Anda di halaman 1dari 17

Shalat Dhuha yang Begitu

Menakjubkan
Keutamaan Shalat Dhuha
Di antara keutamaannya, shalat Dhuha dapat menggantikah kewajiban sedekah seluruh
persendian

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,


ٌ َ َ َ َ ْ َ ُّ ُ َ ٌ َ َ َ َ ْ َ ُّ ُ َ ٌ َ َ َ ْ ُ َ ‫ْ ى‬ َ ُ ‫ُ ى‬
‫ُي ْص ِبح َعَل ك ِّل ُسال ََم ِمن أح ِدكم صد ىقة فكل تس ِبيح ٍة صدقة وكل تح ِميد ٍة صدقة‬
ٌَ َ ‫ْ ْ ى‬ ٌ ْ ‫َو ُك ُّل َت ْه ِل ىيل ٍة َص َد َق ٌة َو ُك ُّل َت ْكب ر َية َص َد َق ٌة َوأ ْم ٌر ب ْال َم ْع ُروف َص َد َق ٌة َو َن‬
‫ْه َع ِن ال ُمنك ِر َصدقة‬ ِ ِ ُّ َ ٍ ‫َ ُ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َِ ى‬
َ ُ
‫ويج ِزئ ِمن ذ ِلك َرك َعت ِان ي ْركعهما ِمن الضح‬
َ ُ

“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah.
Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid
(alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai
sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula
amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran)
adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha
sebanyak 2 raka’at.”[1]
Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam
hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah
menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ْ َ َ َ َِ ِّ ‫ََ َى‬ َ ْ ْ ُّ ُ َ ُ ُ َّ
‫ي َوثال ِث َمائ ِة َمف ِص ٍل‬‫ِإنه خ ِلق كل ِإن َس ٍان ِمن ب ِ ِن آدم عَل ِست ر‬

“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360
persendian.”[2]
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun
sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana
disebutkan pula dalam hadits berikut,
َ ُّ َ ْ ِ ُ َُ ‫ى ََُْ َ َُ ُ َ ْ ُ َ ُ َ ه‬
‫ يقول « ِف ِاإلنس ِان ِستون‬-‫صَل هللا عليه وسلم‬- ‫اَّلل‬ ِ ‫أ ِ َب ب ُري َدة يقول سمعت رسول‬
‫َ ُ َ َ ه‬ ً َ َ َ َْ ْ َ ِّ ُ ْ َ َ َّ َ َ َ ْ ‫ِ َ َ ى ْ ى‬ ْ َ
‫ قالوا فم ِن ال ِذى‬.» ‫َوثالث ِمائ ِة َمف ِص ٍل فعلي ِه أن يتصدق عن كل مف ِص ٍل ِمنها صدق ىة‬
‫يه َع ِن‬ ِّ َ ُ ُ ْ َّّ ‫اع ُة ِف ْال َم ْسجد َت ْدف ُن َها أو‬َ ‫الن َخ‬
ُّ َ ‫اَّلل َق‬
‫ُ ُ َ َ َ َ ُ َ ه‬
ِ ‫الَشء تنح‬ ِ ِ ِ ِ « ‫ال‬ ِ ‫ي ِطيق ذ ِلك يا رسول‬
َ ْ َ ِ ُ ْ ُ َ ُّ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ ْ ‫َ ْ ى‬ َّ
» ‫يق ف ِإن لم تق ِدر فركعتا الضح تج ِزئ عنك‬ ِ ‫الط ِر‬
“Dari Abu Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian.
Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun
mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai
Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah
di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan
seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.”[3]
An Nawawi mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan
keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya
yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.”[4]
Asy Syaukani mengatakan, “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan
keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang
menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah
mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya
shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.”[5]
Keutamaan shalat Dhuha lainnya disebutkan dalam hadits berikut,

َ ‫ول « َق‬
ُ ‫ َي ُق‬-‫صَل هللا عليه وسلم‬- ‫اَّلل‬ ‫َ ْ ُ َ ْ ْ َ َّ ْ َ َ َ ِ ِّ ى َّ ُ َ َ َ ُ َ ه‬
‫ال‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ِ ‫عن نعي ِم ب ِن هم ٍار الغطف ِاب أنه س ِمع ىرسول ى‬
َ ْ َّ َ َ َ ْ ْ َ ْ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َّ َ َ َّ َ ُ ‫ه‬
.» ‫آخ َر ُه‬ َ َّ ْ
ِ ‫ات ِمن أو ِل النه ِار أك ِفك‬
ٍ ‫اَّلل عز وجل يا ابن آدم ال تع ِجز عن أرب ِع ركع‬

Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau
tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan
mencukupimu di akhir siang.”[6]
Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung
pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang
membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari
terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau
maknanya bisa lebih luas dari itu.”[7]
Hukum Shalat Dhuha
Menurut pendapat yang paling kuat, hukum shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq
dan boleh dirutinkan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah dalil yang menunjukkan
keutamaan shalat Dhuha yang telah disebutkan. Begitu pula shalat Dhuha,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan.
Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku bagi umat lainnya. Abu Hurairah mengatakan,
َ َ ْ َ َ ْ َ ِّ ُ ْ َّ ‫َ َ ََ ى‬ َ َ َ ِ َ ْ‫ى‬
‫ وركع ِن‬، ‫أوص ِاب خ ِل ى ِيَل ُ – صَل ىهللا ىعليه وسلم – ِبثال ٍث ِصي ِام ثالث ِة أي ٍام ِمن كل شه ٍر‬
َ ْ َ ْ َ َ ُّ
‫وت َر ق ْب َل أن أن َام‬
ِ ‫ وأ‬، ‫الضح‬
‫أ‬ ‫ن‬

“Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku:
[1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3]
Berwitir sebelum tidur.”[8]
Asy Syaukani mengatakan, “Hadits-hadits yang menjelaskan dianjurkannya shalat Dhuha
amat banyak dan tidak mungkin mencacati satu dan lainnya.”[9]
Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah ,
َ ْ ْ‫ى ه َ ى ى‬ َ ُّ َ ‫ى‬
ْ ‫األ‬
‫اَّلل ت َعاَل أد َو ُم َها َو ِإن ق َّل‬
ِ ‫َل‬‫إ‬ ‫ال‬
ِ ِ ‫م‬َ ‫ع‬ ‫أحب‬

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu
sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk
merutinkannya. [10]
Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha
Shalat Dhuha dimulai dari waktu matahari meninggi hingga mendekati
waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[11] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
menjelaskan bahwa waktunya adalah mulai dari matahari setinggi tombak –dilihat dengan
pandangan mata- hingga mendekati waktu zawal. Lalu beliau jelaskan bahwa waktunya
dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit, hingga 10 atau 5 menit sebelum
matahari bergeser ke barat.[12] Sedangkan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi
Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit setelah
matahari terbit.[13]
Jadi, silakan disesuaikan dengan terbitnya matahari di masing-masing daerah dan kami
tidak bisa memberitahukan jam pastinya shalat Dhuha tersebut dimulai dan berakhir. Dan
setiap hari waktu terbit matahari pun berbeda.

Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di akhir waktu[14], yaitu
keadaan yang semakin
‫ى‬ panas. Dalilnya adalah,
ْ َ ِ َ َ َّ َّ ‫ى‬ُ َ ْ َ ‫ى َّ َ ْ َ ْ َ ى ْ َ َ َ ى َ ْ ً ُ َ ُّ َ َ ُّ َ َ َ َ َ ى‬
‫الصالة ِف غ ر ِي‬ َ ‫أن زيد بن أر ىقم رأى قوما يصلون ِمن الضح فقال أما لقد ع ِلموا أن‬
َ‫ي‬ َ
ِ ‫ي ِح ر‬ ُ َ
ِ ‫ال « َصالة األواب ر‬
َّ ‫ َّ َ ُ َ ه‬. ُ َ ْ َ َّ
َ ‫ َق‬-‫صَل هللا عليه وسلم‬- ‫اَّلل‬ َ
ِ ِ ‫ول‬‫س‬‫ر‬ ‫ن‬ ‫إ‬ِ ‫ل‬ ‫ض‬ ‫ف‬‫أ‬ ‫ة‬ِ ‫اع‬ ‫الس‬ ‫ه‬ِ ‫ذ‬
ِ ‫ه‬
ُ ‫ض ْالف َص‬
.» ‫ال‬ ُ ‫َت ْر َم‬
ِ
Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia
mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka
kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“(Waktu terbaik) shalat awwabin (nama lain untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang
yang taat atau kembali untuk taat[15]) adalah ketika anak unta merasakan terik
matahari.”[16]
An Nawawi mengatakan, “Inilah waktu utama untuk melaksanakan shalat Dhuha. Begitu
pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha.
Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari terbit hingga waktu zawal.”[17]
Jumlah Raka’at Shalat Dhuha

