Dalam kaitan pemikiran keyakinan, Syaltut melihat bahwa substansi akidah Islam
adalah keimanan, baik iman kepada adanya pencipta maupun terhadap apa yang akan
diciptakan oleh sang Pencipta. Kalimat syahadat, paparnya, adalah bentuk perjanjian
keimanan manusia dan pernyataan ideologis manusia kepada Tuhannya yang satu dan
Muhammad sebagai utusanNya. Dengan syahadat ini, akan membuka hati dan pikiran
manusia untuk memahami Islam lebih dalam dan luas.
Untuk mencari kebenaran Tuhan, menurut Syaltut, manusia harus menyadari bahwa
ada sesuatu yang harus diketahuinya hanya sebatas untuk tahu, dan ada sesuatu yang
diketahuinya dan memang harus diamalkannya. Syaltut menjelaskan, untuk
memperoleh kebenaran itu manusia harus melalui pendekatan rasional dan irasional.
Kedua, pemahaman akidah yang berangkat dari dalil yang tidak qath’i pada akhirnya
menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat, tidaklah dapat dikatakan sebagai
konklusi dari akidah yang benar, dan pendapat satu kelompok tertentu bukanlah
merupakan pendapat yang paling benar dengan menafikan kebenaran kelompok lain.
Ketiga, apa yang terdapat dalam buku-buku tauhid tidaklah dapat disebut bahwa
masalah akidah yang diwajibkan oleh Tuhan kepada kita untuk mengetahuinya telah
terangkum dalam kitab tersebut. Kitab-kitab itu hanya merupakan karya-karya ilmiah
yang mungkin bisa berbeda dengan apa yang terdapat dalam nash-nash syar’i, dan
karena itu, merupakan lapangan ijtihad para ulama.
Dalam kaitan ini, lanjut Syaltut, “syariah dan akidah merupakan satu sistem yang
tidak dapat dipisahkan”. Akidah merupakan dasar yang mendorong manusia untuk
menjalankan syariah Tuhan, dan syariah adalah refleksi panggilan hati manusia yang
berakidah. Karena itu manusia yang berakidah tanpa menjalankan syariah Tuhan, atau
manusia yang menjalankan syariah Tuhan tetapi tanpa memiliki akidah tidak
dianggap seorang Muslim, juga tidak dihukumi Islam.
Berkaitan dengan perbedaan pendapat, Syaltut menilai, hal itu sebagai sesuatu yang
wajar. Perbedaan pendapat, jelasnya, disebabkan oleh metodologi yang berbeda pada
seorang mujtahid dalam memahami nash-nash syar’i, juga cara pandang yang berbeda
dalam melihat sebuah masalah, sehingga hasil ijtihadnya pun berbeda.
Selain itu, karena antara satu madzhab dengan madzhab lainnya dalam memahami
nash-nash syar’i, khususnya kalangan Sunni dan Syiah berbeda pandangan, Syaltut
melontarkan gagasan jalan tengah yang dikenal sebagai “Taqrib al Madzahib”,
(rekonsiliasi antar-madzhab). Artinya, kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi
pemahaman keagamaan tanpa melihat simbol-simbol aliran yang kita yakini, dan
dengan meminimalisir fanatisme madzhab yang selama ini membekas dalam perilaku
keagamaan.
Gagasan ini bukan berarti kita harus menghilangkan dan menghapuskan pluralisme
madzhab yang ada, atau menyatukan antara satu madzhab dengan madzhab lainnya,
tetapi diarahkan untuk mengurangi sekat-sekat keagamaan yang telah menyejarah dan
membersihkannya dari unsur-unsur fanatisme aliran, sehingga umat Islam bisa
menyamakan barisannya, dan menghimpun kekuatannya dalam satu kekuatan besar
tanpa melihat madzhab yang diyakininya.
Kalau saja Quraish Shihab menghidangkan berbagai pendapat ulama yang diakui
otoritas keilmuannya, tentunya tidak akan berdampak buruk seperti yang terjadi
sekarang. Yang disayangkan, ternyata beliau menghidangkan pendapat orang-orang
yang – nota bene – hanya pemikir yang kurang otoritatif dan sama sekali bukan ulama
yang mu’tabar, sehingga menyeleweng jauh dari kebenaran dan cenderung
berpendapat nyleneh.
