puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan nikmat-
Nya sehingga kami dapat mennyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan judul “Nasikh
dan Mansukh”. Makalah ini disusun dan diketik atas dasar tugas mata kuliah Studi Qur’an
yang diberikan oleh dosen pengampu Ibu Tariyono, M.Pd Terimakasih kepada dosen yang
sudah memberikan kami amanah dalam pengerjaan tugas makalah ini, bagi kami sebagai
penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
JUDUL..............................................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan.....................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2
A. Pengertian Nasikh dan Masukh.............................................................................2
B. Syarat – syarat Nasikh...........................................................................................2
C. Pembagian Naskh..................................................................................................2
D. Macam – macam Naskh dalam Al – Qur’an.........................................................4
E. Dasar – dasar penetapan Nasikh dan Mansukh.....................................................6
F. Pendapat mengenai ayat yang dianggap Mansukh................................................6
BAB III PENUTUP...........................................................................................................8
A. Kesimpulan.............................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menurunkan shari’at di dalam Alquran kepada Nabi Muhammad untuk
memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan muamalah. Tentang bidang ibadah
dan mu’āmalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak
dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti
dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan
manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena
itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu Nasikh mansukh dalam
Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian nāsikh dan mansūkh?
2. Bagaimana Syarat – syarat Nasikh?
3. Bagaimana Pembagian Nasikh?
4. Bagaimana macam-macam nāsikh dan mansūkh?
5. Bagaimana dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh?
6. Bagaimana pendapat mengenai ayat yang dimansu>kh ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nāsikh dan mansūkh.
2. Untuk mengetahui bagaimana syarat – syarat Nasikh.
3. Untuk mengetahui macam – macam Nasikh.
4. Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh.
5. Untuk mengetahui bentuk dan jenis nāsikh dan mansūkh.
6. Untuk mengetahui pendapat mengenai ayat yang dimansūkh.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nāsikh dan Mansūkh
Nasikh secara bahasa mempunyai beberapa arti. Berarti “Iza>latu al shay’I
wa i’da>muhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “ Naqlu al
shay’i” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti
“Tahwil” (pengalihan). Sedangkan Nasikh secara istilah adalah: Mengangkat (menghapus)
hukum syara’ dengan dalil/khith{ab syara’ yang lain.
Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen Nasikh terdiri dari; adanya pernyataan
yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus
ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang
diangkat atau yang dihapus.[1]
B. Syarat-syarat Nasikh
1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’.
2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khit{ab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.
4. Hukum yang terkandung pada nasikh bertentangan dengan hukum pada mansukh.
5. Yang mansukh harus lebih awal dari Nasikh.
6. Hukum yang di-nasakh mesti hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan
hukuman.
7. Hukum yang di-nasakh tidak terbatas waktu tertentu, mesti berlaku sepanjang waktu.
8. Hukum yang terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nasikh.
9. Status nash nasikh mesti sama dengan nash mansukh.
C. Pembagian Nasikh
Nasikh dibagi menjadi tiga ;
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat bulan
sepuluh hari.
2
ٍ اج ِه ْم َمتَاعًا ِإلَى ْال َحوْ ِل َغ ْي َر ِإ ْخ َر
اج فَِإ ْن ِ صيَّةً َأِل ْز َو
ِ َوالَّ ِذينَ يُت ََوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا َو
َزي ٌز ٍ َاح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن ِم ْن َم ْعر
ِ ُوف َوهَّللا ُ ع َ خَرجْ نَ فَاَل ُجن َ
[ ٢٤٠ : ]البقرة َح ِكي ٌم
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 240)[2]
َوالَّ ِذينَ يُت ََوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا
ِ فَِإ َذا بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِفي َما فَ َع ْلنَ ِفي َأ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر
َُوف َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُون
[ ٢٣٤ : البقرة ]ٌخَ بِير
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat . (QS.Al-Baqarah [2]: 234)[3]
2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadith mutawatir dan ahad dinasakh oleh
hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadith ahad.
Contoh:
ت نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزيَا َر ِة ْالقُبُوْ ِر َأالَ فَ ُزوْ رُوْ هَا
ُ ُك ْن
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah”
ط َر ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِامْ ك َش َ َضاهَا فَ َو ِّل َوجْ هَ ْب َوجْ ِهكَ فِي ال َّس َما ِء فَلَنُ َولِّيَنَّكَ قِ ْبلَةً تَر َ ُّقَ ْد نَ َرى تَقَل
ق ِم ْن َربِّ ِه ْم َ ط َرهُ َوِإ َّن الَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِكت
ُّ َاب لَيَ ْعلَ ُمونَ َأنَّهُ ْال َح ْ ْث َما ُك ْنتُ ْم فَ َولُّوا ُوجُوهَ ُك ْم َش
ُ َو َحي
]١٤٤: َو َما هَّللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُونَ [البقرة
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan
Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 144)[4]
ٍ س َم ْعلُوْ َما
فَتُ ُوفِّ َي َرسُوْ ُل.ت ِ ت َم ْعلُوْ َما
ٍ ت ي َُح ِّر ْمنَ فَنُ ِس ْخنَ بِ َخ ْم َ َكانَ فِ ْي َما ُأ ْن ِز َل َع َش ُر َر
ٍ ض َعا
)هللاِ صلى هللا عليه وسلم ( َوهُ َّن ِم َّما يُ ْق َرُأ ِمنَ ْالقُرْ َأ ِن.
