Anda di halaman 1dari 6

PENGUMPULAN AL-QUR’AN DI ZAMAN RASULULLAH SAW.

Oleh : Anis Puji Lestari dan Lisda Fatimah R. Y.

I. Pendahuluan

II. Pembahasan
A. Pengertian Pengumpulan al-Qur’an
Proses pengumpulan al-Qur’an meliputi proses penyampaian,
pencatatan (ayat-ayat dan surat-surat), pengumpulan catatan, dan
kodifikasi, menghafal dan menjaganya dalam hati dalam sebagaian
besar literatur yang membahas tentang ilmu al-Qur’an biasa diseut
dengan jam’ul qur’an yang artinya pengumpulan al-Qur’an.
Sementara hanya sebagian kecil literatur yang memakai istilah
penulisan al-Qur’an. Penggunaan kata pengumpulan bukan
penulisan, hal ini dikarenakan catatan ini memberi isyarat akan
kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas sendiri.
Yang dimaksud dengan pengumpulan al-Qur’an oleh para
ulama’ adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
Pertama, pengumpulan dalam arti Hifdzuhu (menghafalnya dalam
hati). Al-Qur’an al-Karim turun kepada nabi yang Ummi (tidak bisa
baca – tulis). Karena itu, nabi mempunyai perhatian untuk
menghafal dan menghayati al-Qur’an agar ia dapat menguasai al-
Qur’an persis sebagaimana halnya al-Qur’an di turunkan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an tatkala beliau senantiasa
menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca al-
Qur’an ketika al-Qur’an itu di turunkan kepadanya sebelum Jibril
selesai membacakannya karena ia ingin menghafalkannya :
Al-Qiyamah: 16-19

Ibnu Abbas mengatakan : “Rasulullah saw. sangat ingin menguasai


al-Qur’an yang diturunkan. Beliau menggerakkan lidah dan kedua
bibirnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Beliau
ingin segera menghafalkannya, maka Allah menurunkan ayat tadi.
Maksudnya “Kami yang mengumpulkannya didadamu, kemudian
kami membacakannya
Kedua, Pengumpulan dalam arti Kitabatuhu Kuliihi (penulisan al-
Qur’an semuanya) baik dengan memisahkan ayat-ayat dansurah-
surah nya atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis
dalam satu lembaran terpisah ataupun menertibkan ayat-ayat dan
surah-surahnya dalam lembaran yang terkumpul yang menghimpun
semua surah, sebagaiannya ditulis sesudah bagian yang lain.1
B. Pengumpulan al-Qur’an era Nabi
Istilah jam’ul Qur’an pada periode nabi menurut pendapat
kebanyakanulama terbagi menjadi dua yakni :
1. Al-jam’u fi al-shudur
Yaitu pengumpulanal-Qur’an melalui hafalan, cara ini di
anggap paling lazim dalam menjaga al-Qur’an pada masa nabi.
Hal ini selainkarena masih banyaknya sahabat yang buta huruf
juga karena orang arab secara kodrat mempunyai daya hafal yang
kuat. Kekuatan daya hafal bangsa Arab –dalam hal ini para
sahabat- benar-benar di manfaatkan secara optimal oleh Nabi
dengna memerintahkan mereka supaya menghafal setiap kali ayat
al-Qur’an diturunkan. Nabi muhammad setelah menerima wahyu
langsung menyampaikan wahyu tersebut pada para sahabat agar
mereka menghafalnya sesuai dengan hafalan nabi, tidak kurang
dan tidak lebih. Setelah sahabat menerima wahyu yang
disampaikan nabi mereka berlomba-lomba untuk
menghafalkannya. Bahkan satu sama lain saling bersaing
mengenai banyaknya wahyu yang mampu dihafalkan. Hafalan al-
Qur’an sahabat pada masa Nabi ini diperoleh melalui lisan Nabi
secara langsung, yakni setiap menerima wahyu beliau memanggil
para sahabat untuk mencatat. Dari situlah para sahabat menangkap
al-Qur’an dalam ingatannya.2

1
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Surabaya: al-Hidayah, 1973), 114-118.
2
Tim ForumKarya Ilmiyah RADEN (Refleksi Anak Mud Pesantren), Al-Qur’an kita, (Kediri: Lirboyo
Press, 2013), 48.
Sehubungan dengan itu, maka tercatatlah para hafidz dan
hafidzoh, disamping para penulis al-Qur’an yang sangat handal
bahkan tidak jarang dari kalangan mereka ada yang disamping
penulis al-Qur’an juga sebagai penghafal al-Qur’an yang
jumlahnya mencapai puluhan orang, diantaranya sahabat yang
menghafal al-Qur’an pada masa nabi adalah Abu Bakar ash-
Shidiq, Umar Ibnu al-Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi
Tholib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, ubay
bin ka’ab, al-Mughiroh bin Su’bah, Zubair bin Al-Awwam, Khalid
bin Al-Walid, Amr bin al-Ash, dan Zaid bin Tsabit.3
2. Al-Jam’u Fi sutur
Yaitu pengumpulan al-Qur’an secara tertulis. Al-Qur’an
diturunkan kepada nabi secara berangsur-angsur baik itu satu
ayat, bahkan satu surat dalam rentang waktu sekitar 23 tahun.
Dalam rangka menjaga kemurnian dan keontetikan al-Qur’an,
selain ditempuh selain jalur hafalan, juga dilengkapi dengan
tulisan, dalam periwayatan disebutkan bahwa Nabi selalu
menyuruh para sahabatnya menuliskan ayata-ayat yang beru
diterimanya segera setelah diturunkan sambil menyampaikan
tempat dan urutan setiap ayat dalam suratnya. Usman bin Affan
mengatakan “Tiap kalia ada ayat yag turun, nabi langsung
memanggil para pencatat wahyu dan berkata kepadanya,
letakkanlah ayat ini dalam surah yang didalamnya disebut begini
dan begitu”.
Meskipun Nabi memerintahkan untuk menulis wahyu, tapi demi
menjaga keontetikan dan kemurnian al-Qur’an nabi melarang
para sahabat menulis sesuatu selain al-Qur’an. Menurut al-
Nawawi larangan ini berlaku ketika dikhawatiran tulisan yang
bukan al-Qur’an tercampur menjadi saatu dengan al-Qur’an,
sehingga seseorang tidak bisa membedakan mana yang al-
Qur’an dan mana yang bukan. Sedangkan jika tidak ada
kekhawatiran tersebut maka diperbolehkan. Lebih tegas, Ibnu