Jumlah raka’at shalat Dhuha, minimalnya adalah dua raka’at sedangkan maksimalnya
adalah tanpa batas, menurut pendapat yang paling kuat[18]. Jadi boleh hanya dua raka’at,
boleh empat raka’at, dan seterusnya asalkan jumlah raka’atnya genap. Namun jika ingin
dilaksakan lebih dari dua raka’at, shalat Dhuha tersebut dilakukan setiap dua raka’at salam.
Dalil minimal shalat Dhuha adalah dua raka’at sudah dijelaskan dalam hadits-hadits yang
telah lewat. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya adalah
tak terbatas, yaitu hadits,

‫ىْ ى َ َ ُ ُ ه‬ ِ َ َ َ ْ ‫ُ َ َ ُ ى َّ َ َ ى ى‬
‫صَل هللا عليه‬- ‫اَّلل‬
ِ ‫ول‬ ‫س‬‫ر‬ ‫ان‬ ‫ك‬ ‫م‬ ‫ك‬ – ‫عنها‬ ‫هللا‬ ‫ى‬ ‫رض‬ – ‫ة‬ ‫معاذة أنها سألت ع ِائش‬
َ ُ ‫ى‬ ْ ‫ى‬ َ َ ُّ َ َ َ ‫ُ َ ى‬
.‫ات َو َي ِزيد َما ش َاء‬ َ َ َ َْ
ٍ ‫ يصَل صالة الضح قالت أرب ع ركع‬-‫وسلم‬

Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berapa jumlah raka’at
shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah
menjawab, “Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka beliau.”[19]
Bolehkah Seorang Pegawai (Bawahan)
Melaksanakan Shalat Dhuha?
Mungkin setiap pegawai punya keinginan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Namun
perlu diperhatikan di sini bahwa melaksanakan tugas kantor tentu lebih utama daripada
melaksanakan shalat Dhuha. Karena menunaikan tugas dari atasan adalah wajib
sedangkan shalat Dhuha adalah amalan yang sunnah. Maka sudah seharusnya amalan
yang wajib lebih didahulukan dari amalan yang sunnah. Hal ini berbeda jika kita
menjalankan usaha sendiri (wirausaha) atau kita adalah pemilik perusahaan, tentu
sekehendak kita ingin menggunakan waktu. Sedangkan kalau kita sebagai bawahan atau
pegawai, kita tentu terikat aturan pekerjaan dari atasan.

Maka kami nasehatkan di sini, agar setiap pegawai lebih mendahulukan tanggung
jawabnya sebagai pegawai daripada menunaikan shalat Dhuha. Sebagai solusi, pegawai
tersebut bisa mengerjakan shalat Dhuha sebelum berangkat kantor. Lihat penjelasan
waktu shalat Dhuha yang kami terangkan di atas.

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah menjelaskan, “Tidak


selayaknya bagi seorang pegawai melalaikan pekerjaan dari atasan yang hukumnya lebih
wajib dari sekedar melaksanakan shalat sunnah. Shalat Dhuha sudah diketahui adalah
shalat sunnah. Oleh karenanya, hendaklah seorang pegawai tidak meninggalkan pekerjaan
yang jelas lebih wajib dengan alasan ingin melaksanakan amalan sunnah. Mungkin
pegawai tersebut bisa melaksanakan shalat Dhuha di rumahnya sebelum ia berangkat
kerja, yaitu setelah matahari setinggi tombak. Waktunya kira-kira 15 menit setelah
matahari terbit.” Demikian Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah no. 19285.[20]
Bolehkah Melaksanakan Shalat Dhuha secara
Berjama’ah?
Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara
berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian
(munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan
shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga
pernah mengimami para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik[21]; beliau pun pernah
melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.[22]
Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah
Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya
melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.”[23]
An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih),
beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah.
Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada
beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat
istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”[24]
Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah mengenai hukum mengerjakan shalat nafilah (shalat sunnah)
dengan berjama’ah. Syaikh rahimahullah menjawab,
“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka
ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah
tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat
petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam
yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas[25]. Sebagaimana pula beliau pernah
melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah
Ummu Sulaim[26], dan masih ada contoh lain semisal itu.”[27]
Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka
ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas
bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah,
beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid
(sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain.
Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam
rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”
Intinya adalah:

1. Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan


secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َ َ ُ ْ َ ْ َّ ْ َ ِ ْ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ َ ْ ‫َ َ ُّ ى ُّ َ َّ ُ ِ ُ ُ ُ ْ َ َّ ى‬
‫ ف ِإن أفضل الصال ِة صالة المر ِء ِف بي ِت ِه ِإال المكتوبة‬، ‫وتكم‬
ِ ‫فصلوا أيها الناس ِف بي‬
“Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-
baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no.
731)
2. Terdapat shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat
tarawih.