Makanya, jauh-jauh sebelumnya, para ulama telah menyebutkan bahwa tidak setiap
perbedaan pendapat dalam suatu masalah bisa diterima, karena bisa dimungkinkan
bahwa yang berbeda itu adalah pendapat orang yang bukan ahlinya. Berkata Ibnu
Hajar Al Haitami:
َظِر
َ ن الّن
ْ ظ ِم
ّح
َ لًفا َلُه
َخ
ِ ل
ّ جاَء ُمْعَتَبًرا إ
َ ف
ٍ ل
َخِ ل
ّ س ُك
َ َلْي
"Tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima, kecuali perbedaan pendapat yang
mempunyai dasar pijakan (menurut disiplin keilmuan)." (Ibnu Hajar Al Haitami,
Tuhfah al-Muhtaj fi Syarhi al Minhaj, Dar Ihya Turats al Araby, Juz III, hlm. 209)
Kita lihat bagaimana Ibnu Hajar Al Haitami, seorang ulama besar dari Madzhab
Syafi’i telah meletakkan sebuah kaidah yang sangat penting, khususnya bagi kaum
muslimin di Indonesia yang kebanyakan masih menganggap bahwa seluruh perbedaan
pendapat bisa ditampung dan diakomodir dengan alasan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara Demokrasi, sehingga pendapat-pendapat nyleneh dan jelas-jelas
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist serta ijma’ pun harus diterima sebagai
perbedaan pendapat. Sampai-sampai saat ini ada yang menyatakan, bahwa pendapat
yang menghalalkan homoseks dan lesbian pun harus dihormati juga sebagai bagian
dari perbedaan, karena perbedaan pendapat adalah rahmat. Tentu saja pendapat
semacam ini sangat keliru.
Perkataan Ibnu Hajar Al-Haitami di atas dikuatkan juga dengan perkataan ulama
besar, Imam Ar Romli:
عى
َ ف ُيَرا
ٍ ل
َخ
ِ ل
ّ س ُك
َ َوَلْي, شاّذ
َ ل
َ ن َهَذا اْلَقْو
ّلإ
َ ن ُيَقا
ْ ل َأ
ّإ
"Hanyasanya, bisa dikatakan bahwa pendapat ini adalah nyleneh, dan tidak setiap
perbedaan pendapat bisa diterima." (Muhammad bin Shihabudin Ar Romli, Nihayah
al Muhtaj ila Syarh al Minhaj, Beirut, Dar al Fikr.)
Seandainya Quraish Shihab hanya menampilkan dua pendapat kelompok besar dari
para ulama tentang batasan aurat tentu kita sepakat dan mendukungnya. Berkata
Quraish Shihab: "Secara garis besar, dalam konteks pembicaraan tentang aurat
wanita, ada dua kelompok besar ulama masa lampau. Yang pertama menyatakan
bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sedang kelompok kedua
mengecualikan wajah dan telapak tangan.“ (M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian
Wanita Muslimah, Juz II, hlm. 8)
Dua pendapat yang sudah disebutkan Qurasih, menurut hemat penulis secara umum
sudah cukup mewakili seluruh ulama yang ada. Adapun jika ada perinciannya lagi
dalam beberapa hal, maka bisa disesuaikan dengan kaidah-kaidah fiqh yang ada. Jadi,
tidak perlu menampilkan lagi pendapat-pendapat cendekiawan kontemporer yang
sebenarnya tidak berhak sama sekali ikut bicara dalam masalah yang bukan menjadi
bidang garapannya, karena hal itu akan merusak tatanan disiplin keilmuan yang sudah
ada. Dan jika beliau menampilkan pandangan cendekiawan kontemporer tersebut
secara sepintas saja, tentunya dampak negatifnya lebih kecil dari pada sekarang.
Tetapi kenyataannya beliau justru menyendirikan pandangan cendekiawan
kontemporer tentang jilbab itu dalam satu bab secara lengkap, yaitu dari halaman 113
sampai 164, yaitu sekitar 30% dari jumlah keseluruhan isi buku -- sesuatu yang tidak
dilakukan oleh Quraish Shihab ketika menerangkan tentang pendapat ulama yang
diakui otoritasnya.
Bukan hanya pendapat para cendekiawan saja yang dipermasalahkan oleh para ulama,
bahkan pendapat pakar ushul fiqh pun –yang dalam hal ini sangat dekat dengan ahli
fiqh- belum tentu bisa diterima pendapatnya jika ia berbicara masalah fiqh. Berkata
Imam Zarkasyi:
"Apakah pendapat pakar ushul fiqh ketika berbicara masalah fiqh bisa diterima?
....Adapun mayoritas ulama, termasuk di dalamnya Abul Husain bin Qattan
menyatakan bahwa pendapat seorang pakar ushul fiqh dalam permasalahan fiqh
tidaklah bisa diterima, karena dia tidak termasuk ahli fatwa." (Badruddin Zarkasy,
Bahru al-Muhith, Dar al Kutby, Juz VI, hlm. 416, lihat juga Al Ghozali, Al Mutashfa,
hlm : 144)
Kalau keadaannya demikian, bagaimana para ulama tersebut jika hidup pada zaman
sekarang dan mendengar seorang insiyur bangunan, sarjana politik, mantan perwira,
dokter gigi, ekonom atau sejenisnya yang sama sekali buta dengan ilmu-ilmu syariah
kemudian berfatwa tentang hukum jilbab, tentunya akan ditolak mentah-mentah. Jika
tidak memahami atau tidak mempunyai otoritas di bidang itu, seharusnya kembali
kepada ulama yang diakui otoritasnya.