Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pada dasarnya Allah telah menetapkan semua hukum dari segala
sesuatu itu dalam Al-Qur‟an dan As Sunnah. Kemudian para ahli Ushul
fiqih menggali pokok pokok permasalahan dari teks teks yang ada pada
keduanya. Dengan memanfaatkan jerih payah para ahli ushul fiqih
tersebut, para ahli fiqih kemudian menjelaskan hukum dari segala
sesuatu itu. Sehingga penjelasan penjelasan tersebut tertuang dalam
kitab kitab fiqh yang dijadikan pedoman ulama untuk menyelesaikan
suatu permasalahan yang dihadapi hingga saat ini.
Salah satu masalah yang sering terjadi adalah masalah muamalah
(akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalah muamalah ini
secara langsung melibatkan manusia dalam bermasyarakat, maka
pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik,
sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak
kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu
dalam diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan
muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman,
akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah
hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana)
muamalah itu.
Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, diantarannya
adalah akad Al-Wadi’ah dan Al-Luqhatah. Al-Wadi’ah adalah penitipan,
yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda
untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan).
Sedangkan Al-Luqhatah dengan al-Luqathah ialah memperoleh sesuatu
yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.

1
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian, dasar hukum, dan rukun dari Al-Luqathah?
2. Bagaimana pengertian, dasar hukum, dan rukun dari Al-Wadiah?
3. Bagaimana pengertian, dasar hukum, hukuman bagi orang yang
berbuat Ghasab?

c. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami arti, dasar hukum dan rukun dari Al-
Luqathah.
2. Mengetahui dan memahami arti, dasar hukum dan rukun dari Al-
Wadiah.
3. Mengetahui dan memahami arti, dasar hukum dan hukumuan bagi
orang yang berbuat Ghasab.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Dasar hukum, dan Rukun dari Al-Luqathah
a. Pengertian dari Luqathah

Dalam bahasa arab barang temuan adalah al-Luqathah,


menurut bahasa (etimologi) artinya ialah:

‫ئ اللطمللتتققطط‬
‫اتششلي ط‬

2
“sesuatu yang ditemukan atau didapat”.1

Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa al-luqathah ialah:

‫اقلسمم قللششليقئ اللطمللتتقققط‬

“Nama untuk sesuatu yang ditemukan”.

Sedangkan menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan


al-Luqathah sebagaimana yang dita’rifkan oleh para ulama
adalah sebagai berikut:

1. Muhamad al-syarbini al-khatib berpendapat bahwa yang


dimaksud dengan al-luqatah ialah:

“sesuatu yang ditemukan atas hak yang mulia, tiodak terjaga


dan yang menemukan tidak mengetahui mustahiqnya”.

2. Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah


berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan al-Luqathah
ialah:

“sesuatu dari harta atau sesuatu yang secara khusus


semerbak ditemukan bukan didaerah harby, tidak terpelihara
dan tidak dilarang karena kekuatannya, yang menemukan
tidak mengetahui pemilik barang tersebut”.

3. Al-Imam Taqiy al-Din Abi Bakar Muhammad al-husaini


bahwa al-Luqathah menurut syara’ ialah:

1 http://rummanah124.blogspot.co.id/2015/04/makalah-al-luqathah.html . Diakses pada


Rabu, 4 April 2018 , pukul 15:50

3
“pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk
terpeliharanya atau dimilikinya setelah diumumkan”.

4. Syaik ibrahim al-bajuri, berpendapat bahwa yang dimaksud


dengan al-Luqathah ialah:

“Sesuatu yang disia-siakan pemiliknya, baik karena jatuh,


lupa atau yang seumpamanya”.

5. Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-


Luqathah ialah sesuatu barang yang di temukan tidak
mengetahui pemilik barang yang ditemukan.

