Anda di halaman 1dari 14

TUGAS UAS TAFSIR 1

PENAFSIRAN AL-QURAN BERDASARKAN BEBERAPA PENDEKATAN


Annisa Ayu Saleha – 202101052
Ilmu Hadits 1 A

A. Tafsir Ayat dengan Pendekatan Qawa’id Syar’i


Berikut ini akan penulis uraikan contoh penafsiran ayat al-Quran dengan
pendekatan Qawa’id Syar’i amr.
Allah Swt berfirman dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 43 mengenai
perintah untuk melaksanakan shalat:
ِِ ِ
َ ‫ﺼ َﻼ َة َوآﺗُﻮا اﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َو ْارَﻛﻌُﻮا َﻣ َﻊ اﻟﱠﺮاﻛﻌ‬
﴾٤٣﴿‫ﻴﻦ‬ ‫ﻴﻤﻮا اﻟ ﱠ‬
ُ ‫َوأَﻗ‬
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-
orang yang rukuk.”

َ‫ﺼ َﻼة‬
‫ﻴﻤﻮا اﻟ ﱠ‬ِ
Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa dalam kalimat ُ ‫َوأَﻗ‬
adalah amr (perintah) yang bermakna wajib. Allah memerintahkan untuk
melaksanakan shalat dan tidak ada selisih pendapat bahwa hukum shalat itu wajib
berdasarkan amr yang ada dalam ayat ini.1

Kemudian selanjutnya dalam kalimat َ‫ َوآﺗُﻮا اﻟﱠﺰَﻛﺎة‬juga merupakan amr (perintah)


untuk menunaikan zakat. Maka berdasarkan ayat tersebut hukum zakat adalah

wajib. Begitu pula dalam kalimat setelahnya ‫ﻴﻦ‬ِِ


َ ‫ َوارَﻛﻌُﻮا َﻣ َﻊ اﻟﱠﺮاﻛﻌ‬adalah amr (perintah)
ْ
wajibnya rukuk. Akan tetapi maksud dari rukuk disini menurut al-Qurthubi adalah
ibarat untuk shalat secara keseluruhan.2

Maka dapat disimpulkan penafsiran surat al-Baqarah ayat 43 dengan


pendekatan qawa’id syar’i amr, menunjukkan wajibnya melaksanakan shalat dan
menunaikan zakat.

1
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, jilid 1 hal. 754.
2
Al-Qurthubi, 1: 758.

1
B. Tafsir bi al-Ma’tsur: Wahyu
Dalam al-Quran surat Ali ‘Imran ayat 55 Allah Swt berfirman:

َ ُ‫ﻳﻦ اﺗﱠـﺒَـﻌ‬
‫ﻮك‬ ِ‫ِ ﱠ‬ ِ‫ِ ِ ﱠ‬ ِ َ ُ‫ﻴﻚ وراﻓِﻌ‬ ِ ِِ ‫ﺎﻋ‬ ِ ‫ﱠ‬ ِ
َ ‫ﻳﻦ َﻛ َﻔ ُﺮوا َو َﺟﺎﻋ ُﻞ اﻟﺬ‬
َ ‫ﻚ إﻟَ ﱠﻲ َوُﻣﻄَ ّﻬ ُﺮَك ﻣ َﻦ اﻟﺬ‬ َ َ‫إ ْذ ﻗَ َﺎل اﻟﻠﻪُ ﻳ‬
َ َ َ ّ‫ﻴﺴﻰ إﻧّﻲ ُﻣﺘَـ َﻮﻓ‬
﴾٥٥﴿ ...‫ﻳﻦ َﻛ َﻔ ُﺮوا إِﻟَﻰ ﻳَـ ْﻮِم اﻟْ ِﻘﻴَ َﺎﻣ ِﺔ‬ ِ‫ﱠ‬
َ ‫ﻓَـ ْﻮ َق اﻟﺬ‬
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku
menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku (ke
langit) serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-
orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat...”
(QS. Ali-Imran: 55).
ِ
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan kalimat َ ّ‫إِﻧِّﻲ ُﻣﺘَـ َﻮﻓ‬
‫ﻴﻚ‬
(sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu). Menurutnya,

makna dari kalimat tersebut adalah Aku akan menidurkanmu.3 Karena ‫ اﻟﻮاﻓﺎة‬di sini

maksudnya adalah tidur. Sebagaimana yang firman Allah dalam surat al-‘An’am
ayat 604:

﴾٦٠﴿ ...‫َوُﻫ َﻮ اﻟﱠ ِﺬي ﻳَـﺘَـ َﻮﻓﱠﺎ ُﻛ ْﻢ ﺑِﺎﻟﻠﱠْﻴ ِﻞ‬


“Dan Dia-lah yang menidurkan kalian pada malam hari...” (QS. al-‘An’am:
60).
Kemudian dalam ayat lain juga disebutkan:5

﴾٤۲﴿...‫ﺖ ﻓِﻲ َﻣﻨَ ِﺎﻣ َﻬﺎ‬ ِ ِ ‫اﻟﻠﱠﻪ ﻳـﺘَـﻮﻓﱠﻰ ْاﻷَﻧْـ ُﻔﺲ ِﺣ‬
ْ ‫ﻴﻦ َﻣ ْﻮﺗ َﻬﺎ َواﻟﱠﺘﻲ ﻟَ ْﻢ ﺗَ ُﻤ‬
َ َ ََُ
“Allah lah yang memegang jiwa (manusia) ketika matinya, dan (memegang )
jiwa (manusia) yang belum mati pada waktu tidurnya.” (QS. az-Zumar: 42).
Sebagai penguat, Ibnu Katsir mencantumkan hadits mengenai do’a ketika
Rasulullah bangun tidur sebagai berikut:

3
Ibnu Katsir, Shahih Ibnu Katsir, (terj. Abu Ihsan al-Atsari) (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2000), 2:
177.
4
Ibnu Katsir, 2: 177.
5
Ibnu Katsir, 2: 177.

