Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

NASIKH DAN MANSUKH

Disusun Oleh :

1. Ari Firmansyah
2. Achmad Al Qhozali Koenang
3. Afif Oktaviana
4. Lulu Satriani

BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN RADEN INTAN LAMPUNG 2020
Abstrak
Nasikh dan mansukh merupakan tema yang sangat penting dalam studi al-Qur'an.
Pendapat mengenai adanya ayat-ayat dalam al-Qur'an yang ketentuan hukumnya sudah tidak
berlaku lagi karena telah dibatalkan/diganti dengan ketentuan hukum yang dibawa oleh ayat lain;
telah memicu perdebatan di kalangan ulama, khususnya ulama tafsir. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan untuk mengupas akar masalah nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an. Muara
permasalahan ini bersumber pada dua hal: (1) Bagaimana interpretasi para pakar tafsir terhadap
dua ayat yang menjadi perdebatan akan keberadaan ayat-ayat yang hukumnya tidak berlaku lagi
dalam al-Qur'an, yaitu Q.S. al-Baqarah ayat 106 dan Q.S. al-Nah}l ayat 101 (2) Adanya ayat-
ayat dalam al-Qur'an yang nampak atau dianggap kontradiksi dengan ayat yang lainnya.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat dan
hidayahNya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen Lc Dony Burhan Noor Hasan,
M.A yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami, dan tidak luput juga kami
ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang ikut menyumbang pikirannya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.

Kami memohon maaf kepada bapak dosen Lc Dony Burhan Noor Hasan, M.A khususnya
dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam
penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, kami mengharap kritik dan
sarannya yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah ini.

Bandar Lampung, 11 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................i

Kata Pengantar......................................................................................................ii

Daftar Isi............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..2

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….2


1.3 Tujuan…………………………………………………………………………3

BAB II PEMBAHASAN

2.2 Pengertian Tasikh Dan Mansukh…………………………………………..…4

2.2 Syarat – Syarat Mansuk……………………………………………………….4

2.3 Pembagian Mansukh…………………………………………………………..4

BAB III PENUTUP

Kesimpulan…………………………………………………………………………10

Daftar Pustaka……………………………………………………………………..11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah menurunkan shari’at di dalam Alquran kepada Nabi Muhammad untuk


memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan
mu’āmalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara
keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan,
adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang
sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu
untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-
qur’an.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian nāsikh dan mansūkh?

2. Bagaimana macam-macam nāsikh dan mansūkh?

3. Bagaimana dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh?

4. Bagaimana pendapat mengenai ayat yang dimansu>kh ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian nāsikh dan mansūkh.

2. Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh.

3. Untuk mengetahui bentuk dan jenis nāsikh dan mansūkh.

4. Untuk mengetahui pendapat mengenai ayat yang dimansūkh.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nāsikh dan Mansūkh

Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. Berarti “Iza>latu al shay’I wa


i’da>muhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “ Naqlu al shay’i”
(memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti “Tahwil”
(pengalihan). Sedangkan naskh secara istilah adalah: Mengangkat (menghapus) hukum syara’
dengan dalil/khith{ab syara’ yang lain.
Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang
menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh
dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang diangkat atau
yang dihapus.[1]

B. Syarat-syarat Naskh

1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’.

2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .

3. Khit{ab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.

C. Pembagian Naskh

Naskh dibagi menjadi tiga ;

1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat bulan sepuluh
hari.

‫ا فَ َع ْلنَ فِي‬QQ‫اح َعلَ ْي ُك ْم فِي َم‬Q ٍ ‫صيَّةً أِل َ ْز َوا ِج ِه ْم َمتَاعًا إِلَى ْال َحوْ ِل َغي َْر إِ ْخ َر‬
َ Qَ‫اج فَإ ِ ْن َخ َرجْ نَ فَاَل ُجن‬ ِ ‫َوالَّ ِذينَ يُت ََوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجًا َو‬
٢٤٠ : ‫َزي ٌز َح ِكي ٌم ]البقرة‬ ٍ ‫[ أَ ْنفُ ِس ِه َّن ِم ْن َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َوهَّللا ُ ع‬
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada
dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf
terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

(Q.S. al-Baqarah [2]: 240)[2]

‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجًا يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا‬

ِ ‫[ فَإ ِ َذا بَلَ ْغنَ أَ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي أَ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬
٢٣٤ : ‫ُوف َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِيرٌ] البقرة‬

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri


(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat .
(QS.Al-Baqarah [2]: 234)[3]
2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadith mutawatir dan ahad dinasakh oleh hadits
mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadith ahad.