Maka dari definisi-definisi tersebut, secara umum yang


dimaksud dengan al- Luqathah ialah barang-barang yang didapat
dari tempat yang tidak dimiliki oleh seorang pun.2 Luqathah juga
bisa diartikan setiap harta yang dilindungi yang rentan hilang dan
tidak diketahui pemiliknya.Makna Luqathah menurut jumhur
ulama fiqih mencakup menemukan sesuatu yang hilang, baik itu
berbentuk benda, manusia ataupun hewan. Hanya saja golongan
Hanafiah membedakan istilah yang dipakai untuk jenis-jenis
tertentu. Misalnya, sesuatu yang ditemukan itu anak kecil maka
dipakai istilah al-laqith,3 untuk jenis hewan sebagai barang
temuannya disebut al-dhallah, sedangkan untuk jenis benda
selain yang dua macam itu dinamakan dengan istilah al-
luqathah.

b. Dasar hukum Al-Luqathah

2 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), hlm 61

3 Ibid, hlm 62

4
Hukum mengambil barang temuan dapat berubah-ubah
tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya,
hukum pengambilan barang temuan (luqathah) antara lain
sebagai berikut :

1. Sunat; bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa ia


sanggup/mampu mengerjakan segala yang bersangkutan dengan
pemeliharaan barang itu sebagaimana mestinya. Tetapi bila tidak
diambilpun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan akan
hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang
tidak dapat dipercaya.
2. Wajib; apabila berat sangkaannya bahwa barang itu akan hilang
dengan sia-sia kalau tidak diambilnya. Dan ia percaya mampu
untuk merawat barang temuan itu sebagaimana mestinya.

3. Makruh; bagi orang yang tidak percaya kepada dirinya (ragu-


ragu) bahwa ia akan dapat merawat barang temuan itu atau tidak.

4. Haram; bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia


mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan
yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang
tersebut sebagaimana mestinya.

c. Rukun Al-Luqathah
1. Ada yang mengambil. Jika orang yang mengambil adalah orang
yang tidak adil, hakim berhak mencabut barang itu dari orang
tersebut dan memberikannya kepada orang yang adil dan ahli.
Begitu juga kalau yang mengambilnya anak kecil, hendaklah
diurus oleh walinya.4
2. Bukti barang temuan. Sesuatu yang ditemukan ada empat
macam:

4 Ibid, hlm 66

5
a. Barang yang dapat disimpan lama (seperti emas dan perak)
hendaklah disimpan di tempat yang sesuai dengan keadaan
barang itu, kemudian diberitahukan kepada umum di tempat-
tempat yang ramai dalam masa satu tahun. Hendaklah pula
dikenal beberapa sifat barang yang ditemukannya itu,
umpamanya tempat, tutup, ikat, timbangan, atau bilangannya.
Sewaktu memberitahukannya hendaklah sebagian dari sifat-sifat
itu diterangkan, agar tidak terambil oleh orang-orang yang tidak
berhak.
b. Barang yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan. Orang
yang mengambil barang seperti ini boleh memilih antara
mempergunakan barang itu, asal dia sanggup menggantinya
apabila bertemu dengan yang punya barang; atau ia jual,
uangnya hendaklah dia simpan agar kelak dapat diberikannya
kepada pemiliknya apabila bertemu.
c. Barang yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu, dapat
disimpan lama apabila dibuat keju. Yang mengambil hendaklah
memperhatikan yang lebih berfaedah bagi pemiliknya (dijual
atau dibuat keju).
d. Suatu yang membutuhkan nafkah, yaitu binatang atau manusia.
Umpamanya anak kecil. Sedangkan binatang ada dua macam:
Pertama, binatang yang kuat; berarti dapat menjaga dirinya
sendiri terhadap binatang yang buas., misalnya unta, kerbau,
atau kuda; binatang yang seperti ini lebih baik dibiarkan saja
tidak usah diambil. Kedua, binatang yang lemah, tidak kuat
menjaga dirinya terhadap bahaya binatang yang buas. Binatang
seperti ini hendaklah diambil. Sesudah diambil diharuskan
melakukan salah satu dari tiga cara: 1) Disembelih, lalu
dimakan, dengan syarat “sanggup membayar apabila bertemu
dengan pemeliknya”. 2) Dijual, dan uangnya disimpan agar
dapat diberikannya kepada pemiliknya. 3) Dipelihara dan diberi

