Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SEJARAH Al – QUR’AN

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN TUJUAN SEJARAH AL – QUR’AN


DOSEN PENGAMPU : Nor Faridatunnisa, S. Th. I, M. Hum,

Disusun Oleh :

Hafi Mahyudi
NIM : 2013130046

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH


PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


PALANGKA RAYA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga berhasil
menyelesaikan tugas makalah sejarah Al – Qur’an yang berjudul ‘PENGERTIAN,
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN SEJARAH AL – QUR’AN’ tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalh ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat
membangun guna kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Apabila ada kekurangan
ataupun kesalahan dalam penulisan ataupun dalam ejaan penulis mohon maaf.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.

Palangka Raya, 11 Maret 2021

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar
Daftar Isi
Pendahuluan
Pembahasan
A. Pengertian Sejarah Al-Qur’an
B. Ruang Lingkup Sejarah Al-Qur’an
1. Bentuk Awal Al-Qur’an
2. Sejarah Pewahyuan Al – Qur’an dan Masanya
3. Masa Abu Bakar
4. Masa Utsman bin Affan
5. Lahirnya Rasm Resmi
C. Tujuan Sejarah Al – Qur’an
Penutup
Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang pertama.sehingga kita
hendaknya harus dapat memahami tentang kandungan di dalamnya. Al-
Qur’an dengan huruf-hurufnya, bab-babnya, surat-suratnya dan ayat-ayatnya
yang sama di seluruh dunia, baik di Jepang, Brasilia, Iraq dan lain-lain.
Andaikata ia bukan dari allah Swt, tentu terdapat perbedaan yang banyak.
Al-Qur’an adalah laksana sinar yang memberikan penerangan terhadap
kehidupan manusia, bagaikan pelita yang memberikan cahaya kearah hidayah
ma’rifah. Al-Qur’an juga adalah kitab hidayah dan ijaz (melemahkan yang
lain). Ayat-ayatnya tentu ditetapkan kemudian diperinci dari allah Swt. Yang
maha bijaksana dan maha mengetahui.
Oleh karena itu kita sebagai umat islam harus benar-benar mengetahui
kandungan-kandungan yang ada didalamnya dari berbagai aspek. Ulumul
Qur’an adalah salah satu jalan yang bisa membawa kita dalam memahami
kandungan Al-Qur’an.
Selain memahami alqur’an kita juga perlu tau mengetahui bagaimana
perkembangan ulumul qur’an dan siapa saja tokoh-tokoh yang menjadi
pendongkrak munculnya ulumul qur’an. Secara tidak langsung pemikiran
merekalah yang mengilhami kita dalam memaham al-qur’an.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian sejarah Al – Qur’an ?
2. Apa ruang lingkup sejarah Al – Qur’an ?
3. Apa tujuan mempelajari sejarah Al – Qur’an ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian sejarah Al – Qur’an
2. Mengetahui ruang lingkup sejarah Al – Qur’an
3. Mengetahui tujuan mempelajari sejarah Al – Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sejarah Al – Qur’an
Perkataan sejarah mula-mula berasal dari bahasa Arab “syajara”,
artinya terjadi, “syajaratun” (baca: syajarah) artinya pohon kayu. Pohon
menggambarkan pertumbuhan terus-menerus dari bumi ke udara dengan
mempunyai cabang, dahan dan daun, kembang atau bunga serta buahnya.
Memang di dalam kata sejarah itu tersimpan makna pertumbuhan atau
kejadian.1
Begitulah sejarah yang berarti pohon, juga berarti keturunan, asal-usul
atau silsilah. Orang yang sudah lama berhubungan dengan ilmu sejarah,
termasuk mereka yang mempelajarinya dengan agak mendalam, arti kata
syajarah tidak sama dengan kata sejarah, akan tetapi kedua perkataan itu
berhubungan satu dengan yang lain.2
Sejarah dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti kejadian dan
peristiwa yang benar – benar terjadi pada masa lampau. Apabila dikaitkan
dengan bidang keilmuan maka ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari
urutan peristiwa pada masa lalu peradaban manusia, kemudian dilakukan
rekonstruksi apa yang terjadi pada masa – masa tersebut.
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an berasal dari
bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang".
Al – Qur’an merupakan kitab suci yang dijadikan sebagai pedoman hidup
dalam kehidupan sehari – hari oleh umat muslim di manapun dia berada, yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat
Jibril.
Jadi dapat kita simpulkan pengertian ilmu sejarah Al – Qur’an adalah
bidang keilmuan yang membahas tentang sejarah perkembangan Al – Qur’an