2
َ ‫ﺎﺳ ِﻤ‬ ِِ ِ ِ ِ
‫ﻚ‬ ْ ِ‫ »ﺑ‬:‫ ﻗَ َﺎل‬،‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﻪُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِ َذا أ ََوى إِﻟَﻰ ﻓَﺮاﺷﻪ‬
َ ‫ َﻛﺎ َن اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ‬:‫ ﻗَ َﺎل‬،‫َﻋ ْﻦ ُﺣ َﺬﻳْـ َﻔﺔَ ﺑْ ِﻦ اﻟﻴَ َﻤﺎن‬
ِ ِِ
«‫ﻮر‬ ُ ‫َﺣﻴَﺎﻧَﺎ ﺑَـ ْﻌ َﺪ َﻣﺎ أ ََﻣﺎﺗَـﻨَﺎ َوإِﻟَْﻴ ِﻪ اﻟﻨ‬
ُ ‫ﱡﺸ‬ ْ ‫اﻟﺤ ْﻤ ُﺪ ﻟﻠﱠﻪ اﻟﱠﺬي أ‬ ِ ْ ‫ﻮت وأ‬
َ » :‫َﺣﻴَﺎ« َوإ َذا ﻗَ َﺎم ﻗَ َﺎل‬ َ ُ ‫أ َُﻣ‬

“Dari Khudzaifah ibn al-Yaman ia berkata: Nabi Saw apabila hendak tidur Beliau
berdo’a ‘Dengan nama-Mu aku mati dan aku hidup’. kemudian apabila bangun
beliau berdo’a ‘Segala puji bagi Allah, yang telah menghidupkan kami setelah
mematikan (menidurkan) kami, dan kepada-Nya lah tempat kembali”. (HR.
Bukhari No. 6312)6
Dalam hadits ini disebutkan bahwa yang di maksud dari kalimat ba’da amaatanaa
adalah tidur. Berdasarkan keterangan yang diambil Ibnu Katsir dari beberapa ayat
al-Quran dan juga Hadits, ia menjelaskan bahwa kalimat inni mutawaffiika dalam
surat Ali-Imran ayat 55 maknanya adalah tidur.
Kesimpulan yang penulis ambil, penafsiran surat Ali-Imran ayat 55 dengan
wahyu sebagai sumbernya menceritakan bahwa Allah tidak mewafatkan Nabi
Musa, melainkan menidurkannya dan mengangkat ke sisi-Nya.
C. Tafsir bi ar-Ra’yi: Analisis Munasabah
Selanjutnya penulis akan menguraikan dua contoh penafsiran ayat yang
menjadikan ra’yu sebagai sumbernya melalui analisis munasabah yang ada dalam
kitab Tafsir al-Mishbah.
Pertama, Allah Swt berfirman:
ِ ‫﴾ ﻓَﺎﻟ ﱠﺴﺎﺑَِﻘ‬٣﴿ ‫ﺎت ﺳﺒﺤﺎ‬
ِ ِ ِ ِ ِ
‫ﺎت َﺳْﺒـ ًﻘﺎ‬ ً ْ َ ‫﴾ َواﻟ ﱠﺴﺎﺑ َﺤ‬۲﴿ ‫﴾ َواﻟﻨﱠﺎﺷﻄَﺎت ﻧَ ْﺸﻄًﺎ‬١﴿ ‫َواﻟﻨﱠﺎ ِز َﻋﺎت َﻏ ْﺮﻗًﺎ‬
ِ ‫﴾ ﻓَﺎﻟْﻤ َﺪﺑِﺮ‬٤﴿
﴾٥﴿ ‫ات أ َْﻣًﺮا‬َّ ُ
“Demi pencabut-pencabut dengan keras, dan perangai-perangai dengan
lemah lembut dan para yang berpindah-pindah dengan cepat lalu pelomba-
pelomba dengan kencang, maka pengatur-pengatur urusan.” (QS. an-Nazi’at: 1-
5).

6
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ al-Musnad as-Shahih al-Mukhtashar min Umuuri
Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi, (Dar Thuq an-Najah, 2001),
8: 69.

3
Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah menghubungkan awal surat an-
Nazi’at dengan akhir surat sebelumnya yaitu an-Naba yang berbunyi:

﴾٤٠﴿ ‫ﺖ ﺗُـَﺮاﺑًﺎ‬ ِ ِ ُ ‫إِﻧﱠﺎ أَﻧْ َﺬرﻧَﺎ ُﻛﻢ ﻋ َﺬاﺑﺎ ﻗَ ِﺮﻳﺒﺎ ﻳـﻮم ﻳـْﻨﻈُﺮ اﻟْﻤﺮء ﻣﺎ ﻗَﺪﱠﻣﺖ ﻳ َﺪاﻩ وﻳـ ُﻘ‬
ُ ‫ﻮل اﻟْ َﻜﺎﻓ ُﺮ ﻳَﺎﻟَْﻴـﺘَﻨﻲ ُﻛْﻨ‬ ََ ُ َ ْ َ َ ُ ْ َ ُ َ َ َْ ً ً َ ْ ْ
“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu siksa yang dekat pada hari
orang melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir
berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah’.” (QS. an-Naba:
40).

