Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TADWIN AL-QUR’AN
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Dosen pengampu : Anis Husni Firdaus, S. Th.I., M.Pd.I.

Disusun oleh :
Adi Muhamad Arsyad 2207000984
Deti Septian Hermipianti 2207000911
Nur Afifah 2207000899

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAYAH


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS JAWA BARAT
2022

1
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam yang di dalamnya berisi petunjuk dan tuntunan
komprehensif untuk mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. (Bandung: PT Syaamil Cipta
Media,2010). Ia merupakan kitab asli dan unik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan
maknanya berasal dari wahyu, sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman. Al-Qur’an
turun kepada Nabi Saw. Tidak sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Maka bila Al-Qur’an
belum sempat dibukukan seperti yang ada sekarang, karena Al-Qur’an ketika itu secara
keseluruhan belum selesai diturunkan. (Bogor :Pustaka Litera Antar Nusa,2013)hlm.157.
Banyak para ulama berbeda pandangan dalam mendefinisikan arti Al Qur’an. Al-Qur’an berasal
dari kata Qara’a yang mempunyai arti mengumpulakan dan menghimpun, dan qirā’ah berarti
menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun
rapi. Qur`an pada mulanya seperti qira’āh, yaitu masdar (infinitive) dari kata qarā’a, qirā’atan
qur’ānan.
Adapun pengertian Al-Qur’an menurut istilah yang telah disepakati oleh para ulama adalah
“Kalam Allah yang bernilai mukjizat yang diturunkan kepada “pungkasan” para nabi dan rasul
(Nabi Muhammad s.a.w.) dengan ibadah yang di awali dengan surat al-Fātihah dan di tutup
dengan surat an-Nāas”. (Jakarta:Pustaka Amani, 2001)hlm.3.
Proses turunnya itu, ada yang melalui pembicaran berupa rumus dan lambang, dan ada yang
melalui suara semata, dan ada pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan. Al-wahyu
adalah kata masdar, dan kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu tersembunyi dan
cepat. Oleh sebab itu dikatakan perantaraan malaikat Jibril a.s., yang tertulis pada mashahif,
diriwayatkan kepada kita secara mutawātir, yang membacanya dinilai sebagai adalah kata
masdar, dan kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh
sebab itu dikatakan bahwa wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi serta cepat, dan
khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa orang lain mengetahi. Inilah pengertian
masdarnya. Akan tetapi terkadang juga diartikan bahwa al-muha yaitu pengertian isim maf’ūl,
yang diwahyukan.
Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risālatut Tauhid adalah “pengetahuan
yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan
itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak”. Hal ini berbeda antara wahyu dengan
ilham. Ilham adalah kemampuan untuk menunjukkan suatu hal yang diyakini agar mengikuti
apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana asalnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan
lapar, haus, sedih, dan senang. Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar.
Sedangkan definisi bagian awal ini mempunyai kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau
2
kasyaf, tetapi pada bagian akhir definisi bisa berbeda dengan ilham apabila meniadakan hal ini.
(Al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, hlm.35-38.

BAB II

3
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN TADWIN AL-QUR’AN
Secara bahasa, kata Tadwin bermakna artinya : “mengikat yang terpisah dan mengumpulkan
yang terurai (dari tulisan-tulisan) pada suatu diwaan.Dan kata “diwaan” adalah kumpulan kertas
kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan tertentu, misalnya
“diwaan ahlu jaisy (buku daftar keluarga militer) yang dalam sejarah Islam untuk pertama
kalinya dilakukan Umar.Adapun “Tadwin Al-quran” adalah  pengumpulan atau tata letak
penulisan al-quran yang berbentuk lembaran atau buku.

B. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Nabi

Pada masa ketika Nabi Muhammad Saw. Masih hidup, setiap turun wahyu Al-Qur’an, Nabi
Muhammad memanggil para sahabat untuk mendengarkan ayat-ayat yang turun tersebut. Nabi
membacakan di hadapan mereka dan menyuruh mereka yang pandai tulis menulis dan pandai
membaca untuk menuliskannya. Menurut sebagian pendapat, jumlah penulis Al-Qur’an pada
masa Nabi mencapai 40 orang sahabat. Terdapat beberapa sahabat dari 40 sahabat.
(Khaeroni,2017)hlm.196. yang ditunjuk untuk menuliskan Al-Qur’an yakni Zaid bin Tsabit, Ali
bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Ka’ab. Sahabat yang lain juga kerap
menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan.
Para sahabat itu diperintah Rasul untuk menulis wahyu Al-Qur’an yang diterima dari Allah dan
meletakkan urutan-urutannya sesuai dengan pentunjuk beliau berdasarkan petunjuk dari Allah
melalui Malaikat Jibril. Setelah turun beberapa ayat dalam Al-Qur’an sehingga mendapat satu
surah, Nabi memberi nama surah tersebut sebagai tanda yang membedakan antara satu surah
dengan surah yang lain dan beliau menyuruh untuk meletakkan basmalah di permulaan surah
yang baru tersebut. Semua ayat-ayat Al-Qur’an ditulis di hadapan Nabi di atas benda-benda yang
sangat sederhana, misalnya batu, tulang dan kulit binatang, pelepah kurma dan lain-lain,
kemudian disimpan di rumah Nabi dalam keadaan terpencar-pencar dan belum tersusun kedalam
suatu mushaf seperti sekarang. (Rihlah,2015)hlm.56.
Di samping itu, masing-masing para penulis tersebut juga menulis ayat-ayat Al-Qur’an untuk
catatan pribadi dan menghafal diluar kepala. Demikian juga para sahabat lain menghafal ayat-
ayat Al-Qur’an yang mereka terima dari Nabi atau dari sesama sahabat Nabi. Selain itu, Nabi
juga membuat aturan, yaitu hanya Al Qur'an saja yang diperbolehkan untuk ditulis dan melarang
selainnya termasuk Hadits maupun pelajaran-pelajaran yang keluar dari mulut Nabi Saw. Rasul
Saw bersabda "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang
menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya". Hal ini bertujuan
agar apa yang dituliskannya adalah betul-betul Al Qur'an dan tidak tercampur aduk dengan selain
Al Qur'an dan benar-benar terjamin kemurniannya.
Pada masa ini pengumpulan Al-Qur’an ditempuh dengan dua cara:
1. al Jam'u fis Sudur

4
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah Saw. menerima wahyu.
Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang Arab
yang menjaga Turats (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita)
dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
2. al Jam'u fis Suthur
Wahyu turun kepada Rasulullah ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah
ke Madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya
dimana Rasulullah setiapkali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para
sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya.
Penulisan pada masa Rasulullah belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan beberapa
faktor, yaitu:
a. Tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan Al-Qur’an menjadi satu mushaf
mengingat Rasulullah masih hidup dan masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke
waktu. Di samping itu karena banyaknya sahabat yang menghafal Al-Qur’an dan sama sekali
tidak ada unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian Al-Qur’an.
b. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila Al-Qur’an bisa
dibukukan dalam satu mushaf setelah Nabi Saw wafat. (Cahaya Khaeroni,2017)hlm.197.
Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hapalan,
tetapi juga dalam bentuk-bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas
mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, ’Umar, ’Utsman,’Ali ,Abban bin Sa’id, Khalid bin
Sa’id, Khalid bin al-Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses Penulisan Al-Qur’an pada
masa Nabi sangat sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran
kayu,pelepah kurma,tulang belulang,dan batu. (Syahbah,)hlm.241.
Diantara faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah: (Ibid,hlm.242)
1. Mem-back up hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,
2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hapalan para
sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagaian dari mereka sudah wafat.
Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, Al-Qur’an tidak ditulisan di
tempat tertentu.
C. Sejarah Pengumpulan Al-Qur`an pada masa Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasamya, seluruh Al-Quran sudah ditulis pada waktu Nabi. Hanya saja, pada saat itu surat-
surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali
menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, Abu 'Abdillah
Al- Muhasib berkata di dalam kitabnya, Fahm As-Sunar, "Penulisan Al-Quran bukanlah sesuatu
yang baru Sebab, Rasulullah pemah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Quran
berpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu
Bakar kemudian berinisiatif menghimpun semuanya. (Jalaluliddin As-Suyuthi, Jilid I,hlm.60).