1
Ismaun, Ilmu Sejarah Dalam PIPS – Modul 1 Pengertian dan konsep Sejarah (-:-) hlm. 3
2
Ibid, 1
dari pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. hingga
sekarang.
B. Ruang Lingkup Sejarah Al – Qur’an
1. Bentuk Awal Al – Qur’an
Meskipun pada awalnya Al – Quran disampaikan melalui lisan, tetapi
Al – Qur’an secara konsisten tertulis sejak awal pewahyuan hingga
selesai. Namun pencatatan tidak secara konsisten pada pengumpulan
menjadi satu mushaf. Sebelum adanya mushaf seperti yang ada sekarang
dulunya Al – Qur’an hanya tercatat pada lembaran pelapah kurma, kulit
binatang dll.
Menurut Ibn ‘Abbas ayat-ayat yang diturunkan di Mekah terekam
dalam bentuk tulisan sejak dari sana, seperti dapat dilihat dalam ucapan
az-Zuhri. ‘Abdullah bin Sa’d bin ‘Abi as Sarh, seorang yang terlibat
dalam penulisan Al-Qur‟an sewaktu dalam periode ini, dituduh oleh
beberapa kalangan sebagai pemalsu ayat-ayat Al-Qur‟an (suatu tuduhan
yang seperti telah saya jelaskan sama sekali tak berdasar). Orang lain
sebagai penulis resmi adalah Khalid bin Sa’id bin al-As di mana ia
menjelaskan, “Saya orang pertama yang menulis “Bismillah ar-Rahman
ar-Rahim” (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang). Al-Kattani mencatat peristiwa ini : Sewaktu Rafi` bin Malik
al-Ansari menghadiri baiah al-‘Aqaba, Nabi Muhammad menyerahkan
semua ayat-ayat yang diturunkan pada dasawarsa sebelumnya. Ketika
kembali ke Madinah, Rafi` mengumpulkan semua anggota sukunya dan
membacakan di depan mereka. Penulis Wahyu Nabi Muhammad : Pada
periode Madinah kita memiliki cukup banyak informasi termasuk
sejumlah nama, lebih kurang enam puluh lima sahabat yang ditugaskan
oleh Nabi Muhammad bertindak sbg penulis wahyu. Mereka adalah
Abban bin Sa‟id, Abu Umama, Abu Ayyub al -Ansari, Abu Bakr as-
Siddiq, Abu Hudhaifa, Abu Sufyan, Abu Salama, Abu „Abbas, Ubayy bin
Ka’b, al-Arqam, Usaid bin al-Hudair, Aus, Buraida, Bashir, Thabit bin
Qais, Ja`far bin Abi Talib, Jahm bin Sa’d, Suhaim, Hatib, Hudhaifa,
Husain, Hanzala, Huwaitib, Khalid bin Sa‟id, Khalid bin al-Walid, az-
Zubair bin al-`Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Thabit, Sa’d bin ar-
Rabi`, Sa’d bin `Ubada, Sa’id bin Sa`id, Shurahbil bin Hasna, Talha,
`Amir bin Fuhaira, `Abbas, `Abdullah bin alArqam, `Abdullah bin Abi
Bakr, `Abdullah bin Rawaha, `Abdullah bin Zaid, `Abdullah bin Sa‟d,
Abdullah bin Abdullah, Abdullah bin Amr, Uthman bin Affan. Juga :
Uqba, al Ala bin Uqba, All bin Abi Talib, Umar bin al-Khattab, Amr bin
al-As, Muhammad bin Maslama, Muadh bin Jabal, Muawiya, Man bin
Adi, Muaqib bin Mughira, Mundhir, Muhajir, dan Yazid bin Abi Sufyan .3
Nabi Muhammad Mendiktekan Al-Qur‟an : Saat wahyu turun, Nabi
Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar
mencatat ayat itu. Zaid bin Thabit menceritakan sebagai ganti atau
mewakili peranan dalam Nabi Muhammad, ia sering kali dipanggil diberi
tugas penulisan saat wahyu turun. Sewaktu ayat al-jihad turun, Nabi
Muhammad memanggil Zaid bin Thabit membawa tinta dan alat tulis dan
kemudian mendiktekannya; Amr bin Um-Maktum al-A’ma duduk
menanyakan kepada Nabi Muhammad, “Bagaimana tentang saya ? Karena
saya sebagai orang yang buta.” Dan kemudian turun ayat, “ghairuli al-
darar” (bagi orang-orang yang bukan catat). Namun saat tugas penulisan
selesai, Zaid membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak
ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.4
Tradisi Penulisan Al-Qur‟an di Kalangan Sahabat : Kebiasaan di
kalangan para sahabat dalam penulisan Al Qur‟an, menyebabkan Nabi
Muhammad melarang orang-orang menulis sesuatu darinya kecuali
AlQur‟an, “dan siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an,
maka ia harus menghapusnya.” Beliau ingin agar Al-Qur‟an dan hadis
tidak ditulis pada halaman kertas yang sama agar tidak terjadi campur