3. Shalat sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama dilakukan
secara munfarid dan boleh dilakukan secara berjama’ah namun tidak rutin atau tidak terus
menerus, akan tetapi kadang-kadang.
4. Jika memang ada maslahat untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti
untuk mengajarkan orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah.

Demikian penjelasan singkat dari kami mengenai shalat Dhuha. Semoga bermanfaat.

Shalat Dhuha Pembuka Pintu


Rezeki
Apakah benar shalat Dhuha itu pembuka pintu rezeki?

Dari Nu’aim bin Hammar Al-Ghathafaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
ِ َ ‫ات ِمن أَهوِل النهها ِر أَ ْك ِف‬
ٍ ‫اَّلل عهز وج هل َي ابن آدم الَ تَع ِجز عن أَرب ِع رَكع‬
ُ‫ك آخَره‬ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ُ‫قَ َال ه‬

“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at
shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR.
Ahmad, 5: 286; Abu Daud, no. 1289; At Tirmidzi, no. 475; Ad Darimi, no. 1451 . Syaikh Al-
Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
ِ ٍ ‫ول َي ابن آدم ا ْك ِف ِِن أ هَوَل النهها ِر ِِبَرب ِع رَكع‬
َ ‫آخَر يَ ْوِم‬
‫ك‬ ِ ‫ك ِبِِ هن‬
َ ‫ات أَ ْكف‬ َ َ َْ َ ‫إِ هن ه‬
َ َ َ ْ َ ُ ‫اَّللَ َعهز َو َج هل يَ ُق‬

“Sesungguhnya Allah berfirman: “Wahai anak adam, laksanakan untukKu 4 rakaat di awal
siang, Aku akan cukupi dirimu dengan shalat itu di akhir harimu.” (HR. Ahmad, 4: 153.
Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih. Perawinya tsiqah
termasuk dalam jajaran perawi kitab shahih kecuali Nu’aim bin Himar termasuk dalam
perawi Abu Daud dan An-Nasa’i).
Al-‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat
Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga
dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau
ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari
itu.” (‘Aun Al-Ma’bud, 4: 118)
At-Thibiy berkata, “Yaitu engkau akan diberi kecukupan dalam kesibukan dan urusanmu,
serta akan dihilangkan dari hal-hal yang tidak disukai setelah engkau shalat hingga akhir
siang. Yang dimaksud, selesaikanlah urusanmu dengan beribadah pada Allah di awal siang
(di waktu Dhuha), maka Allah akan mudahkan urusanmu di akhir siang.” (Tuhfah Al-
Ahwadzi, 2: 478).
Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir (4: 615) menjelaskan maksud kalimat, akan dicukupi di
akhirnya adalah akan diselamatkan dari cobaan dan musibah di akhir siang.
Empat raka’at yang dimaksud di atas menurut penjelasan para ulama, bisa jadi termasuk
dalam shalat Dhuha empat raka’at, bisa jadi maksudnya adalah shalat qabliyah shubuh
dua raka’at dan shalat Shubuh dua raka’at.

Kesimpulan
Kalau kita lihat maksud hadits dari penjelasan para ulama bahwa Allah akan
mencukupinya, tidak ditunjukkan bahwa shalat dhuha jadi pembuka pintu rezeki. Namun
tetap setiap amalan shalih memang jadi pembuka pintu rezeki karena amalan shalih
adalah bentuk takwa. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
‫ب‬ ِ ُ ‫ َويَ ْرُزقْهُ ِم ْن َحْي‬, ‫اَّللَ ََْي َع ْل لَهُ َمََْر ًجا‬
‫َوَم ْن يَت ِهق ه‬
ُ ‫ث َال ََْيتَس‬

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar,
dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Akan tetapi, jika dimaksud dengan dilaksanakannya shalat Dhuha hanya semata-mata
untuk menambah rezeki dunia, tanpa ingin pahala atau balasan di sisi Allah, maka akan
terancam dengan ayat berikut,

‫اآلخَرِة ِم ْن‬
ِ ‫ث الدُّنْيا نُ ْؤتِِه ِمْن ها وما لَه ِِف‬
ُ ََ َ ُ ‫نزد لَهُ ِِف َح ْرثِِه َوَم ْن َكا َن يُِر‬
َ َ ‫يد َح ْر‬
ِ ‫ث‬
ْ ِ‫اآلخَرة‬ ُ ‫َم ْن َكا َن يُِر‬
َ ‫يد َح ْر‬
ٍ ‫ص‬
‫يب‬ ِ َ‫ن‬

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan
itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di
akhirat.” (QS. Asy-Syuraa: 20)
Inilah Keutamaan Shalat
Dhuha, Waktu Afdalnya, dan
Jumlah Rakaat Shalat Dhuha
yang Dianjurkan
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc Follow on TwitterSend an email1 week ago

0 1,840 5 minutes read

Shalat Dhuha disebut pula dengan shalat awwabin (shalat orang yang kembali kepada
Allah) memiliki berbagai keutaaman. Lalu berapa jumlah rakaat shalat Dhuha yang
dianjurkan dan kapan waktu afdalnya?

Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani


Kitab Shalat
َّ ‫صلاَة الت‬
‫َّط ُّو ع‬ َ ‫بَاب‬
Bab Shalat Tathawwu’ (Shalat Sunnah)

Dianjurkannya Shalat Dhuha


Hadits #391
‫هللا ص ّلى هللا عليه‬ ‫ان رسول ه‬ َ َ‫ )ك‬:‫َت‬ ْ ‫ش َة رضي هللا عنها َقال‬ َ ‫ن َعائه‬
ْ ‫َع‬
‫س هلم‬ َ
ْ ‫ َر َواه م‬.(‫اء هللا‬
َ ‫ش‬َ ‫ما‬
َ ‫ َو يَ هز يد‬،ً‫ضحى أ ْربَعا‬
ُّ ‫ص ّهلي ال‬
َ ‫وس ّلم ي‬.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
Dhuha sebanyak empat rakaat dan menambah seperti yang dikehendaki oleh Allah.” (HR.
Muslim). [HR. Muslim, no. 719, 79]
Hadits #392
‫هللا ص ّلى هللا عليه وس ّلم‬ ‫ان َرسول ه‬ َ َ‫ل ك‬
ْ ‫ه‬
َ « :‫ت‬ْ ‫ أَنَّها سئه َل‬:‫َولَه َع ْن َها‬
َ
‫م هغي هب هه‬
َ ‫ن‬ ْ ‫ إلاَّ أ‬،َ‫ «لا‬:‫َت‬
ْ ‫ن يَجيء هم‬ ْ ‫ َقال‬،»‫ض َحى؟‬ ُّ ‫ص ّهلي ال‬َ ‫«ي‬.
Diriwayatkan pula oleh Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia ditanya, “Apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering melakukan shalat Dhuha?” Ia menjawab,
“Tidak, kecuali apabila beliau pulang dari safarnya.” [HR. Muslim, no. 717]

Hadits #393
‫ص ّهلي‬
َ ‫هللا ص ّلى هللا عليه وس ّلم ي‬ ‫ه‬ َ ‫«ما َرأَيْت َرسو‬
‫ل‬ َ :‫َولَه َع ْن َها‬
‫س هبّح َها‬
َ ‫ َوإ ّنهي لأ‬،‫ض َحى َق ُّط‬
ُّ ‫«سبْ َح َة ال‬.
Diriwayatkan pula oleh Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan, “Aku tidak
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha dengan tetap
rutin, tetapi sungguh aku melakukannya dengan tetap rutin.” [HR. Bukhari, no. 1128, 1177]

Faedah hadits
1. Dhuha adalah waktu setelah matahari meninggi hingga mendekati waktu zawal
(mendekat Zhuhur). Shalat Dhuha disebut pula dengan subhah adh-dhuha. Shalat
sunnah disebut denagn subhah.

2. Hadits ini menunjukkan disyariatkannya shalat Dhuha dan hukumnya adalah


sunnah muakkad karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya,
mewasiatkan kepada Abu Hurairah untuk menjaganya, begitu pula kepada Abu Dzarr
dan Abud Dardaa’. Walaupun wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat,
tetapi wasiat ini berlaku untuk umat seluruhnya, bukan khusus untuk yang diwasiati.
Begitu pula ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang atau memerintah, maka
hukumnya itu umum kecuali ada dalil pengkhususan. Maka dalil shalat Dhuha adalah
berdasarkan ucapan dan praktik.
3. Shalat Dhuha ini disunnahkan secara mutlak, artinya boleh dirutinkan setiap hari.
4. Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa (22:284) berpandangan bahwa
yang sudah rutin shalat malam (qiyamul lail) tidak disunnahkan shalat Dhuha.
Sedangkan yang tidak memiliki kebiasaan shalat malam, hendaklah ia melakukan shalat
Dhuha.
Namun, pendapat paling kuat, shalat Dhuha bisa dilakukan rutin setiap
hari berdasarkan hadits berikut ini.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
‫ص َد َقة‬ َ ‫ل سلاَمى هم‬
َ ‫يحة‬ َ ‫س هب‬
ْ ‫ل َت‬ ُّ ‫ص َد َقة َفك‬ َ ‫م‬ ْ ‫ن أ َح هدك‬ ْ َ ّ ‫ص هبح َعلَى ك ه‬ ْ ‫ي‬
‫مر‬ َ
ْ ‫ص َد َقة َوأ‬ َ ‫يرة‬ َ ‫ل َتكْ هب‬ُّ ‫ص َد َقة َوك‬ َ ‫ل َت ْه هليلَة‬ُّ ‫ص َد َقة َوك‬
َ ‫يدة‬ َ ‫ل َت ْح هم‬
ُّ ‫َوك‬
‫ك‬
َ ‫ن َذ هل‬ ْ ‫ص َد َقة َو ي ْج هزئ هم‬ َ ‫ص َد َقة َو َن ْهى َع هن ا ْلم ْنكَ هر‬ َ ‫وف‬
‫م ْعر ه‬ َ ‫هبا ْل‬
‫ض َحى‬ ُّ ‫ن ال‬ َ ‫ما هم‬َ ‫ان يَ ْركَعه‬ ‫َركْ َع َت ه‬
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah.
Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid
(alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai
sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula
amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran)
adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha
sebanyak 2 raka’at” (HR. Muslim, no. 720).

