Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

NASIKH dan MANSUKH

Disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah Ulumul Qur’an

DOSEN PENGAMPU: Muhammad Irfan, S.Hd.,M.Ag

Disusun Oleh:

1. DINA MARIANA (12115039)


2. SITI FARIDA (12115117)

KELAS 1C

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) PONTIANAK

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Nasikh dan Mansukh” ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak
Muhammad Irfan, S.Hd.,M.Ag, pada mata kuliah Ulumul Qur’an. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Nasikh dan Mansukh” bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Muhammad Irfan, S.Hd.,M.Ag, selaku
Dosen Ulumul Qur’an yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehinngga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Pontianak, 3 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


B. Syarat-syarat Nasikh
C. Pembagian Nasikh
1. Nasakh Al-Quran dengan Al-Quran
2. Nasakh As-Sunnah dengan As-Sunnah
3. Nasakh As-Sunnah oleh Al-Quran
D. Macam-macam Nasikh dalam Al-Quran
E. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
F. Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansukh
G. Hikmah dibalik Ayat yang dicabut Hukumnya di dalam Al-Quran

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW
melalui malaikat jibril dan diturunkan secara berangsur-angsur. Al-qur’an digunakan
sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
Dalam Al-Quran terkandung banyak hikmah dan pembelajaran. Didalamnya memuat
ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan,ilmu
pengetahuan,tentang cerita-cerita,seruan kepada umat manusia untuk beriman dan
bertaqwa,memuat tentang ibadah,muamalah,dan lain-lain. Dalam penjelasannya,Al-
qur’an ada yang dikemukaan secara terperinci,ada pula yang garis besarnya saja.Ada
yang khususada yang masih bersifat umum dan global.Ada ayat-ayat yang sepintas lalu
menunjukan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab, para ulama
berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga banyak
timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nasikh dan mansukh?
2. Jelaskan perbedaan nasikh dan mansukh?
3. Bagaimana pendapat mengenai ayat-ayat yang di nasikh dan mansukh?
4. Jelaskan dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh?
5. Jelaskan macam-macam nasikh dan mansukh?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh
2. Untuk mengetahui perbedaan nasikh dan mansukh
3. Untuk mengetahui bentuk dan jenis nasikh dan mansukh
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. Berarti “Iza latu al shay’I wa i’da
muhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “Naqlu al shay’i”
(memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti “Tahwil”
(pengalihan). Sedangkan naskh secara istilah adalah: Mengangkat (menghapus) hukum
syara’ dengan dalil/khith{ab syara’ yang lain. Dari defenisi diatas jelaslah bahwa
komponen naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan
hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani
hukum atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang diangkat atau yang dihapus.

B. Syarat-syarat Nasikh
1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’.
2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khit{ab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.

C. Pembagian Naskh
Naskh dibagi menjadi tiga:

1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an


Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat
bulan sepuluh hari.
َ ‫عا ِإ َلى ْال َح ْو ِل‬
‫غي َْر ِإ ْخ َراج فَإِ ْن خ ََرجْنَ فَ ََل ُجنَا َح‬ ِ ‫َو َّالذِينَ يُت ََو َّف ْونَ ِم ْنكُ ْم َو َيذَ ُرو َن أ َ ْز َوا ًجا َو‬
ِ ‫صيَّةً ِِل َ ْز َو‬
ً ‫اج ِه ْم َمت َا‬
[٤٢٠ : ‫يز َحكِي ٌم ]البقرة‬ ٌ ‫ع ِز‬َ ُ‫علَ ْيكُ ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي أ َ ْنفُ ِس ِه َّن م ِْن َم ْع ُروف َوال َّله‬ َ
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Q.S. al-Baqarah [2]: 240)

