Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kewajiban seorang hamba kepada Rabb-Nya adalah beribadah1. Salah

satu bentuk cara hamba beribadah kepada Rabb-Nya adalah melaksanakan

shalat. Shalat merupakan bentuk komunikasi manusia kepada Allah

Subhanahu Wata’ala, juga sebagai media untuk mendekatkan dirinya

kepada sang Khalik. Rukun islam yang kedua ini merupakan amaliyah

ibadah yang sangat penting untuk diperhatikan karena kedudukan shalat

sangat tinggi dibandingkan dengan amaliyah-amaliyah lainnya. Termasuk

yang membedakan seorang dengan kekufuran adalah diukur dengan

shalatnya

َ‫سلَّ َم يَقُول ِإ َّن بَيْن‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ِللا‬
ِ ‫سو َل‬ َ : ‫ع ْنهُ قَا َل‬
ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ُ‫ي هللا‬
َ ‫ض‬ ٍ ‫ع ْن َج‬
ِ ‫ابر َر‬ َ ‫َو‬

َّ ‫الر ُج ِل َوبَيْنَ الش ِْر ِك وال ُك ْف ِر ت َْركَ ال‬


‫ص ََلة‬ َّ .

“Dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah saw

bersabda: Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kemusyrikan dan

kekafiran adalah meninggalkan shalat.(HR. Muslim no 82)

Shalat merupakan ibadah yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu

Wata’ala yang perintahnya disampaikan secara langsung kepada Rasulullah

1
QS. Adz-Dzariyat [51];56

1
Shollallohu ‘Alaihi Wasallam tanpa melalui perantara, yaitu dalam dialog

Allah Ta’ala dengan Rasul-Nya pada malam Isra`Mi’raj. Dalam hadits

disebutkan:

َ ‫صلَّى هللا عليه وسلم لَ ْيلَةَ أ ُ ْس ِر‬


‫ي بِ ِه‬ َ ِ ‫علَى النَّبِي‬
َ ُ ‫ص ََلة‬
َّ ‫ت ال‬ َ ‫ فُ ِر‬: ‫قال أنس‬
ِ ‫ص‬

َّ َ‫هَل يُ َبدَّ ُل ْالقَ ْو َل لَد‬


َ‫ َوان لَك‬,‫ي‬ َ ‫ ث ُ َّم نُ ِق‬, َ‫َخ ْم ِس ْين‬
َ ‫ ثم نُ ْو ِد‬,‫ضتْ َحت َّى جعلت َخ ْمسا‬
َ ‫ اِن‬:ُ‫ي يا محمد‬

ُ ‫ِب َه ِذه ْال َخ ْم‬


. َ‫س َخ ْم ِس ْين‬

Anas Radhiyallahu Anhu berkata,”Shalat diwajibkan kepada Nabi

Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Pada malam hari Isra` Mi’raj sebanyak lima

puluh kali, kemudian dikurangi hingga menjadi lima kali. Lalu, Allah

memanggil Muhammad, “Hai Muhammad. Ketentuan ini sudah tidak dapat

diubah lagi. Dengan shalat 5 waktu ini, engkau tetap mendapat ganjaran

sebanyak lima puluh kali.” (HR. Ahmad, Nasa`I dan Tirmidzi yang

menegaskan keshahihan hadits ini).

Oleh karenanya, shalat merupakan amaliyah yang sangat penting

untuk diperhatikan. Perintah shalat terkandung dalam (QS. Al-Baqarah (2):

43). Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

َّ ‫ار َكعُوا َم َع‬


]٢:٤٣[ َ‫الرا ِكعِين‬ ْ ‫الز َكاة َ َو‬ َّ ‫َوأَقِي ُموا ال‬
َّ ‫ص ََلة َ َوآتُوا‬

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-

orang yang ruku'.”

Shalat shubuh dengan waktu fajarnya, shalat dzuhur dengan waktu

siangnya, shalat ashar dengan waktu petangnya, shalat maghrib dengan

2
waktu menjelang malamnya, shalat isya dengan waktu malamnya dan

shalat-shalat sunnah lainnya yang telah ditentukan waktunya. Maka shalat

merupakan salah satu ibadah mahdhoh yang telah ditentukan waktunya.

Dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala, yang terkandung dalam (QS. An-

Nisa[4]: 103). Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

]٤:١٠٣[ ‫علَى ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِكت َابا َّم ْوقُوتا‬ ْ ‫ص ََلة َ َكان‬
َ ‫َت‬ َّ ‫فَأَقِي ُموا ال‬
َّ ‫ص ََلة َ ِإ َّن ال‬

“Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya

shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang

beriman.”

Selain shalat lima waktu yang wajib, shalat sunnah pun disyariatkan

bagi setiap muslim untuk menutup kekurangsempurnaan shalat wajib yang

lima waktu itu, dalam hadist disebutkan:

ُ َّ‫ب الن‬
‫اس بَ ِه‬ َ ‫إن أ َ َّو َل َما يُ َحا‬
ُ ‫س‬ َّ :‫عن أبي هريرة أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬

ِ‫ص ََلة‬ ُ ‫ أ ُ ْن‬:‫ َو ُه َو أ َ ْعلَ ُم‬,‫ يَقُ ْو ُل َربنَا ِل َم ََلئِ َكتِه‬,ُ‫ص ََلة‬
َ ‫ظ ُروا فِي‬ َّ ‫يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة ِم ْن أ َ ْع َما ِل ِه ْم ال‬

:َ‫ص ِمن َها شَيئا قَال‬ ْ ‫ َو‬,‫ت لَهُ ت َا َّمة‬


َ َ‫إن َكانَ ا ْنتَق‬ ْ َ‫َت ت َا َّمة ُكتِب‬ َ َ‫ع ْبدِي أت َ َّم َها أ َ ْم نَق‬
ْ َ‫ص َها؟ ف‬
ْ ‫إن َكان‬ َ

َ َ ‫إن َكانَ لَهُ ت‬


:‫ط ُّوعٍ قال‬ ُ ‫أ ُ ْن‬
َ َ ‫ظ ُروا ه َْل ِل َع ْبدِي ِم ْن ت‬
ْ َ‫ط ُّوعٍ؟ ف‬

َ ‫ط ُّو ِعه ث ُ َّم تُؤْ َخذُ ا ْْل َ ْع َما ُل‬


. َ‫على ذَلِك‬ َ ‫أَت َ ُّموا ِلعَ ْبدِي فَ ِري‬
َ َ ‫ضتُهُ ِمن ت‬

Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam bersabda: “Amal perbuatan manusia yang pertama dihisab di

hari kiamat adalah shalatnya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman kepada

para malaikat dan Dia Maha Mengetahui,’Lihatlah shalat hamba-Ku itu,

3
sempurna atau kurang? Jika sempurna, dan jika ada sedikit kekurangan,

Allah berfirman,’Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki simpanan shalat

sunnah? Jika hamba itu memilikinya, maka Allah berfirman,

`Sempunakanlah shalat wajibnya dengan shalat sunnahnya. Kemudian,

semua perbuatan juga dihisab seperti itu.”[HR. Abu Dawud].

Maka selain shalat lima waktu yang diwajibkan, shalat sunnah pun

disyariatkan untuk dikerjakan, diantara shalat sunnah yang disyariatkan

adalah shalat dhuha. Dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala pun

disebutkan mengenai shalat dhuha:

]٣٨:١٨[ ‫يُ َسبِحْ نَ بِ ْالعَشِي ِ َو ْاْل َ ْش َرا ِق‬

“Mereka bertashbih kepada Allah di sore hari dan di waktu Isyroq.”

(Qs. Shad [38]: 18). Ibnu Abbas menjelaskan: Shalat Isyroq adalah shalat

dhuha. (Taqiyyudin Abi Bakar bin Muhammad Asy-Syafi’I, 205:111)

Shalat dhuha selain juga sebagai bentuk rasa syukur seorang hamba

kepada Rabnya atas nikmatnya dipagi hari menjelang siang itu, ibadah ini

pun banyak sekali keutamaan-keutamaan maupun manfaatnya bagi yang

melaksanakaannya.

Penting bagi seorang muslim untuk mengetahui waktu-waktu shalat,

baik itu shalat wajib ataupun shalat sunnah. Karena selain waktu yang wajib

untuk melaksanakan shalat atau disunahkan untuk melaksanakan shalat, ada

4
juga waktu yang diharamkan untuk melaksanakan shalat. Dalam hadits

disebutkan:

 ْ َ‫صَلَة َ بَ ْعدَ ْالع‬


‫ص ِر َحتَّى‬ َ َ‫س َوال‬ َّ ‫صبْحِ َحتَّى ت َْرت َ ِف َع ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ‫صَلَة َ بَ ْعدَ ال‬
َ َ‫ال‬

‫س‬ َّ ‫ت َ ِغ ْيبَال‬
ُ ‫ش ْم‬

“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan

tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.”

(HR. Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)

 Hadits dari Uqbah bin Amir Al-Juhani Radhiyallahu ‘Anhu,


ia berkata:

‫ي‬ َ ُّ‫س ْو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم يَ ْن َهانَا أَن ن‬


َ ‫ص ِل‬ ُ ‫ت َكانَ َر‬
ٍ ‫عا‬
َ ‫سا‬ ٌ ‫ث َ ََل‬
َ ‫ث‬

,‫ازغَة َحتَّى ت َْرت َ ِف َع‬


ِ َ‫س ب‬ َّ ‫ ِحيْنَ ت َْطلُ ُع ال‬:‫ أ َ ْو أ َ ْن نَّ ْقب َُر فِ ْي ِه َّن َم ْوت َانَا‬,‫فِ ْي ِه َّن‬
ُ ‫ش ْم‬

‫س‬ َّ ‫ف ال‬
ُ ‫ش ْم‬ َ َ ‫ َو ِح ْينَ ت‬,‫س‬
ُ ِ‫ضي‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫َو ِحيْنَ يَقُ ْو ُم قَائِ ٌم‬
َّ ‫الظ ِهي َْرةِ َحتَّى ت َِم ْي َل ال‬

ِ ‫ِل ْلغُ ُر ْو‬


َ ‫ب َحتَّى ت َ ْغ ُر‬
‫ب‬

“ada tiga waktu, yang mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

‘Wasallam telah melarang kami untuk mengerjakan shalat

atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut: saat

matahari terbit hingga ia agak meninggi, saat matahari

tepat berada dipertengahan langit hingga ia telah condong

kebarat, dan saat matahari hampir terbenam hingga ia

terbenam sempurna.” (hadits ini terdapat dalam Shohih

Muslim no. 831)

5
Waktu-waktu tersebut adalah waktu yang diharamkan untuk shalat,

artinya ketika seorang melaksanakan shalat diwaktu tersebut, bukan pahala

yang ia dapat melainkan adalah dosa. Oleh karenanya penulis ingin

memberikan penjelasan tentang kapan mulainya dan berakhirnya waktu

shalat dhuha, agar tidak shalat pada waktu yang diharamkan.

Namun dibeberapa waktu penulis pernah menemukan seorang santri

atau sebagian masyarakat, mereka shalat dibeberapa waktu yang

diharamkan untuk melaksanakan shalat didalamnya. Akibatnya bukan

pahala atau pun balasan kebaikan yang mereka dapat melainkan adalah

dosa.

Dari uraian diatas penulis mengira bahwa sangatlah penting bagi umat

islam mengetahui waktu-waktu shalat, baik itu shalat wajib ataupun shalat

sunnah. Agar tidak terjebak pada waktu-waktu yang diharamkan untuk

melaksanakan shalat sebagaimana hadits yang penulis sampaikan diatas,

terutama dengan waktu shalat dhuha.Mengetahui keutamaan-keutamaan dari

melaksanakan shalat dhuha pun merupakan hal yang penting, agar yang

melaksanakannya mempunyai motivasi untuk lebih berkonsisten dalam

menjalankan shalat sunnah dhuha. Maka dari itu penulis tertarik untuk

menulis sebuah karya tulis ilmiah mengenai “BATASAN WAKTU SHALAT

DHUHA MENURUT FUQOHA DAN MUFASSIR”.

6
1.2 Identifikasi Masalah

Dari paparan latar belakang karya tulis ilmiah diatas, dapat diambil

beberapa masalah:

 Sejauh mana Al-Qur’an membahas tentang makna dhuha?

 Seberapa pentingkah shalat sunnah dalam kehidupan seorang hamba

baik didunianya ataupun diakhiratnya?

 Keutamaan apa saja yang didapat dari melaksanakan shalat sunnah

teruratama mengenai shalat dhuha?

 Apa yang dimaksud dengan waktu yang diharamkan dan kapan

waktu yang diharamkan itu?

 Mengapa ada beberapa waktu yang diharamkan untuk melaksanakan

ibadah terutama ibadah shalat ketika itu?

 Kapan mulainya waktu dhuha? Dan kapan waktu yang utama untuk

melaksanakan shalat dhuha?

 Kapan berakhirnya waktu dhuha?

1.3 Batasan Masalah

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini penulis ingin membahas

beberapa masalah saja, oleh karenanya penulis ingin membatasi

pembahasan yang akan dibahas pada penulisan ini, agar tidak terlalu luas

cakupan yang ingin dibahas dalam penulisan karya tulis ilmiah ini:

7
 Dalam penulisan karya tulis ini penulis ingin memaparkan definisi

shalat dhuha itu sendiri juga beberapa kajian tafsir mengenai makna

dhuha dal masam Al-Qur’an dengan merujuk kitab-kitab tafsir para

ulama.

 Keutamaan shalat dhuha merupakan hal penting, yang seyogyanya

diketahui oleh seorang hamba. Maka salah satu pembahasan yang

penulis ambil adalah tentang keutamaan shalat dhuha.

 Setiap waktu shalat mempunyai batas-batas waktunya, baik yang

wajib maupun yang sunnah. Maka dalam hal ini akan dibahas

tentang batasan-batasan waktu dhuha dan waktu yang utama untuk

melaksanakan shalat dhuha menurut Mufassir, Fuqoha dan Ulama

kontemporer.

 Adapun Mufassir yang dimaksud dalam penulisan ini adalah Ibnu

Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, Imam Ibnu katsir, dan beberapa

Mufassir yang membahas tentang waktu dhuha. Fuqoha yang

dimaksud dalam hal ini pun adalah para empat Imam madzhab

(Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad).

Adapun Ulama kontemporer yang dimaksud adalah Syaikh Utsaimin

dan Syaikh Ibnu Bazz, dan beberapa ulama kekinian (yang

membahas tentang shalat dhuha, khususnya tentang batasan waktu

dhuha).

8
1.4 Rumusan Masalah

Dengan merujuk kepada latar belakang diatas penulis ingin

merumuskan beberapa masalah tentang judul karya tulis ilmiah ini:

1. Bagaimana keutamaan shalat dhuha dalam pandangan syari’at

Islam?

2. Sejauh mana Al-Qur`an membahas tentang lafazh dan makna dhuha?

3. Kapan batas (mulai dan berakhirnya) waktu shalat dhuha menurut

Mufassir?

4. Kapan batas (mulai dan berakhirnya) waktu shalat dhuha menurut

Fuqoha?

5. Kapan batas (mulai dan berakhirnya) waktu shalat dhuha menurut

ulama kontemporer?

1.5 Metodologi Penulisan

Metode yang penulis lakukan adalah dengan Metode tematik dalam

kajian pustaka (kajian literature) dengan memaksimalkan kemampuan

membaca penulis untuk mengumpulkan data sebanyak-banyak nya dari

berbagai kajian-kajian maupun buku-buku rujukan yang tersedia, yang

tentunya berkaitan dengan karya tulis ilmiah ini sebagai tambahan objek

dalam kajian karya tulis ilmiah ini.

9
1.6 Tujuan Penulisan

Melihat rumusan masalah yang penulis ajukan maka tujuan

penulisan dari karya tulis ilmiah ini adalah:

1. Mengetahui sejauh mana Al-Qur’an membahas tentang lafazh

dhuha dan mengetahui bagaimana tafsir para ulama mengenai

lafazh-lafazh dhuha.

2. Mendapatkan jawaban akhir tentang batas waktu shalat dhuha dari

pendapat para Fuqoha.

3. Menggali lebih dalam mengenai batas waktu shalat dhuha dari

pendapat Mufassir.

4. Mengetahui batas waktu shalat dhuha dari pendapat para ulama

kontemporer.

5. Ikut serta dalam kajian akademis dibidang fiqih.

6. Menyumbang kontribusi pemikiran dan makalah untuk para

peneliti di Pondok Pesantren Qur`an Terpadu Mimbar Huffazh.

1.7 Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah;

1. Bagi penulis, sebagai latihan dalam membuat karya tulis ilmiah dan

memperluas wawasan tentang syari’at islam terutama mengenai

shalat dhuha.

2. Bagi sekolah, dapat dijadikan sebagai gambaran mengenai waktu

dhuha baik di sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lain serta

10
bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mencari solusi

atas permasalahan mengenai shalat dhuha.

3. Bagi Ponpes, dapat menambah kekayaan khazanah intelektualitas

akademika Ponpes serta dapat dijadikan bahan referensi bagi teman-

teman santri yang tertarik dengan kajian fiqih khususnya shalat

dhuha

4. Bagi masyarakat, lebih termotivasi untuk mentadabburi Al-Qur`an

karena didalam Al-Qur`an masih banyak lafazh-lafazh yang perlu

ditadaburi lebih dalam lagi sebagai pembelajaran bagi kehidupan.