Contoh:

‫م ع َْن ِزيَا َر ِة ْالقُبُوْ ِر أَالَ فَ ُزوْ رُوْ هَا‬Qْ ‫ت نَهَ ْيتُ ُك‬
ُ ‫ُك ْن‬

“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”

ُ‫ب الرَّابِ َع ِة فَا ْقتُلُوْ ه‬


َ ْ‫فَإ ِ ْن ُشر‬

“Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”

Dinasakh oleh hadith:

ُ‫أَنَّهُ ُح ِم َل إِلَ ْي ِه َم ْن َش ِربَهَا الرَّابِ َعةَ فَلَ ْم يَ ْقتُ ْله‬

Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr keempat kalinya,
tetapi rasul tidak membunuhnya. Sabda Rasululah:

‫ضا ِحي ِألَجْ ِل ال َّدا فَ ِة فَا َّد ِخرُوْ هَا‬


َ َ‫خَار ل ُح ُو ِم ْاأل‬ ُ ‫ُك ْن‬
ِ ‫م َع ِن ا َّد‬Qْ ‫ت نَهَ ْيتُ ُك‬
Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada golongan yang
membutuhkan, maka sekarang simpanlah.

3. Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an

Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:


ْ Q‫وهَ ُك ْم َش‬QQ‫ا ُك ْنتُ ْم فَ َولُّوا ُو ُج‬QQ‫ْث َم‬
ُ‫ط َره‬ ْ Q‫ك َش‬
ُ ‫ َر ِام َو َحي‬Q‫ ِج ِد ْال َح‬Q‫ط َر ْال َم ْس‬ َ َ‫ضاهَا فَ َو ِّل َوجْ ه‬َ ْ‫ك قِ ْبلَةً تَر‬ َ ُّ‫قَ ْد نَ َرى تَقَل‬
َ َّ‫ب َوجْ ِهكَ فِي ال َّس َما ِء فَلَنُ َولِّيَن‬
]١٤٤: ‫ق ِم ْن َربِّ ِه ْم َو َما هَّللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُونَ [البقرة‬ َ ‫َوإِ َّن الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
ُّ ‫َاب لَيَ ْعلَ ُمونَ أَنَّهُ ْال َح‬

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.
Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-
orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 144)[4]
A. Macam-Macam Nāsikh dalam al-Qur’an

Nāsikh dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:

1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak
dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya riwayat Bukha>ri dan Muslim,
yaitu hadits ‘Aisyah ra.
ُ‫رأ‬Q
َ Q‫(وه َُّن ِم َّما يُ ْق‬ ٍ ‫س َم ْعلُوْ َما‬
َ ‫لم‬QQ‫ فَتُ ُوفِّ َي َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وس‬.‫ت‬ ِ ‫ت َم ْعلُوْ َما‬
ٍ ‫ت يُ َح ِّر ْمنَ فَنُ ِس ْخنَ بِ َخ ْم‬ َ ‫َكانَ فِ ْي َما أُ ْن ِز َل َع َش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬
)‫ ِمنَ ْالقُرْ أَ ِن‬.

“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh isapan menyusu yang
diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Seteah Rasulullah
wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur’an.”

Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah
seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak
sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dināsikh menjadi lima isapan. Ayat tentang
sepuluh atau lima isapan dalam menyusu karena baik bacaannya maupun hukumnya telah
dināsikh.[5]

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Misalnya ayat
tentang mendahulukan sedekah:

.‫َّح ْي ٌم‬ ْ َ‫ ُر لَ ُك ْم َوا‬Q‫كَ خَ ْي‬Qِ‫ َدقَةً َذل‬Q‫ص‬


ِ ‫وْ ُر ر‬QQُ‫إ ِ َّن هللاَ َغف‬Qَ‫ ُدوْ ا ف‬Q‫إ ِ ْن لَ ْم ت َِج‬Qَ‫ ُر ف‬Qَ‫طه‬ َ ‫ َو ُك ْم‬Qْ‫ي نَج‬ ُ ‫وْ آ إِ َذا نَ َج ْيتُ ْم الر‬Qُ‫يَاَيُّهَا ْال ِذ ْينَ اَ َمن‬
َّ ‫ َد‬Qَ‫ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ ي‬Qَ‫وْ َل فَث‬Q‫َّس‬
]۱۲: ‫[المجادلة‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul,
hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tidak memperoleh (yang akan
disedahkan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (Q.S. al-
Mujadalah [58]: 12)[6]

Ayat ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:

ُ‫وْ لَهُ َوهللا‬QQ‫صلَوةَ واَتُوْ ا ال َّز َكوةَ َواَ ِط ْيعُوْ ا هللاَ َو َر ُس‬ َ ‫ت فَا ِ ْذ لَ ْم تَ ْف َعلُوْ ا َوت‬
َّ ‫َاب هللاُ َعلَ ْي ُك ْم فَاَقِ ْي ُموْ ا ال‬ َّ ‫أَاَ ْشفَ ْقتُ ْم اَ ْن تُقَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َد‬
َ ‫ي نَجْ َوا ُك ْم‬
ٍ ‫ص َدقَا‬
َ‫خَ بِ ْي ٌر بِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬.

