PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pada dasarnya Allah telah menetapkan semua hukum dari segala
sesuatu itu dalam Al-Qur‟an dan As Sunnah. Kemudian para ahli Ushul
fiqih menggali pokok pokok permasalahan dari teks teks yang ada pada
keduanya. Dengan memanfaatkan jerih payah para ahli ushul fiqih
tersebut, para ahli fiqih kemudian menjelaskan hukum dari segala
sesuatu itu. Sehingga penjelasan penjelasan tersebut tertuang dalam
kitab kitab fiqh yang dijadikan pedoman ulama untuk menyelesaikan
suatu permasalahan yang dihadapi hingga saat ini.
Salah satu masalah yang sering terjadi adalah masalah muamalah
(akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalah muamalah ini
secara langsung melibatkan manusia dalam bermasyarakat, maka
pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik,
sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak
kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu
dalam diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan
muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman,
akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah
hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana)
muamalah itu.
Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, diantarannya
adalah akad Al-Wadi’ah dan Al-Luqhatah. Al-Wadi’ah adalah penitipan,
yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda
untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan).
Sedangkan Al-Luqhatah dengan al-Luqathah ialah memperoleh sesuatu
yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.
1
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian, dasar hukum, dan rukun dari Al-Luqathah?
2. Bagaimana pengertian, dasar hukum, dan rukun dari Al-Wadiah?
3. Bagaimana pengertian, dasar hukum, hukuman bagi orang yang
berbuat Ghasab?
c. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami arti, dasar hukum dan rukun dari Al-
Luqathah.
2. Mengetahui dan memahami arti, dasar hukum dan rukun dari Al-
Wadiah.
3. Mengetahui dan memahami arti, dasar hukum dan hukumuan bagi
orang yang berbuat Ghasab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Dasar hukum, dan Rukun dari Al-Luqathah
a. Pengertian dari Luqathah
ئ اللطمللتتققطط
اتششلي ط
2
“sesuatu yang ditemukan atau didapat”.1
3
“pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk
terpeliharanya atau dimilikinya setelah diumumkan”.
2 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), hlm 61
3 Ibid, hlm 62
4
Hukum mengambil barang temuan dapat berubah-ubah
tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya,
hukum pengambilan barang temuan (luqathah) antara lain
sebagai berikut :
c. Rukun Al-Luqathah
1. Ada yang mengambil. Jika orang yang mengambil adalah orang
yang tidak adil, hakim berhak mencabut barang itu dari orang
tersebut dan memberikannya kepada orang yang adil dan ahli.
Begitu juga kalau yang mengambilnya anak kecil, hendaklah
diurus oleh walinya.4
2. Bukti barang temuan. Sesuatu yang ditemukan ada empat
macam:
4 Ibid, hlm 66
5
a. Barang yang dapat disimpan lama (seperti emas dan perak)
hendaklah disimpan di tempat yang sesuai dengan keadaan
barang itu, kemudian diberitahukan kepada umum di tempat-
tempat yang ramai dalam masa satu tahun. Hendaklah pula
dikenal beberapa sifat barang yang ditemukannya itu,
umpamanya tempat, tutup, ikat, timbangan, atau bilangannya.
Sewaktu memberitahukannya hendaklah sebagian dari sifat-sifat
itu diterangkan, agar tidak terambil oleh orang-orang yang tidak
berhak.
b. Barang yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan. Orang
yang mengambil barang seperti ini boleh memilih antara
mempergunakan barang itu, asal dia sanggup menggantinya
apabila bertemu dengan yang punya barang; atau ia jual,
uangnya hendaklah dia simpan agar kelak dapat diberikannya
kepada pemiliknya apabila bertemu.
c. Barang yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu, dapat
disimpan lama apabila dibuat keju. Yang mengambil hendaklah
memperhatikan yang lebih berfaedah bagi pemiliknya (dijual
atau dibuat keju).
d. Suatu yang membutuhkan nafkah, yaitu binatang atau manusia.
Umpamanya anak kecil. Sedangkan binatang ada dua macam:
Pertama, binatang yang kuat; berarti dapat menjaga dirinya
sendiri terhadap binatang yang buas., misalnya unta, kerbau,
atau kuda; binatang yang seperti ini lebih baik dibiarkan saja
tidak usah diambil. Kedua, binatang yang lemah, tidak kuat
menjaga dirinya terhadap bahaya binatang yang buas. Binatang
seperti ini hendaklah diambil. Sesudah diambil diharuskan
melakukan salah satu dari tiga cara: 1) Disembelih, lalu
dimakan, dengan syarat “sanggup membayar apabila bertemu
dengan pemeliknya”. 2) Dijual, dan uangnya disimpan agar
dapat diberikannya kepada pemiliknya. 3) Dipelihara dan diberi
6
makan dengan maksud menolong semata-mata. Adapun apabila
yang ditemukan itu adalah manusia, misalnya anak kecil atau
orang bodoh, maka hukumnya mandub bagi yang
menemukannya, sebab perbuatan yang demikian termasuk amal
yang utama guna menyelamatkannya. Tetapi, bila dikhawatirkan
anak itu akan teraniaya jika tidak dipungut maka hukum
mengambilnya menjadi fardu kifayah. Untuk biaya hidupnya,
kalau ia membawa harta benda atau diketahui bahwa ia
mempunyai harta, diambilkan dari hartanya sendiri. Tetapi kalau
dia tidak mempunyai harta, biaya hidupnya diambilkan dari
baitul-mal (dana masyarakat), kalau tidak, atas tanggungan umat
Islam yang mampu. Untuk Agama anak yang ditemukan. Kalau
anak itu ditemukan di dalam negeri Islam, ia dipandang sebagai
anak Islam. Kalau ditemukannya di lingkungan negeri yang
bukan Islam, dia dipandang bukan Islam.