5. Bagi masyarakat termasuk juga santri, lebih termotivasi untuk

melasanakan shalat dhuha secara rutin atau istiqomah

1.8 Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui gambaran secara garis besar dari karya tulis ilmiah

ini, maka penulis ingin memberikan secara garis besar keseluruhan

penulisan ini dalam sistematika penulisan, yang terdiri atas empat bab.

Adapun sistematika penulisan dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai

berikut.

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berfungsi sebagai gambaran umum untuk memberikan

pemahaman secara umum dari keselurahan karya tulis ilmiah ini, yaitu latar

belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah,

11
metodologi penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, sistematika

pembahasan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Bab ini merupakan kajian pustaka atau teoritis yang dihasilkan dari

metode literatur yang penulis lakukan, yaitu definisi shalat dhuha, definisi

Fuqoha, definisi Mufassir, shalat dhuha dalam pandangan Islam, keutamaan

shalat dhuha, beberapa pernyataan hadits mengenai waktu shalat dhuha,

lafazh dhuha dalam Al-Qur’an, tafsir makna dhuha.

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan mengkaji pembahasan mengenai waktu

shalat dhuha dari berbagai pendapat para ulama terutama dari para Fuqoha,

Mufassir, dan Ulama kontemporer.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini sebagai penutup dari kajian karya tulis ilmiah ini, yang

terdiri atas kesimpulan, saran-saran dan daftar pustaka.

12
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Shalat Dhuha

Shalat secara etimologi atau bahasa adalah Addu’a, yang berarti Doa

dengan kebaikan. Arti ini terambil dari firman Allah Subhanahu Wata’ala:

]٩:١٠٣[ ‫علَ ْي ِه ْم‬


َ ‫ص ِل‬
َ ‫َو‬

“Dan berdoalah untuk mereka..” (Qs. At-Taubah[9]:103).

Maksudnya berdoa dan minta ampunan untuk mereka. (Abdullah bin

Abdurrahman Al-Bassam, 2006: 476). Ada juga yang mengartikan shalat

sebagai makna ‫) الركوع والسجود‬ruku` dan sujud), karenanya dalam Al-

Quran ada beberapa ayat yang memerintahkan shalat menggunakan kata

ruku` dan sujud.(Ibnu Mandzur, 1995: 464)

Adapun makna shalat secara terminologi atau istilah adalah

‫ مختت َمة بالتَّسليم‬،‫ مفتت َحة بالت َّكبير‬،‫ التعبُّدُ ََّّللِ تعالى بأقوال وأفعال معلومة‬yang berarti

bentuk penyembahan atau peribadatan kepada Allah melalui beberapa

bacaan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan

salam. (Manshur bin Yunus Al-Bahwati, 1390 H: 118)

Sedangkan definisi dhuha menurut beberapa pendapat, antara lain:

13
1. Dhuha adalah waktu menjelang tengah hari (kurang lebih pukul

10.00).(Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI]: Luring)

2. Dhuha adalah waktu dimulai dari terbitnya matahari sehingga

matahari menyinari alam semesta.(Tafsir Ilmi: WAKTU dalam

perspektif Qur`an dan Sains)

3. Ibnu Manzhur mendefinisikan kata `dhuha sebagai waktu tertentu

disiang hari, yaitu waktu ketika matahari naik sepenggalan dipagi

hari hingga mendekati tengah hari.(Muhammad Quraish Shihab/dkk,

2007: 177)

Dari tiga definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan waktu dhuha adalah waktu yang dimulai dari terbitnya

matahari hingga menjelang tengah hari.

Maka shalat dhuha adalah ibadah sunnah yang dimulai dengan takbir

dan diakhiri dengan salam, yang dikerjakan ketika waktu mulainya terbit

matahari hingga menjelang tengah hari (dzuhur).

2.1.1 Jumlah Rakaat Shalat Dhuha

Shalat dhuha dilakukan dalam satuan dua rakaat satu kali salam, dan

merupakan jumlah rakaat minimal yaitu 2 rakaat. Adapun ulama berbeda

pendapat mengenai jumlah rakaat maksimal shalat dhuha, ada yang

berpendapat maksimal 8 rakaat, ada yang mengatakan 12 rakaat, bahkan ada

juga yang mengatakan tidak ada batas maksimal rakaat untuk shalat dhuha.

14
Semua pendapat yang ada mempunyai landasan dari hadits-hadits

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

1. Jumlah rakaat maksimal shalat dhuha adalah delapan rakaat,

pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama madzhab yaitu Madzhab

Maliki, Madzhab Syafi’I, dan Madzhab Hanbali. Dalil yang mereka

jadikan landasan adalah hadits nabi, sebagai berikut:

ٍ ‫ي َر َك َعا‬
}‫ {رواه إبن حبان في صححه‬.‫ت‬ ُّ ‫صلَّى ال‬
َ ‫ض َحى ثَ َما ِن‬ َ َ‫ي َب ْي ِتي ف‬ ْ َ‫َع ْن َعا ِئشَة قَال‬
ُّ ‫ دَ َخ َل النَّ ِب‬:‫ت‬

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “bahwa Nabi Shallallahu

‘Alaihi Wasallam masuk ke dalam rumahku dan shalat dhuha 8

rakaat”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya].

2. Jumlah rakaat maksimal shalat dhuha adalah dua belas rakaat,

disebutkan dalam kitab Mishbah Adz-dzulam yang merupakan

syarah dari kitab Bulughul Maram pendapat ini merupakan pendapat

yang diambil oleh Jumhur Ulama. Dalil yang digunakan sebagai

landasan adalah hadits dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

ْ َ‫ِللاُ لَهُ ق‬
‫صرا فِي ال َجنَّ ِة‬ َّ ‫ع ْش َرة َ َر ْكعَة بَنَى‬ ُّ ‫صلَّى ال‬
َ ‫ض َحى ثِ ْنت َْي‬ َ ‫َم ْن‬

“Barang siapa yang shalat dhuha dua belas rakaat, Allah

bangunkan untuknya satu istana di surga.” [HR. Tirmidzi dan ia

mengatakan, “Hadis ini gharib (asing), tidak kami ketahui kecuali

dari jalur ini.”] (Imam Muhammad Muhajirin, 2014: 306).

15
3. Tidak ada batas maksimal dalam jumlah rakaat shalat dhuha, ini

merupakan pendapat yang diambil oleh Imam As-Suyuti dan Al-

Hawi, mereka berpendapat dengan dalih bahwasanya jumlah rakaat

maksimal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam adalah 12 rakaat, hal ini ditegaskan Al-Hafidz Al-‘Aini

dalam Umdatu Al-Qori Syarh Shahih Bukhari, beliau berkata:

“Tidak adanya dalil –yang menyebutkan jumlah maksimal rakaat

shalat dhuha- lebih dari 12 rakaat dan tidak ada pula larangan untuk

menambahinya, maka tidaklah menunjukan terlarangnya untuk

menambahinya.” (Al-Hafidz Al-‘Aini, Umdatul Qori`:423).

Juga beberapa ulama menyebutkan2 bahwa tidak ada jumlah

maksimal rakaat untuk shalat dhuha, mereka berpendapat dengan

Hadits Nabi dan Atsar para sahabat.

 -‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَى هللا‬
َ -ِ‫ َكانَ َر ُس ْو ُل هللا‬:‫َو َع ْن َعا ئِ َشةَ َر ِض َي هللاُ َع ْن َها قَالَ ْت‬

‫ رواه مسلم‬.ٌ‫ َو َي ِز ْيدٌ َما شَا َء هللا‬,‫ض َحى أ َ ْر َب َعا‬


ُّ ‫صلَّى ال‬
َ

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Ia berkata: “Nabi

Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat dhuha 4 rakaat dan

menambah jika Allah menghendaki” [HR. Muslim].

2
Abu Ja’far At-Thabari, Hulaimi dan Ruyani dari kalangan ulama Syafi’iyah, juga Al-
I’raqi menyebutkan ketika mensyarah hadits-hadits Tirmidzi,”saya tidak pernah
meriwayatkan dari seorang generasi sahabat atau tabi’in bahwa mereka membatasi shalat
dhuha 12 rakaat.” Imam As-Suyuti juga berpendapat sama mengenai hal ini

16
 Ibrahim An-Nakha`I menceritakan bahwa seorang laki-laki

bertanya kepada Aswad bin Yazid, “Berapa rakaat saya

shalat dhuha?” ia menjawab, “sesukamu.”

 Said bin Manshur meriwayatkan bahwa Hasan pernah

ditanya, “Apakah para sahabat Rasulullah Shallallahu

‘Alaihi Wasallam shalat dhuha?” Ia menjawab.”Ya, ada

yang Shalat 2 rakaat, ada yang 4 rakaat dan ada yang shalat

hingga pertengahan siang.” (Sayyid Sabiq, 2012: 295).

Syaikh Utsaimin pun berpendapat bahwa tidak ada batas maksimal

dalam rakaat shalat dhuha, beliau berkata: “pendapat yang benar adalah

tidak ada batasan maksimal untuk jumlah rakaat shalat dhuha.” Beliau

berlandaskan dengan uraian yang terdapat dalam kitab Asy-Syarhul Mumthi`

‘Ala Zaadil Mustaqni 2:54.

Maka dari beberapa uraian-uraian pendapat para ulama diatas, dapat

disimpulkan bahwa jumlah minimal shalat sunnah dhuha adalah dua rakaat

dan jumlah maksimal shalat dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah

Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah 12 rakaat, namun jika ingin lebih dari

rakaat yang dilakukan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak

mengapa, karena tidak ada dalil yang melarangnya dan yang membatasinya

hingga waktu dhuha berakhir.

17
2.1.2 Bacaan Surat Yang Disunahkan

Dalam suatu ibadah tentunya terdapat sunah-sunah didalamnya, yang

juga ketika seorang melaksanakan sunnah tersebut ia akan mendapatkan

balasan kebaikan ataupun ganjaran pahala dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala

dengan syarat, tentunya ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan dari

Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Walaupun setelah membaca

surat Al-Fatihah diperbolehkan membaca surat apa saja. Akan tetapi dalam

shalat dhuha terdapat bacaan surat yang disunahkan oleh Rasulullah

Shollallahu ‘Alaihi Wasallam untuk dibaca ketika shalat dhuha. Surat-surat

yang disunahkan untuk dibaca ialah surat Asy-Syams dan surat Adh-Dhuha,

sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang

dikutip oleh (Imam Ibnu Hajar Al-Atsqlani dalam kitabnya Fathul Bari`:

3/55):

ُ ‫ي َر ْك َعت َ ْي الضُّحى ِب‬


‫س ْو َرتِ ِه َما ِبا َّش ْم ِس‬ َ ُّ‫ أ َ ْن ن‬,‫سلَّ َم‬
َ ‫ص ِل‬ َ ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ أ َ َم َرنَا َر‬:َ‫ع ْق َب ٍة قَال‬
َ َ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫َع ْن‬

}‫ {رواه اإلمام البيهقي‬.‫ض َحى‬


ُّ ‫ َوال‬,‫ض َحاهَا‬
ُ ‫َو‬

Dari Uqbah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah

memerintah kepada kami agar dalam mengerjakan shalat dhuha dengan

membaca surat Asy-Syams dan Ad-Dhuha.” [HR. Al-Baihaqi]3.

3
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ar Ruyani dalam Musnad-nya dan Ad Dailami (2:242)
dari jalur Musyaji’ bin ‘Amr. Syaikh Al Albani, beliau mengatakan: “Hadis ini palsu,
cacatnya ada pada Musyaji’ bin Amr. Ibn Ma’in berkomentar tentang Musyaji’: “yang saya
tahu dia (musyaji’) adalah seorang pendusta.” (Silsilah Hadis Dhaif dan Palsu, hadis ke-
3774).

18
2.2 Definisi Fuqoha

Kata Fuqoha merupakan bentuk Jama’ (banyak) dari kata Faaqih,

yang berarti orang yang paham atau orang yg ahli dalam bidang fiqih. Maka

Fuqoha adalah para ahli fikih atau ulama fikih.(Leksikon Islam, 1988:155)

Diantara para Fuqoha adalah para Imam Madzhab, yaitu:

1. Imam Abu Hanifah

Nama Aslinya ialah Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zauthi

At-Taimi Al-Kufi`. Ada yang mengatakan bahwa beliau dinamakan Hanifah

karena beliau selalu membawa tinta yang disebut dengan Hanifah dalam

bahasa Iraq.

Imam Abu Hanifah Lahir pada tahun 80 Hijriyyah di Kuffah. Beliau

berasal Kuffah, ada juga yang menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah

berasal dari Kabul, Babil, Nasa, Tirmidz dan Al-Anbar. Adz-Dzahabi

menuturkan, “Abu Hanifah lahir tahun 80 H, pada masanya ia adalah

generasi sahabat paling kecil. Ia pernah bertemu dengan Anas bin Malik

Radhiyallahu ‘Anhu saat datang ke Kufah. Dan tidak ada satu huruf pun

(riwayat) Abu Hanifah dari mereka (sahabat).” Ini menunjukan bahwa

Imam Abu Hanifah adalah generasi tabi’in yang pernah bertemu dengan

beberapa sahabat, salah satunya adalah Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.

Madzhab beliau banyak digunakan dibeberapa Negara diantaranya Negara

Timur, Turki, Irak, Mesir dan Negara-negara lainnya, bahkan kerajaan

Utsmaniyah menganut Madzhab Hanafi dan dijadikan sebagai madzhab

19
resmi Negara, yang berarti semua Negara yang dibawah kekuasaan kerajaan

Utsmaniyah menggunakan Madzhab Hanafi.

Pada masanya beliau dikenal dengan orang yang paling faqih di

daerah Kufah. Imam Abu Hanifah banyak bersumbangsih ilmu pada dunia

islam, diantara sumbangsih ilmu beliau terhadap umat islam adalah tentang

ilmu fiqih, karya beliau dalam ilmu fiqih adalah Fiqh Al-Kabir.

Saat diketahui bahwa Imam Abu Hanifah wafat, Syu’bah bin Al-

Hajjaj berujar, “Fiqih kufah telah pergi bersama kepergiannya. Semoga

Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kami dan kepadanya.” (Al-Intiqa`fi

Fadha`il Ats-Tsalatsah Al-A`immah Al-Fuqoha`: 126).

Hammad bin Zaid berkata, “Aku hendak melaksanakan haji.

Kemudian aku mendatangi Ayub dan mengucapkan selamat tinggal. Ia

berkata; Aku mendapatkan kabar bahwa orang paling faqih di Kufah –

maksudnya Abu Hanifah- tahun ini juga melaksanakan ibadah haji. Jika

engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku kepadanya.” (Ash-

Shaimari, Akhbar Abi Hanifah wa Ashabiah: 79).

Abdulloh bin Dawud Al-Khuraibi berkata, “Hendaknya orang islam

mendoakan Abu Hanifah dalam shalatnya. Sebab ia telah menjaga sunnah

dan fiqih untuk mereka.” (Adz-Dzahabi, Manaqib Al-Imam Abi Hanifah wa

Shahibaih: 32).

Imam Abu Hanifah Rahimahullah wafat di Kota Baghdad pada tahun

150 H/767 M, pada usia 70 tahun. Banyak ahli sejarah yang mengatakan,

20
“Dia meninggal pada bulan Rajab, ada yang mengatakan pada bulan

Sya’ban dan ada juga yang mengatakan pada bulan Syawwal. Dia tidak

meninggalkan seorangpun putera kecuali Hammad.” (Syaikh Ahmad Farid,

2007: 182).

2. Imam Malik

Nama asli beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-

Ashbahi Al-Madani. Nama ibunda Imam Malik adalah Aliyah binti Syuraik

Al-Azadiyah. Imam Malik dilahirkan tahun 93 H, yang bertepatan dengan

wafatnya Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu yang merupakan salah satu

sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Imam Malik terkenal

dengan kitabnya yaitu Kitab Al-Muwaththo’. Imam Asy-syafi’I berkata

mengenai kitab ini “Aku tidak mengetahui kitab ilmu paling banyak

kebenarannya dimuka bumi selain kitab Imam Malik.” Walaupun imam

Asy-Syafi’I berkata seperti itu, akan tetapi ketika itu belum muncul kitab

“shahih Al-Bukhari” dan “Shahih Muslim”. Walaupun Imam Malik tidak

langsung mengarang kitab mengenai ilmu fiqih, akan tetapi ada beberapa

ulama yang mengarang kitab fiqih yang merupakan ringkasan masalah fiqih

dalam Madzhab Maliki, diantara ulama yang dimaksud adalah Imam Khalil

bin Ishaq Al-Maliki dengan karyanya yang terkenal dalam Madzhab Maliki,

yaitu Mukhtashar Al-Khalil.

Dalam sebuah hadits riwayat Ahlussunan dan Ahmad disebutkan

bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

21
َ ‫طلُبُ ْونَ ْال ِع ْل َم فَ ََل يَ ِجد ُ ْونَ أ َ َحدا أ َ ْعلَ َم ِم ْن‬
‫عا ِل ِم‬ ْ َ‫اْل ِب ِل ي‬
ِ ْ َ‫اس أ َ ْكبا َد‬
ُ َ‫ب الن‬ ْ َّ‫يُ ْو ِشكُ أ َ ْن ي‬
َ ‫ض ِر‬

‫ْال َم ِد ْينَ ِة‬

“Hampir saja manusia pergi mengendarai unta untuk mencari ilmu.

Namun mereka tidak menemukan orang yang lebih alim dari orang alim

Madinah.”4

Beberapa ulama seperti Ibnu Uyainah dan Ibnu Juraij menganggap

bahwa yang dimaksud dalam hadits ini adalah Imam Malik.