3
Ihsan Fauzi Rahman, Sejarah Al – Qur’an (Bandung: - ) hlm.7
4
Ibid, 3
aduk serta kekeliruan. Sebenarnya bagi mereka yang tak dapat menulis
selalu hadir juga di masjid memegang kertas kulit dan minta orang lain
secara suka rela mau menuliskan ayat Al-Qur‟an. Berdasarkan kebiasaan
Nabi Muhammad memanggil juru tulis ayat-ayat yang baru turun, kita
dapat menarik anggapan bahwa pada masa kehidupan beliau seluruh Al-
Qur‟an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.5
2. Sejarah Pewahyuan Al – Qur’an dan Masanya
Ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ialah Q.S Al
– Alaq ayat 1 – 5. Pendapat ini didasarkan pada suatu hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim serta yang lainnya, dari
Aisyah r.a., yang mengatakan: “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi
bagi Rasulullah s.a.w. adalah mimpi benar di waktu tidur. Beliau melihat
dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia
suka menyendiri. Dia pergi ke gua Hira untuk beribadah beberapa malam.
Untuk itu ia membawa bekal. Kemudian ia pulang kepada Khadidjah r.a.,
maka Khadidjah pun membekalinya seperti bekal terdahulu. Di gua Hira
dia dikejutkan oleh suatu kebenaran. Sesosok malaikat datang kepadanya
dan mengatakan: „Bacalah!‟ Rasulullah berkata, maka aku menjawab:
„Aku tidak pandai membaca‟. Lalu Dia (Malaikat) memelukku sehingga
aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi:
„bacalah!‟ Aku pun menjawab: „Aku tidak pandai membaca‟. Lalu dia
merangkulku yang kedua kalinya sampai aku kepayahan. Kemudian dia
lepaskan lagi dam dia berkata: „Bacalah!‟ Aku menjawab: „Aku tidak
pandai membaca‟ maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga
aku kepayahan. Kemudian dia berkata: „Bacalah dengan menyebut nama
Tuhanmu yang telah ..... sampai dengan ...apa yang tidak diketahuinya”,
(Hadis).6