7
Menurut istilah bahwa al-Wadi’ah dijelaskan oleh para ulama
sebagai berikut:
5 Hendi Sehendi, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 179
8
Maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain
dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak
(sebagaimana hal-hal kebiasaan).7 Apabila ada kerusakan pada
benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana
layaknya, maka penerima titipan tidak wajib untuk
menggantinya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh
kelalaiannya, maka wajib menggantinya.
9
c. Rukun Al-Wadiah
3. Shigat ijab dab qabul al-wadi’ah. Syarat pada ijab qabul ini
dimengerti oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun
samar.9
8 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam, ( Depok: Gema Insani, 2011), hlm 558
10
a. Pengertian Ghasab
Ghasab memiliki makna mengambil sesuatu secara paksa dan
terang terangan, sedangkan menurut syara' Ghasab ialah menguasai
hak orang lain dengan jalan aniaya atau memanfaatkan atau
menggunakan hak orang lain tanpa seijin pemiliknya. Adapun
menurut istilah adalah menguasai harta orang lain dengan alasan
yang tidak benar. Ghasab tidak terbatas pada perkara yang berupa
harta benda, tetapi juga hal - hal yang berupa kemanfaatan, seperti :
menyuruh berdiri orang yang sedang duduk di masjid, duduk diatas
alas (karpet, permadani) orang lain sekalipun tidak digeser ketempat
lain, mengusir orang dari rumahnya sendiri sekalipun tidak
dimasukinya dan lain.
Sedangkan menurut ulama, ghasab mendefisinisikan sebagai
berikut:
o Mazhab Hanafi : mengambil harta orang lain yang halal tanpa
ijin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari
pemiliknya.
o Ulama Mazhab Maliki : mengambil harta orang lain secara
paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok).
o Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali : penguasaan terhadap
harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa
tanpa hak.
b. Dasar Hukum Ghasab
Perbuatan Ghasab adalah dosa dan haram tapi tidak
membatalkan shalatnya. Istilahnya adalah sesuatu yang mulanya
disyariatkan akan tetapi diserta oleh suatu yang bersifat
mudharat bagi manusia. Al-Ghasab haram dilakukan dan berdosa
bagi yang melakukannya, sesuai dengan dalil al-Qur’an, sunnah,
dan ijma.
Dalil dari as-Sunnah adalah Jabir meriwayatkan dari
Rasulullah saw, beliau bersabda dalam khutbahnya pada hari
Kurban sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan
11
lainnya. “Sesungguhnya (pertumpahan) darah dan (pencurian)
harta kalian haram, dan seperti haramnya hari kalian ini di
bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.”
Sedangkan dalil dari ijma adalah bahwa kaum muslimin
telah sepakat untuk mengharamkan ghasab, meskipun mereka
berbeda pendapat dalam cabang-cabangnya. Jika memang
demikian, orang yang melakukannya maka dia harus
mengembalikan barang yang diambilnya selama barang itu
masih ada, sesuai dengan sabda Nabi saw,
“tangan bertanggung jawab atas apa yang diambilnya, hingga
dia mengembalikanya.”
Ghasab, merampas hak orang lain adalah zalim. 10 Allah swt,
berfirman dalam QS. An-Nisaa: 29,
12
Kemudian pada ayat bahagian kedua dari ayat ini Allah swt.
melarang membawa urusan harta kepada hakim dengan maksud
untuk mendapatkan sebahagian dari harta orang lain dengan cara
yang batil, dengan menyogok atau memberi sumpah palsu atau
saksi palsu.
2) Hadits
Dari Said bin Zaid, bahwasanya Rasulullah saw., telah
bersabda:
Artinya: “barangsiapa ambil sejengkal dari bumi dengan
kezaliman, niscaya Allah kalungkan dia dengannya pada hari
kiamat dari tujuh bumi.”
13
c. Mazhab Maliki → orang yang mengasab tidak boleh
memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah
rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya
dan ia bebas untuk memanfaatkannya.
Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah,
kemudian dibangun rumah diatasnya, atau tanah itu dijadikan
lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa
tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada
diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang
dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah.
“Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (zalim) tidak
berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya)
tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin Zubair)
KESIMPULAN
1. Al- Luqathah ialah barang-barang yang didapat dari tempat yang tidak
dimiliki oleh seorang pun. Luqathah juga bisa diartikan setiap harta
yang dilindungi yang rentan hilang dan tidak diketahui pemiliknya.
14
- Wajib
- Sunah
- Haram
- Makruh
3. Rukun Al-Luqathah
b. Saran
Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur atas selesainya
makalah ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna,
15
Oleh karena itulah saran serta kritik yang bersifat membangun dari Ibu
selalu kami nantikan. Untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap
langkah sehingga kami terus termotivasi kearah yang lebih baik
tentunya dimasa masa yang akan datang. Akhirnya kami ucapkan terima
kasih sebanyak banyaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam jilid “lima”. Jakarta: Gema Insani
http://rummanah124.blogspot.co.id/2015/04/makalah-al-luqathah.html.
Diakses pada Rabu, 4 April 2018 , pukul 15:50
16