6
makan dengan maksud menolong semata-mata. Adapun apabila
yang ditemukan itu adalah manusia, misalnya anak kecil atau
orang bodoh, maka hukumnya mandub bagi yang
menemukannya, sebab perbuatan yang demikian termasuk amal
yang utama guna menyelamatkannya. Tetapi, bila dikhawatirkan
anak itu akan teraniaya jika tidak dipungut maka hukum
mengambilnya menjadi fardu kifayah. Untuk biaya hidupnya,
kalau ia membawa harta benda atau diketahui bahwa ia
mempunyai harta, diambilkan dari hartanya sendiri. Tetapi kalau
dia tidak mempunyai harta, biaya hidupnya diambilkan dari
baitul-mal (dana masyarakat), kalau tidak, atas tanggungan umat
Islam yang mampu. Untuk Agama anak yang ditemukan. Kalau
anak itu ditemukan di dalam negeri Islam, ia dipandang sebagai
anak Islam. Kalau ditemukannya di lingkungan negeri yang
bukan Islam, dia dipandang bukan Islam.

B. Pengertian, Dasar hukum, dan Rukun dari Al-Wadiah


a. Pengertian Al-Wadiah

Menurut bahasa al-Wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan


bukan pada pemiliknya (Ma Wud’a “Inda Ghair Malikihi
Layahfadzshu), berarti al-wadi’ah ialah memberikan, makna
yang kedua al-Wadi’ah dari segi bahasa ialah menerima, seperti
seseorang berkata: “Awda’tubu” artinya aku menerima harta
tersebut darinya (Qabiltu Minhu Dzalika al-Mal Liyakuna
Wadi’ah “Indi), secara bahasa al-Wadi’ah memiliki dua makna,
yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada
penerimaannya (I’tha’u al-mal Liyahfazhu wa fi Qabulihi).

7
Menurut istilah bahwa al-Wadi’ah dijelaskan oleh para ulama
sebagai berikut:

1. Menurut Malikiyah bahwa al-Wadi’ah memiliki dua arti:

“Ibarah perkawinan untuk pemelihara harta secara mujarad”5

Arti yang kedua ialah:

“ibarah pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara


mujarad yang sah dipindahkan kepada penerima titipan”

2. Menurut Hanafiyah bahwa al-wadi’ah ialah al-Ida’ yaitu:

“Ibarah seseorang menyempurnakan harta kepada yang lain


untuk dijaga secara jelas atau dilalah”.

Makna yang kedua dari al-Wadi’ah ialah suatu yang dititipkan:

“sesuatu yang ditinggalkan pada orang terpercaya supaya


dijaganya”.

3. Menurut Hanabilah yang dimaksud dengan al-Wadi’ah ialah:

“Titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas


(tabaru)

4. Menurut Idris Ahmad bahwa titipan artinya barang yang


diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang
itu dijaga baik-baik.6

5 Hendi Sehendi, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 179

6 Ibid, hlm 181

8
Maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain
dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak
(sebagaimana hal-hal kebiasaan).7 Apabila ada kerusakan pada
benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana
layaknya, maka penerima titipan tidak wajib untuk
menggantinya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh
kelalaiannya, maka wajib menggantinya.

b. Dasar hukum Al-Wadiah

Al-Wadiah adalah amanat bagi orang yang menerima


titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik
meminta kembali, firman Allah SWT yang artinya :

“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka


hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan
bertaqwalah kepada Allah sebagai tuhannya (al-Baqarah: 283).

Orang yang menerima tidak berkewajiban menjamin,


kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana
mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan,
berdasarkan kepada sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari
kakeknya Nabi SAW. Bersabda:

“Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin”


(riwayat Daruquthni)

“Tidak ada kewajiban untuk orang yang diberi amanat”


(Riwayat al-Baihaqi)

7 Ibid, hlm 181-182

9
c. Rukun Al-Wadiah

Menurut Hanafiyah bahwa rukun al-Wadi’ah adalah satu,


yaitu ijab dan qabul, adapun yang lainnya adalah termasuk syarat
dan tidak termasuk rukun. Adapun menurut Hanafiyah dalam
shigat ijab dianggap sah, apabila ijab tersebut dilakukan dengan
perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan samaran
(kinayah), hal ini berlaku juga untuk qabul, disyaratkan bagi
yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf, maka
tidak sah apabila yang dititipkan dan yang menerima benda
titipan adalah orang gila atau anak yang belum dewasa (shabiy).8
Sedangkan menurut Syafi’iyah bahwa al-Wadi’ah memiliki tiga
rukun, yaitu:

1. Barang yang dititipkan. Syarat pada barang yang dititipkan


adalah barang atau benda itu merupakan suatu yang dapat
dimiliki menurut Syara’.