Imam Malik Rahimahullah memulai dirinya dalam menuntut ilmu

pada usia 11 tahun dan ia memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa

sebelum usia 18 tahun. Beliau duduk di majelis ilmu untuk pengajaran

ataupun menyampaikan hadits pada usia 21 tahun, dan banyak sekelompok

orang yang meriwayatkan hadits dari beliau. Diantara murid beliau sendiri

adalah Imam Asy-Syafi’I, beliau menuturkan, “Aku melihat dalam diri

Imam Malik kewibaan dan penghormatannya terhadap ilmu. Aku sangat

segan kepadanya dikarenakan hal itu, sampai-sampai jika aku berada

dimajelisnya, dimana ketika aku hendak membuka lembaran kitab, maka

aku membukanya dengan perlahan-lahan agar suaranya tidak terdengar

olehnya.”(Al-Baihaqi, Manaqib Asy-Syafi’I: 92/144).

4
Hadits ini dihasankan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim dan
selainnya. Adz-Dzahabi berkata “hadits ini memiliki isnad yang bersih dan matan yang
unik.”

22
Hal ini menunjukan kewibaan Imam Malik sangatlah tinggi sampai-

sampai para muridnya pun sangat menunjukan adab dan kecintaan kepada

beliau seperti yang dilakukan oleh Imam Asy-Syafi’i.

Madzhab Maliki banyak digunakan dibeberapa Negara Afrika seperti

Maghrib, Libya, Tunis, Mauritania, sebagian Negara Syam, Yaman, Sudan,

Baghdad, Kufah, sebagian Khurasan dan Negara-negara lainnya.

Imam Malik Rahimahullah wafat pada tahun 179 H diusianya yang ke

86 tahun, jasadnya dimakamkan di Baqi. Ismail bin Abi Uwais berkata,

“Malik telah sakit dan meninggal dan aku bertanya kepada keluarganya

tentang apa yang dikatakannya ketika dia menghadapi sakaratul maut.

Mereka menjawab, “Malik mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian

dia membaca ayat Al-Qur`an;

﴾٤ :‫ِ ََّّللِ ْاْل َ ْم ُر ِمن قَ ْب ُل َو ِمن َب ْعدُۚ ﴿الروم‬

“Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).”

Malik meninggal di waktu shubuh pada tanggal 14 Rabi’ul Awwal tahun

179 hijriyah. Amirul mukminin Abdulloh bin Muhammad bin Ibrahim juga

ikut menyalatinya.” (Ibid, 2007: 276).

3. Imam Asy-Syafi’I

Nama asli beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin

Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin

Al-Muthallib bin Abdi Manaf. Beliau adalah anak keturunan dari paman

23
Rasulullah dengan garis keturunan bertemu dengan beliau pada kakenya

yang bernama Abdi Manaf, Rasulullah berasal dari keturunan Hasyim bin

Abdi Manaf, sedangkan Imam Syafi’I berasal dari keturunan Abdul

Muthallib bin Abdi Manaf. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam

bersabda,

‫ و بنو هاشم شيء واحد‬,‫إنما بَنو المطلب‬

“Sesungguhnya keturunan Al-Muthallib dan keturunan Hasyim

adalah satu.” [HR. Al-Bukhari, 6/16, Abu Dawud, no.2962, dan Nasa`I,

7/130-131] (Ibid, 2007:355).

Nama ibunda Imam Asy-Syafi’I adalah Fatimah binti Ubaidillah Al-

Azadiyah. Imam Syafi’I dilahirkan di Asqalan (sebuah daerah di Gaza

wilayah Palestina). Beliau dilahirkan pada tahun wafatnya Imam Abu

Hanifah (150 H), bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa beliau

dilahirkan pada hari wafatnya Imam Abu Hanifah. Saat usianya 2 tahun

beliau sudah diajak oleh ibunya pergi ke Makkah.

Imam Syafi’I telah hafal Al-Qur`an pada usia 7 tahun dan beliau hafal

kitab Al-Muwaththo` Imam Malik pada usianya yang ke 11 tahun, ini

menunjukan bahwa beliau sangatlah berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan

As-Sunnah.

Imam Syafi’I terkenal dengan kitabnya yaitu Ar-Risalah yang

merupakan kitab Ushul fiqih pertama, yang berarti Imam Syafi’I merupakan

24
pencetus ilmu Ushul fiqih. Juga beliau terkenal dengan kitab fiqih nya yaitu

Al-Umm, yang hari ini menjadi kitab fiqih rujukan dikalangan kaum

muslimin terutama yang bermadzhab Syafi’i. Diantara penuturan para ulama

mengenai kitabnya. Al-Jahizh berkata, “Aku pernah mengkaji kitab-kitab

para pakar, namun aku tidak melihat karya ilmiah paling bagus dari karya

Al-Muthallib (Imam Syafi’i), seakan-akan mulutnya merangkai mutiara

demi mutiara.”(Al-Baihaqi, Manaqib Asy-Syafi’I: 2/51).

Adapun pernyataan ulama tentang dirinya, sebagaimana pernyataan

Yunus bin Abdil ‘Ala, beliau berkata, “Asy-Syafi’I adalah sosok yang

menyihir perhatian. Jika kami duduk di sisinya, kami tidak menyadari apa

yang diucapkannya. Seakan-akan katanya gula. Ia dianugrahi perkataan

yang menarik, keindahan balaghah, kecerdasan yang super, otak yang

cemerlang, kefasihan yang sempurna dan argumentasi yang siap sedia.”

(Ibid, Manaqib Asy-Syafi’I: 2/50).

Imam Asy-Syafi’I Rahimahullah wafat pada tahun 204 H di Mesir,

pada usianya yang ke 54 tahun. Walaupun demikian usianya yang tidak

lama didunia, akan tetapi beliau banyak mengeluarkan karya-karyanya yang

sangat bermanfaat bagi kebangkitan islam di dunia keilmuan dan

Madzhabnya pun banyak digunakan oleh sebagian kaum muslimin.

4. Imam Ahmad bin Hanbal

Nama asli beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal

Asy-Syaibani. Nama ibunda Imam Ahmad adalah Shafia binti Maymunah

25
Ash-Shaibania. Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad pada tanggal 20

Rabi’ul Awwal 164 H/780 M. Imam Ahmad bin Hanbal seorang Arab dari

Bani Dzuhl bin Syaiban, hanya saja beliau tidak pernah membanggakan

ataupun menyebutkan dirinya mengenai keturunannya dari Arab.

Imam Ahmad bin Hanbal mengelilingi beberapa Kota maupun Negara

untuk mencari ilmu, diantara kota yang beliau jumpai adalah Kufah,

Bashrah, Abbadan, Wasith, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Al-Jazirah

dan kota-kota lainnya.

Salah satu guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah Abdurrazzaq bin

Hammam Al-Yamami. Imam Ahmad pergi menghadapnya dan banyak

meriwayatkan hadits darinya. Dalam Al-Musnad nya, Imam Ahmad

meriwayatkan hadits lebih dari 1500 hadits. (DR. Amir Shabri, Mu’jam

Syuyukh Al-Imam Ahmad fi Al-Musnad : 225-228)

Sama seperti Imam Malik. Imam Ahmad pun tidak langsung

mengarang kitab fiqih, akan tetapi ada beberapa ulama yang mengarang

kitab fiqih, yang ringkasan masalahnya merupakan kutipan dalam Madzhab

Imam Ahmad. Diantara ulama tersebut adalah Ibnu Qudamah, beliau

mengarang kitab-kitab fiqih sesuai dengan tingkatan kemampuan seorang

dalam memahami permasalahan dalam fiqih, kitabnya yaitu Al-Umdah

(kitab inti), Al-Muqni (yang memuaskan), Al-Kaffi (yang mencukupi), Al-

Mughni (yang memperkaya wawasan).

26
Imam Ahmad bin Hanbal merupakan salah satu Imam Madzhab, yang

dalam ilmu hadits beliau lebih menguasai dari para imam yang lain.

Sebagaimana pernyataan langsung Imam Asy-Syafi’i kepada Imam Ahmad,

“Engkau lebih tahu mengenai hadits dan perawinya. Jika hadits shahih,

maka beritahukan kepadaku, baik perawinya orang Kufah atau Bashrah

atau Syam, hingga aku mendatanginya, jika memang haditsnya shahih,”

(Al-Fakhrurrazi, Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’I: 351).

Imam Ahmad bin Hanbal meninggal di Baghdad, pada hari Jum’at

tanggal 12 Rabi’ul Awwal 241 H, diusianya yang ke 77 tahun.

2.3 Definisi Mufassir

Mufassir merupakan istilah dari bahasa arab, Isim Fail dari kata

Fassara Yufassiru, yang berarti menafsirkan atau menerangkan maksud

yang tersirat dalam suatu kalimat. Maka Mufassir adalah orang yang

menafsirkan (penafsir), atau dalam istilah Al-Quran adalah orang yang

mengkhususkan diri pada pengkajian tafsir Al-Qur`an. (Leksikon Islam, 1988:

488).

Dalam definisi lain yang diartikan oleh seorang ulama,

,‫المفسر هو من له أهلية تامة يعرف بها مراد هللا تعالى بكَلمه المتعبد بتَلوته‬

‫ مع معرفته جمَل كثيرة من‬,‫ وراض نفسه علي مناهج المفسرين‬,‫قدر الطاقة‬

.‫ ومارس التفسير عمليا بتعليم أو تأليف‬,‫تفسير كتاب هللا‬

27
“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang

dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai

dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para Mufassir

dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu,

ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau

menuliskannya.”(Husain bin Ali bin Husain Al-Harby, 1996: 1/29).

Diantara para Mufassir dari masa ke masa:

 Masa Sahabat : Ibnu Abbas, nama aslinya adalah Abdulloh

bin Abbas Radhiyallahu’anhu, yang terkenal dengan julukannya

Hibrul Ummah wa Turjumanul Qur`an, beliau adalah sahabat yang

sangat muda diantara sahabat-sahabat yang lain dari kalangan para

pemuka tafsir Al-Qur`an ketika itu. Dengan tafsirnya Tafsir Ibnu

Abbas.

 Masa Tabi’in : Muqotil bin Sulaiman Albalkhiy (w. 150H)

dengan karyanya Al-Asybah wan Nadhoir fil Qur`anil Karim. Juga

Abdul Malik bin Juraij (w. 149H) ulama pertama yang kali

menjelaskan tafsir Al-Qur`an dengan menerangkan martabat

haditsnya, dalam satu kitab khususnya.

 Pasca Tabi’in : Imam Ath-Thobari (w. 410H) dengan

karyanya Jami’ Al-Bayan fi Ta`wilil Qur`an, Imam Ats-Tsa’labiy (

w.427H) dengan karyanya Al-Kasyf Wal Bayan.

28
 Masa Abad ke 6 H : Imam Fakhruddin Ar-Razi yang terkenal

dalam tafsirnya At-Tafsir Al-Kabiir atau yg dikenal dengan

Mafaatihul Ghoib.

 Masa abad ke 7 H : Imam Al-Baidhowi dengan karyanya

Anwarut Tanzil wa Asrorut Ta`wil. Juga Imaduddin Abul Fida

Ismail (Imam Ibnu Katsir) seorang ahli Tafsir sekaligus ahli Fiqih

bermadzhab Syafi’I, dengan karya tafsirnya Tafsir Ibnu Katsir.

 Masa Abad 8-9 H : Abu Su’ud (w.982H) karyanya Irsyad Al-Aql

Salim Ila Mazaya Al-kitab Al-A’zhim.

 Masa Abad 9-13 H : Al-Imam Al-Alusi (w. 1217H) dengan

karyanya Ruhul Ma’aniy.Tafsir shufi seperti Ruhul Bayan karya

Alim At-Turki Ismail Haqqi Al-Barsawy.DLL

 Era Modern (abad ke-14) : Iffat. M. Syarkawi dengan karya nya

Ittijahat Al-Tafsir Fil `Ashril Hadits, juga karya Imam Al-Ghazali,

Jawahirul Qur`an yang cenderung dengan penafsiran saintifiknya

(Ittijah ‘Ilmy).

Sebagaimana diketahui ulama-ulama salaf, banyak diantara mereka

yang bukan hanya ahli dalam satu bidang, akan tetapi mereka ahli juga

dibidang ilmu yang lain. Maka disamping juga mereka adalah para

Mufassir, tetapi ada juga yang mereka juga Faqih (ahli fiqih), diantaranya

yang disebutkan adalah Imam Ibnu Katsir.

2.4 Shalat Dhuha Dalam Pandangan Islam

29
Dalam pandangan islam shalat dhuha hukumnya adalah Sunnah

Muakkad (sangat dianjurkan), sebagaimana penjelasan Imam Nawawi dalam

Syarh Muslimnya. Juga Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berkata dalam kitab

Majmu’ Fatawa, 11/389, “Shalat dhuha adalah Sunnah Muakkadah yang

telah dilakukan oleh Nabi dan beliau perintahkan kepada para

sahabatnya.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun suka

mengerjakannya, bahkan beliau tidak pernah meninggalkannya. Karenanya

beliau berpesan kepada sahabatnya untuk mengerjakannya juga. Oleh

karena itulah, umat islam punya perhatian besar terhadap shalat dhuha.

Dalam hadits disebutkan:

-‫صلى هللا عليه وسلم‬-‫ أوصني خليلي‬:‫و عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬

‫ متفق عليه‬. ‫ وان أوتر قبل أن أرقد‬,‫ و ركعة الضحى‬,‫بصيام ثَلثة أيام من كل شهر‬

Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Kekasihku Shallallahu ‘Alaihi Wa

sallam telah berwasiat kepadaku tiga perkara: Pertama, puasa tiga hari

setiap bulan, Kedua, melaksanakan dua rakaat shalat dhuha dan Ketiga,

melaksanakan shalat witir sebelum tidur.” [HR. Bukhari, Muslim].

Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa para sahabat pun ketika

itu sangat memperhatikan pentingnya shalat dhuha bagi kehidupan mereka.

Disamping shalat dhuha ini merupakan fasilitas yang diberikan kepada umat

islam agar lebih mendekat lagi kepada Allah Subhanahu Wata’ala, shalat

dhuha juga mempunyai keistimewaan serta keutamaan bagi yang

30
melaksanakannya. Maka dipembahasan selanjutnya penulis ingin membahas

tentang keistimewaan serta keutamaan shalat dhuha.

2.5 Keutamaan Shalat Dhuha

Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan menyianyiakan setiap amal

shalih seorang hamba, pasti Allah akan memberikan balasan kebaikan, baik

didunia maupun diakhirat nanti. Maka agar setiap ibadah yang dilakukan

lebih istiqomah ataupun konsisten dalam mengerjakannya, alangkah

baiknya jika mengetahui beberapa keutamaan dalam ibadah yang dilakukan,

dan kali ini penulis ingin memberikan beberapa keutamaan berkaitan shalat

dhuha.

Pertama, Shalat dhuha sebagai ekspresi syukur hamba kepada Allah

Subhanahu Wata’ala atas nikmat sehat bugarnya setiap sendi ditubuh

manusia pada pagi harinya. Menurut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam setiap sendi di tubuh manusia harus diberi sedekah setiap harinya

dengan melakukan amaliyah-amaliyah yang telah diajarkan Rasulullah

Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantara amaliyah itu adalah dengan

melakukan shalat dhuha.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Dari Nabi Shallallahu

‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda:

31
‫صدَقَةٌ َو‬
َ ٍ‫صدَقَةٌ َو ُك ُّل تَحْ ِم ْيدَة‬
َ ‫صدَقَةٌ فَ ُك ُّل ت َ ْس ِب ْي َح ٍة‬
َ ‫س ََل َمى ِم ْن أ َ َح ِد ُك ْم‬
ُ ‫علَى ُكل‬
َ ‫صبِ ُح‬
ْ ُ‫ي‬

َ ‫ع ِن ْال ُم ْن َك ِر‬
ٌ‫صدَقَة‬ ٌ ‫صدَقَةٌ َونَ ْه‬
َ ‫ي‬ ِ ‫صدَقَةٌ َوأ َ ْم ٌر ِب ْال َم ْع ُر ْو‬
َ ‫ف‬ َ ٍ‫صدَقَةٌ َو ُك ُّل ت َ ْك ِبي َْرة‬
َ ‫ُكل ت َ ْه ِل ْيلَ ٍة‬

‫ض َحى‬ ِ ‫ئ ِم ْن ذلِكَ َر ْك َعت‬


ُّ ‫َان يَ ْر َكعُ ُه َما ِمنَ ال‬ ُ ‫َويُجْ ِز‬

“Pada pagi hari setiap tulang (persendian) dari kalian wajib

dikeluarkan sedekah nya. Maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid

adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah,

memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) dan melarang dari berbuat munkar

(nahi munkar) adalah sedekah. Semua itu cukup dengan dua rakaat yang

dilaksanakan di waktu dhuha.” [HR. Muslim, Abu Dawud dan riwayat

Bukhari dari Abu Hurairah].