5. Apa yang tidak dilihat oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha terkait shalat Dhuhanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan berarti shalat Dhuha itu tidak ada.
Berdasarkan riwayat sahabat lain, shalat Dhuha tetap ada dan kita tetap boleh mengikuti
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibicarakan dalam hadits lain.

6. Shalat Dhuha itu sangat dianjurkan (muakkad). Rakaat minimalnya ada dua rakaat, yang
sempurna adalah delapan rakaat, di tengah-tengahnya adalah empat atau enam rakaat.
Demikian pendapat ulama Syafiiyah yang dikemukakan oleh Syaikh Az-Zuhaily.

7. Waktu shalat Dhuha dalam pandangan madzhab Syafii, waktunya dari matahari
meninggi hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Waktu ikhtiyar (pilihan) adalah
ketika telah lewat seperempat siang.
• Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun
1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-
Bayan. 1:644-649.

Waktu Shalat Dhuha yang Utama


Hadits #394
‫هللا ص ّلى هللا عليه وس ّلم‬ ‫ل ه‬ َ ‫ن رسو‬ َّ َ‫م رضي هللا عنه أ‬ َ
َ ‫ن َز يْ هد بْ هن أ ْر َق‬
ْ ‫َع‬
‫ي‬
ُّ ‫ َر َواه ال ّته ْر هم هذ‬،»‫صال‬
َ ‫مض ا ْل هف‬ َ ‫«صلاَة الأَ َّوا هبين هح‬
َ ‫ين َت ْر‬ َ :‫ل‬ َ ‫ َقا‬.
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat awwabin (shalat orang yang kembali kepada Allah, yaitu shalat Dhuha)
dilaksanakan ketika anak unta mulai kepanasan.” (HR. Tirmidzi) [HR. Muslim, no. 748]

Faedah hadits
1. Al-Awwab artinya orang yang kembali kepada Allah dengan melaksanakan perintah
dan menjauhi larangan. Shalat Dhuha disebut dengan shalat awwabin karena orang
yang melakukannya kembali melakukan ketaatan kepada Allah dan beribadah kepada-
Nya di mana saat itu orang-orang begitu sibuk dengan pertanian, dagangan, dan
urusan dunia lainnya.

2. Waktu utama untuk shalat Dhuha adalah saat matahari sangat panas.
3. Waktu shalat Dhuha dimulai dari matahari meninggi setelah matahari terbit.

4. Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa waktu yang dibahas dalam hadits ini
adalah waktu afdal shalat Dhuha, walaupun shalat Dhuha bisa dilakukan dari terbit
matahari hingga waktu zawal (matahari tergelincir).

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha


Hadits #395
‫هللا ص ّلى هللا عليه وس ّلم‬ ‫ل َرسول ه‬ َ ‫ َقا‬:‫ل‬َ ‫ن أَ َنس رضي هللا عنه َقا‬ ْ ‫ع‬:
َ
»‫نة‬‫صراً في ا ْل َج ه‬ ْ ‫عة بَ َنى هللا لَه َق‬ ً ْ‫ضحى ثنتي َعشْ َر َة َرك‬ ُّ ‫ص َّلى ال‬
َ ‫ن‬
ْ ‫«م‬،
َ
‫اس َت ْغ َربَه‬
ْ ‫ي َو‬
ُّ ‫ر َواه ال ّته ْر هم هذ‬.
َ
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa shalat Dhuha sebanyak dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan
sebuah istana di surga.” (HR. Tirmidzi) [HR. Tirmidzi, no. 473. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan
dalam Minhah Al-‘Allam, 3:348 menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif].