2. Yang menitipkan dan yang menerima titipan. Syarat pada penitip


dan yang menerima titipan dengan baligh, berakal serta syarat-
syarat lain yang sesuai dengn syarat-syarat berwali.

3. Shigat ijab dab qabul al-wadi’ah. Syarat pada ijab qabul ini
dimengerti oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun
samar.9

C. Pengertian, Dasar hukum, Hukuman bagi orang yang berbuat


ghasab

8 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam, ( Depok: Gema Insani, 2011), hlm 558

9 Hendi Suhandi, hlm 183

10
a. Pengertian Ghasab
Ghasab memiliki makna mengambil sesuatu secara paksa dan
terang terangan, sedangkan menurut syara' Ghasab ialah menguasai
hak orang lain dengan jalan aniaya atau memanfaatkan atau
menggunakan hak orang lain tanpa seijin pemiliknya. Adapun
menurut istilah adalah menguasai harta orang lain dengan alasan
yang tidak benar. Ghasab tidak terbatas pada perkara yang berupa
harta benda, tetapi juga hal - hal yang berupa kemanfaatan, seperti :
menyuruh berdiri orang yang sedang duduk di masjid, duduk diatas
alas (karpet, permadani) orang lain sekalipun tidak digeser ketempat
lain, mengusir orang dari rumahnya sendiri sekalipun tidak
dimasukinya dan lain.
Sedangkan menurut ulama, ghasab mendefisinisikan sebagai
berikut:
o Mazhab Hanafi : mengambil harta orang lain yang halal tanpa
ijin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari
pemiliknya.
o Ulama Mazhab Maliki : mengambil harta orang lain secara
paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok).
o Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali : penguasaan terhadap
harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa
tanpa hak.
b. Dasar Hukum Ghasab
Perbuatan Ghasab adalah dosa dan haram tapi tidak
membatalkan shalatnya. Istilahnya adalah sesuatu yang mulanya
disyariatkan akan tetapi diserta oleh suatu yang bersifat
mudharat bagi manusia. Al-Ghasab haram dilakukan dan berdosa
bagi yang melakukannya, sesuai dengan dalil al-Qur’an, sunnah,
dan ijma.
Dalil dari as-Sunnah adalah Jabir meriwayatkan dari
Rasulullah saw, beliau bersabda dalam khutbahnya pada hari
Kurban sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan

11
lainnya. “Sesungguhnya (pertumpahan) darah dan (pencurian)
harta kalian haram, dan seperti haramnya hari kalian ini di
bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.”
Sedangkan dalil dari ijma adalah bahwa kaum muslimin
telah sepakat untuk mengharamkan ghasab, meskipun mereka
berbeda pendapat dalam cabang-cabangnya. Jika memang
demikian, orang yang melakukannya maka dia harus
mengembalikan barang yang diambilnya selama barang itu
masih ada, sesuai dengan sabda Nabi saw,
“tangan bertanggung jawab atas apa yang diambilnya, hingga
dia mengembalikanya.”
Ghasab, merampas hak orang lain adalah zalim. 10 Allah swt,
berfirman dalam QS. An-Nisaa: 29,

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu
sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-
Nisaa: 29)
Pada bagian pertama dari ayat ini Allah melarang agar
jangan memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Yang
dimaksud dengan “memakan” disini ialah “mempergunakan”
atau “memanfaatkan”. Dan yang dimaksud dengan “batil” ialah
dengan cara yang tidak menurut hukum yang telah ditentukan
Allah. Para ahli tafsir mengatakan banyak hal-hal yang dilarang
termasuk dalam lingkungan bagian pertama dari ayat ini, antara
lain :
o Memakan riba.
o Menerima zakat bagi orang yang tidak berhak menerimanya.
o Makelar-makelar penipuan terhadap pembeli atau penjual.