5
Usaha pengumpulan tulisan Al-Quran yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang
Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad yang
juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 700 orang sahabat
penghapal Al-Quran syahid Khawatir akan semakin hilangnya para penghapal Al-Quran,
sehingga kelestarian Al-Quran juga ikut terancam 'Umar datang menemui khalifah pertama, Abu
Bakar agar segera menginstruksikan pengumpulan Al-Quran dari berbagai sumber, baik yang
tersimpan di dalam hapalan maupun tulisan.( Ash-Shalih, .hlm.74).
Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris Nabi, berdasarkan riwayat Al-Bukhari (kitab "Fadhil
Al-Quran", bab III dan IV: kitab "Al-Ahkam", bab 37), mengisahkan bahwa setelah peristiwa
berdarah yang menimpa sekitar 700 orang penghapal Al-Quran, Zaid diminta bertemu Abu
Bakar Turut hadir dalam pertemuan itu Umar bin Al-Khathab. Abu Bakar membuka pertemuan
itu dengan mengatakan, "Umar telah mendatangku dan mengatakan bahwa peperangan
Yamamah telah berlangsung sengit dan meminta korban sejumlah qari' Al-Quran. Aku khawatir
hal ini meluas kepada para penduduk. Kalau demikian, akan banyak penghapal Al-Quran yang
hilang. Aku memandang perlunya penghimpunan Al-Quran." Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid
bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalmatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan
datang darinya, "Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah?
Umar lalu menjawab, "Demi Allah, ini sesuatu yang baik. Dan ketika Umar belum selesai
mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-
Quran. Kemudian Abu Bakar berkata kepada Zaid, "Kau adalah seorang lelaki yang masih muda
dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental). Dahulu kau menulis wahyu untuk Rasulullah.
(Sekarang), lacaklah Al-Quran." Bagi Zaid, tugas yang dipercayakan Khalifah Abu Bakar
kepadanya bukan hal yang ringan. Hal ini bisa dipahami dan kalimat yang terlontar dari
mulutnya di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, "Demi Allah, sekiranya orang orang
membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu tidak lebih berat daripada apa yang kau
perintahkan kepadaku untuk menghimpun Al-Quran." Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid
menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat
yang hanya berdasarkan hapalan, tanpa didukung tulisan. (Al-Qaththan)
Di dalam menerangkan pengertian "dua saksi riwayat ini, perlu dan pendapat Ibn Hajar Menurut
tokoh hadis kenamaan ini, syhidain (dua di sini tidak harus keduanya dalam bentuk hapalan, atau
keduanya bentuk tulisan, Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu dapat dilihat bila ayat
yang disodorkan didukung dua hapalan dan atau tulisan saha lainnya. Demikian juga, suatu
hapalan ayat tertentu yang dibawa sahabat tertentu baru bisa diterima bila dikuatkan oleh dua
catatan di atau hapalan sahabat lainnya. (As-Suyuthi,)
Pemahaman Ibn Hajar tentang syahidain sedikit berbeda dengan apa yang ditangkap As-Sakhawi
(w. 643 H). ( Al-Quththan :127)
Asy-Syakhawi memandang bahwa syahidain artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat
tertentu yang disodorkan sahabat dapat diterima jika memiliki dua sai yang memberikan
kesaksian bahwa catatan itu memang ditulis di hadapan Nabi. (Al-syuyuthi)