[۱۳: ‫]المجادلة‬

“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi
tobat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan
Rasulnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 13).
[7]

3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh ayat
rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansūkh
bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:

‫إِ َذا َزنَا ال َّش ْي ُخ ال َّش ْي َخةُ فَارْ ُج ُموْ هَ َما‬

“Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.

Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin
Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap
bacaannya mansūkh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami
membaca ayat rajam:

‫ضيَا ِمنَ الَّ َّذ ِة‬


َ َ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّشيْخَ ةُ فَارْ ُج ُموْ هُ َما البَتَةَ بِ َما ق‬.

“Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat
dalam bentuk kelezatan (zina).”[8]

B. Dasar-dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh

Manna>’ Al-Qat}t}an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar adalah:

1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti
hadis yang artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah.

2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh

3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nāsikh, dan
mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-Qat}t}an menambahkan bahwa nāsikh
tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi
antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari
pembawa riwayat.

C. Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansūkh

Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang dianggap mansūkh di antaranya
menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang dianggap mansūkh berjumlah 100 buah. Keseratus
ayat Allah itu dianggap Al Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya. Setelah diteliti ternyata
hukumnya tidak berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama setuju dengan vonis Nahas
itu. Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain berasal dari provinsi Ashut}
(karena dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang ayat-ayat yang telah batal hukumnya itu. Al
Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang dipandang mansūkh dengan yang
dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyut}iy, ada 20 ayat yang terpaksa dinyatakan mansūkh.

Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai dengan tahun 1250 H
melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin digabungkan ternyata olehnya bisa. Maka
jadilah hitungan ayat mansūkh menurut Shaukaniy hanya 8 buah.[9]

Contoh :
ْ ُّ‫ق َو ْال َم ْغ ِر ۚبُ فَأ َ ْينَ َما تُ َول‬
‫وا فَثَ َّم َوجْ هُ ٱهَّلل ۚ ِ إِ َّن ٱهَّلل َ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬ ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬

[۱۱۵ :‫] البقرة‬

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.[10]

Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas,
dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
ْ QQQ‫وهَ ُك ْم َش‬QQQُ‫وا ُوج‬
ۚ : ‫رة‬QQQ‫ [البق‬....ُ‫ط َره‬ ْ ُّ‫ا ُكنتُ ْم فَ َول‬QQQ‫ْث َم‬
ُ ‫َو َحي‬
] ١٥٠

“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya”. [11]

Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy Al Nisaburiy dalam
Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa Al Mansūkh - demikian: “Setiap kali Nabi
Muhammad mengerjakan salat, wajahnya menengadah ke langit dan berseru: “Wahai Jibril,
sampai kapankah daku salat menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan
Rasulullah, Jibril hanya mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah
Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.

Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis disebabkan kerisian Nabi,
karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi mendorong beliau mengadu kepada Jibril.
Tapi sayang, Jibril tidak berdaya. Karena seperti diakui Jibril sendiri, dia hanyalah pesuruh.
Keluhan Nabi Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150 surat al-Baqarah. Padahal
bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan bahwa perubahan kiblat itu
berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan yang hanya diketahui Allah dan
perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan pengikut Rasulullah.[12]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang lain. Naskh terdiri
dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada
nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam menghapus
hukum shara’ tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni : Hukum yang mansūkh
(dihapus) adalah hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih dulu daripada mansūkh, khitab
yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu. Dalam cakupannya naskh dibagi menjadi
tiga, antara lain : Naskh quran dengan quran, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan
quran. Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya, pendapat
mengenai jumlah ayat dan ayat tersebut. al Nahas berpendapat jumlah ayat yang dimansūkh
berjumlah 100 ayat. Suyuṭiy berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan Al Shaukaniy berpendapat
8 ayat.

Saran

Saya sangat menyadari bahwa terdapat begitu banyak kekurangan dalam makalah yang
susun. Maka dari itu, saya dengan sangat lapang menerima kritikan yang membuat makalah ini
kedepannya lebih mudah di fahami.

Dan saya sangat berharap bahwa pembaca akan mengambil hal positif dari makalah yang
saya susun ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qat{t{an, Manna>’ Khali>l. Studi Ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa,
2014.

Anwar, Rosihon. Ulumu al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Haris, Abdul . “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”. Tajdid, (2014), XIII: 205-206.

Hermawan, Acep. Ulumul Quran untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011.
[1] Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”, Tajdid, Vol. XIII No. 1, Januari-Juni
2014, 205-206.

[2] Q. S. al-Baqarah (2) : 240.

[3] Q. S. al-Baqarah (2) : 234.

[4] Q. S. al-Baqarah (2) : 144.

[5] Anwar Rosihon, Ulūm Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 175.

[6] Q. S. al-Mujaādalah (58) : 12.

[7] Ibid.,176.

[8] Ibid.,177.

[9] Acep Hermawan, ‘Ulūmul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011), 182.

[10] Q. S. al-Baqarah (2) : 115.

[11] Q. S. al-Baqarah (2) : 150.

[12] Hermawan, Ulūmul Quran, 185.

Anda mungkin juga menyukai