Quraish shihab menukil pendapat al-Biqa’i bahwa akhir dari surat an-Naba
yang menguraikan tentang keinginan orang-orang kafir ketika hari kiamat nanti
agar tidak dibangkitkan dari kubur dan tetap berada di sana menyatu dengan tanah
bersambung dengan awal dari surat an-Naba yang menguraikan tentang malaikat-
malaikat pencabut nyawa. Dan sungguh semua manusia pasti dicabut nyawanya
baik ia mukmin atau pun kafir tanpa terkecuali.7
Kedua, Allah Swt berfirman dalam surat asy-Syarh ayat 1:

﴾١﴿ ‫ﺻ ْﺪ َرَك‬ َ َ‫أَﻟَ ْﻢ ﻧَ ْﺸَﺮ ْح ﻟ‬


َ ‫ﻚ‬
“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?”
Jika dihubungkan dengan akhir dari surat ad-Duha yang berbunyi:

﴾١١﴿ ‫َوأَﱠﻣﺎ ﺑِﻨِ ْﻌ َﻤ ِﺔ َرﺑِّ َﻚ ﻓَ َﺤ ِّﺪ ْث‬


“Dan adapun menyangkut nikmat Tuhanmu maka sampaikan.” (QS. ad-
Dhuha: 11)
Menurut Quraish Shihab yang menukil pendapat al-Biqa’i bahwa akhir dari
surat adh-Dhuha yang memerintahkan Nabi Muhammad Saw. agar menyampaikan
dan menampakkan berbagai nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada beliau,
maka nikmat-nikmat tersebut diuraikan dalam surat ini.8
Atau dapat dikatakan juga bahwa akhir surat adh-Dhuha yang memerintahkan
Nabi untuk menyampaikan wahyu-wahyu Allah yang selama ini beliau terima. Pada
awal surat ini beliau diingatkan agar dalam menyampaikan wahyu itu walau pun

7
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 15: 33.
8
Quraish Shihab, 15: 353.

4
‫‪berat atau bahkan ditolak oleh banyak orang, Nabi tidak perlu risau atau berkecil‬‬
‫‪hati. Karena ayat pertama surat asy-Syarh yang menyatakan “Bukankah Kami telah‬‬
‫‪melapangkan dadamu?” membuktikan bahwa Allah dengan yang ditugaskan-Nya‬‬
‫‪secara langsung selalu ada bersama Nabi, melapangkan dadanya agar selalu merasa‬‬
‫‪tenang.9‬‬
‫‪D. Kajian Ontologis‬‬
‫‪Penulis akan mengkaji ayat tentang Shaum dalam surat al-Baqarah ayat 183-‬‬
‫‪187 meliputi paradigma teknis, fungsional, dan akomodatif berdasarkan kitab‬‬
‫‪Rawai’u al-Bayan Tafsiru Ayati al-Ahkam karya Syaikh Ali ash-Shabuni.‬‬

‫ﻳﻦ ِﻣ ْﻦ ﻗَـْﺒﻠِ ُﻜ ْﻢ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮ َن ﴿‪ ﴾١٨٣‬أَﻳﱠ ًﺎﻣﺎ‬ ‫ﱠِ‬


‫ﺐ َﻋﻠَﻰ اﻟﺬ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ﺐ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ُﻢ ّ‬
‫اﻟﺼﻴَ ُﺎم َﻛ َﻤﺎ ُﻛﺘ َ‬
‫ِ‬ ‫ﱠِ‬
‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ َ‬
‫ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا ُﻛﺘ َ‬
‫ﻳﻦ ﻳُ ِﻄﻴ ُﻘﻮﻧَﻪُ ﻓِ ْﺪﻳَﺔٌ ﻃَ َﻌ ُﺎم‬ ‫ﱠِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ﻳﻀﺎ أ َْو َﻋﻠَﻰ َﺳ َﻔ ٍﺮ ﻓَﻌ ﱠﺪةٌ ﻣ ْﻦ أَﻳﱠ ٍﺎم أ َ‬
‫ُﺧَﺮ َو َﻋﻠَﻰ اﻟﺬ َ‬
‫ِ‬ ‫ﻣﻌ ُﺪ ٍ‬
‫ودات ﻓَ َﻤ ْﻦ َﻛﺎ َن ﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻣ ِﺮ ً‬
‫َْ َ‬
‫ِ ِ‬
‫ﻮﻣﻮا َﺧْﻴـٌﺮ ﻟَ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ُﻛْﻨـﺘُ ْﻢ ﺗَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻮ َن ﴿‪َ ﴾۱٨٤‬ﺷ ْﻬ ُﺮ َرَﻣ َ‬
‫ﻀﺎ َن‬ ‫ﺼُ‬ ‫ﻣ ْﺴﻜﻴ ٍﻦ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺗَﻄَﱠﻮ َ‬
‫ع َﺧْﻴـًﺮا ﻓَـ ُﻬ َﻮ َﺧْﻴـٌﺮ ﻟَﻪُ َوأَ ْن ﺗَ ُ‬