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh isapan
menyusu yang diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu) yang
diketahui. Seteah Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian
al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara
apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara
4
mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dināsikh menjadi
lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu karena baik bacaannya
maupun hukumnya telah dināsikh.[5]
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Misalnya ayat
tentang mendahulukan sedekah:
ْ َك َخ ْي ُر لَ ُك ْم َوا
طهَ ُر َ ِص َدقَةً َذل َّ يَاَيُّهَا ْال ِذ ْينَ اَ َمنُوْ آ ِإ َذا ن ََج ْيتُ ْم ال َّرسُوْ َل فَثَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َد
َ ي نَجْ َو ُك ْم
]۱۲: [المجادلة.َّح ْي ٌم ِ فَِإ ْن لَ ْم ت َِج ُدوْ ا فَِإ َّن هللاَ َغفُوْ ُر ر
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika
kamu tidak memperoleh (yang akan disedahkan) maka sesungguhnya Allah maha
pengampun lagi maha penyayang.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 12)[6]
Ayat ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:
5
ضيَا ِمنَ الَّ َّذ ِة
َ َال َّش ْي ُخ َوال َّشيْخَ ةُ فَارْ ُج ُموْ هُ َما البَتَةَ بِ َما ق.
“Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa
yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”[8]
6
ْ ُّفََأ ْينَ َما تُ َول ُق َو ْال َم ْغ ِر ۚب
ِ ِإ َّن ٱهَّلل َ َو ِ ۚ وا فَثَ َّم َوجْ هُ ٱهَّلل
اس ٌع َعلِي ٌم ُ َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر
] ۱۱۵ ½:[البقرة
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
[10]
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas,
dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
ْ وا ُوجُوهَ ُك ْم َش
] ١٥٠ : [البقرة ....ُط َره ْ ُّْث َما ُكنتُ ْم فَ َول
ُ َو َحي ۚ
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya”. [11]
Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy Al Nisaburiy
dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa Al Mansūkh - demikian: “Setiap kali
Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya menengadah ke langit dan berseru: “Wahai
Jibril, sampai kapankah daku salat menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan
Rasulullah, Jibril hanya mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah
Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.
Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis disebabkan
kerisian Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi mendorong beliau
mengadu kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya. Karena seperti diakui Jibril sendiri,
dia hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150
surat al-Baqarah. Padahal bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan
bahwa perubahan kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan
yang hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan
pengikut Rasulullah.[12]
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasikh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang
lain. Nasikh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum
yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum
atasnya. Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, yakni : Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum shara’,
Dalil Nasikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya
tidak terikat dengan waktu. Dalam cakupannya Nasikh dibagi menjadi tiga, antara
lain : Nasikh quran dengan quran, Nasikh sunnah dengan sunnah, Nasikh sunnah dengan
quran. Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya, pendapat
mengenai jumlah ayat dan ayat tersebut. al Nahas berpendapat jumlah ayat yang
dimansūkh berjumlah 100 ayat. Suyuṭiy berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan Al
Shaukaniy berpendapat 8 ayat.
8
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qat{t{an, Manna>’ Khali>l. Studi Ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa,
2014.
Anwar, Rosihon. Ulumu al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Haris, Abdul . “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”. Tajdid, (2014), XIII: 205-206.
Hermawan, Acep. Ulumul Quran untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011.
[1] Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”, Tajdid, Vol. XIII No. 1, Januari-Juni
2014, 205-206.
[2] Q. S. al-Baqarah (2) : 240.
[3] Q. S. al-Baqarah (2) : 234.
[4] Q. S. al-Baqarah (2) : 144.
[5] Anwar Rosihon, Ulūm Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 175.
[6] Q. S. al-Mujaādalah (58) : 12.
[7] Ibid.,176.
[8] Ibid.,177.
[9] Acep Hermawan, ‘Ulūmul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011), 182.
[10] Q. S. al-Baqarah (2) : 115.
[11] Q. S. al-Baqarah (2) : 150.
[12] Hermawan, Ulūmul Quran, 185.