5
Ibid, 3
6
Ihsan Fauzi Rahman, Sejarah Al – Qur’an (Bandung: - ) hlm. 5
Periode pertama, pada permulaan turunnya wahyu yang pertama (al
Alaq 1-5) Muhammad saw belum diangkat menjadi Rasul, dan hanya
berperan sebagai nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan wahyu
yang diterimanya. Sampai pada turunnya wahyu yang kedua barulah
Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan
wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: “ Wahai yang
berselimut, bangkit dan berilah peringatan”(QS 74: 1-2).7
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan
bermacam – macam reaksi dikalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi
– reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok: Pertama, Segolongan kecil
dari mereka menerima dengan baik ajaran – ajaran Al – Qur’an. Kedua,
Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al – Qur’an,
karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka
mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), atau
karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang
digambarkan oleh Abu Sufyan: “ kalau sekiranya Bani Hasyim
memperoleh kemuliaan Nubuwwah, kemuliaan apalagi yang tinggal untuk
kami. Ketiga, Dakwah Al – Qur’an mulai melebar melampaui perbatasan
Makkah menuju daerah – daerah lainnya.8
Periode kedua, sejarah turunnya Al – Qur’an pada periode kedua
terjadi selama 8-9 tahun, pada masa ini terjadi pertikaian dahsyat antara
kelompok Islam dan Jahiliah. Kelompok oposisi terhadap Islam
menggunakan segala cara untuk menghalangi kemajuan dakwah Islam.
Pada masa itu, ayat-ayat Al – Qur’an di satu pihak, silih berganti turun
menerangkan kewajiban kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan
kondisi dakwah ketika itu (Q.s. An-Nahl [16]: 125). Sementara di lain
pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman terus mengalir kepada kaum
musyrik yang berpaling dari kebenaran (Q.S 41: 13). Selain itu, turun juga
7
Cahaya Khaeroni, Sejarah Al-Qur’an, Jurnal HISTORIA Volume 5, Nomor 2, Tahun 2017 (-: Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Metro) hlm. 195
8
Ibid, 7
ayat-ayat mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat (Q.S. Yasin
[36]: 78-82).9
Di sini terbukti bahwa ayat-ayat Al – Qur’an telah sanggup
memblokade paham – paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka
tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran
sehat.10
Periode ketiga, pada periode ini dakwah Al – Qur’an telah mencapai
atau mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah
dapat hidup bebas melaksanakan ajaran – ajaran agama di Yatsrib (yang
kemudian diberi nama Al-Madinah Al Munawwarah). Periode ini
berlangsung selama 10 tahun. Ini merupakan periode yang terakhir, saat
Islam disempurnakan oleh Allah SwT dengan turunnya ayat yang
terakhir, Al-Maidah [5]: 3, ketika Rasullullah wukuf pada haji wada’ 9
Dzulhijjah 10 H/7 Maret 632 M. Dan ayat terakhir turun secara mutlak,
surat Al – Baqarah [2]: 281, sehingga dari ayat pertama kalinya memakan
waktu sekitar 23 tahun.11
3. Masa Abu Bakar
Setelah terjadinya perang yamamah pada tahun ke – 12 H, berdampak
besar pada hilangnya sebagian besar dari kalangan penghafal Al – Qur’an.
Hal ini menyebabkan kekhawatiran dari kalangan sahabat terlebih dari
sahabat Umar bin Khattab.
Lalu Abu Bakar memerintahkan pengkodifikasian al-Qur‟an agar
tidak lenyap (dengan banyaknya yang meninggal dari kalangan Qurrâ`).
Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam Shahih al-Bukhariy bahwasanya
Umar bin alKhaththab memberikan isyarat agar Abu Bakar melakukan
kodifikasi terhadap alQur‟an setelah perang Yamamah, namun dia belum
memberikan jawaban (abstain). „Umar terus mendesaknya dan
menuntutnya hingga akhirnya Allah melapangkan dada Abu Bakar
9
Ibid, 7
10
Ibid, 7
11
Ibid, 7
terhadap pekerjaan besar itu. Lalu dia mengutus orang untuk menemui
Zaid bin Tsabit, lantas Zaidpun datang menghadap sementara di situ
„Umar sudah ada „Umar. Kemudian Abu Bakar berkata kepadanya (Zaid),
“Sesungguhnya engkau seorang pemuda yang intelek, dan kami tidak
pernah menuduh (jelek) terhadapmu. Sebelumnya engkau telah menulis
wahyu untuk Rasulullah Shallallâhu „alaihi Wa Sallam, karenanya telusuri
lagi alQur‟an dan kumpulkanlah.” Zaid berkata, “Lalu akupun menelusuri
al-Qur‟an dan mengumpulkannya dari pelepah korma, lembaran kulit dan
juga hafalan beberapa shahabat. Ketika itu, Shuhuf (Jamak dari kata
Shahîfah, yakni lembaran asli ditulisnya teks al-Qur‟an padanya) masih
berada di tangan Abu Bakar hingga beliau wafat, kemudian berpindah ke
tangan Umar semasa hidupnya, kemudian berpindah lagi ke tangan
Hafshoh binti Umar. Mengenai hal ini, Imam alBukhariy
meriwayatkannya secara panjang lebar.12
4. Masa Utsman bin Affan
Pembukuan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan dilatarbelakangi
oleh persoalan- persoalan yang muncul dan tersebar di kalangan umat
Islam seputar perbedaan qira’at. Perbedaan yang terjadi tidak hanya
sekedar perbedaan saja, tetapi sudah sampai kepada tingkat kafir
mengkafirkan satu sama lain, karena masing-masingnya mengklaim
bahwa qira’at merekalah yang paling benar. Hal ini tentunya dapat
mengancam persatuan umat Islam, sehingga menimbulkan keprihatinan di
kalangan umat Islam itu sendiri antara lain Usman bin Affan sebagai
Khalifah, Ali bin abi Thalib, Huzaifah bin al-Yaman dan Ubay bin
Ka’ab.13
Akhirnya mereka sepakat untuk membukukan Al-Qur’an. Usman bin
Affan memutuskan untuk menyatukan umat ini dengan mushaf resmi
dengan membentuk tim khusus yang bekerja membuat naskah Al-Qur’an
12
Ihsan Fauzi Rahman, Sejarah Al – Qur’an (Bandung: - ) hlm. 10
13
Ilhamni, pembukuan al-Qur’an Pada Masa Usman bin Affan, Jurnal ULUNNUHA, Volume 6, Nomor
2, 2017 (-: UIN Imam Bonjol) hlm. 140
yaitu Zaid bin Tsabit dari kalangan Anshar, Abdullah bin Zubair, Sa’id
bin ‘Ash dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam dari kalangan
Muhaji-rin.Usman meminjam naskah shuhuf yang berada di tangan
Hafshah ketika itu. Dia berpesan pada tiga orang kalangan Quraisy,” Jika
kalian berbeda dengan Zaid tentang sesuatu yang berkaitan dengan Al-
Qur’an, maka tulislah dengan bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa mereka. Setelah mereka selesai menulis
mushaf, maka Usman mengirim Mushaf- Mushaf tersebut ke kota- kota
besar Islam dan Usman memerintahkan untuk membakar Shuhuf atau
Mushaf selain Mushaf resmi.Penting untuk dicatat bahwa apa yang
dillakukan oleh Usman bukan datang dari keinginan Usman sendiri dan
dalam prosesnya tidak terlihat unsur fanatisme, akan tetapi atas
kesepakatan umat Islam ketika itu dan demi kesatuan dan mencegah
perpecahan di satu sisi serta memelihara Al-Qur’an di sisi lain.14
5. Lahirnya Rasm Resmi
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf Utsmani generasi
pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik
pada huruf (nuqath al-I’jam) dan harakat (nuqath al-I’rab) yang lazim kita
temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur‟an-. Langkah ini
sengaja ditempuh oleh Khalifah Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm
(tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira‟at yang diterima lalu
diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke
berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum
muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf
tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan
duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun
harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung
selama kurang lebih 40 tahun lamanya.15