Kedua, Allah Subhanahu Wata’ala akan mencukupi segala kebutuhan

hambanya baik bersifat fisik maupun materi, bagi yang melaksanakan shalat

dhuha sebanyak 4 rakaat. Dalam hadits qudsi disebutkan:

Dari Na’im bin Hammaz Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: aku telah

mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

ِ َ‫ار أ َ ْكفِك‬
ُ‫آخ َره‬ ِ ‫ت فَ ْي أَ َّو ِل النَّ َه‬
ٍ ‫ إِبْن آدَ َم الَت َ ْع ِجزَ َّن َع ْن أ َ ْربَعِ َر َكعَا‬:َّ‫قَا َل هللا َع َّز َو َجل‬

“Allah Azza Wajalla berfirman, “Hai anak Adam, janganlah kamu

malas untuk melakukan shalat 4 rakaat diawal siang, karena aku akan

mencukupi kebutuhanmu diakhir siang (hingga sore hari).” [HR. Ahmad

(5/286), Abu Dawud no. 1289, Ad-Darimi no. 1451. Syaikh Al-albani dan

Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih].

32
Dalam hadits qudsi yang lain pun disebutkan: Dari Abu Darda’ dan

Abu Dzar meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

bersabda, “Allah Ta’ala berfirman:

ِ َ‫ أ َ ْكفِك‬،‫ار‬
ُ‫آخ َره‬ ِ ‫ت ِم ْن أ َ َّو ِل النَّ َه‬
ٍ ‫ ا ِْرك َْع ِلي أَ ْربَ َع َر َكعَا‬،‫يابْنَ آدَم‬

“Wahai anak Adam, rukuklah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat

pada awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.”

(HR. At-Tirmidzi no. 475, Ahmad)5.

Ketiga, Allah Subhanahu Wata’ala akan membangun istana di surga bagi

yang melaksanakan shalat dhuha sebanyak 12 rakaat.

ُّ ‫صلَّى ال‬
‫ض َحى ثِ ْنت َْي‬ َ ‫ َم ْن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫ِللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْن أَن ٍَس قَال‬
َّ ‫سو ُل‬ َ

ْ َ‫ِللاُ لَهُ ق‬
‫صرا فِي ال َجنَّ ِة‬ َّ ‫ع ْش َرة َ َر ْكعَة بَنَى‬
َ

Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat dhuha sebanyak 12

(dua belas) rakaat, maka Allah akan membangunkan untuknya istana di

syurga”.[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan].

Keempat, shalat dhuha merupakan amaliyah rutin Rasulullah Shallallahu

‘Alaihi Wasallam, bahkan sahabat sendiri menganggap bahwa Rasulullah

Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan shalat dhuha.

5
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani
Rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

33
‫ض َحى َحتَّى نَقُو َل‬ َ ُ‫سلَّ َم ي‬
ُّ ‫ص ِلي ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ِللا‬ َّ ‫ي‬
َ ِ‫ِللا‬ ُّ ‫س ِعي ٍد ْال ُخد ِْري ِ قَا َل َكانَ نَ ِب‬
َ ‫ع ْن أَبِي‬
َ

‫س ٌن غ َِريبٌ (سنن‬
َ ‫ِيث َح‬ َ ‫ قَا َل أَبُو ِعي‬.‫ص ِلي‬
ٌ ‫سى َهذَا َحد‬ َ ُ‫ع َها َحتَّى نَقُو َل َال ي‬ ُ َ‫َال يَد‬
ُ َ‫ع َويَد‬

)٤٣٩ : ‫الترمذي‬

Dari Abu Said Al-Khudry, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam mengerjakan shalat dhuha, sehingga kami mengira bahwa beliau

tidak pernah meninggalkannya. Dan jika beliau meninggalkannya, kami

mengira seakan-akan beliau tidak pernah mengerjakannya.” Abu ‘Isa

berkata: hadits ini adalah hadits hasan gharib [Sunan Tirmidzi; 439].

Kelima, shalat dhuha merupakan shalatnya para Awwabin (orang-orang

yang bertaubat), mereka senantiasa istiqomah dalam melaksanakan shalat

dhuha. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah

َ‫صَلَة ُ اْل َ َّوا ِبيْن‬ َ ‫ض َحى ِإالَّ أَ َّوابٌ قَا َل َوه‬


َ ‫ِي‬ ُ ‫الَ يُ َحا ِف‬
َ ‫ظ َعلَى‬
ُّ ‫صَلَ ِة ال‬

“Tidaklah menjaga shalat dhuha, kecuali orang yang banyak

bertaubat kepada Allah.” [Hr. Al-Hakim dalam al-Mustadrak: 1/314;

dinilai sebagai hadits hasan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits

ash-Shahihah, no. 1994, lihat: 2/324].

Keenam, shalat dhuha merupakan salah satu ibadah yang diwasiatkan oleh

Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam kepada umatnya untuk selalu

dilakukan sampai meninggal, sebagaimana hadits dari Abi Hurairah

Radhiyallahu ‘Anhu.

34
-‫صلى هللا عليه وسلم‬-‫ أوصني خليلي‬:‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬

‫ متفق عليه‬. ‫ وان أوتر قبل أن أرقد‬,‫ و ركعة الضحى‬,‫بصيام ثَلثة أيام من كل شهر‬

Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Kekasihku Shallallahu ‘Alaihi Wa

sallam telah berwasiat kepadaku tiga perkara: Pertama, puasa tiga hari

setiap bulan, Kedua, melaksanakan dua rakaat shalat dhuha dan Ketiga,

melaksanakan shalat witir sebelum tidur.” [HR. Bukhari, Muslim].

Ketujuh, shalat dhuha merupakan salah satu amaliyah yang ganjarannya

sama dengan seorang yang berperang, kemudian dia mendapat harta

rampasan yang banyak dari peperangan tersebut, dan cepat kepulangannya,

bahkan dalam hadits disebutkan bahwa ganjaran shalat dhuha lebih baik dari

itu semua.

Abdullah bin Amr menceritakan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam mengirim satu pasukan perang. Mereka berhasil mendapatkan

kemenangan, lalu bergegas pulang. Kaum muslimin pun memperbincangkan

singkatnya peperangan itu, banyaknya harta rampasan yang mereka peroleh,

dan cepatnya kepulangan mereka. Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam bersabda:

َ ‫ َم ْن ت ََوضَّأ َ ث ُ َّم‬.‫ب ِم ْنهُ َم ْغزى َوأ َ ْكث َ َر غضنِ ْي َمة َوأ َ ْوشَكَ َرجْ عَة‬
‫غدَا إِلَى‬ َ ‫علَى أ َ ْق َر‬
َ ‫أَ َال أَدُل ُك ْم‬

‫غنِ ْي َمة َوأ َ ْوشَكُ َرجْ عَة‬


َ ‫ب َم ْغزى َوأ َ ْكث َ ُر‬
ُ ‫ض َحى فَ ُه َو أ َ ْق َر‬
ُّ ‫س ْب َح ِة ال‬
ُ ‫ِل‬

“Maukah kalian aku tunjukan peperangan yang lebih singkat,

rampasan perang yang lebih banyak dan kepulangan yang lebih cepat?

Siapa saja yang wudhu kemudian berangkat ke masjid untuk shalat dhuha,

35
maka itulah peperangan yang lebih singkat, harta rampasan yang lebih

banyak, dan kepulangan yang lebih cepat.” [HR. Ahmad dan Thabrani,

hadits ini hasan shahih dalam Shahih At-Targhib: 666].

Kedelapan, orang yang shalat shubuh berjamaah dimasjid kemudian duduk

berdzikir hingga terbit matahari kemudian shalat, maka pahalanya seperti

haji dan umroh. Sebagaimana dalam hadits Nabi, dari Anas bin Malik

bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

ْ َ‫صلَّى َر ْكعَت َ ْي ِن َكان‬


‫ت‬ َ ‫س ثم‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ َ ‫ع ٍة ث ُم قَ َعدَ َي ْذ ُك ُر هللاَ َحتى ت‬
َّ ‫طلُ َع ال‬ َ ‫صلَّى ْالغَدَاة َ في َج َما‬
َ ‫َمن‬

ُ ‫لَهُ َكأ َجْ ِر َح َّج ٍة َو‬


.‫ع ْم َر ٍة‬

" Siapa yang shalat Shubuh dengan berjamaah, lalu duduk berdzikir

kepada Allah sehingga matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat, maka

ia mendapatkan pahala haji dan umrah sempurna (diulang tiga kali)." (HR.

At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Albani dalam al-Misykah, no. 971).

Kesembilan, orang yang mendawamkan shalat dhuha dalam hidupnya,

mereka akan dimasukkan kedalam surga diakhirat nanti melalui Baab Adh-

Dhuha (Pintu Dhuha) yang dikhususkan bagi orang-orang yang

mendawamkan shalat dhuha dalam hidupnya. Sebagaimana disebutkan

dalam hadits yang bersumber dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia

mengatakan: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

36
‫ أَيْنَ الَّذِينَ َكانُوا‬:ٍ‫ فَإِذَا َكانَ يَ ْو ُم ْال ِقيَا َم ِة نَادَى ُمنَاد‬،‫ض َحى‬
ُّ ‫ ال‬:ُ‫ِإ َّن فِي ْال َجنَّ ِة بَابا يُقَا ُل لَه‬

َّ ‫ض َحى؟ َهذَا بَابُ ُك ْم فَا ْد ُخلُوهُ ِب َرحْ َم ِة‬


ِ‫ِللا‬ َ ‫علَى‬
ُّ ‫ص ََلةِ ال‬ َ َ‫يُدِي ُمون‬

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pintu yang bernama Baab

Adh-Dhuha (pintu dhuha) dan pada hari kiamat nanti ada yang akan

memanggil, ‘Dimana orang yang senantiasa mengerjakan shalat dhuha? Ini

pintu kamu, masuklah dengan kasih sayang Allah.” (HR. Ath-Thabrani).6

Kesepuluh, bagi mereka yang menjaga kebiasaan melaksanakan shalat

dhuha Allah Subhanahu Wata’ala akan mengampuni dosa mereka,

walaupun dosa-dosanya itu sebanyak buih di laut. Hal ini sebagaimana

terdapat dalam hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah

Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

‫ت ِمثْ َل زَ بَ ِد ْالبَحْ ِر‬


ْ َ‫غ ِف َر لَهُ ذُنُ ْوبُه َوإن َكان‬ ُّ ‫ش ْفعَ ِة ال‬
ُ ‫ضحى‬ ُ ‫على‬ َ َ‫َم ْن َحاف‬
َ ‫ظ‬

“Barang siapa yang menjaga shalat dhuha, maka dosa-dosanya akan

diampuni walau sebanyak buih dilautan.” [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan

Ahmad].7

Begitu banyaknya keutamaan yang didapat bagi hamba yang

mendawamkan shalat dhuha dalam hidupnya, maka sungguh merugilah

orang yang meninggalkan shalat dhuha. Keutamaan-keutamaan diatas bisa

didapatkan ketika dilakukan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu

6
Walaupun hadits diatas dhaif, sebagaimana dikatakan Imam Al Albani dalam Silsilah
Ahaadits Adh-Dhoifah (no. 392)
7
Dalam kitab Al-Jami’ Sunan Tirmidzi, yang ditahqiq oleh Muhammad Syakir dan Syaikh
Al-Albani berkata bahwa hadits ini Dhaif.

37
Wata’ala dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam.

2.6 Beberapa Pernyataan Hadits Mengenai Waktu Dhuha

Dalam hadits terdapat beberapa pernyataan Rasulullah Shallallahu

‘Alaihi Wasallam tentang waktu dhuha. Akan tetapi sebelum itu penulis

ingin menyampaikan hadits tentang waktu yang diharamkan untuk

melaksanakan shalat didalamnya:

:َ‫ي اللَّ ْي ِل أ َ ْس َم ُع؟ قَال‬


ُّ َ ‫ أ‬،ِ‫ِللا‬ ُ ‫ يَا َر‬: ُ‫ قُ ْلت‬:َ‫ أَنَّهُ قَال‬،ِ‫سلَ ِمي‬
َّ ‫سو َل‬ ُّ ‫سةَ ال‬
َ َ‫عب‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫ع ْم ِرو ب ِْن‬ َ

‫ي‬ َ ُ ‫ َحتَّى ت‬،ٌ‫ص ََلة َ َم ْش ُهودَة ٌ َم ْكتُوبَة‬


َ ‫ص ِل‬ َ َ‫ ف‬،‫ف اللَّ ْي ِل ْاْل ِخ ُر‬
َّ ‫ فَإ ِ َّن ال‬، َ‫ص ِل َما ِشئْت‬ ُ ‫« َج ْو‬

‫ فَإِنَّ َها ت َْطلُ ُع‬،‫ أ َ ْو ُر ْم َحي ِْن‬،ٍ‫يس ُر ْمح‬


َ ِ‫ فَت َْرت َ ِف َع ق‬،‫س‬ َّ ‫ص ْر َحتَّى ت َْطلُ َع ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫ ث ُ َّم أ َ ْق‬،‫ص ْب َح‬
ُّ ‫ال‬

َّ ‫ فَإ ِ َّن ال‬، َ‫ص ِل َما ِشئْت‬


ٌ ‫ص ََلة َ َم ْش ُهودَة‬ ُ َّ‫ص ِلي لَ َها ْال ُكف‬
َ ‫ ث ُ َّم‬،‫ار‬ َ ُ‫ َوي‬،‫ان‬
ٍ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َ ‫بَيْنَ قَ ْرن َْي‬

‫ فَإِذَا‬،‫ َوت ُ ْفت َ ُح أَب َْوابُ َها‬،‫ فَإ ِ َّن َج َهنَّ َم ت ُ ْس َج ُر‬،‫ص ْر‬
ِ ‫ ث ُ َّم أ َ ْق‬، ُ‫الر ْم ُح ِظلَّه‬
ُّ ‫ َحتَّى يَ ْع ِد َل‬،ٌ‫َم ْكتُوبَة‬

ْ ‫ي ْال َع‬
‫ ث ُ َّم‬،‫ص َر‬ َ ‫ص ِل‬ َّ ‫ فَإ ِ َّن ال‬، َ‫ص ِل َما ِشئْت‬
َ ُ ‫ َحتَّى ت‬،ٌ‫ص ََلة َ َم ْش ُهودَة‬ َ َ‫ ف‬،‫س‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ َ ‫زَ ا‬
ِ ‫غ‬

ُ َّ‫ص ِلي لَ َها ْال ُكف‬


‫ار‬ َ ُ‫ َوي‬،‫ان‬
ٍ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ ُ ‫ فَإِنَّ َها ت َ ْغ ُر‬،‫س‬
َ ‫ب بَيْنَ قَ ْرن َْي‬ َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫أ َ ْق‬
َ ‫ َحتَّى ت َ ْغ ُر‬،‫ص ْر‬

Dari Amr bin ‘Abasah As-Sulamiy, ia berkata, aku bertanya kepada

Rasululah Saw: “Wahai Rasulullah, bagian malam yang manakah yang

paling dekat kepada di ijabahnya do’a?” Beliau Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam menjawab: “Sepertiga malam akhir”, shalatlah

sekehendakmu, sebab shalat di waktu itu di saksikan dan dicatat amal

kebaikannya oleh malaikat, hingga engkau shalat shubuh. Kemudian

38
janganlah melakukan shalat sampai matahari terbit maka dia meninggi

seukuran tombak atau dua tombak, sebab ia terbit diantara dua tanduk

setan, dan orang kafir melakukan shalat pada waktu itu, kemudian

shalatlah sekehendakmu, sebab shalat di waktu itu (ketika matahari satu

atau dua tombak) di saksikan dan dicatat amal kebaikannya oleh

malaikat, hingga Tombak seimbang dengan bayangannya (maksudnya:

hingga mendekati waktu Istiwa/Kulminasi). Kemudian (setelah itu)

janganlah kalian melakukan shalat sebab neraka Jahannam sedang

menyala-nyala, dan pintunya di buka. Bila matahari telah tergelincir,

maka shalatlah sekehendakmu, sebab shalat di waktu itu di saksikan

hingga engkau melakukan shalat Ashar. Kemudian janganlah

melakukan shalat hingga matahari tenggelam, sebab ia tenggelam

diantara dua tanduk setan, dan orang kafir melakukan shalat pada

waktu itu. (HR. Abu Daud, Sunan Abu Daud II: 25)

Dari hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya ada tiga

waktu yang diharamkan untuk melaksanakan shalat, yaitu:

1. Setelah waktu shubuh hingga matahari terbit

2. Ketika hampir masuk waktu dzuhur hingga waktu Kulminasi

(puncak tertinggi: seperti matahari mencapai titik kulminasi pukul

12.00).

3. Setelah waktu Ashar hingga matahari tenggelam

39
Tiga waktu yang dilarang itu merupakan hal penting yang harus diketahui

oleh seorang hamba, walaupun para ulama berbeda pendapat tentang shalat

apa yang diharamkan pada waktu itu.

