliau
berani berijtihad, dan diakui oleh kalangan sahabat.
Meskipun Ibnu Abbas telah memulai upaya penafsiran menggunakan
rasio, namun pemikirannya-pemikiran tafsirnya belum dibukukan dalam bentuk
kitab tafsir yang sistematis. Untuk mengetahui bentuk pemikiran beliau, masih
harus menggunakan sistem periwayatan. Hal itu disebabkan oleh belum
berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik pada saat itu. Untuk
mengetahui pemikiran tafsir ibnu Abbas, para ulama telah menetapkan jalur
periwayatan yang akurat dan memiliki tingkat kebenaran maksimal. Imam As-
Suyuthi mengatakan “Pemikiran-pemikiran” Ibnu Abbas dalam bidang tafsir
memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak. Dan riwayat yang paling baik
adalah melalui jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas. Bahkan
jalur periwayatan ini telah diakui oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya
apabila meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas. Namun meskipun begitu, masih
ada sebagian kelompok yang meragukan periwayatan langsung Ali bin Abi
Thalhah dari Ibnu Abbas. Kelompok ini beranggapan bahwa Ali Bin Abi Thalhah
tidaklah mendengar langsung dari Ibnu Abbas, akan tetapi meriwayatkan
pemikiran Ibnu Abbas melalui perantaraan Mujahid atau Said bin Jabir.

5
C. Corak Penafsiran Ibnu Abbas
Proses Ibnu Abbas merupakan peletak dasar dari teori penafsiran yang banyak
mengilhami model-model penafsiran era berikutnya. Pemikirannya diyakini sebagai
salah satu model penafsiran yang paling akurat baik bagi kalangan mufassir bil
ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al ra’yi. Secara eksplisit terungkap, Ibnu Abbas
memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal fikiran yang jernih dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku
penafsiran ayat dengan ayat lainnya atau ayat dengan hadits Nabi. Beliau berani
berijtihad, dan diakui oleh kalangan sahabat. Contoh keberanian lain tersebut adalah
ketika Ibnu Umar meminta Ibnu Abbas untuk menafsirkan ayat 30 Surat Al-Anbiya’,
yang artinya:
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan
bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya.”
Dalam penafsirannya Ibnu Abbas tidak merujuk kepada Al-Qur’an maupun
hadits Nabi, akan tetapi merujuk kepada pemikirannya sendiri. Beliau mengatakan
bahwa langit dulu bersatu dengan bumi. Yang dimaksud bersatu di sini langit tidak
menurunkan hujan dan bumi tidak menumbuhkan tanaman. Maka Allah memisahkan
keduanya dengan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
di Bumi. Ibnu Umar menanggapi penafsiran tersebut dengan mengatakan: “Aku
begitu kagum dengan penafsiran Ibnu Abbas. Dan sekarang aku tahu bahwa ia telah
mendapatkan anugerah ilmu.”4
Dengan demikian bibit-bibit penafsiran dengan menggunakan nalar telah
dibangun oleh Ibnu Abbas semenjak generasi kedua Ummat Islam. Meskipun
pemikiran Ibnu Abbas yang berkaitan dengan Tafsir lebih banyak dipahami melalui
jalur periwayatan, akan tetapi para ulama mencoba untuk memadukan berbagai
pemikiran Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Sebuah karya yang
berada di tangan penulis saat ini menunjukkan hal tersebut. Berbagai riwayat telah
dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang menghimpun pemikiran Ibnu
Abbas dalam memahami al Qur’an, mulai dari surah al Fatihah sampai dengan surah
al Naas. Kumpulan penafsiran tersebut diberi judul; Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibni
‘Abbas.

4
Muhammad Abdul Azim al Zarqani, Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, 343.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Abdullah bin Abbas adalah sosok sahabat Rasul yang berani melakukan ijtihad
dalam bidang tafsir. Selain menerangkan makna ayat-ayat Al-Qur’an melalui Al-
Qur’an sendiri atau melalui hadits Nabi, Ibnu Abbas juga berupaya untuk menggali
makna Al-Qur’an dari syair-syair Arab kuno dan ahli kitab. Ijtihad model ini sedikit
banyak akan memberikan inspirasi kepada kelompok mufassir bi al Ra’yi untuk
mengembangkan penafsiran Al-Qur’an di kemudian hari. Dengan demikian,
pemikirannya membuka dan mengilhami berkembangnya dua macam kelompok
penafsiran, yaitu penafsiran dengan tradisi (bil ma’tsur) dan penafsiran menggunakan
nalar (bil ra’yi).
Berbagai buku yang berkaitan dengan Tafsir Ibnu Abbas tidaklah mewakili
pemikiran tafsir Ibnu Abbas. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya riwayat Ibnu
Abbas yang sampai kepada kita, dan jumlah riwayat tersebut hanya berada pada
kisaran ratusan saja.

B. Saran
Kami sadar bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah ini dengan sumber-sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarqani, Muhammad Abdul Azim, Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, hal. 243
dan 343.Salam,
Az Zahabi, Muhammad Husain. Al Tafsir wal mufassirun, Jld. 1. Kairo: Maktabah
Wahbah, 2003.
Hitami, Munzin. Menangkap Pesan-Pesan Allah, Pekanbaru: Suska Press, 2006.
https://nderestafsir.wordpress.com/2013/11/07/tafsir-ibn-abbas/

Zarqani, Muhammad Abdul. Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, (Bairut: Daru Ihyai al
Turats al Araby. (Tanpa. Tahun).

Anda mungkin juga menyukai