‫ﱠﻬَﺮ ﻓَـ ْﻠﻴَ ُ‬


‫ﺼ ْﻤﻪُ َوَﻣ ْﻦ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ٍ ِ‬ ‫اﻟﱠ ِﺬي أُﻧْ ِﺰَل ﻓِ ِﻴﻪ اﻟْ ُﻘ ْﺮآ ُن ُﻫ ًﺪى ﻟِﻠﻨ ِ‬
‫ﱠﺎس َوﺑَـﻴِّﻨَﺎت ﻣ َﻦ اﻟْ ُﻬ َﺪى َواﻟْ ُﻔ ْﺮﻗَﺎن ﻓَ َﻤ ْﻦ َﺷ ِﻬ َﺪ ﻣْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟﺸ ْ‬
‫ﻳﺪ ﺑِ ُﻜﻢ اﻟْﻌﺴﺮ وﻟِﺘُﻜ ِ‬
‫ْﻤﻠُﻮا اﻟْﻌِ ﱠﺪ َة‬ ‫ُﺧﺮ ﻳ ِﺮ ُ ِ‬ ‫ِ ِ ٍ‬
‫ﻳﺪ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑ ُﻜ ُﻢ اﻟْﻴُ ْﺴَﺮ َوَﻻ ﻳُِﺮ ُ ُ ُ ْ َ َ‬ ‫ﻳﻀﺎ أ َْو َﻋﻠَﻰ َﺳ َﻔ ٍﺮ ﻓَﻌ ﱠﺪةٌ ﻣ ْﻦ أَﻳﱠﺎم أ َ َ ُ‬
‫َﻛﺎ َن َﻣ ِﺮ ً‬
‫ﻴﺐ‬ ‫وﻟِﺘ َﻜﺒِﺮوا اﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠَﻰ ﻣﺎ ﻫ َﺪا ُﻛﻢ وﻟَﻌﻠﱠ ُﻜﻢ ﺗَ ْﺸ ُﻜﺮو َن ﴿‪ ﴾۱٨٥‬وإِ َذا ﺳﺄَﻟَﻚ ِﻋﺒ ِﺎدي ﻋﻨِّﻲ ﻓَِﺈﻧِّﻲ ﻗَ ِﺮ ِ‬
‫ﻳﺐ أُﺟ ُ‬
‫ٌ‬ ‫َ َ َ َ َ‬ ‫ُ‬ ‫َ ُ ُّ َ َ َ َ ْ َ َ ْ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫اﻟﺼﻴَ ِﺎم اﻟﱠﺮﻓَ ُ‬
‫ﺚ‬ ‫ﱠاع إِ َذا َد َﻋﺎن ﻓَـ ْﻠﻴَ ْﺴﺘَﺠﻴﺒُﻮا ﻟﻲ َوﻟْﻴُـ ْﺆﻣﻨُﻮا ﺑِﻲ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳَـ ْﺮ ُﺷ ُﺪو َن ﴿‪ ﴾١٨٦‬أُﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻟَْﻴـﻠَﺔَ ّ‬
‫َد ْﻋ َﻮَة اﻟﺪ ِ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ ِ‬
‫ﺎس ﻟَ ُﻬ ﱠﻦ َﻋﻠ َﻢ اﻟﻠﱠﻪُ أَﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ُﻛْﻨـﺘُ ْﻢ ﺗَ ْﺨﺘَﺎﻧُﻮ َن أَﻧْـ ُﻔ َﺴ ُﻜ ْﻢ ﻓَـﺘَ َ‬
‫ﺎب َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َو َﻋ َﻔﺎ‬ ‫ﺎس ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ ﻟﺒَ ٌ‬
‫إﻟَﻰ ﻧ َﺴﺎﺋ ُﻜ ْﻢ ُﻫ ﱠﻦ ﻟﺒَ ٌ‬
‫ﺾ ِﻣ َﻦ‬ ‫ﺐ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوُﻛﻠُﻮا َوا ْﺷَﺮﺑُﻮا َﺣﺘﱠﻰ ﻳَـﺘَـﺒَـﻴﱠ َﻦ ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟْ َﺨْﻴ ُ‬
‫ﻂ ْاﻷَﺑْـﻴَ ُ‬ ‫وﻫ ﱠﻦ َواﺑْـﺘَـﻐُﻮا َﻣﺎ َﻛﺘَ َ‬
‫ِ‬
‫َﻋْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻓَ ْﺎﻵ َن ﺑَﺎﺷ ُﺮ ُ‬
‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫اﻟْﺨﻴ ِﻂ ْاﻷ ِ ِ‬
‫وﻫ ﱠﻦ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ َﻋﺎﻛِ ُﻔﻮ َن ﻓﻲ اﻟْ َﻤ َﺴﺎﺟﺪ ﺗِْﻠ َ‬
‫ﻚ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫اﻟﺼﻴَ َﺎم إِﻟَﻰ اﻟﻠﱠْﻴ ِﻞ َوَﻻ ﺗُـﺒَﺎﺷ ُﺮ ُ‬
‫ِ‬
‫َﺳ َﻮد ﻣ َﻦ اﻟْ َﻔ ْﺠ ِﺮ ﺛُ ﱠﻢ أَﺗ ﱡﻤﻮا ّ‬
‫ْ‬ ‫َْ‬
‫ﻚ ﻳـُﺒَـﻴِّ ُﻦ اﻟﻠﱠﻪُ آﻳَﺎﺗِِﻪ ﻟِﻠﻨ ِ‬
‫ﱠﺎس ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳَـﺘﱠـ ُﻘﻮ َن ﴿‪﴾١٨٧‬‬ ‫ِ‬ ‫ﺣ ُﺪ ِ‬
‫ود اﻟﻠﱠﻪ ﻓَ َﻼ ﺗَـ ْﻘَﺮﺑُ َ‬
‫ﻮﻫﺎ َﻛ َﺬﻟ َ‬ ‫ُ ُ‬
‫‪“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa‬‬
‫‪sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa,‬‬