3
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 49.
Hajar al-Asqolani menandaskan bahwa larangan tersebut
berlaku pada masa turunnya wahyu karena khawatir al-Qur’an
tercampur dengan yang lainnya.4
Diantara sederet nama-nama pencatat wahyu, Zaid bin
tsabit bisa dikatakan sebagai yang terdepan. Diriwayatkan dari
Hakim, dari Zaid bin Tsabit mengatakan: “Suatu saat kita bersama
Rasulullah saw. menyusun al-Qur’an dari ... Dari Zaid juga
berkata “Saya menulis wahyu pada Rasulullah saw. dan beliau
mendektikan kepadaku ketika aku menyudahi penulisan, beliau
berkata “bacalah al-Qur’an maka aku akan membacakannya
kepadamu, jika ada kesalahan dalam bacaan tersebut maka aku
akan membenarkannya”.5 Menurut Ibn Hajar al-Asqolani
penyebab nama Zaid dalam penulisan wahyu berada diatas angin
diantara yang lain adalah dikarenakan ia termasuk orag yang
paling serius menulis wahyu kendati Zaid sendiri baru masuk
Islam setelah Nabi hijrah ke madinah.
Mengingat pada zaman itu belum dikenal zaman
pembukuan, maka tidaklah heran jia pencatatan al-Qur’an bukan
dilakukan pada kertas-kertas apalagi dalam bentuk file, melainkan
dicatat pada benda yang mungkin digunakan sebagai sarana tulis
menulis terutama pelepah kurma, batu putih yang tipis, kulit atau
dedaunan, tulang bahu hewan, kayu yang diletakkan di punggung
unta, dan lain-lain yang diatasnya dapat digoreskan ayat-ayat al-
Qur’an. Mengingat banyaknya jumlah benda yang ditulisi al-
Qur’an pada waktu itu, sehingga memerlukan banyak tempat
penyimpanan padahal kediaman Nabi tidak terlalu luas dan
karenanya tidak memungkinkan untuk menyimpan semua catatan
al-Qur’an itu. Maka dapat dipahami jika pada zaman nabi berbagai
tulisan al-Qur’an masih terserak-serak atau tidak terkumpul di satu
tempat tertentu.6

4
Ahmad bin Hajar Abu al- Fadhal al-Atsqolani, fathu al-Bari, vol 1, (Beyrut: Dar al-Ma’rifah, 1379
H), 208.
5
Muhammad Thahir bin Abdul Qadir, Tarikh al-Quran al-Karim, 20.
6
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 50.
Disamping para sahabat yang diperintahkan menulis
wahyu, ada juga sebagian sahabat yang menuliskan al-Qur’an
yang turun atas kemauan sendiri, tanpa diperintah oleh nabi dan
dijadikan sebagai dokumen pribadinya. Seperti yang diatakan
dalam kisah masuk islamnya Umar bin Khattab, ketika itu sahabat
Umar masuk ke rumah saudarinya yang bernama Fatimah dan
medapati saudarinya beserta suaminya sedang dibacakan surat
Taha yang terdapat dalam lembaran yang ditulis oleh Khubab bin
al-Art.7
Pada masa nabi, unit-unit wahyu yang diterima nabi
secara keseluruhan telah tertulis namun belum terhimpun dalam
satu tempat dan surat-suratnya pun belum di urutkan. Banyak
faktor yang melatarbelakangi diantaranya : Pertama tidakadanya
faktor pendorong untuk membukukan al-Qur’an menjadi 1
mushaf, mengingat Rasululah masih hidup,dan sama sekali tidak
ada unsur-unsur yang diduga akan mengganggu akan kelestarian
al-Qur’an. Kedua, al-Qu’an diturunkan berangsur-angsur maka
suatu hal yang logis bila al-Qur’an baru bisa dikumpulkan dalam
satu mushaf setelah al-Qur’an turun semua yaitu dengan wafatnya
nabi. Ketiga, selama proses turun al-Qur’an masih terdapat
kemungkinan adanya ayat-ayat al-Qur’an yang nasikh dan
mansukh.
Dalam Itqon, al-Khatabi berkata bahwa sesungguhnya
Rasulullah saw. tidak mengumpulkan al-Qur’an dalam mushaf
karena Nabi masih memantau adanya penghapusan pada sebagian
hukum atau bacaan al-Qur’an, ketika al-Qur’an selesai diturunkan
semua dengan kewafatan Rasulullah saw. maka Allah memberi
ilham kepada para Khulafaur Rasyidin sesuai dengan janji
kebenaran Allah yaitu jaminan penjagaan al-Qur’an untuk umat
ini.8

7
Tim ForumKarya Ilmiyah RADEN (Refleksi Anak Mud Pesantren), Al-Qur’an kita, (Kediri: Lirboyo
Press, 2013), 46.
8
Muhammad Thahir bin Abdul Qadir, Tarikh al-Quran al-Karim, 22

Anda mungkin juga menyukai