Maka dari urain diatas, dapat disimpulkan bahwasanya shalat dhuha

diapit oleh dua waktu yang diharamkan untuk melaksanakan shalat, oleh

karenanya penulis akan menyampaikan pula beberapa hadits yang

menjelaskan tentang waktu dhuha, dan waktu yang utama untuk

melaksanakan shalat dhuha, diantara hadits tersebut yaitu:

َ ‫ع ْن أَي‬
‫ُّوب‬ َ – َ‫علَيَّة‬
ُ ‫ب َواب ُْن نُ َمي ٍْر قَاالَ َحدَّثَنَا ِإ ْس َما ِعي ُل – َو ُه َو اب ُْن‬
ٍ ‫َو َحدَّثَنَا ُز َهي ُْر ب ُْن َح ْر‬

َ ‫ض َحى فَقَا َل أ َ َما لَقَ ْد‬


‫ع ِل ُموا‬ ُّ ‫صلُّونَ ِمنَ ال‬ َّ ‫ع ِن ْالقَا ِس ِم ال‬
َ ُ‫ش ْي َبانِ ِى أ َ َّن زَ ْيدَ بْنَ أ َ ْرقَ َم َرأَى قَ ْوما ي‬ َ

َّ ‫سو َل‬
‫ِللاِ –صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫ع ِة أ َ ْف‬
ُ ‫ ِإ َّن َر‬.ُ‫ضل‬ َ ‫سا‬
َّ ‫غي ِْر َه ِذ ِه ال‬ َّ ‫أ َ َّن ال‬- :‫قَا َل‬
َ ‫صَلَة َ فِى‬

َ ‫ض ْال ِف‬
‫صا ُل‬ ُ ‫صَلَة ُ اْل َ َّوابِينَ ِحينَ ت َْر َم‬
َ

“Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Ibnu

Numair keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Ismail yaitu

Ibnu ‘Ulayyah dari Ayyub dari Al Qasim Asy Syaibani bahwa Zaid bin

Arqam pernah melihat suatu kaum yang tengah mengerjakan shalat dhuha,

lalu dia berkata; “Tidakkah mereka tahu bahwa shalat diluar waktu ini

lebih utama? sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

“Shalat awwabin (orang yang bertaubat) dikerjakan ketika anak unta mulai

kepanasan.” (HR. Muslim II: 171 no.1780).

40
‫ب َحدَّثَنَا أَبُو‬ ُ ُ‫ِللاِ ب ُْن َج ْعفَ ٍر َحدَّثَنَا يُون‬
ٍ ‫س ب ُْن َح ِبي‬ َ ‫وركَ أ َ ْخبَ َرنَا‬
َّ ُ‫ع ْبد‬ َ ُ‫أ َ ْخبَ َرنَا أَبُو بَ ْك ِر ب ُْن ف‬

َ ‫ع ِن ْالقَا ِس ِم ح َوأ َ ْخبَ َرنَا أَبُو ْال َح‬


‫س ِن‬ ُ ‫ى ب ُْن ُم َح َّم ٍد ْال ُم ْق ِر‬
َ ‫ دَ ُاودَ َحدَّثَنَا ِهشَا ٌم‬: ‫ئ أ َ ْخبَ َرنَا‬ ُّ َ‫عل‬
َ

ُ ‫سلَ ْي َم‬
‫ان ب ُْن‬ ِ َ‫وب ْالق‬
ُ ‫اضى َحدَّثَنَا‬ َ ُ‫ف ب ُْن يَ ْعق‬ َ ‫ْال َح‬
ُ ‫س ُن ب ُْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ِإ ْس َحاقَ َحدَّثَنَا يُو‬
ُ ‫س‬

‫ أَنَّهُ َرأَى نَاسا ُجلُوسا ِإلَى‬: ‫ع ْن زَ ْي ِد ب ِْن أ َ ْرقَ َم‬ َّ ‫ع ِن ْالقَا ِس ِم ال‬
َ ‫ش ْي َبانِ ِى‬ َ ٌ‫ب َحدَّثَنَا َح َّماد‬
ٍ ‫َح ْر‬

ُ ‫صلُّونَ فَقَا َل زَ ْيدُ ب ُْن أ َ ْرقَ َم ِإ َّن َر‬


َّ ‫سو َل‬
ِ‫ِللا‬ َّ ‫س ا ْبتَدَ ُروا ال‬
َ ُ‫س َو ِارى ي‬ ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫طلَ َع‬
َّ ‫ت ال‬ َ ‫اص فَلَ َّما‬
ٍ َ‫ق‬

َ ‫ت ْال ِف‬
‫صا ُل‬ َ ‫صَلَة ُ اْل َ َّوابِينَ ِإذَا َر ِم‬
ِ ‫ض‬ َ : ‫ قَا َل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬-

“(Al-Baihaqi berkata), Telah mengkhabarkan kepada kami, Abu

Bakar bin Fuurak, ia berkata, telah menghabarkan kepada kami Abdullah

bin Ja’far, ia berkata, telah mennceritakan kepada kami Yunus bin Habib,

ia berkata, telah menceritakan kepada kami, Abu Daud ia berkata, telah

menceritakan kepada kami Hisyam dari al-Qasim. Al-Baihaqi berkata, telah

menceritakan juga kepada kami, Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad al-

Muqri ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami al-Hasan bin

Muhammad bin Ishaq ia berkata, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin

Ya’qub al-Qaadiy ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin

Harb ia berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad dari al-Qasim

as-Syaibaniy dari Zaid bin Arqam, bahwa ia melihat orang-orang sedang

duduk kepada seorang pembaca kisah, ketika telah terbit matahari mereka

bersegera melaksanakan shalat. Maka Zaid bin Arqam berkata,

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Shalat

Awwabin itu ketika anak unta menderum karena kepanasan”.

41
‫س ِعي ٍد عن قَت َادةِ عن القاسم الشيباني‬
َ ‫ب عن‬ َ ‫َحدَّث َنَا عبد هللا َحدَّث َني أبي ث َنَا‬
َ ُ‫عبد‬
ِ ‫الوها‬

‫علَى َم ْس ِج ٍد قُبَاء أ َ ْو دَ َخ َل‬


َ ‫ي هللاِ صلى هللا عليه و سلم أ َت َى‬
َّ ‫ ا َن نَ ِب‬: ‫عن زيد بن أ َ ْرقَم‬

َ ‫صلُّ ْونَ فَقَا َل اِ َّن‬


‫ص ََلة َ ْاْل َ َّوا ِب ْينَ َكانُوا‬ َ ُ‫س فإذا ُه ْم ي‬ َّ ‫َم ْس ِجدَ قُبَاء بَعدَ َما أ َ ْش َرقَت ال‬
ُ ‫ش ْم‬

َ ‫ت ْال ِف‬
‫صال‬ َ ‫صلُّ ْونَ َها ِإذَا َر َم‬
ِ ‫ض‬ َ ُ‫ي‬

“(Al-Qathi’iy berkata) Telah menceritakan kepada kami Abdullah ia

berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku ia berkata, telah

menceritakan kepada kami Abdul Wahab dari Said dari Qatadah dari al-

Qasim as-Syaibaniy dari Zaid bin Arqam, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam mendatangi masjid quba, atau masuk ke Masjid Quba, setelah

terbit matahari. Ternyata mereka sedang shalat, maka ia berkata,

sesungguhnya shalat Awwabin adalah ketika anak-anak unta menderum

karena kepanasan.”(HR. Ahmad IV: 374 no. 19366).

2.7 Lafazh Dhuha Dalam Al-Qur`an

Didalam Al-Qur`an terdapat kata-kata yang jumlahnya kurang lebih

77.437 kata, yang setiap semua kata tersebut mempunyai banyak makna

yang dapat diambil bagi para Ahlul Qur`an, namun pada hal ini akan

disebutkan beberapa ayat yang didalamnya terdapat kata dhuha dan

beberapa kata yang bermakna dhuha. Kata-kata atau kalimat dhuha diulang

dalam Al-Qur`an sebanyak tujuh kali, dengan pemakaian kata yang berbeda-

beda dan dalam konteks ayat yang berbeda-beda pula. Ayat-ayat tersebut

ialah:

42
﴾١ :‫ض َحى ﴿الضحى‬
ُّ ‫ َوال‬.‫الر ِح ِيم‬
َّ ‫الرحْ َم ِن‬ َّ ‫ِبس ِْم‬
َّ ِ‫ِللا‬ .1

“Demi waktu matahari sepenggalahan naik. ” (93: 1)

﴾١ :‫ض َحاهَا ﴿الشمس‬ َّ ‫الر ِح ِيم َوال‬


ُ ‫ش ْم ِس َو‬ َّ ‫الرحْ َم ِن‬ َّ ‫ِبس ِْم‬
َّ ِ‫ِللا‬ .2

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. ” (91:1)

ُ ‫ش لَ ْيلَ َها َوأ َ ْخ َر َج‬


﴾٢٩ :‫ض َحاهَا ﴿النازعات‬ َ ‫َوأ َ ْغ‬
َ ‫ط‬ .3

“Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya

terang benderang.” (79: 29)

﴾٤٦ :‫ض َحاهَا ﴿النازعات‬ َ ‫َكأَنَّ ُه ْم يَ ْو َم يَ َر ْونَ َها لَ ْم يَ ْلبَثُوا إِ َّال‬


ُ ‫ع ِشيَّة أ َ ْو‬ .4

“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-

akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau

pagi hari”. (79: 46)

﴾٥٩ :‫ضحى ﴿طه‬ ُ َّ‫الزينَ ِة َوأَن يُحْ ش ََر الن‬


ُ ‫اس‬ ِ ‫قَا َل َم ْو ِعدُ ُك ْم يَ ْو ُم‬ .5

Berkata Musa: "Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di

hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari

sepenggalahan naik". (20: 59)

ْ َ ‫َوأَنَّكَ َال ت َْظ َمأ ُ ِفي َها َو َال ت‬


﴾١١٩ :‫ض َحى ﴿طه‬ .6

“Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan

ditimpa panas matahari di dalamnya". (20: 119)

﴾٩٨ :‫ضحى َو ُه ْم َي ْلعَبُونَ ﴿اْلعراف‬ ُ ْ ‫أ َ َوأ َ ِمنَ أ َ ْه ُل ْالقُ َرى أَن َيأْتِ َي ُهم بَأ‬
ُ ‫سنَا‬ .7

“Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan

siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika

mereka sedang bermain? ” (7: 98)

43
2.8 Tafsir Makna Dhuha

Setiap ayat ataupun kata dalam Al-Qur`an pasti mempunyai makna

yang tersurat maupun tersirat, karena segala apapun yang Allah Subhanahu

Wata’ala firmankan ataupun Allah ciptakan semuanya tidak mengandung

kesia-siaan belaka, pasti ada hikmah yang dapat dijadikan petunjuk ataupun

pengetahuan untuk dirinya. Kata dhuha terdapat di tujuh surat dalam Al-

Qur`an, yang pastinya mempunyai penggunaan katanya yang berbeda-beda,

dan mempunyai tafsir yang berbeda-beda pula. Maka dalam pembahasan ini

penulis ingin mengungkap apa saja makna yang terdapat dalam masing-

masing kata dhuha dalam setiap surat, dengan merujuk kitab-kitab tafsir

para ulama.

ُّ ‫ َوال‬.‫الر ِح ِيم‬
]٩٣:١[ ٰ‫ض َحى‬ َّ ‫الرحْ َم ِن‬ َّ ‫بِس ِْم‬
َّ ِ‫ِللا‬ .‫أ‬
ٰDemi waktu matahari sepenggalahan naik, (QS. Adh-Dhuha [93]: 1)
Allah Subhanahu Wata’ala menggunakan kata dhuha sebagai Qasam

(sumpah), ini menunjukan bahwa waktu dhuha merupakan waktu yang

sangat berperan penting dalam kehidupan. Dhuha yakni waktu matahari,

ketika naik sepenggalahan, ada juga yang mengatakan waktu siang

seluruhnya. Menurut Syekh Muhammad Abduh, sumpah dengan dhuha

(cahaya matahari di waktu pagi) dimaksudkan utnuk menunjukan

pentingnya dan besarnya kadar kenikmatan didalamnya, sekaligus untuk

menarik perhatian kita bahwa yang demikian termasuk tanda-tanda

44
kekuasaan Allah yang Agung. (Muhammad Quraish Shihab dkk, 2007:

1/178)

Dengan diturunkannya surat adh-dhuha bermaksud menggambarkan

kehadiran wahyu Allah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagai

kehadiran cahaya matahari yang sinarnya menyinari, menyegarkan jika

dirasakan, menyenangkan jika dilihat. Sehingga dengan kehadiran wahyu

tersebut dapat menjadi bisikan, hiburan, pelipur lara dan penenang hati dari

terhentinya wahyu untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Terputusnya wahyu tersebut bukan tanpa maksud Allah Subhanahu

Wata’ala melakukannya akan tetapi ada hikmah dibaliknya, bahwasanya

Allah Subhanahu Wata’ala ingin menunjukan Al-Qur`an itu adalah murni,

wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Imam Ar-Razi mengemukakan bahwa 2 ayat awal dalam surat Adh-dhuha

merupakan gambaran waktu yang datang silih berganti antara malam dan

siang (dhuha. Sesekali saat malam bertambah, maka saat siang pun

berkurang, dan kali lain terjadi sebaliknya. Pertambahan itu, bukan karena

kemarahan dan pengurangan itu bukan karena kebencian, tetapi ada

hikmahnya. Maka, demikian pula halnya, dengan risalah dan penurunan

wahyu yang terjadi sesuai kemashlahatan, sesekali diturunkan dan pada kali

lain ditahan. Penurunanya bukan karena kemarahan dan penahanannya

bukan karena kebencian. (Ibid, 2007:1/179).

]٩١:١[ ‫ض َحا َها‬ َّ ‫الر ِح ِيم َوال‬


ُ ‫ش ْم ِس َو‬ َّ ‫الرحْ َم ِن‬ .
َّ ‫ب بِس ِْم‬
َّ ِ‫ِللا‬

45
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. ” (QS. Asy-Syams [91] :1)

Dalam surat Asy-Syams ini Allah Subhanahu Wata’ala banyak

menggunakan pemandangan ataupun fenomena-fenomena di alam semesta

ini sebagai Qasm (sumpah). Dengan adanya sumpah menunjukan bahwa ada

sesuatu hal yang penting untuk dikaji ataupun diperhatikan agar dapat

diambil hikmah pada ayat tersebut. Sebagaimana Allah ta’ala bersumpah

Demi Matahari dan cahayanya di pagi hari. Para Mufassir berbeda

pendapat mengenai makna dhuha pada ayat ini. Mujahid dan Al-Kalbi

mengartikan kata dhuha disitu sebagai ‘sinarmatahari’, Muhammad Abduh

mengartikan sebagai ‘sinar matahari dipagi hari’ sementara itu, Qatadah

yang kemudian diikuti oleh Al-Fara’ dan Ibnu Qutaibah mengartikannya

sebagai ‘siang secara keseluruhan’. Muqotil mengartikannya sebagai

‘panas teriknya matahari’. (Ibid, 2007: 1/177)

Pagi hari merupakan waktu yang paling indah dan paling manis. Di

musim dingin, cahaya mataharinya dapat menghangatkan dan menyegarkan.

Di musim panas, merupakan waktu pancaran sinar matahari yang indah

sebelum terik tengah hari yang menyengat, karena matahari dipagi hari

(dhuha) berada saat yang paling jernih dan paling indah, bahkan cahayanya

sangat berguna bagi makhluk hidup terutama untuk kesehatan.

Demi Matahari dan cahayanya di pagi hari. Kata dhuha menempati

ayat pertama yang Allah jadikan sebagai sumpah, hal ini bukanlah tanpa

maksud Allah Subhanahu Wata’ala menjadikannya sebagai ayat pertama,

akan tetapi kita harus mempunyai perhatian betul terhadap waktu dhuha ini.

46
Hal ini juga menunjukan bahwa disaat waktu dhuha merupakan saat-saat

dimana kita harus berhati-hati dalam beramal sebab pada waktu ini banyak

sekali manusia yang lalai terhadap kehidupan dunia, karenanya Allah

memberikan sarana yaitu shalat dhuha agar kita terus dalam keselamatan

serta lindungan dari-Nya.

]٧٩:٢٩[ ُ ‫ش لَ ْيلَ َها َوأ َ ْخ َر َج‬


‫ض َحا َها‬ َ ‫ َوأ َ ْغ‬.‫ج‬
َ ‫ط‬

“Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan

siangnya terang benderang.” (QS. An-Nazi’at [79]: 29).

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa yang dimaksud kata

Dhuha dalam ayat ini adalah waktu pada siang hari, yang cahayanya terang

benderang dan dengan cahayanya bumi ini dapat terang.

]٧٩:٤٦[ ‫حا َها‬


َٰ ‫ض‬ َ ‫ َكأَنَّ ُه ْم َي ْو َم َي َر ْونَ َها لَ ْم َي ْلبَثُوا ِإ َّال‬.‫د‬
ُ ‫ع ِشيَّة أ َ ْو‬

“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa

seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu

sore atau pagi hari.” (QS. An-Nazi’at [79]: 46).

Ibnu Katsir dalam kitabnya menyebutkan yang dimaksud dengan ayat

ini adalah jika mereka dibangkitkan dari kubur, kemudian mereka menuju

ke Padang Mahsyar, mereka merasakan kehidupan itu sangat sebentar sekali

seakan-akan dalam pandangan mereka, kehidupan itu hanya satu sore saja

atau hanya sepanjang pagi saja. Juwaibir meriwayatkan dari Adh-Dhahak,

dari Ibnu Abbas: yang dimaksud dengan sore hari adalah antara waktu

dzuhur smapai terbenamnya matahari. Sedangkan yang dimaksud dengan

47
waktu dhuha (pagi hari) adalah antara terbitnya matahari sampai

pertengahan siang.

ُ َّ‫الزينَ ِة َوأَن يُحْ ش ََر الن‬


ُٰ ‫اس‬
]٢٠:٥٩[ ‫ض ًحى‬ ِ ‫قَا َل َم ْو ِعدُ ُك ْم يَ ْو ُم‬ .‫ه‬
Berkata Musa: "Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah

di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari

sepenggalahan naik". (QS. Thaaha [20]: 59).

Dhuha dalam ayat ini, sebagaimana disebutkan dalam kitab tafsir Ibnu

Katsir menunjukan bahwa waktu sepenggalahan siang (dhuha) digunakan

agar tampak lebih jelas, nyata dan gamblang. Untuk menggambarkan setiap

keadaan atau urusan para Nabi, dimana setiap urusan mereka tampak begitu

jelas dan nyata, tiada yang tersembunyi. Karenanya digunakan kata Dhuhan,

bukan kata Lailan (malam hari).