‫‪9‬‬
‫‪Quraish Shihab, 15: 353.‬‬

‫‪5‬‬
(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka siapa diantara kamu sakit atau dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia
tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Tetapi siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik
baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan
Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, siapa diantara kamu ada
di bulan itu, maka berpuasalah. Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan
dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, agar kamu bersyukur. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka
itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh
kebenaran. Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu.
Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima
taubatmu dan memaafkanmu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa
yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu
(perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri
mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, agar mereka bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183-187)

a) Paradigma Teknis
Kajian ontologi paradigma teknis dalam rawai’u al-Bayan dapat
ditemukan pada bagian ragam qira’at. Berikut ini akan penulis paparkan ragam
qira’at yang pada surat al-Baqarah di antara ayat 183-187.

6
ِ ‫( وﻋﻠَﻰ اﻟﱠ ِﺬ‬QS. Al-
Pertama, Jumhur Ulama Qira’ah membacanya ُ‫ﻳﻦ ﻳُﻄﻴ ُﻘﻮﻧَﻪ‬
َ ََ
Baqarah: 184)”, sementara Ibnu Abbas membacanya ُ‫ ﻳُﻄَﱠﻮﻗُﻮﻧَﻪ‬dengan arti yang
dibebaninya.10

Kedua, Jumhur membacanya ‫ﻓِ ْﺪﻳَﺔٌ ﻃَ َﻌ ُﺎم ِﻣ ْﺴ ِﻜﻴ ٍﻦ‬ (QS. Al-Baqarah: 184).”

ٍ ‫َﻣﺴﺎﻛِﻴ‬
Sementara Nafi’ dan Ibnu Amir membacanya ‫ﻦ‬ ِ ِ
َ ‫ﻓ ْﺪﻳَﺔٌ ﻃَ َﻌﺎم‬, dengan bentuk
jamak dari miskin, dan menisbatkan fidyah dengan makanan (fidyah makanan
kepada orang-orang miskin).11

Ketiga, Jumhur membacanya, ‫ع‬


َ ‫( ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺗَﻄَﱠﻮ‬QS. Al-Baqarah: 184).” dengan
bentuk fi’il madhi. Sementara Hamzah dan Al-Kasa’i membacanya ‫ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺗَﻄَﱠﻮ ْع‬

dengan bentuk jazm bermakna ‫ﻳﺘَﻄَﱠﻮ ْع‬. Dibaca ُ‫ﻳُﻄَﱠﻮع‬ dengan bentuk fi’il

mudhari.12

Keempat, Jumhur membacanya ِ ‫وﻟِﺘُﻜ‬


‫ْﻤﻠُﻮا اﻟْﻌِ ﱠﺪ َة‬ (QS. Al-Baqarah: 185)”,
َ
tanpa tasyid pada “tukmilu”, sementara Abu Bakar berdasarkan riwayat dari

Ashim membacanya ‫ َوﻟِﺘُ َﻜ ِّﻤﻠُﻮا اﻟْﻌِ ﱠﺪ َة‬dengan tasydid.13

b) Paradigma Fungsional
Paradigma fungsional dalam rawai’u al-bayan terdapat pada bagian lathaif
at-tafsir atau kelembutan tafsir. Sebagaimana berikut ini merupakan contoh
kelembutan tafsir pada surat al-Baqarah antara ayat 183-187.

10
Ali Ash-Shabuni, Rawai’u al-Bayan fii Tafsiiri Ayati al-Ahkam, (Kairo: Dar as-Shabuni, 2007),
2:155.
11
Ali Ash-Shabuni, 2:155.
12
Ali Ash-Shabuni, 2:155.
13
Ali Ash-Shabuni, 2:155.

7
ٍ ِ ِ
Pertama, firman Allah Swt., ‫ُﺧﺮ‬
َ‫أ‬ َ ‫ﻓَﻌ ﱠﺪةٌ ﻣ ْﻦ أَﻳﱠﺎم‬ (QS. Al-Baqarah [2]: 184)].”

Ibnu Al-Arabi berkata: Ungkapan seperti ini mengandung balaghah yang


sangat halus, yang jika dijabarkan menjadi: “fa athara faiddatun min ayyamin
ukhar [Kemudian ia berbuka, maka wajiblah baginya mengganti puasanya
sebanyak hari yang ia tinggalkan pada hari-hari yang lain].” Kemudian bentuk
syarath dan idhafah dibuang.14

Kedua, Allah Swt. menjelaskan bahwa puasa dapat menumbuhkan

ketakwaan. Ia berfirman, ‫ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮ َن‬ (QS. Al-Baqarah [2]: 183). Hal ni

menunjukan hikmah yang sangat besar dibalik pemberlakuan kewajiban puasa,


yaitu membiasakan jiwa orang yang berpuasa meninggalkan keinginan-
keinginan nafsu yang dibolehkan demi melaksanakan perintah-Nya dan
mengharapkan pahala dari pada-Nya. Denagn begitu, kemauan dan tabiatnya
akan terdidik menjadi jiwa yang bertakwa dengan merasa ringan dalam
meninggalkan segala yang diharamkan. Puasa dapat mengakang syahwat perut
dan kemaluan, sedang manusia dalam perjalanan hidupnya dipengaruhi dua
faktor ini, yaitu perutnya dan kemaluannya.15