‫ع ْش ًرا‬َ ‫َوالَّذِينَ يُت ََوفَّ ْونَ ِم ْنكُ ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُهر َو‬
ٌ ِ‫علَ ْيكُ ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي أ َ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْع ُروفِ َواللَّهُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ َخب‬
[٤٣٢ : ‫ير ]البقرة‬ َ ‫فَإِذَا بَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَ ََل ُجنَا َح‬
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah empat bulan
sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para
wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS.Al-Baqarah [2]: 234)

2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah


Hadith mutawatir dan ahad dinasakh oleh hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh
oleh hadith ahad.
Contoh:
‫ارةِ ْالقُب ُْو ِر أَالَ َف ُز ْو ُر ْوهَا‬ َ ‫كُ ْنتُ نَ َه ْيتُكُ ْم‬
َ َ‫ع ْن ِزي‬
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah”
ُ‫الرابِعَ ِة فَا ْقتُلُ ْوه‬
َّ ‫ب‬َ ‫فَإ ِ ْن ش ُْر‬
“Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”
Dinasakh oleh hadith:
ُ‫الرابِ َعةَ فَلَ ْم يَ ْقت ُ ْله‬
َّ ‫أَنَّهُ حُمِ َل ِإلَ ْي ِه َم ْن ش َِربَ َها‬
“Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr keempat kalinya,
tetapi rasul tidak membunuhnya”, Sabda Rasululah:

‫ضاحِ ي ِِل َ ْج ِل الدَّا فَ ِة فَادَّخِ ُر ْوهَا‬


َ َ ‫َار ل ُح ُو ِم اِْل‬ َ ‫كُ ْنتُ نَ َه ْيتُكُ ْم‬
ِ ‫ع ِن ادَّخ‬
“Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada golongan
yang membutuhkan, maka sekarang simpanlah.”

3. Nasakh as-Sunnah oleh al-Qur’an


Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:
ُ ‫َط َر ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام َو َحي‬
ُْ ْ ‫ضاهَا فَ َو ِل َوجْ َهك ش‬ َ ‫س َماءِ فَ َلنُ َو ِل َينَّكَ قِ ْبلَةً ت َْر‬ َ ‫قَدْ ن ََرى تَقَ ُّل‬
َّ ‫ب َو ْج ِهكَ فِي ال‬
َ ‫َط َرهُ َوإِ َّن الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت َا‬
‫ب لَيَ ْعلَ ُمونَ أَنَّهُ ْال َح ُّق م ِْن َربِ ِه ْم َو َما اللَّهُ بِغَافِل‬ ْ ‫َما كُ ْنت ُ ْم فَ َولُّوا ُو ُجوهَكُ ْم ش‬
]٤٢٢: ‫ع َّما يَ ْع َملُونَ [البقرة‬
َ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu
ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke
arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-
kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram
itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 144)

D. Macam-Macam Nāsikh dalam al-Qur’an


Nāsikh dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak
dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya riwayat Bukhari dan
Muslim, yaitu hadits ‘A isyah ra.
‫ت يُ َح ِر ْمنَ َفنُ ِس ْخنَ ِبخ َْمس َم ْعل ُ ْو َمات‬ ِ ‫ض َعات َم ْعلُ ْو َما‬ َ ‫َكانَ فِ ْي َما أ ُ ْن ِز َل‬
َ ‫عش َُر َر‬
)‫(وه َُّن ِم َّما يُ ْق َرأ ُ مِنَ ْالقُ ْرأ َ ِن‬
َ ‫س ْو ُل الل ِه صلى الله عليه وسلم‬ ُ ‫فَت ُ ُوف َِي َر‬
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh isapan menyusu
yang diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Seteah
Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur’an.”

Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara
apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara
mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dināsikh
menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu karena
baik bacaannya maupun hukumnya telah dināsikh.