Hadits #396
‫ل النَّبي ص ّلى هللا عليه‬ َ ‫«د َخ‬
َ :‫َت‬ْ ‫ش َة رضي هللا عنها َقال‬ َ ‫ن َعائه‬ ْ ‫َو َع‬
‫ان في‬ َ َّ‫ َر َواه ابْن هحب‬،»‫َمانهي َركَ َعات‬
َ ‫ضحى ث‬ُّ ‫ص َّلى ال‬
َ ‫ َف‬،‫وس ّلم بَيْتهي‬
»‫يح هه‬
‫«ص هح ه‬.
َ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk
ke rumahku, kemudian beliau shalat Dhuha delapan rakaat.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab
sahihnya) [HR. Ibnu Hibban, 6:272. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam,
3:348-349 menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif].

Faedah hadits
1. Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat Dhuha yang 12 rakaat, tetapi haditsnya dhaif.
Begitu pula hadits ini menunjukkan keutamaan shalat Dhuha yang 8 rakaat, sama pula
haditsnya dhaif. Sehingga kita cukup berpegangan pada hadits sahih. Hadits sahih
menunjukkan bahwa shalat Dhuha ada yang dua rakaat sebagaimana dalam hadits Abu
Dzarr yang telah dibahas sebelumnya, hadits Aisyah juga membicarakan shalat Dhuha
yang empat rakaat, juga hadits Anas yang membicarakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melaksanakan shalat Dhuha enam rakaat. Ada juga riwayat yang
menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuha sebanyak
delapan rakaat sebagaiaman dalam hadits Ummu Hani.

2. Berapa jumlah rakaat maksimal untuk shalat Dhuha? Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan
berkata bahwa tidak ada batasan rakaat maksimal, paling sedikit adalah dua rakaat,
paling banyaknya tidaklah dibatasi. Karena Dhuha adalah waktu untuk shalat dan
menyibukkan waktu dengan shalat adalah amalan yang afdal dan ketaan yang paling
bagus.
Adakah Perbedaan Shalat
Dhuha dan Shalat Isyraq?
Apa yang dimaksud shalat Dhuha dan shalat Isyraq? Adakah perbedaan antara shalat
Dhuha dan shalat Isyraq?

Pengertian shalat Dhuha


Shalat Dhuha berasal dari kata shalat dan Dhuha.
Shalat secara etimologi berarti doa. Sedangkan menurut istilah fikih, shalat adalah ucapan
dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam disertai dengan niat
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:51.
Dhuha secara etimologi adalah waktu ketika matahari terbit hingga siang. Sedangkan
menurut ulama fikih, Dhuha adalah waktu ketika matahari meninggi hingga waktu zawal
(bergesernya matahari dari tengah-tengah langit). Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:221.

Istilah yang terkait dengan shalat Dhuha


Pertama: Shalat Awwabin
Shalat Awwabin bisa dimaksudkan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan dalam
hadits. Ada juga istilah shalat Awwabin untuk shalat antara Maghrib dan Isya.[1]
Kedua: Shalat Isyraq
Pengertian shalat Isyraq
Shalat Isyraq berarti terkait dengan waktu isyraq atau syuruq, matahari terbit. Lihat Al-
Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:132-133.
Shalat Isyraq adalah shalat Dhuha itu sendiri. Para fuqaha dan ahli hadits mengatakan
bahwa shalat Isyraq adalah shalat yang dikerjakan setelah terbit matahari hingga waktu
zawal. Para ulama tersebut tidak membedakan antara shalat Isyraq dan shalat Dhuha.
Namun, ada juga ulama yang membedakan shalat Isyraq dan shalat Dhuha. Mereka
berpendapat bahwa shalat Isyraq adalah shalat yang dikerjakan setelah matahari terbit
ketika waktu makruh untuk shalat telah hilang. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:221-
222.