Ketiga, firman Allah ٌ‫ﻳﻦ ﻳُ ِﻄﻴ ُﻘﻮﻧَﻪُ ﻓِ ْﺪﻳَﺔ‬ ِ‫ﱠ‬


َ ‫( َو َﻋﻠَﻰ اﻟﺬ‬QS. Al-Baqarah [2]: 184)
mengandung pengertian bahwa bagi orang yang sudah lanjut usia, laki-laki
ataupun perempuan yang sudah tidak kuat menjalankan puasa, bagi mereka
diperbolehkan tidak berpuasa dengan ketentuan harus menbayar fidyah.
Orang-orang Arab berkata: sesuatau akan merasa mudah manakala
kemampuan seseorang sudah pada titik kelemahannya. Yaitu manakala ia
merasa kesulitan yang amat berat. Ar-Raghib berkata: kata “Ath-Thaqah”
berupakan bentuk kata isim yang memungkinkan bagi seseorang
melakukannya. Kata thaqah diambil dari masyaqqah yang merupakan berntuk
tasybah dari “at-Thuqu al-Muhith bisy syai.” Allah swt. berfirman: “Dan
janganlah Engkau beri beban kepada kami yang kau tidak bisa menanggug

14
Ali Ash-Shabuni, 2:157.
15
Ali Ash-Shabuni, 2:157.

8
beban tersebut.” Artinya: sesuatau yang tidak mampu lagi bagi kami
menghilangkannya.16

ِ
Keempat, firman Allah Swt, ‫ﺼ ْﻤﻪ‬
ُ َ‫ﻓَـ ْﻠﻴ‬ ْ ‫ﻓَ َﻤ ْﻦ َﺷ ِﻬ َﺪ ﻣْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟﺸ‬
‫ﱠﻬَﺮ‬ (QS. Al-Baqarah

[2]: 185). Maksudnya adalah, masuk pada hari yang tidak bisa melihat hilal
karena bisa jadi yang bisa melihat hanya satu atau dua orang saja, sehingga
diwajibkan bagi seluruh kaum muslimin puasa ramadhan. Kata syahida
menunjukan arti “hadhar”. Dan dlam rangkaian ayat tersebut terdapat kata
yang dibuang. Artinya: barang siapa yang menyaksikan dtangnya bulan
Ramadhan dan dia dalam kondisi muqim tidak sedang dalam perjalanan atau
sakit, maka baginya wajib melaksanakan puasa. Abu Su’ud berkata: Sesuatau
yang Nampak diletakan pada tempat yang tidak tampak untuk menunjukan.17

Kelima, firman Allah Swt., ‫ﻳﺪ ﺑِ ُﻜ ُﻢ اﻟْﻌُ ْﺴَﺮ‬


ُ ‫ﻳﺪ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑِ ُﻜ ُﻢ اﻟْﻴُ ْﺴَﺮ َوَﻻ ﻳُِﺮ‬
ُ ‫ﻳُِﺮ‬ (QS. Al-

Baqarah [2]: 185).” Dari ayat ini, para ulama ahli fikih mengambil kaidah
fiqhiyah yang berbunyi: “Al-Masyaqqah tajlibu at-taisir” yang artinya
Kesukaran itu bisa membawa kepada kemudahan. Dengan begitu, Allah Swt.
tidak menghendaki syariat-Nya menjadi beban dan menyulitkan umatnya,
tetapi Dia menghendaki kemudahan bagi mereka dan apapun yang membawa
kebaikan baginya.18

Keenam, Allah yang Maha Agung lagi Maha Tinggi mengungkapkan


hubungan badan antara suami-istri dengan satu ungkapan yang halus. Dia
mengajarkan kepada kita dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan
ِ ِ
perempuan, yaitu firman-Nya ٌ َ‫ﺎس ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ ﻟﺒ‬
‫ﺎس ﻟَ ُﻬ ﱠﻦ‬ ٌ َ‫( ُﻫ ﱠﻦ ﻟﺒ‬QS. Al-Baqarah [2]:
187).” Maksudnya adalah saling menutupi satu sama lain sebagaimana pakaian
yang menutupi tubuh.19

16
Ali Ash-Shabuni, 2:157.
17
Ali Ash-Shabuni, 2:158.
18
Ali Ash-Shabuni, 2:158.
19
Ali Ash-Shabuni, 2:158.

9
Ketujuh, firman Allah, ‫َﺳ َﻮِد ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻔ ْﺠ ِﺮ‬ ِ ِ ‫ﻂ ْاﻷَﺑـﻴ‬
ْ ‫ﺾ ﻣ َﻦ اﻟْ َﺨْﻴﻂ ْاﻷ‬
ُ َْ ُ ‫َﺣﺘﱠﻰ ﻳَـﺘَـﺒَـﻴﱠ َﻦ ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟْ َﺨْﻴ‬
(QS. Al-Baqarah [2]: 187)” dalam pandangan Asy-Syarif Ar-Ridho, kalimat
ini merupakan bentuk “isti’arah” (mengagumkan), yang maksudnya adalah
sehingga menjadi jelas terangnya waktu Shubuh pada mulanya bersinar lemah,
sedang gelapnya malam menghilang secara perlahan. Dengan begitu, sejatinya
keduaya sama-sama lemah, hanya yang satu semakin menyebar sedang yang
lain semakin lama akan menghilang.20