6
Pekerjaan yang dibebankan ke pundak Zaid dapat diselesaikan dalan waktu kurang lebih satu
tahun, yaitu pada tahun 13 H. di bawah pengawas Abu Bakar, "Umar, dan para tokoh sahabat
lainnya.Setelah sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan AlQuran yang sudah
terkumpul itu dinamakan "Mushaf, sebagaimana disebutkan Ibnu Asytah di dalam kitab Al-
Mashahif. ( ibid, :77)
C. Sejarah Pengumpulan Pada Masa Utsman bin 'Affan
Penjelasan tradisional, berupa hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari (Shahih Bukhari:99)
tentang alasan yang menyebabkan diambil langkah selanjutnya da menetapkan bentuk Al-Quran
menyiratkan bahwa perbedaan-perbedan serius dalam qira'at (cara membaca) Al-Quran terdapat
dalam salinan-salinan Al-Quran yang ada pada masa 'Utsman bin 'Affan di berbagai wilayah.
Dikisahkan kepada kita bahwa selama pengiriman ekspedisi militer Armenia dan Azerbaijan,
perselisihan tentang bacaan Al-Quran muncul kalangan tentara-tentara Muslim, yang
sebagiannya direkrut dari Sina da sebagian lagi dari Irak. Perselisihan ini cukup serius hingga
menyebab pimpinan tentara Muslim, Hudzaifah, melaporkannya kepada Khalifah Utsman (644-
656) dan mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan perbedaan bacaan
tersebut. Khalifah lalu berembuk dengan para sahabat senior Nabi, dan akhimya menugaskan
Zaid bin Tsabit "mengumpulkan Al-Quran. Bersama Zaid, ikut borgabung tiga anggota keluarga
Mekah terpandang: Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Al-'Ash, Abd Ar-Rahman bin Al-Harits. Satu
prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan
bacaan, dialek Quraisy-suku dari mana Nabi berasal-harus dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-
Quran direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada di tangan Hatsha
serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Quran selesai digarap. Dengan demikian, suatu
naskah otoritatif (absah) Al-Quran, yang sering juga disebut mushaf Utsmani, telah ditetapkan.
Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah Islam.
Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban oleh Zaid bin Tsabit
sebagai berikut:
(a) Tidak menulis sesuatu dalam mushaf, kecuali telah diyakini bahwa itu adalah ayat Al-Quran
yang dibaca Nabi pada pemeriksaan Jibril dan tilawah-nya tidak mansukh.
(b) Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-Quran, tulisan mushaf bebas dari titik dan
syakal.
(c) Lafadzh yang tidak dibaca dengan bermacam-macam bacaan ditulis dengan bentuk unik,
sedangkan lafadzh yang dibaca dengan lebih satu qira`at ditulis dengan rasm yang berbeda pada
tiap-tiap mushaf. Mereka tidak menuliskan bacaan tersebut dalam satu mushaf karena merasa
khawatir akan ada anggapan bahwa lafazh tersebut diturunkan berulang kali dalam bacaan yang
berbeda. Padahal, sebenamya lafazh tersebut hanya turun satu kali yang dapat dibaca dengan
bacaan lebih dari satu macam. Mereka juga menghindan penulisan lafazh dengan dua rasm
dalam satu mushaf untuk menghindar dugaan bahwa rasmitu merupakan koreksi untuk yang
lainnya.

7
(d) Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai bahasa, ditetapkan bahasa Quraisy yang
digunakan karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa tersebut.
Inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan Al-Quran tampaknya sangat beralasan. Betapa
tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Quran pada saat itu sudah berada
pada titik yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi
perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-
Quran ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang Islam yang datang dari Irak dan Syiria.
mereka yang datang dari Syam (Syiria) mengikuti qira'at Ubai bin Ka'ab, mereka yang berasal
dari Irak membacanya sesuai dengan qira'at ibn Mas'ud. Tak jarang pula, di antara mereka yang
mengikuti qira'at Abu Musa Al-Asy'ari Masing-masing pihak merasa bahwa Qira'at yang
dimilikinya lebih baik. (As-suyuthi,:61).
Riwayat lain yang dikeluarkan dari Abu Qulabah menjelaskan bahwa pada masa Khalifah
Utsman, seorang guru mengajarkan qira'at tokoh tertentu,dan guru (lainnya) mengajarkan qira'at
tokoh (lainnya) Anak-anak bertemu dan berpecah Persoalan ini terangkat sampai kepada para
guru yang pada gilirannya saling mengalirkan. (Al-shalih:81).
Mengenai jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat-tempat pengirimannya, hadist
memberikan penjelasan yang berbeda-beda, tetapi kemungkinannya, satu salinan disimpan di
Madinah dan salinan-salinan lain dikirim ke kota-kota Kutah, Bashrah dan Damaskus, serta
mungkin juga ke Mekah. Salinan-salinan Al-Quran yang ada sebelumnya, yakni sebelum adanya
resensi Utsmani, diberitakan telah dimusnahkan, sehingga teks seluruh salinan Al-Quran yang
akan dibuat pada masa-masa selanjutnya didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut dan
tempat-tempat pengirimannya, hads memberikan penjelasan yang berbeda-beda, tetapi
kemungkinannya, satu salinan disimpan di Madinah dan salinan-salinan lain dikirim ke kota-kota
Kutah, Bashrah dan Damaskus, sorta mungkin juga ke Mekah. Salinan-salinan Al-Quran yang
ada sebelumnya, yakni sebelum adanya resensi Utsmani, diberitakan telah dimusnahkan,
sehingga teks seluruh salinan Al-Quran yang akan dibuat pada masa-masa selanjutnya
didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut. Utsman memutuskan agar mushat-mushaf yang
beredar adalah mushat yang memenuhi persyaratan berikut:
(a) Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad. (Riwayat yang tidak sampai
pada derajat mutawatir).
(b) Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali
di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir,
(c) Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu
Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf 'Utsman,
(d) Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira'at yang berbeda sesuai
dengan lafazh-lafazh Al-Quran ketika turun,
(e) Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf
sebagian sahabatyang mereka juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh di
dalam mushaf. (Marzuki:76)