14
Ibid, 13
15
Ihsan Fauzi Rahman, Sejarah Al – Qur’an (Bandung: - ) hlm. 13
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali
mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an
adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh
Mu‟awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah
munculnya ide itu diawali ketika Mu‟awiyah menulis surat kepadanya
agar mengutus putranya, Ubaidullah, untuk menghadap Muawiyah. Saat
Ubaidullah datang menghadapnya, Muawiyah terkejut melihat bahwa
anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya.
Muawiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu.
Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu alAswad al-
Du’aly:
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan
telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan
sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat
mereka membaca alQur’an dengan benar.” 16
Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk
melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam perangkap kecil
untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh
seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu
berpesan: “Jika Abu alAswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-
Qur‟an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat,
orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrik.” (al-Taubah: 3) 17
Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”.
Bacaan itu didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul.
“Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!”
ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang

16
Ibid, 15
17
Ibid, 15
diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku Abd al-Qais
untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-
Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu
adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur‟an dengan hafalannya, lalu stafnya
sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap
kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam
mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf,
kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan
titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan
Abu alAswad pun membaca al-Qur‟an dan stafnya memberikan tanda itu.
Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya
kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.18
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa
variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis
tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya
dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam
bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya. Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun
(yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai
bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf. Dan seperti yang
disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian
mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan
penduduk Mekah –misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak.
Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan
oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga
kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka. Namun lagi-
lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak

18
Ibid, 15
mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap
seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.19
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan
dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk
membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang
sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ba (‫ ) ب‬, ta , (
‫ )ت‬tsa (‫) ث‬. Pada penulisan mushaf „Utsmani pertama, huruf-huruf ini
ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –
seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira‟at yang ada.
Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab
dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut
(al-„ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda
ini.20
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang
pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-
Qur‟an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada
Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar. Ini diawali ketika Khalifah
Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-
Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi
terhadap wabah al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih
Nahsr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya
adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira‟at.21
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan
untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-ijam (pemberian titik untuk
membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama).
Muncullah metode al-ihmal dan al-ijam. Al-ihmal adalah membiarkan
huruf tanpa titik, dan al-ijam adalah memberikan titik pada huruf.22

19
Ibid, 15
20
Ihsan Fauzi Rahman, Sejarah Al – Qur’an (Bandung: - ) hlm. 16
21
Ibid, 20
22
Ibid, 20
Nuqath al-Ijam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran,
lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang
bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan
huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath
al-i‟rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus
berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya
Khilafah „Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi
kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di
Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-
i‟jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan
empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk
hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf
pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i‟rab
sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta
hitam untuk huruf dan nuqath al-i‟jam, meski berbeda untuk yang
lainnya.23
C. Tujuan Sejarah Al – Qur’an
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari sejarah Al – Quran, jasa –
jasa para penjaga Al – Qur’an sangat bermanfaat sejak pertama kali di
tulisakan pada masa Rasullullah hingga saat ini perjungan mereka tidaklah sia
– sia. Tujuan mempelajari sejarah Al – Qur’an diantaranya:
1. Untuk mendapatkan informasi mengenai asal – usul khazanah serta
kebudayaan dan kekayaan serta keahlian di bidang-bidang tertentu lainya
yang pernah diraih oleh umat pada masa terdahulu, serta dapat mengambil
ibrah atau pelajaran dari kejadian-kejadian dan perjuangannya.
2. Untuk membentuk watak dan kepribadian umat. Karena dengan
memepelajari sejarah dan budaya Lokal, generasi muda sekarang akan
mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari perjalanan serta
perjuangan-perjuangan umat terdahulu.

23
Ihsan Fauzi Rahman, Sejarah Al – Qur’an (Bandung: - ) hlm. 17
3. Agar dapat memilah dan memilih, mana aspek pelajaran yang dapat dan
perlu dikembangkan dan mana yang tidak perlu, memgambil mana
pelajaran yang baik dan mengambil mana pelajaran yang tidak baik.
4. Mampu berfikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan mengenai
masa lalu yang dapat digunakan nantinya untuk memeahami dan
menjelaskan perkembangan serta perubahan masyarakat serta keragaman
sosial budaya Islam dimasa yang akan datang.24

24
Hairuddin Cikka, Sinopsis Dalam Pembelajaran Sejarah, Jurnal of Pedagogy, Volume 2, Number 2,
2019 (Palu: Institut Agama Islam Negeri) hlm. 300
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu sejarah Al – Qur’an adalah bidang keilmuan yang membahas
tentang sejarah perkembangan Al – Qur’an dari pertama kali diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW. hingga sekarang.
pada awalnya Al – Quran disampaikan melalui lisan, tetapi Al – Qur’an secara
konsisten tertulis sejak awal pewahyuan hingga selesai. Namun pencatatan
tidak secara konsisten pada pengumpulan menjadi satu mushaf. Sebelum
adanya mushaf seperti yang ada sekarang dulunya Al – Qur’an hanya tercatat
pada lembaran pelapah kurma, kulit binatang dll.
Periode pertama, pada permulaan turunnya wahyu yang pertama (al
Alaq 1-5) Muhammad saw belum diangkat menjadi Rasul, dan hanya
berperan sebagai nabi. Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah
menimbulkan bermacam – macam reaksi dikalangan masyarakat Arab ketika
itu. Reaksi – reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok: Pertama, Segolongan
kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran – ajaran Al – Qur’an. Kedua,
Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al – Qur’an. Ketiga,
Dakwah Al – Qur’an mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju
daerah – daerah lainnya.

