Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Al Qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk dikaji dan
diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari Al-Qur’an. Dalam makalah
ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh Mansukh yang cukup panjang
pembahasannya, namun kami telah berusaha untuk lebih teliti dan jeli dalam mempelajarinya.
Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham kita semakin memahami isi
kandungan Al-Qur’an secara benar dan baik.
Di samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang
lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa
lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu huum syara’ dengan huku
syara’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya
tentang yang pertama dan yang berikutnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan nasikh dan mansukh ?

2.      Bagaimana pendapat ulama mengenai nasikh dan mansukh ?

3.      Apa urgensi mempelajari nasikh dan mansukh ?


C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh.
2.      Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai nasikh dan mansukh.
3.      Untuk mengetahui urgensi mempelajari nasikh dan mansukh.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Nasikh Mansukh
Nasikh secara etimologi yaitu menghapus / mengganti / memindahkan / mengutip. Sedangkan secara

terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian, dengan
[1]
catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.  Seperti terlihat
[2]
dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut :
  
[3]
Artinya : “Ayat mana saja  yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami

datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”


Mansukh secara etimologi yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti

hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang

datang kemudian.  

Arti nasikh mansukh dalam istilah fuqaha’ antara lain:

1.   Membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru datang. Seperti

cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi membolehkannya.

2.   Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas seperti :

a.       Surat Al-Baqarah ayat 228;

[4]
Artinya : “wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' ”

b.      Surat Al-Ahzab ayat 49;

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman,

kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka
[5]
'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah  dan lepaskanlah mereka

itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”

Nas yang pertama umum; termasuk didalamnya istri yang sudah

didukul (dicampuri) dan yang belum. Sedang nas yang kedua khusus tertuju pada istri yang belum didukhul.

Terjadinya Nasikh-Mansukh mengharuskan adanya syarat-syarat berikut :


[6]
1.   Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.

2.   Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama

(mansukh).

3.   Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertetangan yang nyata (kontradiktif).

4.   Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir.

B.     Pendapat Ulama Mengenai Nasikh Mansukh


 Timbulnya sikap ulama menanggapi isu nasikh dan mansukh sebenarnya dalam rangka merespon

surat An-Nisa’ ayat 82 ;


   
Artinya : “kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang

banyak di dalamnya.”

Berikut sikap pro dan kontra dari para ulama tentang tepri nasikh-mansukh :

1.   Pendukung teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i (204 H), An

Nahas (388 H), As Suyuti (911 H) dan Asy Syukani (1250 H). Dasar teori nasikh-mansukh dalam konteks makna
tersebut antara lain : [7]

a.       Surat Al-Baqarah ayat 106 :


  
Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan

yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”

b.      Surat An-Nahl ayat 101 :


    
Artinya : " Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah

lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang

mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui."

c.       Adanya kenyataan bahwa beberap ayat ada yang menunjukkan gejala kontradiksi. Misalnya dalam penelitian

an-Nahas (388 H) terdapat ayat yang berlawanan dengan ayat-ayat yang lain berjumlah 100  ayat, menurutnya

realitas yag diteukan tersebut, mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-mansukh. Kemudian jauh

sesudahnya As Suyuti (911 H) hanya menemukan 9 ayat saja. Selanjutnya Asy Syukani (1250 H), bahkan hanya

menemukan 8 ayat saja yang tidak mampu dikompromikan.

2.   Penolak teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah antara lain : Abu Muslim Al

Ashfahany (322 H), Imam Al Fakhrur Razy-Syafi’i Mazhaban (605H), Muhammad Abduh (1325 H), Sayyid

Rasyid Ridla (1354 h), Dr, Taufiq Shidqy dan Ustadz Khudhaybey. Alasan mereka antara lain :

a.       Jika di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang mansukh berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan isinya

berarti menetapkan bahwa di dalam al-Quran ada yang batal (yang salah). Padahal Allah telah menerangkan ciri

al-Quran antara lain dala surat Fussilat ayat 42 :


ž
Artinya : “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang

diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”

b.       Al-Quran adalah syariat yang diabadikan hingga ahir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang

zaman.

c.       Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam al-Quran bersifat kulliyah bukan juz’iy-khas, dan hukum-

hukumnya di dalam al-Quran diterangkan secara ijmaly bukan secara khas.

d.      Al-Quran surat al-Baqarah ayat :106 tidak memastikan kepada adanya naskh ayat al-Quran.

e.       Adanya ayat-ayat yang sepintas nmpk kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh.

C.    Urgensi Mempelajari Nasikh dan Mansukh


Ilmu nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam al-
Quran sangat penting untuk mengetahui proses tshri’ (penetapan dan penerapan
hukum) Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu
berubah, sejuhmana elastisitas ajaran dan hukumnya, serta sejauhmana perubahan
hukum itu berlaku. Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum
(alasan ditetapkannya suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh
diberlakukan secara longgar dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi
yang mengitarinya atas dasar tujuan ajaran dan illat hukum tersebut.

BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
 Nasikh yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang
kemudian. Sedangkan mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum
diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Ada dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh yaitu ada yang
mendukung atau setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika
terdapat nasikh dan mansukh didalam al-Quran.
Urgensi mempelajari nasikh dan mansukh adalah  untuk mengetahui proses tashri’
(penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat
hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang

dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul HA, Djalal, H. Prof., Dr. 2000. Ulumul Qur’an (Edisi Lengkap). Surabaya : Dunia Ilmu.
AL-Khattan, Manna’ Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra
Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur’an Dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.
DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta
Denffer, Ahmad. 1988. Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Rajawali.
Syaikh Muhammad Bin Sholel al Utsaimin. 2004. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta : Darus Sunnah
Press.
Tim Penyusun MKD. 2011. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel
[1]
 Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011), hlm. 123
[2]
 DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, 2002, hlm. 20
 Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan
[3]

ada yang mengartikan mukjizat.

[4]
 Quru' dapat diartikan suci atau haidh.

 Yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang
[5]

diceraikan sebelum dicampuri.


[6] AL-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hlm. 327
[7] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra, 2000), hlm. 104

Anda mungkin juga menyukai