8
D. Penulisan dan Penyempurnaan Al-Qur'an Setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat
dibaca dengan salah satu qira'at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam,
mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa
Khalifah Abd-Al-Malik (685-705), ketidakmemadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana
muslim terkemuka saat itu. Oleh karena itu, penyempurnaan pun segera dilakukan. Tersebutlah
dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H) dan Hajjaj bin Yusuf
Ats-Tsaqafi (w. 95 H) Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari Persia untuk
meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang Misalnya, tulisan “qalat” dan “kanat”
diganti dengan dan Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap Mushaf Utsmani
pada sebelas tempat yang memudah kan membaca mushaf lebih mudah. (Shalih,:89-91).
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap
generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M) ketika proses penyempurnaan naskah Al-
Qur'an (Mushaf Utsmani) selesai dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagni
orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada Mushaf Utsmani. Ketiga orang itu adalah
Abu Al Aswad Ad-Da`uli, Yahya bin Ya'mar (45-129 H), dan Nashr bin Ashim Al Laits (w. 89
H). (Ibid,:93-94)
Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasyid, Al-rum, dan al-
isymam adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu Abdirrahman
(w 175 H77). (Ibid:98)
Upaya penulisan Al-Qur'an dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah
dilakukan generasi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al Walid (memerintah dari tahun 86-
96 H) memerintahkan Khalid bin Al-Khayyaj yang terkenal keindahan tulisannya untuk menulis
mushaf Al-Qur'an. (Ibid)
Dan untuk pertama kalinya Al-Qur'an dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530 M, tetapi begitu
keluar, penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan kitab suci agama Islam ini. Cetakan
selanjutnya adalah atas usaha seorang Jerman berama Hinkelman pada tahun 1694 M. di
Hamburgh (Jerman). Disusul kemudian oleh Marracci pada tahun 1698 M di Padoue.
Sayangnya, tak satu pun dari Al Qur'an cetakan pertama, kedua, maupun ketiga itu yang tersisa
di dunia Islam Dan sayangnya pula, perintis penerbitan Al-Qur'an pertama itu dari kalangan
bukan muslim. (Ibid:99)
Penerbitan Al-Qur'an dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787 Yang menerbitkannya
adalah Maulaya Litsman. Mushaf cetakan itu lahir di Saint Petersbourh, Rusia, atau Leningrad.
Uni Soviet sekarang Lahir lagi kemudian mushaf cetakan di Kazan. Kemudian terbit lagi di Iran
Tahun 1248 H/1828 M, negeri Persia ini menerbitkan mushaf cetakan di Kota Teheran Lima
tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mashaf cetakan Tabriz Setelah dua kali diterbitkan
di Iran, setahun kemudian (1834) terbit lagi mushaf cetakan di Leipzig, Jerman. (Ibid)
Di negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al-Qur'an di
perempatan pertama abad XX. Panitia yang dimotori para syeikh Al-Azhar ini pada tahun 1342