Periode kedua, sejarah turunnya Al – Qur’an pada periode kedua


terjadi selama 8-9 tahun, pada masa ini terjadi pertikaian dahsyat antara
kelompok Islam dan Jahiliah. Di sini terbukti bahwa ayat-ayat Al – Qur’an
telah sanggup memblokade paham – paham jahiliah dari segala segi sehingga
mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam
pikiran sehat.

Periode ketiga, pada periode ini dakwah Al – Qur’an telah mencapai


atau mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah
dapat hidup bebas melaksanakan ajaran – ajaran agama di Yatsrib.

Setelah terjadinya perang yamamah pada tahun ke – 12 H, berdampak


besar pada hilangnya sebagian besar dari kalangan penghafal Al – Qur’an. Hal
ini menyebabkan kekhawatiran dari kalangan sahabat terlebih dari sahabat
Umar bin Khattab. Lalu Abu Bakar memerintahkan pengkodifikasian al-
Qur‟an agar tidak lenyap.
Pembukuan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan dilatarbelakangi
oleh persoalan- persoalan yang muncul dan tersebar di kalangan umat Islam
seputar perbedaan qira’at. Perbedaan yang terjadi tidak hanya sekedar
perbedaan saja, tetapi sudah sampai kepada tingkat kafir mengkafirkan satu
sama lain, karena masing-masingnya mengklaim bahwa qira’at merekalah
yang paling benar. Akhirnya mereka sepakat untuk membukukan Al-Qur’an.
Usman bin Affan memutuskan untuk menyatukan umat ini dengan mushaf
resmi dengan membentuk tim khusus yang bekerja membuat naskah Al-
Qur’an yaitu Zaid bin Tsabit dari kalangan Anshar, Abdullah bin Zubair,
Sa’id bin ‘Ash dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam dari kalangan
Muhajirin.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf Utsmani generasi
pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik
pada huruf (nuqath al-I’jam) dan harakat (nuqath al-I’rab) yang lazim kita
temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur‟an-. Langkah ini sengaja
ditempuh oleh Khalifah Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut
dapat mengakomodir ragam qira‟at yang diterima lalu diajarkan oleh
Rasulullah saw. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Namun, hal ini juga berdampak pada orang – orang non arab yang tidak bisa
membaca bahasa arab, para pemerintah saat itu berinisiatif agar
menambahkan garis dan titik untuk memudahkan kesamaan qiraat dalam
membaca Al – Qur’an.
Tujuan mempelajari ilmu sejarah Al – Qur’an diantaranya :
1. Untuk mendapatkan informasi mengenai asal – usul khazanah serta
kebudayaan dan kekayaan serta keahlian di bidang-bidang tertentu lainya
2. Untuk membentuk watak dan kepribadian umat.
3. Agar dapat memilah dan memilih, mana aspek pelajaran yang dapat dan perlu
dikembangkan dan mana yang tidak perlu.
4. Mampu berfikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan mengenai masa
lalu
Daftar PUSTAKA
Ismaun, Ilmu Sejarah Dalam PIPS – Modul 1 Pengertian dan konsep Sejara, -, -
Ihsan Fauzi Rahman, Sejarah Al – Qur’an (Bandung: - )
Cahaya Khaeroni, Sejarah Al-Qur’an, Jurnal HISTORIA Volume 5, Nomor 2, Tahun
2017 (-: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Metro)
Ilhamni, pembukuan al-Qur’an Pada Masa Usman bin Affan, Jurnal ULUNNUHA,
Volume 6, Nomor 2, 2017 (-: UIN Imam Bonjol)
Hairuddin Cikka, Sinopsis Dalam Pembelajaran Sejarah, Jurnal of Pedagogy, Volume
2, Number 2, 2019 (Palu: Institut Agama Islam Negeri)

Anda mungkin juga menyukai