c) Paradigma Akomodatif
Untuk paradigma akomodatif yang ada dalam rawai’u al-bayan terdapat
pada bagian hikmah syari’at yang menjadi petunjuk bagi manusia.
Menurutnya, berdasarkan ayat ini shaum memiliki banyak manfaat yang tidak
di mengerti oleh orang-orang bodoh. Mereka hanya beranggapan bahwa shaum
hanya sebatas mengosongkan perut, menyiksa badan dan mengekang
kebebasan, tidak ada faktor dan dorongan yang lain. Yang mengetahui
hikmahnya adalah para ahli dan ulama yang kemudian diperkuat dengan
penemuan dalam dunia kedokteran masa kini. Merka bependapat, puas sangat
berguna bagi kesehatan fisik maupun jiwa. Allah Swt. tidak mensyariatkan
ibadat melainkan pasti mengandung unsur pendidikan yang membawa kepada
jiwa takwa, membiaskan manusia tunduk , patuh atas segala perintah-Nya.

Di samping itu, dari sisi lain, hikmah puasa adalah melatih jiwa dan
membiasakannya sabar dalam menghadapi kesulitan menuju jalan Allah.
Karena puasa mendidik manusia memiliki kekuatan, tekad dan kemauan serta
menjadikannya mampu menahan diri dari ajakan hawa nafsunya serta
keinginan keinginan syahwatnya sehingga tidak menjadi budak serta tawanan
bagi hawa nafsunya, dan akan menjadikannya sebagai manusia yang berjalan
di atas sinar petunjuk agama dan cahaya pandangan hatinya dan pikirannya
yang sehat. Banyak sekali kita lihat, orang-orang yang dikuasai oleh hawa
nafsu dan syahwatnya sehingga hidupnya laksana binatang yang hidupnya
mengikuti keinginan perut dan syahwat kemaluannya saja. Dan kalau

20
Ali Ash-Shabuni, 2:159.

10
seseoranga manusia telah dapat mengalahkan dan menguasai hawa nafsunya,
maka ia telah setaraf denga malaikat yang suci. Allah Swt. berfirman:

”Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka


makan seperti makannya binatang-binatang dan nereka adalah tempat tinggal
mereka”.(QS.Muhammad [47]: 12)

Puasa juga mendidik orang agar memilikimras cinta, lembut dan kasih
sayang terhadap sesamanya, menjadikan seorang insan halus budinya, bersih
jiwanya sebab puas tidak berarti penghalang untuk makan dan minum, tetapi
justru puas dapat menimbulkan kekuatan jiwa manusia untuk bisa mersakan
apa yang dirasakan orang lain sehingga membangkitkan rasa ingin membantu
dan meringankan penderitaan saudaranya dan menghapus air mata
kesedihannya dengan segala kemurahan dan kedermawanan dan jiwa yang
terdidik oleh ibadah yang selama sebulan penuh. Nabi Yusuf a.s pernah
ditanya:”Mengapa engkau sampai menjadi begitu lapar, padahal engkau
memiliki gudang persediaan makanan?” ia menjawab:”Aku khawatir, kalau
aku selalu kenyang, maka aku akan lupa kepda orang yang sedang lapar”.21

Puasa mendidik jiwa manusia takut kepada Allah yang maha Agung lagi
maha Tinggi, mersa selalu ada dalam pengawasan-Nya, baik dilihat orang atau
tidak, dan menjadikan seorang yang mersa takut, bersih dan jauh dari apa yang
di haramkan Allah. Maka, rahasia puas sebenarnya adalah menumbuhkan rasa
takwa. Allah tidak berfirrman”Agar supaya kamu menderita”, atau”Agar
supaya kamu menjadi sehat”, tetapi ia berfirman “Agar supaya kamu
bertakwa”. Dengan demikian, puas mampu menumbuhkan rasa ketakwaan,
yaitu kesiapan jiwa untuk selalu berhenti di hadapan garis-garis larangan yang
telah diletakan oleh Allah dengan meninggalkan keinginan-keinginan syahwat
yang memang secara fitrah diperbolehkan, selalu melaksanakan perintah-Nya,
mengharapkan ridha-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya,sebagaimana
dijelaskan oleh Allah dalam kitab-Nya yang Agung.22

21
Ali Ash-Shabuni, 2:173.
22
Ali Ash-Shabuni, 2:174.

11
E. Tafsir dengan Pendekatan Nalar Mitis
Penafsiran ayat dengan pendekatan nalar mitis adalah model atau cara berpikir
yang kurang memaksimalkan rasio. Sumber validitasnya adalah al-Quran, Hadits
Nabi, qira’at, pendapat para sahabat, kisah israiliyat, dan syair-syair jahili. Untuk
tafsir dengan pendekatan nalar mitis, penulis memilih kitab Tafsir ath-Thabari
karya Syaikh ath-Thabari.
Allah Swt. berfirman:
ِ ‫﴾ ﻣﺎ ﺿ ﱠﻞ ﺻ‬١﴿ ‫واﻟﻨﱠﺠ ِﻢ إِ َذا ﻫﻮى‬
﴾۲﴿ ‫ﺎﺣﺒُ ُﻜ ْﻢ َوَﻣﺎ َﻏ َﻮى‬ َ َ َ ََ ْ َ
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan
tidap pula keliru.” (QS. an-Najm: 1-2)
Dalam tafsirnya, ath-Thabari meenjelaskan:
Abu ja’far berkata: para ahli tafsir berlainann pendapat ketika menafsirkan ayat
ini. sebagian berpendapat bahwa makna lafazh ‫ ﺍﻟﻨﺠﻢ‬adalah bintang tsuraya dan
makna lafazh ‫ ﻫﻮﻯ‬adalah jatuh (terbenam atau tenggelam atau hilang dari
pandangan). Mereka mengatakan bahwa makna keseluruhan ayat ini adalah, demi
bintang tsurayya yang hilang karena terbitnya mentari. Yang memperkuat
penafsiran ini adalah riwayat berikut:
“Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Mahran menceritakan
kepada kami dari sufyan, ia mengatakan bahwa makna lafazh ‫ ﻭﺍﻟﻨﺠﻢ‬pada kalimat