Dalam riwayat lain disebutkan ayat ini menceritakan tentang kisah

Nabi Musa as yang melakukan perjanjian dengan Firaun dan para

penyihirnya, mereka bersepakat untuk behadapan dan bertanding dalam

rangka untuk menunjukan kebenaran yang haqiqi pada hari yang diramaikan

(yaumuz zinah) di waktu dhuha. Penentuan waktu dhuha sebagai waktu

untuk bertanding, karena pada saat itu merupakan waktu yang paling

memungkinkan orang banyak berkumpul. Sehingga mereka bisa melihat

siapakah yang paling benar diantara keduanya, Nabi Musa as dengan

ajarannya yang beliau bawa ataukah firaun dengan para pengikutnya yang

tidak mau mempercayai ajaran yang Nabi Musa bawa.

48
ْ َ ‫و َوأَنَّكَ َال ت َْظ َمأ ُ فِي َها َو ََلٰت‬
]٢٠:١١٩[ ٰ‫ض َحى‬ .
“Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan

ditimpa panas matahari di dalamnya". (QS. Thaaha [20]: 119).

Kata Dhuha dalam ayat ini berbentuk Fiil Nafyi yaitu Laa Tadhhaa

artinya adalah kamu tidak tertimpa panas matahari. Dalam ayat ini yang

dimaksud dengan dahaga adalah panas bathin, sedangkan panas matahari

dimaksudkan sebagai panas lahir, karena dahaga dan panas merupakan dua

hal yang saling berdampingan.

]٧:٩٨[ َ‫ض ًحى َو ُه ْم يَ ْل َعبُون‬


ُ ‫سنَا‬ .
ُ ْ ‫ز أ َ َوأ َ ِمنَ أ َ ْه ُل ْالقُ َرى أَن يَأْتِيَ ُهم بَأ‬

“Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan

siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik

ketika mereka sedang bermain?” (QS. Al-‘Araf [7]: 98).

Dalam ayat ini kata dhuha dijadikan sebagai waktu ancaman

datangnya siksaan atau azab Allah Subhanahu Wata’ala kepada suatu kaum

atau penduduk suatu negeri. Kata dhuha dalam ayat ini pula diasosiasikan

dengan saat mereka sedang bermain, dalam hal ini terdapat hubungan juga

antara kata dhuha dengan Yal’ab (bermain). Saat waktu dhuha merupakan

waktu kebanyakan manusia pada umumnya tengah sibuk bermain-main

dengan kehidupan dunia, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:

“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sendau gurau” (QS.

Al-An`am[6]:32).

49
Dalam ayat ini seakan-akan Allah Subhanahu Wata’ala ingin

menggambarkan bahwa pada waktu dhuha ini banyak manusia yang lalai

dari dzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga orang-orang yang

banyak lalai dan terlena dengan kehidupan dunia, mereka akan mendapatkan

siksaan dan azab dari Allah Subhanahu Wata’ala. Maka pada waktu dhuha

ini Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kita fasilitas untuk banyak-

banyak berdzikir, beribadah kepada-Nya, yaitu dengan melaksanakan shalat

dhuha.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Waktu Shalat Dhuha Menurut Fuqoha

50
Sebagaimana telah disampaikan di bab dua beberapa hadits yang

menjelaskan tentang waktu dhuha. Dalam menentukan hukum ataupun

berijtihad para ulama fiqih khususnya para imam madzhab, tentunya tidak

akan terlepas dari hadits-hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, karena

pada dasarnya segala hukum itu harus berlandaskan Al-Qur`an dan hadits

Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Karenanya penulis akan menyebutkan

pendapat-pendapat para ulama madzhab mengenai waktu dhuha dan waktu

shalat dhuha yang utamanya.

1. Madzhab Hanafiyyah (Imam Hanafi)

Walaupun Imam Hanafi tidak mengarang kitab fiqih, akan tetapi

banyak para ulama yang mengarang kitab fiqih, yang dihasilkan dari fatwa-

fatwa atau pendapat-pendapat Imam Hanafi. karenanya penulis tidak

menemukan secara langsung pendapat Imam Hanafi mengenai batasan

waktu shalat dhuha ini, akan tetapi penulis akan memberikan pendapat-

pendapat para ulama fiqih dari madzhab Hanafi.

Menurut para ulama Hanafiyyah seperti Mahmud Al-Bukhori Ibnu

Mazah dalam kitabnya Al-Muhith Al-Burhaaniy, Imam As-Sarkhasiy

(Syamsuddin) dalam kitabnya Al-Mabsuth, juga Al-imam Al-Marghinaniy

dalam kitabnya Al-Bidaayah mereka berpendapat bahwasanya mulainya

waktu shalat dhuha itu setelah matahari mulai meninggi atau setelah

berlalunya waktu yang dilarang untuk shalat, dan waktu yang Afdhol

(utama) adalah ketika matahari mulai memanas yang ditandai dengan anak

51
unt a yang beranjak dari tempat ia berbaring akibat panas matahari yang

mulai menyengat. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al-

Qasim Asy-Syaibani. Bahwasanya Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘Anhu

melihat orang-orang sedang shalat Dhuha, maka ia berkata: Ketahuilah,

orang-orang itu sungguh mengetahui bahwa shalat (dhuha) di selain waktu

ini lebih utama. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

َ ‫ض ْال ِف‬
‫صا ُل‬ ُ ‫صَلَة ُ ْاْل َ َّوا ِبيْنَ ِحيْنَ ت َْر َم‬
َ

“Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya

kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743).

Adapun batas waktu terakhir untuk melaksanakan shalat dhuha adalah

ketika masuknya waktu larangan shalat yaitu saat matahari sudah berada

diposisi tengah atau menjelang waktu zawal. (Mahmud Al-Bukhori Ibnu

Mazah, 2004: 3/354).

2. Madzhab Malikiyyah (Imam Malik)

Penulis tidak mendapatkan riwayat yang menyebutkan bahwa Imam

Malik pernah membahas tentang batasan waktu shalat dhuha, akan tetapi

penulis akan menyampaikan pendapat-pendapat para ulama Malikiyyah

yang membahas tentang batasan waktu shalat dhuha. Diantara ulama

tersebut adalah Zainuddin Al-Maliybari dengan kitab fiqihnya Irsyaadul

Ubbaad `ilaa Sabiilir Rasyaad, Abu Al-Husain At-Taswiliy dengan kitab

fiqihnya Al-Bahjah.

52
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa waktu dhuha itu dimulai ketika

matahari sudah mulai meninggi dari tempat terbitnya. sedangkan waktu

yang utama untuk melaksanakan shalat dhuha, para ulama Malikiyyah

sepakat dengan ulama-ulama yang lainnya bahwa waktu yang Afdhol adalah

saat matahari panasnya mulai menyengat dengan ditandai anak unta yang

beranjak dari tempat ia berbaring akibat dari panasnya matahari yang mulai

menyengat. Hal ini sebagaimana dalam hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi

Wasallam yang para ulama pun menggunakan hadits ini sebagai rujukan

fatwanya mengenai waktu yang Afdhol untuk melaksanakan shalat dhuha,

hadits yang diriwayatkan oleh Al-Qasim Asy-Syaibani. (Abu Al-Husain At-

Taswiliy, 1998: 2/ 267).

Sedangkan waktu akhir shalat dhuha adalah saat menjelang zawal,

yang ditandai dengan posisi matahari yang berada tepat ditengah.

3. Madzhab Syafi’iyyah (Imam Syafi’i)

Ulama-ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat mengenai dimulainya

waktu Dhuha, seperti halnya pendapat Imam Nawawi dalam kitabnya Ar-

Raudhah meriwayatkan bahwa sebagian dari ulama syafi’iyyah berpendapat

mulainya waktu dhuha itu ketika matahari telah terbit, akan tetapi mereka

menganjurkannya untuk menundanya hingga matahari sudah setinggi satu

tombak. Sedangkan menurut Ar-Rafi’I dan Ibnu Ar-Rif’ah mulainya waktu

dhuha itu saat matahari sudah meninggi. (Muhammad bin Ali bin

Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar: 2/ 329). Pendapat Imam Nawawi

53
yang mengatakan bahwa waktu dhuha itu dimulai ketika terbitnya matahari

sangat bertentangan dengan pendapat ulama-ulama lainnya bahkan dengan

hadits yang mengatakan bahwa waktu ketika terbitnya matahari hingga

beberapa menit setelahnya merupakan waktu yang diharamkan untuk

melaksanakan shalat. Walaupun beliau mengatakan bahwa dianjurkan untuk

menundanya terlebih dahulu, akan tetapi menurutnya jika seseorang

mengerjakan shalat dhuha ketika terbitnya matahari, maka shalatnya tetap

sah (jika seorang berpendapat dengan fatwanya Imam Nawawi). Adapun

penulis lebih condong kepada pendapat Jumhur Ulama (mayoritas ulama)

yang mengatakan bahwa waktu dhuha itu dimulai setelah beberapa menit

(15 atau 20 menit) setelah terbitnya matahari.

Sedangkan waktu shalat dhuha yang paling utama adalah ketika

matahari sudah mulai panas yakni ketika dekat dengan waktu berakhirnya

dhuha. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang banyak dijadikan rujukan

pula oleh para ulama yang lain, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Qasim

Asy-Syaibani. Bahwasanya Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘Anhu melihat

orang-orang sedang shalat dhuha, maka ia berkata: Ketahuilah, orang-orang

itu sungguh mengetahui bahwa shalat (dhuha) di selain waktu ini lebih

utama. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

َ ‫ض ْال ِف‬
‫صا ُل‬ ُ ‫صَلَة ُ ْاْل َ َّوابِيْنَ ِحيْنَ ت َْر َم‬
َ

“Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya

kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743).

54
Al-Imam An-Nawawi dan Imam Ash-Shan’ani menjelaskan bahwa,

‘Ar-Ramdha’ adalah hawa panas dari pasir atau tanah yang terbakar panas

matahari. Dan hal itu terjadi ketika matahari sudah meninggi. Shalat

awwabin adalah yang yang dikerjakan ketika kaki-kaki anak-anak unta

merasa sangat kepanasan karena menapak/menginjak pasir yang sangat

panas. Sedangkan awwab artinya orang yang taat. Ada pula yang

mengatakan awwab artinya orang yang kembali dengan melakukan

ketaatan. Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia

merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat Dhuha,

walaupun shalat dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari

hingga menjelang zawal.” (Yahya bin Syarf An-Nawawi 1433 H: 6/273).

Setelah mengetahui dimulainya waktu dhuha dan waktu yang utama

untuk melaksanakan shalat dhuha, maka akan diketahui akhir dari waktu

dhuha. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi bahwa akhir

dari waktu dhuha adalah ketika masuknya waktu zawal, yaitu waktu

menjelang dzuhur yang ditandai dengan posisi matahari sudah di tengah

persis diatas kepala sehingga posisi bayangan tepat lurus dengan bendanya,

tidak condong ke barat maupun ke timur.

4. Madzhab Hanbaliyyah (Imam Ahmad bin Hanbal)

Sebagaimana Imam Hanafi, penulis tidak mendapatkan kitab fiqih

karya Imam Ahmad bahkan riwayat yang menyebutkan bahwa Imam

Ahmad pernah membahas tentang batasan waktu shalat dhuha. Walaupun

55
seperti itu, penulis akan menyampaikan beberapa kitab fiqih para ulama

Hanbaliyyah, diantaranya ialah Ibnu Qudamah dengan salah satu kitab

fiqihnya Al-Kaafi, juga ‘Alauddin Al-Mardawi dengan kitab fiqihnya Al-

Anshof.

Dari kitab tersebut terdapat pendapat-pendapat para ulama seperti

Ibnu Qudamah dan ‘Alaudin Al-Mardawi, mereka bersepakat bahwasanya

waktu shalat dhuha itu dimulai setelah berlalunya waktu larangan shalat

yakni saat posisi matahari mulai meninggi dari terbitnya. Sebagaimana

ulama lainnya berpendapat bahwa waktu yang utama untuk melaksanakan

shalat dhuha adalah saat panas matahari mulai menyengat yang ditandai

dengan anak unta yang beranjak dari tempat pembaringannya akibat panas

matahari yang menyengat. Hal ini sebagaimana juga dalam hadits yang

diriwayatkan oleh Al-Qasim Asy-Syaibani. Bahwasanya Zaid bin Arqam

Radhiyallahu ‘Anhu melihat orang-orang sedang shalat Dhuha, maka ia

berkata: Ketahuilah, orang-orang itu sungguh mengetahui bahwa shalat

(dhuha) di selain waktu ini lebih utama. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi

Wasallam bersabda:

َ ‫ض ْال ِف‬
‫صا ُل‬ ُ ‫صَلَة ُ ْاْل َ َّوا ِبيْنَ ِحيْنَ ت َْر َم‬
َ

“Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya

kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743).

56
Sedangkan waktu akhir shalat dhuha adalah saat matahari berada pada

tepat ditengah atau menjelang zawal yang dimana pada saat itu telah masuk

larangan untuk shalat.

Dari penjelasan para ulama fiqih dengan madzhabnya masing-masing,

mayoritas mereka berpendapat bahwa waktu dhuha itu dimulai setelah

beberapa menit atau posisi matahari meninggi dari tempat terbitnya.

Sedangkan waktu yang utama untuk melaksanakan shalat dhuha adalah saat

panas matahari yang mulai menyengat sehingga membuat anak unta

beranjak dari tempat pembaringannya (tarmaadhul fishaal). Adapun

mengenai batas akhir waktu dhuha para ulama fiqih pun bersepakat, waktu

akhir dhuha saat masuknya waktu larangan shalat yang ditandai dengan

posisi matahari yang berada ditengah atau menjellang zawal.

3.2 Waktu Shalat Dhuha Menurut Mufassir

Pembahasan waktu shalat dhuha dalam kitab tafsir para ulama

terdapat dalam (QS. Shaad [38]: 18). Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

ِ ْ ‫سبِحْ نَ بِ ْالعَشِي ِ َو‬


ِ ‫اإل ْش َرا‬
‫ق‬ َ ُ‫س َّخ ْرنَا ْال ِجبَا َل َمعَهُ ي‬
َ ‫إِنَّا‬

“Sesungguhnya kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih

bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi,”

Dari ayat tersebut para ulama banyak mengutip penjeleasan tentang

waktu shalat dhuha, yang kemudian dijadikan sebgai karya tafsirnya,

diantara para Mufassir yang memberikan penjelasannya ialah:

57
1. Imam Ibnu Katsir

Dalam kitab tafsir Al-Qur`anil Adzim Imam Ibnu Katsir berkata:

‫ إنه تعالى سخر الجبال تسبح معه عند إشراق الشمس وآخر النهار‬:‫أي‬

“yaitu bahwasanya Allah Ta’ala menundukan gunung-gunung untuk

bertasbih bersamanya ketika terbit matahari dan diakhir siang”.(Ibnu Katsir,

1999:7/58).

ِ ‫ ْال َعشِي ِ َواإل ْش َرا‬dengan terbit


Dalam ayat ini beliau mengartikan kata ‫ق‬

matahari dan akhir siang. Menunjukan bahwa yang dimaksud Al-Isyroq itu

adalah ketika terbitnya matahari. Sedangkan shalat Isyraq menurut para

ulama adalah shalat dhuha juga yang dikerjakan diawal waktu dhuha. Dapat

disimpulkan bahwa menurut Imam Ibnu Katsir sendiri berpendapat bahwa

waktu dhuha itu dimulai ketika terbitnya matahari.

2. Menurut Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu

Dalam tafsir Ath-Thobari dan tafsir Al-Qur`an Al-‘Adzim, ada suatu

riwayat yang menyebutkan bahwa ketika itu Ibnu Abbas ra belum

melaksanakan bahkan beliau tidak mengetahui adanya shalat Isyraq atau

Dhuha, karena menurutnya tidak adanya dalil yang menyebutkan.