9
H/1923 M berhasil menerbitkan mushaf Al-Qur'an cetakan yang bagus. Mushaf yang pertama
terbit di negara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafs atas qira'at Ashim Sejak itu berjuta
Juta mushaf dicetak di Mesir di berbagai negara. (Ibid)

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Pengumpulan Al-Qur`an adalah penyusunan ayat Al-Qur`an dalam bentuk tulisan dan
himpunan dalam satu mushaf. Pengumpulan Al-Qur`an dibagi menjadi beberapa periode, yaitu
pengumpulan Al-Qur`an pada masa Nabi, pengumpulan pada masa Khulafaur Rasyidin.
Pada masa Nabi pengumpulan Al-Qur`an dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama al jam`u
fis sudur dimana para sahabat langsung menghapalnya diluar kepala setiap kali wahyu turun
kepada Rasullulah. Sedangkan yang kedua al jam`u fis suthur, yaitu setiap kali wahyu turun
Rasullulah selalu membacakan kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka
menuliskannya. Para sahabat menulis Al-Qur`an di pelepah kurma, kulit dan tulang binatang,
dan batu-batuan.
Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq ayat Al-Qur`an yang tercecer di pelepah kurma, kulit ,
tulang binatang, dan batu-batuan. Kemudian dihimpun menjadi satu dalam sebuah mushaf. Abu
Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur`an .
Pada masa Utsman bin Affan islam telah berkembang luas. Hal ini mengakibatkan banyaknya
versi bacaan Al-Qur`an yang menyebabkan perselisihan diantara kaum muslim. Untuk mengatasi
hal tersebut Utsman akhirnya membuat sebuah kebijakan untuk menyeragamkan versi bacaan
Al-Qur`an dengan menggunakan bahsa Arab Quraisy.
Perbedaan Penulisan AL-Qur`an pada masa Abu Bakar dan pada masa Utsman bin Affan
adalah pengumpulan pada masa Abu Bakar yaitu pertama, motivasi penulisannyaadalah khawatir
sirnanya Al-Qur`an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur`an pada perang Yamamah.
Kedua, Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur`an yang
terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang dan lain sebagainya.
Sedangkan pada masa Utsman bin Affan yang pertama, Motivasi penulisannya karena terjadinya
banyak perselisihan di dalam membaca Al-Qur`an (qira`at). Kedua, Utsman melakukannya
dengan menyederhanakan tulisan-tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang
dengannya Al-Quran turun.

B.Saran

10
Penulis menyarankan agar beberapa hal terkait pengumpulan Al-Qur`an:
a. Bagi para pembaca yang ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh maka
penulis mengharapkan agar membaca buku-buku yang berkaitan dengan pengumpulan Al-
Qur`an.
b. Sebagai pembaca yang baik, setelah membaca dari materi yang telah disampaikan penulis maka
diharapkan pembaca dapat mengamalkan ilmu yang tertuang didalamnya.
c. Makalah ini dibuat semata-mata sebagai sarana pembelajaran yang memang dibutuhkan orang
muslim dalam mengamalkan ajaran Al-Qur`an. Harapan penulis, supaya dapat bermanfaat bagi
seluruh umat muslim.

11
DAFTAR PUSTAKA

Cahaya Khaeroni. 2017. Sejarah Al-Qur`an. Universitas Muhamadiyah


Metro: jurnal Historia. Vol.5.No.II,2017
Abidin S, Zainal. Seluk beluk Al-Qur`an. Jakarta:
Rineka Cipta, 1992
Amal, Taupik Adnan. Rekontruksi sejarah Al-Qur`an.
Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2013
Rosihon Anwar, Ulumul Al-Qur`an
Bandung: Pustaka Setia, 2020
Ahmad Syadali,:Ahmad Rofi’i,Ulumul Qur’an I
Bandung :Pustaka setia.,2006
Fahd bin Abdirrahman ar-Rumi,Ulumul Qur’an Dirasat fi ‘Ulum Al-Qur’an
Yogyakarta :Titian llahi Press,1997
Rosihon Anwar,Ulumul Qur-an
Bandung :Pustaka setia,2009

12
13

Anda mungkin juga menyukai