10 Wahbah Az-Zuhaili, hlm 661

12
Kemudian pada ayat bahagian kedua dari ayat ini Allah swt.
melarang membawa urusan harta kepada hakim dengan maksud
untuk mendapatkan sebahagian dari harta orang lain dengan cara
yang batil, dengan menyogok atau memberi sumpah palsu atau
saksi palsu.
2) Hadits
Dari Said bin Zaid, bahwasanya Rasulullah saw., telah
bersabda:
Artinya: “barangsiapa ambil sejengkal dari bumi dengan
kezaliman, niscaya Allah kalungkan dia dengannya pada hari
kiamat dari tujuh bumi.”

c. Hukuman bagi orang yang berbuat ghasab


Ia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang
diambilnya tersebut milik orang lain. Jika barang tersebut masih
utuh wajib dikembalikannya. Apabila barang tersebut
hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.
1. Mazhab Hanafi dan Maliki → Denda dilakukan dengan
barang yang sesuai/sama dengan barang yang dighasab. Apabila
jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga
benda tersebut ketika dilakukan ghasab.
2. Mazhab Syafi’i →denda sesuai dengan harga yang tertinggi
3. Mazhab Hanbali → denda sesuai dengan harga ketika jenis
benda itu tidak ada lagi di pasaran.
Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang
telah dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang
menggasabnya.
a. Mazhab Hanafi → orang yang menggasab berhak atas benda
itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar denda.
b. Mazhab Syafii dan Hambali →orang yang menggasab tidak
berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah
membayar denda.

13
c. Mazhab Maliki → orang yang mengasab tidak boleh
memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah
rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya
dan ia bebas untuk memanfaatkannya.
Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah,
kemudian dibangun rumah diatasnya, atau tanah itu dijadikan
lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa
tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada
diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang
dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah.
“Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (zalim) tidak
berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya)
tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin Zubair)

KESIMPULAN

1. Al- Luqathah ialah barang-barang yang didapat dari tempat yang tidak
dimiliki oleh seorang pun. Luqathah juga bisa diartikan setiap harta
yang dilindungi yang rentan hilang dan tidak diketahui pemiliknya.

2. Dasar Hukum Al-Luqathah

14
- Wajib

- Sunah

- Haram

- Makruh

3. Rukun Al-Luqathah

- Ada yang mengambil

- Bukti barang temuan

4. Al-Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain


dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak
(sebagaimana hal-hal kebiasaan)

5. Dasar Hukum Al-Wadiah


- Al-Wadiah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia
wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali,
- Orang yang menerima tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila
ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau
melakukan jinayah terhadap barang titipan,
6. Rukun Al-Wadi’ah
- Barang yang dititipkan.
- Yang menitipkan dan yang menerima titipan.
- Shigat ijab dab qabul al-wadi’ah
7. Ghasab memiliki makna mengambil sesuatu secara paksa dan terang
terangan
8. Dasar hukum ghasab
- Al-Ghasab haram dilakukan dan berdosa bagi yang melakukannya,
sesuai dengan dalil al-Qur’an, sunnah, dan ijma.

b. Saran
Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur atas selesainya
makalah ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna,

15
Oleh karena itulah saran serta kritik yang bersifat membangun dari Ibu
selalu kami nantikan. Untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap
langkah sehingga kami terus termotivasi kearah yang lebih baik
tentunya dimasa masa yang akan datang. Akhirnya kami ucapkan terima
kasih sebanyak banyaknya.

DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam jilid “lima”. Jakarta: Gema Insani

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam jilid “enam”. Jakarta: Gema


Insani

Karim, Helmi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada

http://rummanah124.blogspot.co.id/2015/04/makalah-al-luqathah.html.
Diakses pada Rabu, 4 April 2018 , pukul 15:50

16

Anda mungkin juga menyukai