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Misalnya ayat
tentang mendahulukan sedekah :
َ‫صدَقَةً ذَلِك‬ َّ ‫َياَيُّ َها ْال ِذيْنَ ا َ َمنُ ْوآ ِإذَا نَ َج ْيت ُ ْم‬
َّ َ‫الرسُ ْو َل فَث َ ِد ُم ْوا َبيْنَ َيد‬
َ ‫ي نَ ْج َوكُ ْم‬
]٤٤: ‫ [المجادلة‬.‫غفُ ْو ُر َّر ِح ْي ٌم‬ َ ‫ط َه ُر فَإ ِ ْن َل ْم ت َِجد ُْوا فَإ ِ َّن الل َه‬ْ َ ‫َخي ُْر لَكُ ْم َوا‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih
bersih, jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedahkan) maka sesungguhnya
Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
(Q.S. al-Mujadalah [58]: 12)

Ayat ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:
‫صلَوة‬
َّ ‫علَ ْيكُ ْم فَاَقِ ْي ُم ْوا ال‬ َ ‫صدَقَات فَ ِاذْ لَ ْم ت َ ْفعَلُ ْوا َوت‬
َ ُ‫َاب الله‬ َّ َ‫أَا َ ْشفَ ْقت ُ ْم ا َ ْن تُقَ ِد ُم ْوا بَيْنَ يَد‬
َ ‫ي نَ ْج َواكُ ْم‬
]٤٣: ‫ [المجادلة‬. َ‫الزكَوة َ َواَطِ ْيعُ ْوا اللهَ َو َرسُ ْولَه ُ َواللهُ َخ ِبي ٌْر ِب َما ت َ ْع َملُ ْون‬ َّ ‫ََ واَت ُ ْوا‬
“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujadalah [58]: 13).

3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.


Contoh ayat rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat al-Qur’an. Ayat yang
dinyatakan mansūkh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
ْ َ‫ش ْي َخةُ ف‬
‫ار ُج ُم ْو َه َما‬ َّ ‫إِذَا زَ نَا ال‬
َّ ‫ش ْي ُخ ال‬
“Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.

Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat
Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada
mengenai ayat yang dianggap bacaannya mansūkh itu. Umamah mengatakan
bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
.ِ‫ضيَا مِنَ الَّذَّة‬ ْ َ‫ش ْي َخةُ ف‬
َ َ‫ار ُج ُم ْوهُ َما البَتَةَ ِب َما ق‬ َّ ‫ش ْي ُخ َوال‬
َّ ‫ال‬
“Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang
mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”
E. Dasar-dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh
Manna Al-Qat an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar adalah;
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadis yang artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang
berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nāsikh,
dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-Qat an menambahkan
bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena
adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya
keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.

F. Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansūkh


Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang dianggap mansūkh
di antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang dianggap mansūkh berjumlah 100
buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya.
Setelah diteliti ternyata hukumnya tidak berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua
ulama setuju dengan vonis Nahas itu. Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang
ulama lain berasal dari provinsi Ashut} (karena dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang
ayat-ayat yang telah batal hukumnya itu. Al Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-
ayat yang dipandang mansūkh dengan yang dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyut}iy, ada
20 ayat yang terpaksa dinyatakan mansūkh.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai dengan tahun
1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin digabungkan ternyata olehnya
bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut Shaukaniy hanya 8 buah.
Contoh :
ُ ُۚ ‫َو ِللَّ ِه ْال َم ْش ِر ُق َو ْال َم ْغ ِر‬
َ ‫ب فَأ َ ْينَ َما ت ُ َولُّواْ فَث َ َّم َو ْجهُ ٱللَّ ُۚ ِه ِإ َّن ٱللَّهَ َوا ِس ٌع‬
‫علِي ٌم‬
] ٤٤۱ :‫[البقرة‬
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.

Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas,
dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
ْ ‫ُْ َما كُنت ُ ْم فَ َولُّواْ ُو ُجو َهكُ ْم ش‬
] ٤٥٠ : ‫ [البقرة‬....ُ‫َط َره‬ ُ ‫َُۚ َو َحي‬
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya”.

Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wahidiy Al


Nisaburiy dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Nasikh wa Al Mansūkh - demikian:
“Setiap kali Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya menengadah ke langit dan
berseru: “Wahai Jibril, sampai kapankah daku salat menghadap ke kiblat orang Yahudi.”
Mendengar keluhan Rasulullah, Jibril hanya mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang
diperintah. Tanyalah Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.
Berdasarkan asbabu Al nuzul, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis disebabkan
kerisian Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi mendorong beliau
mengadu kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya. Karena seperti diakui Jibril
sendiri, dia hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah
ayat 150 surat al-Baqarah. Padahal bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas
dinyatakan bahwa perubahan kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena
kemaslahatan yang hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar
kesetiaan pengikut Rasulullah.

G. Hikmah Dibalik Keberadaan Ayat yang Dicabut Hukumnya di dalam Al-Quran


Adanya pencabutan, pembatalan, atau revisi ayat (nasikh dan mansukh) yang yang
hanya dibatalkan hukumnya saja, sementara status ayatnya masih ada sehingga masih
tercantum di dalam kitab suci Al-Quran, menurut ulama memiliki hikmah yang penting
untuk diketahui. Masuk kategori penting sebab seorang Muslim yang tidak mengetahui
hikmah tersebut, bisa terjerumus pada tindakan menghujat Al-Quran sebab menganggap di
dalam Al-Quran dianggap ada ayat yang tak lagi berguna.
Berdasarkan keterangan Imam As-Suyuthi di dalam kitab Al-Itqan, berikut hikmah
dari keberadaan nasakh dan mansukh atau ayat yang hanya dibatalkan hukumnya saja,
sementara status ayatnya masih ada di dalam Al-Quran.
Pertama, untuk menunjukkan bahwa antara ayat dan hukum yang dikandungnya
memiliki fungsi sendiri-sendiri. Ayat fungsinya adalah untuk dibaca. Membaca ayat Al-
Quran tanpa memahami maknanya, tetap memperoleh pahala tersendiri. Sedang hukum
yang dikandung ayat tersebut berfungsi untuk dipelajari dan diamalkan. Pada saat suatu
ayat dibatalkan kandungan maknanya dan status bunyi ayatnya masih dinyatakan termasuk
bagian dari Al-Quran, sehingga tatkala membaca ayat tersebut tetap terhitung ibadah,
pembaca Al-Quran akan tahu bahwa keutamaan ayat-ayat Al-Quran tidak bergantung
sepenuhnya terhadap makna yang dikandungnya. Namun juga bergantung bahwa ayat itu
merupakan firman Allah dan dinyatakan sebagai ayat suci Al-Quran.
Kedua, proses pencabutan serta pembatalan suatu hukum umumnya disertai
pergantian ke hukum yang lebih ringan, sebagaimana dalam contoh di atas. Pencabutan
suatu hukum tanpa disertai pencabutan status bunyi ayatnya, dapat menjadi pengingat bagi
manusia terhadap keberadaan rahmat Allah kepada hamba-Nya berupa proses memberi
keringanan dalam melakukan kewajiban. Setiap pembaca Al-Quran menemui suatu ayat
yang telah dicabut hukum yang dikandunganya, ia akan berusaha mencari tahu hukum
penggantinya. Disaat tahu hukum penggantinya lebih ringan dari hukum pertama, ia akan
tahu sifat belas kasih Allah dalam menitahkan kewajiban kepada hamba-Nya (Nahjut
Taisir/150). Wallahu A’lam.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang lain. Naskh
terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah
ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya.
Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni:
Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih dulu
daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu. Dalam
cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain: Naskh Al-Quran dengan Al-Quran,
naskh sunnah dengan sunnah, dan naskh sunnah dengan Al-Quran. Terdapat beberapa
pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya pendapat mengenai jumlah ayat dan
ayat tersebut. Al Nahas berpendapat jumlah ayat yang dimansūkh berjumlah 100 ayat.
Suyuṭiy berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan Al Shaukaniy berpendapat 8 ayat.

Anda mungkin juga menyukai