58
‫قال ابن جرير‪ :‬حدثنا أبو ُك َريْب حدثنا محمد بن بشر عن ِم ْسعَر عن عبد الكريم‬

‫عن موسى بن أبي كثير عن ابن عباس أنه بلغه‪ :‬أن أم هانئ ذكرت أن رسول هللا صلى‬

‫هللا عليه وسلم يوم فتح مكة صلى الضحى ثمان ركعات‪ ،‬قال ابن عباس‪ :‬قد ظننت أن لهذه‬

‫س ِبحْ نَ ِب ْالعَشِي ِ َواإل ْش َرا ِ‬


‫ق}‬ ‫الساعة صَلة يقول هللا تعالى‪ { :‬يُ َ‬

‫ثم رواه من حديث سعيد بن أبي عروبة‪ ،‬عن أبي المتوكل عن أيوب بن صفوان‬

‫عن مواله عبد هللا بن الحارث بن نوفل أن ابن عباس كان ال يصلي الضحى قال‪ :‬فأدخلته‬

‫على أم هانئ فقلت‪ :‬أخبري هذا ما أخبرتني به‪ .‬فقالت أم هانئ‪ :‬دخل علي رسول هللا‬

‫صلى هللا عليه وسلم يوم الفتح في بيتي ثم أمر بماء صب في قصعة ثم أمر بثوب فأخذ‬

‫بيني وبينه فاغتسل ثم رش ناحية البيت فصلى ثمان ركعات‪ ،‬وذلك من الضحى قيامهن‬

‫وركوعهن وسجودهن وجلوسهن سواء قريب بعضهن من بعض فخرج ابن عباس وهو‬

‫س ِبحْ نَ ِب ْالعَ ِشي ِ‬


‫يقول‪ :‬لقد قرأت ما بين اللوحين ما عرفت صَلة الضحى إال اْلن‪ { :‬يُ َ‬

‫َواإل ْش َرا ِ‬
‫ق } وكنت أقول‪ :‬أين صَلة اإلشراق وكان بعد يقول‪ :‬صَلة اإلشراق‪.‬‬

‫‪“Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah samapai berita kepada Ibnu‬‬

‫‪Abbas ra, Ummu Hani menceritakan, pada saat Fath (pembebasan) Makkah,‬‬

‫‪rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan shalat dhuha 8 rakaat.‬‬

‫‪lalu Ibnu Abbas ra berkata: “aku mengira bahwa pada saat ini ada waktu‬‬

‫‪shalat, Allah Ta’ala berfirman: “untuk bertasbih bersamanya di waktu‬‬

‫‪petang dan pagi .” (Abu Ja’far Ath-Thobariy, 2000:21/168-169).‬‬

‫‪“Kemudian dia meriwayatkan hadits dari Said bin Abi ‘Arubah, dari‬‬

‫‪Abu Mutawakkil, dari Ayyub bin Shafwan, dari maulanya ‘Abdullah bin‬‬

‫‪59‬‬
Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas ra tidak melakukan shalat dhuha,

dia berkata: “Aku membawanya masuk menemui Ummu Hani`, lalu aku

berkata: `Beritahukanlah orang ini apa yang telah engkau kabarkan kepada

ku`. Dia berkata: `pada Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam masuk menemuiku di rumahku, kemudian beliau memerintahkan

agar mengambil air yang dituangkan di sebuah bejana, kemudian beliau

meminta sehelai kain untuk menghalangi antara aku dengannya, lalu beliau

mandi, kemudian beliau membersihkan bagian sudut rumah, lalu beliau

shalat delapan rakaat, dan itu termasuk shalat dhuha yaitu berdiri, ruku`,

sujud, dan duduknya hampir sama.” Lalu Ibnu Abbas ra keluar sambil

berkata: “aku telah membaca ayat-ayat yang berada diantara dua lauh, aku

tidak mengenal shalat dhuha kecuali sekarang ini. “untuk bertasbih berama

dia di waktu petang dan pagi”. Dahulu aku mengatakan: “mana dalil shalat

Isyraq?”. Lalu sekarang dia berpendapat adanya shalat Isyraq.” (Ibnu Katsir,

1999:7/58).

Dalam hal ini Ibnu Abbas berpendapat bahwa shalat Isyraq itu

dikerjakan ketika waktu terbitnya matahari (Isyraq), akan tetapi dari hadits

diatas waktu shalat Isyraq atau dhuha itu setelah beberapa menit terbitnya

matahari, karena ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mandi

terlebih dahulu. Karenanya dari hadits yang disampaikan oleh Ibnu Abbas ra

itu, beliau berpendapat bahwasanya waktu dhuha itu setelah beberapa menit

terbitnya matahari. Karena diyakini bahwa waktu terbitnya matahari dan

beberapa menit setelahnya merupakan waktu yang diharamkan untuk shalat.

60
3. Tafsir Jalalain

Dalam tafsir jalalain yang dikarang oleh dua orang Mufassir yaitu

Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahaliy dan Jalaluddin Abdurrahman

bin Abi Bakr As-Suyuthi. Didalam penjelasan mereka berdua mengenai ayat

ini, beliau menyebutkan:

َ ‫ص ََلة ْال ِعشَاء‬


ِ ْ ‫{و‬
}‫اإل ْش َراق‬ َ ‫يح ِه {بِ ْالعَشِيِ} َو ْقت‬ َ ُ‫س َّخ ْرنَا ْال ِجبَال َمعَهُ ي‬
ِ ِ‫سبِحْ نَ } بِت َ ْسب‬ َ ‫{إنَّا‬

َّ ‫ض َحى َو ُه َو أ َ ْن ت ُ ْش ِرق ال‬


َ ‫ش ْمس َويَتَنَاهَى‬
‫ض ْو ُءهَا‬ َ ‫َو ْقت‬
ُّ ‫ص ََلة ال‬

“(Sesungguhnya Kami menundukan gunung-gunung untuk bertasbih

bersama dia di waktu petang) di waktu shalat isya (dan pagi) di waktu shalat

dhuha, yaitu di waktu matahari mencapai sepenggalah.” (Tafsir Jalalain,

QS. Shaad:18).

Dari penjelasan beliau mengenai ayat tersebut, beliau menjelaskan

ِ ْ adalah diwaktu shalat dhuha, yang


ْ ‫اإل‬
bahwa yang dimaksud dengan ‫ش َراق‬

mana waktu shalat dhuha menurut beliau adalah ketika matahari mencapai

sepenggalah, yakni ketika beberapa menit setelah matahari terbit.

3.3 Waktu Shalat Dhuha Menurut Ulama Kontemporer

Ada beberapa ulama kontemporer yang membahas tentang batasan

waktu shalat dhuha (mulainya dan akhirnya), diantara ulama tersebut ialah,

sebagai berikut.

1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

61
Dalam fatwanya yang membahas tentang shalat isyraq sama atau

berbeda dengan shalat dhuha,

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: “Shalat

Isyraq adalah shalat yang dikerjakan sesudah matahari meninggi satu

tombak. Ukuran jam, sekitar seperempat jam (15 menit) setelah terbit

matahari. Inilah yang disebut shalat Isyraq, ia itu Shalat dhuha juga.

Karena shalat dhuha itu sejak matahari meninggi satu tombak sampai

menjelang zawal. Shalat dhuha dikerjakan di akhir waktunya itu lebih

utama daripada di awalnya. Ringkasnya, dua rakaat dhuha adalah dua

rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni

setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan

shalat dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut

Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq.”(Syaikh Muhammad bin Shalih

al-Utsaimin, Asy-Syarhul Mumti’: 4/88)

Dari fatwa Syaikh Utsaimin dapat disimpulkan bahwa waktu dhuha

itu ketika matahari sudah meninggi seukuran satu tombak hingga menjelang

zawal. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa

ukuran satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan

ukurannya sekitar satu meter atau ukuran jam, sekitar seperempat jam (15

menit) setelah terbitnya matahari. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa

waktu dhuha dimulai dari berakhirnya waktu larangan shalat di awal pagi

sampai datangnya waktu larangan shalat di tengah siang (tengah hari) atau

62
menjelang waktu zawal. Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena

adanya hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tentang Shalat Awwabin.

Dalam penjelasannya juga mengenai akhir waktu shalat dhuha yaitu

saat matahari akan tergelincir ke barat. Beliau berkata: “Sekitar 10 atau 5

menit sebelum waktu zawal (matahari tergelincir kebarat).” (Syaikh

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 1425 H/289).

2. Syaikh Ibnu bazz

Dalam fatwa yang sama mengenai shalat isyraq sama atau berbeda

dengan shalat dhuha, beliau juga menjelaskan tentang batasan waktu shalat

dhuha.

Syaikh Ibnu Bazz mengatakan “Ya, Shalat Isyraq adalah shalat dhuha.

Waktu dimulainya adalah shalat Isyraq dan waktu akhirnya menjelang

matahari dipertengahan, (shalat) di antara terbitnya matahari yang

meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat

dhuha. Yang paling utama, shalat dhuha dikerjakan saat anak onta

kepanasan, yakni saat matahari sudah menyengat, inilah yang paling

utama. Apabila mengerjakannya di awal waktu, saat matahari

meninggi satu tombak di masjid atau di rumah, keduanya adalah

baik.” (voa-islam.com/ 15 September 2017)

63
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz mengenai hal ini adalah bahwasanya shalat

yang dikerjakan saat terbitnya matahari setinggi satu tombak itu dinamakan

shalat Isyraq, akan tetapi beliau menjelaskan juga bahwa dari terbitnya

matahari setinggi satu tombak hingga menjelang matahari berada

dipertengahan itu semuanya adalah waktu dhuha. Adapun shalat isyraq

dikerjakannya ketika awal dimulainya waktu dhuha.

3. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Al-Rajihi

Dalam fatwanya yang juga sama membahas tentang shalat isyraq

sama atau berbeda dengan shalat dhuha,beliau juga member penjelasan

mengenai batasan waktu shalat dhuha.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Al-Rajihi mengatakan “Shalat

Isyraq itu adalah Shalat dhuha. Penafsirannya dengan isyraq adalah

dikerjakan setelah terbitnya matahari. (Waktu) Shalat Dhuha dimulai

sejak naiknya matahari setinggi satu tombak, sekitar 15 atau 20 menit

setelah terbit matahari sampai menjelang zuhur. Semua ini waktu

shalat dhuha. Tetapi paling utamanya, saat anak onta sudah kepanasan

(panas matahari sudah menyengat), itulah shalat awwabin

sebagaimana yang diterangkan dalam hadits lain,

64
َ ‫ض ْال ِف‬
‫صا ُل‬ ُ ‫ص ََلة ُ ْاْل َ َّوابِينَ ِحينَ ت َْر َم‬
َ

“Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR.

Muslim, Ahmad, dan Ad-Darimi) Tarmadhu, maknanya: (anak onta)

berdiri karena kepanasan. Ini terjadi kira-kira pukul 10 dan sekitarnya.

Inilah yang paling utama. Saat terasa panasnya siang, maka inilah

(waktunya_red) yang paling utama. Ringkasnya, shalat dhuha dimulai

sejak naiknya matahari setinggi satu tombak sampai menjelang

dzuhur. Jika ia duduk di masjid sampai matahari terbit dan meninggi

lalu shalat dua rakaat, maka ini adalah shalat dhuha, itulah shalat

isyraq. Sebagian orang menamakannya shalat isyraq, ia itu adalah

shalat dhuha” (voa-islam.com/ 15 September 2017).

Dari fatwa beliau dapat diambil kesimpulan bahwasanya waktu shlat

dhuha itu dimulai ketika matahari telah terbit setinggi satu tombak, beliau

menjelaskan bahwa satu tombak itu sekitar 15 atau 20 menit. Dan waktu

akhirnya menurut beliau adalah hingga menjelang dzuhur. Adapun untuk

shalat Isyraqnya beliau berpendapat bahwa shalat tersebut termasuk bagian

dari shalat dhuha juga, yang dikerjakan diawal waktu dhuha.

1. Dewan Hisbah Persatuan Islam

Dewan Hisbah Persatuan Islam Pada Sidang Terbatas di Pesantren

Persis 34 Cibegol, Kabupaten Bandung tanggal 23 Jumadil `Ula 1437 H/ 3

Maret 2016 M. Yang dihadiri oleh Ketua Umum PP.Persis KH. Aceng

65
Zakaria, yang juga beliau menyarankan agar segera diputuskan masalah

hukum tentang ‘Awal dan akhir waktu dhuha’ dan untuk segera

disosialisasikan, sidang ini diarahkan langsung oleh Ketua Dewan Hisbah

KH.Muhammad Romli.

Dalam sidang tersebut, mereka menimbang hasil keputusan dari

permasalahan ini dengan ayat Al-Qur’an juga hadits Nabi Shollallahu

‘Alaihi Wasallam.

1. Firman Allah Subhanahu Wata’ala :

‫َت َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِكت َابا َم ْوقُوتا‬


ْ ‫ص ََلة َ كَان‬
َّ ‫ِإ َّن ال‬

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya

atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa [4] : 103)

‫ق اللَّ ْي ِل َوقُ ْرآنَ ْالفَجْ ِر إِ َّن قُ ْرآنَ ْالفَجْ ِر َكانَ َم ْش ُهودا‬ َ ‫ش ْم ِس إِلَى َغ‬
ِ ‫س‬ ِ ُ‫ص ََلة َ ِلدُل‬
َّ ‫وك ال‬ َّ ‫أقِ ِم ال‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap

malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu

disaksikan (oleh malaikat) (QS. Al-Isra[17] : 78).

2. Hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:

،‫ف اللَّ ْي ِل ْاْل ِخ ُر‬


ُ ‫ « َج ْو‬:َ‫ي اللَّ ْي ِل أَ ْس َم ُع؟ قَال‬
ُّ َ ‫ أ‬،ِ‫ِللا‬ ُ ‫ يَا َر‬: ُ‫ قُ ْلت‬:َ‫ أَنَّهُ قَال‬،ِ‫سلَ ِمي‬
َّ ‫سو َل‬ ُّ ‫سةَ ال‬
َ َ‫َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن َعب‬

،‫س‬ َّ ‫ص ْر َحتَّى ت َْطلُ َع ال‬


ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫ ث ُ َّم أ َ ْق‬،‫ص ْب َح‬
ُّ ‫ي ال‬ َ ُ ‫ َحتَّى ت‬،ٌ‫ص ََلة َ َم ْش ُهودَة ٌ َم ْكتُوبَة‬
َ ‫ص ِل‬ َّ ‫ فَإ ِ َّن ال‬، َ‫ص ِل َما ِشئْت‬
َ َ‫ف‬

66
، َ‫ص ِل َما ِشئْت‬ ُ َّ‫ص ِلي لَ َها ْال ُكف‬
َ ‫ ث ُ َّم‬،‫ار‬ َ ُ‫ َوي‬،‫ان‬
ٍ ‫ط‬ َ ‫ فَإ ِ َّن َها ت َْطلُ ُع بَيْنَ قَ ْرنَ ْي‬،‫ أ َ ْو ُر ْم َحي ِْن‬،ٍ‫يس ُر ْمح‬
َ ‫ش ْي‬ َ ِ‫فَت َْرت َ ِف َع ق‬

‫ فَإِذَا‬،‫ َوت ُ ْفت َ ُح أَب َْوابُ َها‬،‫ فَإِ َّن َج َهنَّ َم ت ُ ْس َج ُر‬،‫ص ْر‬ ُّ ‫ َحتَّى َي ْع ِد َل‬،ٌ‫ص ََلة َ َم ْش ُهودَة ٌ َم ْكتُو َبة‬
ِ ‫ ث ُ َّم أ َ ْق‬، ُ‫الر ْم ُح ِظلَّه‬ َّ ‫فَإ ِ َّن ال‬

َ ‫ َحتَّى ت َ ْغ ُر‬،‫ص ْر‬


‫ب‬ ْ ‫ي ْال َع‬
ِ ‫ ث ُ َّم أَ ْق‬،‫ص َر‬ َ ‫ص ِل‬ َّ ‫ فَإ ِ َّن ال‬، َ‫ص ِل َما ِشئْت‬
َ ُ ‫ َحتَّى ت‬،ٌ‫ص ََلة َ َم ْش ُهودَة‬ َ َ‫ ف‬،‫س‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫زَ ا َغ‬

ُ َّ‫ص ِلي لَ َها ْال ُكف‬


‫ار‬ َ ُ‫ َوي‬،‫ان‬
ٍ ‫ط‬َ ‫ فَإِنَّ َها ت َ ْغ ُربُ َبيْنَ قَ ْرنَ ْي َش ْي‬،‫س‬ َّ ‫»ال‬.
ُ ‫ش ْم‬

“Dari Amer bin ‘Abasah as-Sulamiy, ia berkata, aku bertanya kepada

Rasululah Saw: “wahai Rasulullah, bagian malam yang manakah yang

paling dekat kepada di ijabahnya do’a?” Beliau menjawab: “sepertiga

malam akhir”, shalatlah sekehendakmu, sebab shalat di waktu itu di

saksikan dan dicatat amal kebaikannya oleh malaikat, hingga engkau shalat

shubuh. Kemudian janganlah melakukan shalat sampai matahari terbit

maka dia meninggi seukuran tombak atau dua tombak, sebab ia terbit

diantara dua tanduk setan, dan orang kafir melakukan shalat pada waktu

itu, kemudian shalatlah sekehendakmu, sebab shalat di waktu itu (ketika

matahari satu atau dua tombak) di saksikan dan dicatat amal kebaikannya

oleh malaikat, hingga Tombak seimbang dengan bayangannya (maksudnya:

hingga mendekati waktu Istiwa/Kulminasi). Kemudian (setelah

itu)janganlah kalian melakukan shalat sebab neraka Jahannam sedang

menyala-nyala, dan pintunya di buka. Bila matahari tela tergelincir, maka

shalatlah sekehendakmu, sebab shalat di waktu itu di saksikan hingga

engkau melakukan shalat Ashar. Kemudian janganlah melakukan shalat

hingga matahari tenggelam, sebab ia tenggelam diantara dua tanduk setan,

dan orang kafir melakukan shalat pada waktu itu.” [HR. Abu Daud, Sunan

Abu Daud II: 25]

67
‫ُّوب َع ِن ْالقَا ِس ِم‬
َ ‫ع ْن أَي‬
َ – َ‫علَيَّة‬
ُ ُ‫ب َوا ْبنُ نُ َمي ٍْر قَاالَ َحدَّثَنَا إِ ْس َما ِعي ُل – َوه َُو ا ْبن‬
ٍ ‫َو َحدَّثَنَا ُز َهي ُْر ْبنُ َح ْر‬

َّ ‫ض َحى فَقَا َل أ َ َما لَقَدْ َع ِل ُموا أ َ َّن ال‬


‫صَلَةَ ِفى َغي ِْر َه ِذ ِه‬ ُّ ‫ص ُّلونَ ِمنَ ال‬
َ ُ‫ش ْي َبا ِن ِى أ َ َّن زَ ْيدَ بْنَ أ َ ْرقَ َم َرأَى قَ ْوما ي‬
َّ ‫ال‬

ُ ‫ ِإ َّن َر‬.ُ‫ضل‬
َّ ‫سو َل‬
‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫ِللا‬ َ ‫ض ْال ِف‬
َ ‫السَّا َع ِة أ َ ْف‬- ‫صا ُل‬ ُ ‫صَلَة ُ اْل َ َّوا ِبينَ ِحينَ ت َْر َم‬
َ « ‫» قَا َل‬.

“Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Ibnu

Numair keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Ismail yaitu

Ibnu ‘Ulayyah dari Ayyub dari Al Qasim Asy Syaibani bahwa Zaid bin

Arqam pernah melihat suatu kaum yang tengah mengerjakan shalat Dhuha,

lalu dia berkata; “Tidakkah mereka tahu bahwa shalat diluar waktu ini

lebih utama? sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Shalat awwabin (orang yang bertaubat) dikerjakan ketika anak unta mulai

kepanasan.” [HR. Muslim II: 171 no.1780].

‫ب َحدَّثَنَا أَبُو دَ ُاودَ َحدَّثَنَا ِهشَا ٌم‬ َّ ُ ‫وركَ أ َ ْخ َب َرنَا َع ْبد‬


ُ ُ‫ِللاِ ْبنُ َج ْعفَ ٍر َحدَّثَنَا يُون‬
ٍ ‫س ْبنُ َح ِبي‬ َ ُ‫أ َ ْخ َب َرنَا أَبُو َب ْك ِر ْبنُ ف‬

َ ‫ َع ِن ْالقَا ِس ِم ح َوأ َ ْخ َب َرنَا أَبُو ْال َح‬: ‫سنُ ْبنُ ُم َح َّم ِد ب ِْن ِإ ْس َحاقَ َحدَّثَنَا‬
‫س ِن‬ َ ‫ئ أ َ ْخ َب َرنَا ْال َح‬
ُ ‫ى ْبنُ ُم َح َّم ٍد ْال ُم ْق ِر‬
ُّ َ‫َعل‬

َّ ‫ب َحدَّثَنَا َح َّماد ٌ َع ِن ْالقَا ِس ِم ال‬


: ‫ش ْي َبانِ ِى َع ْن زَ ْي ِد ب ِْن أَ ْرقَ َم‬ ٍ ‫سلَ ْي َمانُ ْبنُ َح ْر‬ ِ َ‫وب ْالق‬
ُ ‫اضى َحدَّثَنَا‬ َ ُ‫ف ْبنُ َي ْعق‬
ُ ‫س‬
ُ ‫يُو‬

‫صلُّونَ فَقَا َل زَ ْيد ُ ْبنُ أَ ْرقَ َم إِ َّن‬


َ ُ‫س ا ْبتَدَ ُروا الس ََّو ِارى ي‬ ِ ‫طلَ َع‬
َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ٍ َ‫أَنَّهُ َرأَى نَاسا ُجلُوسا ِإلَى ق‬
َ ‫اص فَلَ َّما‬

َ ‫ت ْال ِف‬
‫صا ُل‬ َ ‫صَلَة ُ اْل َ َّوا ِبينَ ِإذَا َر ِم‬
ِ ‫ض‬ َ : ‫ قَا َل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫ِللا‬
َّ ‫سو َل‬
ُ ‫َر‬

“(Al-Baihaqi berkata) Telah menghabarkan kepada kami Abu Bakar

bin Fuurak (ia berkata), telah menghabarkan kepada kami Abdullah bin

Ja’far (ia berkata), telah mennceritakan kepada kami Yunus bin Habib (ia

berkata), telah menceritakan kepada kami Abu Daud (ia berkata), telah

menceritakan kepada kami Hisyam dari al-Qasim. (al-Baihaqi berkata),

telah menceritakan juga kepada kami Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-

68
Muqri (ia berkata), telah menghabarkan kepada kami al-Hasan bin

Muhammad bin Ishaq (ia berkata), telah menceritakan kepada kami Yusuf

bin Ya’qub al-Qaadiy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami

Sulaiman bin Harb (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Hammad

dari al-Qasim as-Syaibaniy dari Zaid bin Arqam, bahwa ia melihat orang-

orang sedang duduk kepada seorang pembaca kisah, ketika telah terbit

matahari mereka bersegera melaksanakan shalat. Maka Zaid bin Arqam

berkata, Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Shalat Awwabin itu

ketika anak unta menderum karena kepanasan”.

: ‫حدثنا عبد هللا حدثني أبي ثنا عبد الوهاب عن سعيد عن قتادة عن القاسم الشيباني عن زيد بن أرقم‬

‫ان نبي هللا صلى هللا عليه و سلم أتى على مسجد قباء أو دخل مسجد قباء بعد ما أشرقت الشمس فإذا‬

‫هم يصلون فقال ان صَلة اْلوابين كانوا يصلونها إذا رمضت الفصال‬

“(Al-Qathi’iy berkata) Telah menceritakan kepada kami Abdullah (ia

berkata), telah menceritakan kepadaku bapakku (ia berkata), telah

menceritakan kepada kami Abdul Wahab dari Said dari Qatadah dari al-

Qasim as-Syaibaniy dari Zaid bin Arqam, bahwa Nabi Saw mendatangi

masjid quba, atau masuk ke Masjid Quba, setelah terbit matahari. Ternyata

mereka sedang shalat, maka ia berkata, sesungguhnya shalat Awwabin

adalah ketika anak-anak unta menderum karena kepanasan.”[HR. Ahmad

IV: 374 no. 19366].

3. Sayyid Sabiq mengatakan:

69
‫لى أَ ْن‬
َ ِ‫الز ِوا ِل َولَ ِك َّن ال ُم ْستَ َحبَّ أ َ ْن ت ُ َؤ َّخ َر إ‬ ْ ِ‫ يَ ْبتَدِى أ َ ْوقَات ُها َ ب‬:‫وقتها‬
َّ َ‫ار ِتفَاعِ الش َْم ِس قَد َْر َر ْمحٍ َويَ ْنت َ ِهي ِحيْن‬

‫س َو َي ْشتَدَّ ْال ُح ُّر‬ َّ ‫ت َْرت َ ِف َع ال‬.


ُ ‫ش ْم‬

“Waktu salat dhuha dimulai ketika matahari mulai meninggi seukuran

tombak dan berakhir ketika zawwal (tergelincir matahari), namun yang

mustahab adalah diakhirkan sampai matahari meninggi dan terasa panas.”

(sayyid sabiq, 2012:1/177).

Dari ayat dan hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam serta

pendapat seorang ulama fiqih, akhirnya Dewan Hisbah Persatuan Islam

mengistinbath beberapa hal:

1. Waktu dhuha dinyatakan masuk setelah terbit matahari.

2. Setelah terbit matahari dipahami bila piringan matahari yang paling

bawah telah menyentuh ufuk yakni 15 menit setelah syuruq.

3. Waktu afdhol shalat dhuha adalah saat anak unta kepanasan yakni

sekitar jam 09.00-11.00.

4. Waktu dhuha berakhir sampai beberapa saat sebelum kulminasi

yakni 5 menit sebelum waktu dzuhur.

Dalam penjelasan para ulama kontemporer juga fatwa dari Dewan

Hisbah Persatuan Islam (PERSIS), mereka bersepakat bahwa waktu dhuha

itu dimulai ketika matahari telah meninggi setinggi satu tombak dengan

penjelasan satu tombak itu setelah 15 atau 20 menit matahari terbit.

Sedangkan waktu yang utama untuk melaksanakan shalat dhuha mereka

70
bersepakat saat keadaan cahaya matahari mulai panas dirasakan, yang

ditandai dengan Tarmaadhul Fishaal yakni saat anak unta beranjak dari

tempat pembaringannya akibat panas matahari yang mulai menyengat.

Adapun akhir waktu dhuha yaitu saat masuknya waktu larangan shalat

yang dipahami saat menjelang waktu zawal, yang ditandai saat matahari

akan tergelincir kebarat yakni 5 atau 10 menit sebelum waktu zawal.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah penulis paparkan diatas pada bab

II dan bab III , akhirnya penulis menarik kesimpulan sebagai berikut.

1. Shalat dhuha merupakan Sunnah Muakkadah, sebagaimana

penjelasan para ulama pada pembahasan diatas, yang berarti shalat

dhuha merupakan syari’at yang sangat dianjurkan bagi seluruh umat

islam agar menjadi ibadah yang terus dilaksanakan, dan jumlah

maksimal rakaat shalat dhuha yang mana para ulama berbeda

pendapat hal ini, akan tetapi yang paling raajih atau benar adalah

pendapat yang mengatakan tidak ada batasan maksimal dari jumlah

rakaat shalat dhuha dengan penjelasan para ulama diatas. Ada

beberapa sunnah lainnya yang dapat dilakukan ketika melaksanakan

shalat dhuha yaitu dengan membaca surat yang disunnahkan oleh

71
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu surat Asy-Syams dan Ad-

Dhuha, dengan hal ini dapat menjadi suatu ibadah yang bisa

menghantarkan seorang kedalam syurganya Allah Ta’ala.

2. Kata dalam Al-Qur`an pastilah mempunyai makna yang tersirat

maupun tersurat didalamnya, sedangkan makna kata Dhuha didalam

Al-Quran diartikan oleh mayoritas para ulama tafsir dengan ‘panas

teriknya matahari’.

3. Setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, tidak lah Allah

akan menyi-nyiakannya. Karenanya dari pembahasan karya tulis

ilmiah ini penulis mencantumkan banyak sekali keutamaan-

keutamaan bagi seorang yang melaksanakan shalat dhuha, apalagi

yang istiqomah menjalankannya.

4. Setiap shalat tentunya mempunyai waktu yang telah ditentukan baik

itu shalat sunnah ataupun shalat wajib, karena shalat merupakan

ibadah yang telah ditentukan waktu dan tatacaranya, sebagaimana

Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nisa ayat 103. Sedangkan

waktu dhuha memang masih terjadi perdebatan oleh para ulama

fiqih dalam kajian fiqihnya, dan ulama tafsir dalam kajian tafsirnya

terutama dalam surat Shaad ayat 18. Meskipun landasan hadits nya

yang sama, akan tetapi mayoritas para ulama berpendapat bahwa

waktu dhuha itu dimulai ketika matahari telah terbit setinggi satu

tombak, yang dipahami dengan setelah 15 atau 20 menit terbitnya

matahari.

72
4.2 Saran

1. Shalat dhuha merupakan shalat yang terletak diantara waktu yang

diharamkan untuk melaksanakan shalat bagi umat islam. Yaitu

terletak diantar terbitnya matahari dan waktu Istiwa’. Sehingga kita

sebagai umat islam haruslah berhati-hati dalam melaksanakan shalat

dhuha. Karena jika terlalu cepat, maka disitu ada waktu tahrim

(haram), begitupun jika terlalu akhir akan bertemu dengan waktu

Istiwa. Untuk mengetahui waktu shalat, khususnya waktu shalat

dhuha alangkah lebih baiknya jika kita terlebih dahulu mengetahui

teks Al-Qur`an dan Hadits yang menjelaskan tentang waktu dhuha,

baru kemudian menelusuri bagaimana para ulama fiqih memahami

teks-teks tersebut. Pada tahap selanjutnya agar memudahkan

masyarakat khususnya umat islam untuk mengetahui waktu

dimulainya dhuha atau terbitnya matahari. Maka perlu dibuat

kalender waktu shalat terutama waktu shalat dhuha, dan perlunya

mengetahui Ilmu falak agar dijadikan sebagai alat untuk mengetahui

konsep-konsep waktu dhuha.

2. Tulisan masih sangat jauh dari kata sempurna. Secara tulisan,

referensi-referensi yang disajikan, pengolahan dan konsep-konsep

lainnya masih perlu diperbaiki lagi. Terlebih pada penilitian

pembahasan yang masih kurang ideal. Seharusnya agar dapat kajian

yang maksimal untuk menentukan waktu yang tepat untuk shalat

dhuha, perlu penelitian lapangan dengan melakukan observasi

73
matahari yang dilakukan di pantai yang memiliki ufuk timur dan

terbebas dari polusi, tentunya dilakukan dipagi hari saat matahari

terbit. Sehingga harapan penulis kedepan ada obesrvasi lanjutan

yang dilakukan pada tempat dan waktu yang representative. Sambil

berharap kritik dan saran yang konstruktif terhadap penulis untuk

perbaikan penulisan-penulisan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad, 1994. Al Mu’jam Al Mufahras Li

Alfazhi Al Qur’an Al Karim. Kairo. Dar al Hadits.

Al-Hafidz, Al-‘Aini. Umdatul Qori`, jilid 11

Al-Atsqlani, Ibnu Hajar. Fathul Baari`, jilid 3

Al-Audah, Salman, 2016. Ma’a Al-A’immah, terj. Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar.

Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, 2006. Taudhih Al-Ahkam min

bulugh Al Maram, terj. Jakarta: Pustaka Azzam.

Al-Bahwati, Mansur bin Yunus, 1390 H. Al Raudhu Al Murabba’.

Riyadh: Maktabah al Riyadh al Haditsah.

74
Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain, 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-

Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-

Qâsim.

Al-Imam An-Nawawi, 2004. Riyadhush Shalihin, terj. Surabaya: Duta

Ilmu.

Al-Jaza`iri, Abu Bakar Jabir, 2017. Minhajul Muslim, terj. Jakarta:

Darul Haq.

Al-Maliybari, Zainuddin. Irsyaadul Ubbaad `ilaa Sabiilir Rasyaad.

:Daarul Ma’rifah.

‘Al-Mardawi, Alauddin, 1997. Al-Anshof. Beirut: Daarul kutub Al-

‘Alamiyyah.

Al-Marghinaniy, Al-imam,1995. Al-Bidaayah. Beirut: Daarul kutub Al-

‘Alamiyyah.

Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih, 1425 H. Syarh Al-`Arba’in An-

Nawawiyah. Daaruts Tsaroya.

An-Nawawi, Yahya bin Syarf, 1433 H. Al-Minhaj Syarh Shahih

Muslim. Jilid 6, Dar Ibnu Hazm.

----------, 2004. Riyaadhush Shaalihin, terj. Jilid 1. Surabaya: Duta Ilmu.

As-Sarkhasiy (Syamsuddin), 1933. Al-Mabsuth. Beirut: Daarul Kutub

Al-alamiyyah.

75
Asy-Syafi’i , Taqiyyuddin Abi Bakar bin Muhammad, 2005, Kifaayah

Al-Akhyaar. Damasqus: Daarul Khair.

Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, 1994 Nailul Authar.

Darul Fikri.

At-Taswiliy, Abu Al-Husain,1998. Al-Bahjah. :Daarul Fikr.

Fadli, Muhammad Hery, 2017, Fiqih Tematik. Bekasi: Bima press.

Farid, Ahmad, 2007. Min A’lam As-Salaf, terj. Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar.

Ismail, Abul Fida`, 1999, Tafsirul Qur`anil ‘Adzim. : Daaru Thaybah.

-----------, 2000, Tafsirul Qur`anil ‘Adzim, terj. Bandung: Sinar Baru

Algensindo.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Luring

Mandzur, Ibnu, 1995. Lisan al Arab, Kairo: Dar al Hadits.

Mazah, Mahmud Al-Bukhori Ibnu, 2004, Al-Muhith Al-Burhaaniy.

Beirut: Daarul Kutub Al-‘Alamiyyah.

Muhajirin, Imam Muhammad, 2014 Mishbaah Adz-Dzulam. Jakarta:

Daarul Hadits.

Muhammad, jalaluddin & jalaluddin Abdurrahman, 2011, Tafsir

jalalain. Jakarta: Daarul Kutub Al-Islaamiyyah.

76
Qudamah, Ibnu, 1988. Al-Kaafi. : Al-Maktab Al-Islamiy

Quttub, Sayyid, 2003. Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, terj. Jakarta: Robbani

press.

Sabiq, Sayyid, 2012. Fiqih Sunnah. Jilid 1, Jakarta: Al-I’tishom

(Anggota IKAPI).

Shihab, M Quraish, dkk. 2007, Ensiklopedia Al-Qur`an kajian kosakata.

Jakarta: Lentera hati.

----------, 2010. TAFSIR AL-MISHBAH. Jakarta: Lentera Hati.

Tafsir Ilmi, Mengenal ayat-ayat sains dalam al-qur`an, seri : WAKTU

dalam perspektif qur`an dan sains.

Tim penyusun dan redaksi, 1988, Leksikon Islam. Jilid 1, Jakarta: PT

Penerbit Pustazet Perkasa.

WEBSITE

https://ikhwahmedia.wordpress.com/2016/01/14/adakah-pintu-surga-

bernama-dhuha/, diakses 14 Januari 2016

https://yufidia.com/kitab-fikih-dalam-mazhab-hanbali/, diakses 15 Maret

2012

http://www.sholat-dhuha.info/2012/08/makna-dhuha-dalam-ai

quran.html, diakses Agustus 2012

77
http://www.sholat-dhuha.info/2011/03/pengertian-sholat-dhuha.html,

diakses Maret 2011

http://www.sholat-dhuha.info/2011/03/sebelum-melaksanakan-sholat-

dhuha-ada.html, diakses Maret 2011

http://persisjakarta.com/awal-dan-akhir-shalat-dhuha/ diakses 3 Agustus

2017

redaksi@voa-islam.com, diakses 15 september 2017, 16:40 WIB.

78

Anda mungkin juga menyukai