Penyebutan shalat ini dengan shalat isyraq adalah berdasarkan penamaan dari sahabat
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Dari ‘Abdullah bin Al-Harits, ia berkata, Ibnu ‘Abbas pernah tidak shalat Dhuha sampai-
sampai kami menanyakan beliau pada Ummi Hani, aku mengatakan pada Ummi Hani,
“Kabarilah mengenai Ibnu ‘Abbas.” Kemudian Ummu Hani mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahku sebanyak
delapan rakaat.” Kemudian Ibnu ‘Abbas keluar, lalu ia mengatakan, “Aku telah membaca
antara dua sisi mushaf, aku tidaklah mengenal shalat Isyraq kecuali sesaat.” (Allah
berfirman yang artinya),
َ ّْ ‫ال ُة اإل‬
َ َ َ : َّ َ ُ ْ َ َ َّ ُ َ ّْ ْ َ ِّ ّ َ ْ َ ْ ِّ َ ُ
» ‫اق‬
ِ ‫ش‬ ِ ‫ص‬ ‫ه‬ ‫ذ‬
ِ ِ ‫ه‬ « ‫اس‬
ٍ ‫ب‬‫ع‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ا‬ِ ‫ال‬‫ق‬ ‫م‬‫ث‬ ، )‫اق‬
ِ ‫َش و ِاإل‬
‫ش‬ ‫( يسبحن ِبالع ِ ي‬
“Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyraq (waktu pagi).” (QS. Shaad: 18). Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ini adalah shalat Isyraq.” (HR. Ath-Thabari dalam
kitab tafsirnya, juga diriwayatkan oleh Al-Hakim. Syaikh Muhammad Bazmul mengatakan
bahwa atsar ini hasan dilihat dari jalur lainnya. Lihat Bughyah Al-Mutathawwi’, hlm. 102).

[1] Hadits yang membicarakan shalat awwabin antara Maghrib dan Isya adalah
hadits dhaif.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ َ ّْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ُ ‫ُ ى ْ ى‬ ُ ‫ت َر ىك َعات َب ْع َد ْال َم ْغرب ىل ْم َي َت ىك هل ْم َب ْي َن ُه َّن ب‬
َّ ‫َ ْ َ ه‬
‫شة‬ ‫وء ع ِدلت له ِعبادة اثنن ع‬ ‫س‬
ٍ ِ ِ ِ ٍ ‫س‬ِ ‫َل‬ ‫من ص‬
ًَ
‫َسنة‬

“Siapa yang shalat enam rakaat bakda Maghrib, dan ia tidak berbicara kejelekan di
antaranya, maka ia dicatat seperti ibadah dua belas tahun.” (HR. Ibnu Majah, no. 1167;
Tirmidzi, no. 435. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if jiddan.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini dha’if jiddan).
Al-Mawardi mengatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat
tersebut dan mengatakan,
َ َُ َ
َِ ْ ‫األ َّواب‬ َ
‫ي‬ ‫ِر‬ ‫ه ِذ ِه صالة‬
“Ini adalah shalat awwabin.” (HR. Ibnu ‘Abidin, 1:453. Imam Asy-Syaukani mengatakan
bahwa hadits ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi bahwa hadits ini terdapat perawi yang
tidak diketahui).

Doa Shahih Setelah Shalat


Dhuha
Ini bacaan shahih setelah shalat Dhuha.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam selesai shalat Dhuha, beliau mengucapkan,
َّ َ ْ ‫َ ُ ْ َ ى َّ َّ َ ى‬ ْ ‫ه‬
‫ ِإنك أنت التواب الر ِحي ِم‬،‫ وتب ع يَل‬،‫الل ُه َّم اغ ِف ْر ِ يَل‬
ْ َّ ُ َّ

“ALLOHUMMAGHFIR-LII WA TUB ‘ALAYYA, INNAKA ANTAT TAWWABUR ROHIIM (artinya:


Ya Allah, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang) sampai beliau membacanya seratus kali.” (HR. Bukhari dalam
Al-Adab Al-Mufrad, no. 619. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini
sanadnya shahih.)
Semoga bisa diamalkan bada shalat Dhuha.

Adakah Do’a Khusus Ketika


Shalat Dhuha?
Wahai Syaikh, apakah do’a ini adalah do’a yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang dibaca ketika shalat Dhuha’,
ُ ْ ُْ ُ ُ ُ ُْ ُ ُ ‫الض َح َض َح ُاؤك َو ْال َب َها َب َه ُاؤك َو ْال َج َم‬
ُّ َّ َّ ُ ‫ه‬
‫ال َج َمالك َوالق َّوة ق َّوتك َوالقد َرة‬ ‫اللهم إن‬
َُ ْ ُ َ ْ ْ َ َُ ُْ
‫قدرتك وال ِعصمة ِعصمتك‬

“Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal
quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka”?
Jawab:
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbih, amma
ba’du:
Do’a ini disebutkan oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi
dalam I’anatuth Tholibiin, namun do’a ini tidak dikatakan sebagai hadits. Kami pun tidak
menemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan do’a ini sebagai hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
[Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al Faqih, Fatwa
no. 53488, 1 Sya’ban 1425]
Kesimpulannya: Do’a di atas bukanlah do’a yang asalnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai