Anda di halaman 1dari 9

Makalah Studi Qur’an "NĀSIKH DAN MANSŪKH"

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menurunkan syari’at di dalam Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi
wasallam untuk memperbaiki umat di bidang aqidah, ibadah, dan mu'āmalah. Tentang
bidang ibadah dan mu’āmalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan
jiwa dan memelihara keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan
manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh & Mansukh terhadap beberapa hukum
terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu,
dan kemaslahatan manusia.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh
karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh
dalam Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian nāsikh dan mansūkh?
2. Bagaimana macam-macam nāsikh dan mansūkh?
3. Bagaimana dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh?
4. Bagaimana pendapat mengenai ayat yang dimansūkh ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nāsikh dan mansūkh.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh.
3. Untuk mengetahui bentuk dan jenis nāsikh dan mansūkh.
4. Untuk mengetahui pendapat mengenai ayat yang dimansūkh.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nāsikh dan Mansūkh
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. Berarti “Izalatu al shay’I wa i’damuhu”
(menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “ Naqlu al shay’i”
(memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti “Tahwil”
(pengalihan). Sedangkan naskh secara istilah adalah:  Mengangkat (menghapus) hukum
syara’ dengan dalil/khithab syara’ yang lain.

Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang
menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus
ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Mansūkh merupakan hukum
yang diangkat atau yang dihapus.[1]

B. Syarat-syarat Naskh
1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’.
2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khithab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.
C. Pembagian Naskh
Naskh dibagi menjadi tiga ;
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat bulan
sepuluh hari.

‫اج َفإِنْ َخ َرجْ َن َفاَل ُج َنا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َف َع ْل َن فِي‬ ْ َ ً َ َ ‫ِين ُي َت َو َّف ْو َن ِم ْن ُك ْم َو َي َذر‬
َ ‫َوالَّذ‬
ٍ ‫ُون أ ْز َواجً ا َوصِ يَّة أِل ْز َوا ِج ِه ْم َم َتاعًا إِلَى ال َح ْو ِل غَ ي َْر إِ ْخ َر‬
]٢٤٠ : ‫[البقرة‬ ‫ف َو ُ َع ِزيز َحكِي ٌم‬ ٌ ‫هَّللا‬ ُ
ٍ ‫أنفسِ ِهنَّ مِنْ َمعْ رُو‬ ْ َ

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri,
hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak
ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 240)[2]

َّ‫ُون أَ ْز َواجً ا َي َت َربَّصْ َن ِبأ َ ْنفُسِ ِهنَّ أَرْ َب َع َة أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرً ا َفإِ َذا َبلَ ْغ َن أَ َجلَهُنَّ َفاَل ُج َنا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َف َع ْل َن فِي أَ ْنفُسِ ِهن‬
َ ‫ِين ُي َت َو َّف ْو َن ِم ْن ُك ْم َو َي َذر‬
َ ‫َوالَّذ‬
]٢٣٤ : ‫ون َخ ِبي ٌر [البقرة‬ ُ ‫هَّللا‬
َ ‫ِبال َمعْ رُوفِ َو ُ ِب َما َتعْ َمل‬ ْ

        Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri


(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat . (QS.Al-Baqarah [2]: 234)[3]

2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadits mutawatir dan ahad dinasakh oleh


hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadits ahad.

Contoh:

 ‫ار ِة ْالقُب ُْو ِر أَالَ َف ُز ْور ُْو َها‬ ُ ‫ ُك ْن‬   


َ ‫ت َن َه ْي ُت ُك ْم َعنْ ِز َي‬
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”

‫ب الرَّ ِاب َع ِة َفا ْق ُتلُ ْو ُه‬ ُ ْ‫َفإِن‬


َ ْ‫شر‬
 “Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”

Dinasakh oleh hadits :

‫أَ َّن ُه ُح ِم َل إِلَ ْي ِه َمنْ َش ِر َب َها الرَّ ِاب َع َة َفلَ ْم َي ْق ُت ْل ُه‬

 Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr keempat kalinya, tetapi
rasul tidak membunuhnya. Sabda Rasululah:

‫ضاحِي ِألَجْ ِل الدَّا َف ِة َفا َّد ِخر ُْو َها‬


َ َ‫ار لحُوُ ِم ْاأل‬ ُ ‫ُك ْن‬
ِ ‫ت َن َه ْي ُت ُك ْم َع ِن اد ََّخ‬

Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada golongan yang
membutuhkan, maka sekarang simpanlah.

3. Nasakh as-Sunnah Oleh Al-Qur’an


Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:

َّ‫ْث َما ُك ْن ُت ْم َف َولُّوا وُ جُو َه ُك ْم َش ْط َرهُ َوإِن‬


ُ ‫ك َش ْط َر ْال َمسْ ِج ِد ْال َح َرام َو َحي‬
ِ َ ‫ضا َها َف َو ِّل َوجْ َه‬ َ ْ‫ك قِ ْبلَ ًة َتر‬
َ ‫ء َفلَ ُن َولِّ َي َّن‬Žِ ‫ك فِي ال َّس َما‬ َ ُّ‫َق ْد َن َرى َت َقل‬
َ ‫ب َوجْ ِه‬
]١٤٤: ‫ون [البقرة‬ َ ُ‫ُون أَ َّن ُه ْال َح ُّق مِنْ َرب ِِّه ْم َو َما هَّللا ُ ِبغَاف ٍِل َعمَّا َيعْ َمل‬
َ ‫اب َل َيعْ لَم‬ ُ
َ ‫ِين أو ُتوا ْال ِك َت‬
َ ‫الَّذ‬
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan
Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 144)[4]
A. Macam-Macam Nāsikh dalam Al-Qur’an
Nāsikh dalam Al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:

1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak
dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya riwayat Bukhari dan Muslim,
yaitu hadits ‘Aisyah ra.

‫(وهُنَّ ِممَّا ُي ْق َرأ ُ م َِن‬ ِ ‫ َف ُتوُ ِّف َي َرس ُْو ُل‬.ٍ‫مْس َمعْ لُ ْو َمات‬
َ ‫هللا صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫ت َمعْ لُ ْو َما‬
ٍ ‫ت ي َُحرِّ مْ َن َف ُنسِ ْخ َن ِب َخ‬ َ ‫ان فِ ْي َما أُ ْن ِز َل َع َش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬ َ ‫َك‬
َ ُ
)‫القرْ أ ِن‬.ْ

“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-Qur’an) adalah sepuluh isapan menyusu yang
diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu)  yang diketahui.  Setelah
Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-Qur’an.”

Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila
salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka
sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dināsikh menjadi lima
isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu karena baik bacaannya
maupun hukumnya telah dināsikh.[5]
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Misalnya ayat
tentang mendahulukan sedekah:

َ َّ‫ك َخ ْي ُر لَ ُك ْم َواَ ْط َه ُر َفإِنْ لَ ْم َت ِجد ُْوا َفإِن‬


: ‫ [المجادلة‬.‫هللا غَ فُ ْو ُر رَّ ِح ْي ٌم‬ َ ‫صدَ َق ًة َذ ِل‬
َ ‫َيا َ ُّي َها ْال ِذي َْن اَ َم ُن ْوآ إِ َذا َن َج ْي ُت ْم الرَّ س ُْو َل َف َث ِّدم ُْوا َبي َْن يَدَيَّ َنجْ َو ُك ْم‬
]۱۲

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu.  Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu  dan lebih bersih, jika kamu
tidak memperoleh (yang akan disedahkan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun
lagi maha penyayang.” (Q.S. Al-Mujadalah [58]: 12)[6]

Ayat  ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:

ُ‫هللا َو َرس ُْولَ ُه َوهللا‬ َّ ‫صلَو َة واَ ُت ْوا‬


َ ‫الز َكو َة َواَطِ ْيع ُْوا‬ َ ‫ت َفا ِْذ لَ ْم َت ْف َعلُ ْوا َو َت‬
َّ ‫اب هللاُ َعلَ ْي ُك ْم َفاَقِ ْيم ُْوا ال‬ َ ‫اَنْ ُت َق ِّدم ُْوا َبي َْن يَدَيَّ َنجْ َوا ُك ْم‬  ‫أَاَ ْش َف ْق ُت ْم‬
ٍ ‫صدَ َقا‬
ُ َ َ
‫خ ِب ْي ٌر ِب َما تعْ َمل ْو َن‬.
[۱۳: ‫]المجادلة‬
“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi
tobat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan
Rasulnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadalah [58]:
13).[7]
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh
ayat rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang
dinyatakan mansūkh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:

‫إِ َذا َز َنا ال َّش ْي ُخ ال َّشي َْخ ُة َفارْ ُجم ُْو َه َما‬

 “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.

Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’ab
bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap
bacaannya mansūkh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami
membaca ayat rajam:

‫ض َيا م َِن الَّ َّذ ِة‬


َ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّشي َْخ ُة َفارْ ُجم ُْو ُه َما ال َب َت َة ِب َما َق‬.

 “Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka
perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”[8]

B. Dasar-dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh

Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat


dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar adalah:
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadits yang artinya : Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang
berziarahlah.
2.  Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh
3.  Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nāsikh, dan
mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-Qaththan menambahkan
bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena
adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya
keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.

C. Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansūkh


Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Al-Qur'an yang dianggap mansūkh di
antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang dianggap mansūkh berjumlah 100
buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya.
Setelah diteliti ternyata hukumnya tidak berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama
setuju dengan vonis Nahas itu. Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain
berasal dari provinsi Ashut (karena dijuluki Al Suyutiy) menghitung ulang ayat-ayat yang
telah batal hukumnya itu.  Al Suyutiy berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang
dipandang mansūkh dengan yang dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyutiy, ada 20 ayat yang
terpaksa dinyatakan mansūkh.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai dengan tahun
1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyuti tak mungkin digabungkan ternyata olehnya
bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut Shaukaniy hanya 8 buah.[9]
Contoh :

‫إِنَّ ٱهَّلل َ َواسِ ٌع َعلِي ٌم‬  ِۚ ‫ َفأ َ ْي َن َما ُت َولُّو ْا َف َث َّم َوجْ ُه ٱهَّلل‬  ُ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر ُق َو ْال َم ْغ ِر ۚب‬

 [۱۱۵ :‫] البقرة‬

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.[10]

Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas,
dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:

ۚ ُ‫ْث َما ُكن ُت ْم َف َولُّو ْا وُ جُو َه ُك ْم َش ْط َره‬


ُ ‫و َحي‬.... 
َ
[١٥٠ : ‫البقرة‬ ]

“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya”. [11]

Riwayat turunnya ayat 115 Al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wahidiy Al Nisaburiy


dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Nāsikh wa Al Mansūkh - demikian: “Setiap kali
Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya menengadah ke langit dan berseru: “Wahai
Jibril, sampai kapankah daku salat menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan
Rasulullah, Jibril hanya mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah
Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun ayat 115, Al-Baqarah ini.

Berdasarkan asbabu Al nuzul, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis disebabkan kerisian


Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi mendorong beliau mengadu
kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya. Karena seperti diakui Jibril sendiri, dia
hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi Muhammad Shalallahu'Alaihi wasallam ini ditanggapi
Allah dan turunlah ayat 150 surat Al-Baqarah. Padahal bila diperiksa ayat Al-Qur'an
sebelumnya jelas-jelas dinyatakan bahwa perubahan kiblat itu berdasar kehendak Allah dan
semata-mata karena kemaslahatan yang hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan
untuk menguji kadar kesetiaan pengikut Rasulullah.[12]
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

          Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khithab syara’ yang


lain. Naskh terdiri dari adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum
yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum
atasnya. Dalam menghapus hukum syara’ tersebut ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, yakni : Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’, Dalil naskh harus
datang lebih dulu daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan
waktu. Dalam cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh Qur'an dengan
Qur'an, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan Qur'an. Terdapat beberapa
pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat dan
ayat tersebut. al Nahas berpendapat jumlah ayat yang dimansūkh berjumlah 100 ayat.
Suyuṭiy berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan Al Shaukaniy berpendapat 8 ayat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa,
2014.

Anwar, Rosihon. Ulumu Al-Qur'an. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Haris, Abdul . “Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur'an”. Tajdid, (2014), XIII: 205-206.

Hermawan, Acep.  Ulumul Qur'an untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2011.

[1] Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur'an”, Tajdid, Vol. XIII No. 1, Januari-Juni
2014, 205-206.

[2] Q. S. Al-Baqarah (2) : 240.

[3] Q. S. Al-Baqarah (2) : 234.

[4] Q. S. Al-Baqarah (2) : 144.

[5]  Anwar Rosihon, Ulūm Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 175.

[6] Q. S. Al-Mujaādalah (58) : 12.

[7] Ibid.,176.

[8] Ibid.,177.

[9] Acep Hermawan, ‘Ulūmul Qur'an Ilmu untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2011), 182.

[10] Q. S. Al-Baqarah (2) : 115.

[11] Q. S. Al-Baqarah (2) : 150.

[12] Hermawan, Ulūmul Quran, 185.

Anda mungkin juga menyukai