‫ﱠﺠ ِﻢ إِ َذا َﻫ َﻮى‬


ْ ‫ َواﻟﻨ‬adalah bintang tsurayya.”
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa makna ayat tersebut adalah, “Demi
Al-Qur'an” ketika diturunkan. Mereka yang berpendapat demikian memperkuat
penafsiran mereka dengan menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:
“Ziad bin Abdillah al-Hassani Abu al-Khithab menceritakan kepadaku, ia
berkata: Malik bin Su’air imenceritakan kepada kami, ia berkata: al-A’masy
mencaritakan kepada kami dari Mujahid, ia mengatakan bahwa makna firman
Allah, ‫ﱠﺠ ِﻢ إِ َذا َﻫ َﻮى‬
ْ ‫ َواﻟﻨ‬adalah “Demi al-Quran ketika diturunkan.”
“Bisyr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan kepada
kami, ia berkata: Sa’id menceritakan kepada kam dari Qatadah, ia mengatakan
ِ ‫﴾ ﻣﺎ ﺿ ﱠﻞ ﺻ‬١﴿ ‫واﻟﻨﱠﺠ ِﻢ إِ َذا ﻫﻮى‬
bahwa ketika diturunkannya firman Allah ﴾۲﴿ ‫ﺎﺣﺒُ ُﻜ ْﻢ َوَﻣﺎ َﻏ َﻮى‬ َ َ َ ََ ْ َ

12
Utbah bin Abi Lahab berkata: ‘Aku menyatakan kafir terhadap rabbu an-najm
(Tuhan yang menurunkan ayat ini)’ Nabi Saw lalu bertanya kepadanya ‘Tidakkah
kamu takut dimangsa oleh anjing-anjing milik Allah’ (Nabi SAW lalu berrdoa agar
Utbah dimakan oleh seekor anjing). Kerrudian pada suatu hari Utbah bersama
rekan-rekannya mengadakan perjalanan ke Yaman untuk bemiaga, dan ketika
mereka sedang beristiratrat di suatu tempat tiba-tiba mereka mendengar suara
harimau mendekati mereka maka mereka segera mengelilingi Utbah untuk
menjaganya.”
Kemudian beberapa ulama ilmu bahasa dari Basrah berpendapat bahwa

maksud lafazh ‫ﱠﺠ ِﻢ‬


ْ ‫َواﻟﻨ‬ adalah an-nujum, bintang-bintang. kalimat yang mufrad

namun maksudnya adalah jamak. Para ulama memperkuat pendapat mereka dengan
menyebutkan syair yang menyebutkan kata wa an-najmi namun yang dimaksudkan
adalah an-nujum:
ِِ ِ ‫ﱠﺠ َﻢ ﻓِ ْﻲ ُﻣ ْﺴﺘَ ِﺤْﻴـَﺮٍة‬
ُ ‫َﺳ ِﺮﻳْ ٌﻊ ﺑِﺄَﻳْﺪ ْي اﻷﻛﻠْﻴ َﻦ ُﺟ ُﻤ‬
‫ﻮد َﻫﺎ‬ ْ ‫ﺖ ﺗَـﻌُﺪﱡاﻟﻨ‬
ْ َ‫ﻓَـﺒَﺎﺗ‬
“Lalu ia terpaksa beberapa hari pada malam-malamnya digunakan untuk
menghitung bintang (yakni bintang-bintang).”
Namun menurut ath-Thabari, pendapat yang lebih tepat adalah yang
mengatakan bahwa bintang yang dimaksud dalam ayat ini adalah bintang tsurayya.
Pada ayat selanjutnya, ath-Thabari kembali mengutip perkataan Abu Ja’far,
ِ ‫ﻣﺎ ﺿ ﱠﻞ ﺻ‬
‫ﺎﺣﺒُ ُﻜ ْﻢ َوَﻣﺎ َﻏ َﻮى‬
bahwa ayat َ َ َ adalah jawaban dari sumpah yang disebutkan

pada ayat sebelumnya, yakni “Wahai sekalian manusia, Aku bersumpah demi
bintang yang hilang ditelan oleh fajar, sesungguhnya Muhammad bukanlah orang
yang menyimpang dari kebenaran, namun ia adalah orang yang berada di jalan yang
lurus dan benar. Muhammad juga bukan orang yang menyampaikan omong kosong
belaka, namun ia adalah orang yang menyampaikan petunjuk dan kebenaran.”

13
REFERENSI

Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2005.


Ibnu Katsir, Shahih Ibnu Katsir, terj. Abu Ihsan al-Atsari, Jakarta: Pustaka Ibnu
Katsir, 2000.
Ali Ash-Shabuni, Rawai’u al-Bayan fii Tafsiiri Ayati al-Ahkam, Kairo: Dar as-
Shabuni, 2007.
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam.

Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam.

14

Anda mungkin juga menyukai