Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HUKUM ISLAM

TENTANG

“HUKUM TAKHLIFI DAN HUKUM WADH’I”

Dosen pengampu : Suwandi M.Pd.I

Disusun oleh: kelompok lV

1. Setiawan (2021A1C247)
2. Nurlailah
3. Zuriatun Toyibah
4. Rosdiana
5. Aria Ahmad Watoni

PROGRAM STUDI PPKN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
2021/2022
i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas ke hadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Hukum Takhlif dan
Hukum Wadh’i” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi bagi kami dan pembaca pada umumnya.

Mataram,April 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................................1
A.       Latar Belakang........................................................................................................................1
B.       Rumusan Masalah...................................................................................................................1
C.       Tujuan Penulisan....................................................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN...................................................................................................2
A.       Pengertian Hukum Taklifi......................................................................................................2
B.       Macam macam Hukum Taklifi Menurut Jumhur Ulama Uhsul Fiqih .................................2
C. Pembagian Hukum Taklifi...................................................................................................... 5
D. Pengertian Hukum wadh;i.......................................................................................................9
E. Macam macam Hukum Wadh’i..............................................................................................10
F. Perbedaan Hukum Takhlifi dengan Hukum Wadh’i...............................................................16

BAB III : PENUTUP............................................................................................................17


Kesimpulan.............................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................18

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
Hukum merupakan salah satu objek pembahasan ushul fiqih yang sangat penting, bahkan
tujuan dari ushul fiqih itu sendiri adalah menyupulkan hukum dalam dalam Al Qur’an dan
Hadist dengan berbagai metode yang bisa digunakan. Hukum syara’ mempunyai beberapa unsur
lain yang berkaitan dengannya, seperti, hakim sebagai pembuat hukum, al-mahkum fih sebagai
perbuatan yang dibebankan dan juga mahkum ‘alaihi sebagai pelaksana hukum. Namun dalam
makalah ini kami hanya membahas tentang hukum syara’ saja yang meliputi hukum taklifi dan
wadhi’.
Dalam pembahasan hukum taklifi pertama sekali kami menjelaskan hukum taklifi
menurut ushuli kemudian baru menjelaskan hukum taklifi sebagai efek dari nash, misalnya, kami
menjelasakan ijab dulu dan setelah itu baru menjelaskan wajib yang menjadi salah satu bagian
dari ijab.

B.       Rumusan masalah


1. Apa pengertian Hukum Taklifi?
2. Apa macam macam Hukum Taklifi?
3. Apa pengertian Hukum wadh’i?
4. Apa macam macam Hukum wadh’i?

C.       Tujuan penulisan


1.         Menjelaskan pengertian Hukum Taklifi.
2.         Menjelaskan macam macam Hukum Taklifi.
3. Menjelaskan pengertian Hukum Wadh’i
4. Menjelaskan macam macam Hukum Wadh’i

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Taklifi


Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut
untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.
1. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
َ‫صلَوةَ َوآتُوا ال َّز َكوةَ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬
َّ ‫َواَقِ ْي ُموا ال‬
"Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi Rahmat."
(QS. An-Nur : 56)
2. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
‫َوالَ تَْأ ُكلُوْ ا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل‬
"Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan bathil." (QS. Al-Baqarah : 188)
3. Contoh firman Allah yang bersifat memilih:
‫َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْيطُ ْاالَ ْبيَضُ ِمنَ ْال َخ ْي ِط ْاالَ ْس َو ِد ِمنَ ْالفَجْ ِر‬
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar."
(QS. Al-Baqarah : 187)

Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:


1. Ijab
Yaitu tuntutan syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan.
Orang yang meninggalkan dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur :56

َ‫صلَوةَ َوآتُوا ال َّز َكوة‬


َّ ‫ َواَقِ ْي ُموا ال‬....
artinya:
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..."
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut ahli para Ushul Fiqh melahirkan
ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan
dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang

2
dituntut itu (yaitu mendirikan sholat dan membayar zakat), disebut dengan wajib. Oleh sebab itu,
istilah ijab menurut ulama Ushul Fiqh, terkait dengan khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas,
sedangkan wujub merupakan akibat dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang
dituntut oleh khithab Allah.

2. Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan
sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang
meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub,
sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah : 282. Allah
SWT berfirman:
ُ‫يَآ اَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ آ اِ َذا تَدَا يَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِلَى اَ َج ٍل ُم َسمًّى فَا ْكتُبُوْ ه‬....
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."
Lafadz faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya mengandung
perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang
terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah : 283):
... ُ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد الَّ ِذي اْؤ تُ ِمنَ اَ َمنَتَه‬
ُ ‫فَا ِ ْن اَ ِمنَ بَ ْع‬....
Artinya:
"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya..."
Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan
ini adalah lanjutan ayat, yaitu allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka
penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan nadb,
sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang-piutang disebut
mandub, dan akibat dari tuntutan Allah di atas disebut nadb.

3
3. Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa.
Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-An'am : 151:
... ُ ‫س الَّتِي َح َّر َم هَّللا‬
َ ‫ َوالَ تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬....
Artinya:
"...Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah..."
Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut harman, dan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut dengan
haram.

4. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui
redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut
untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga
karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadits Nabi Muhammad SAW:
ُ ‫اَبْضُ ْال َحاَل ِل ِع ْن َدهَّللا ِ الطَّاَل‬
‫ق‬
Artinya:
"perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak." (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-
Baihaqi dan Hakim).
khithab hadits ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah,
sedangkan perbuatan yang dikenai khithab ini disebut makruh.

5. Ibahah
Yaitu khithab Allah yang bersifat memilih, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak
berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan
yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2
... ‫ َواِ َذا َحلَ ْلتُ ْم فَاصْ طَا ُدوْ ا‬....
Artinya:
"Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu."

4
Ayat ini juga menggunakan lafadz amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena
ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah, dan
akibat dari khithab ini juga disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu
disebut mubah.

B. Pembagian Hukum Taklifi


1. Wajib
Para ulam Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari berbagai segi,
antara lain:
a.     Dilihat dari segi waktu.
Ø Wajib al-muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syari' untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa
ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang
melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia
melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.
Ø  Wajib al-mu'aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu
tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib (Shubuh, Zhuhur, 'Ashar, Maghrib,
dan 'Isya') harus dikerjakan pada waktunya, demikian juga puasa Ramadhan. Waktu di sini
merupakan bagian dari kewajiban itu sendiri, sehingga apabila belum masuk waktunya,
kewajiban itu belum ada.
b.    Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan.
Ø  Wajib al-muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara' dengan
ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah raka'at dalam shalat.
Jumlah dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah, atau dikurangi.
Ø  Wajib ghairu al-muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara' ukuran dan jumlahnya,
tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin umat untuk menentukannya. Misalnya,
penentuan hukuman dalam jarimah ta'zir (tindak pidana di luar hudud dan qishash) yang
diserahkan kepada para qadhi (hakim). Dalam penentuan hukuman ini, para hakim harus
berorientasi pada tercapainya tujuan syara' dalam mensyari'atkan suatu hukuman dan bersifat
adil.
c.     Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban.
Ø  Wajib al-'aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf. Misalnya,

5
kewajibab melaksanakan shalat bagi setiap orang mukallaf.
Ø  Wajib al-kifa'i adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila
telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang
tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat
jenazah, melaksanakan amr ma'ruf nahi munkar, dan menjawab salam ketika berkumpul
bersama orang banyak.
Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa berubah menjadi wajib al-'aini apabila yang bertanggung
jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Misalnya, menolong orang yang tenggelam di
laut atau di sungai merupakan wajib al-kifa'i, karena semua orang yang menyaksikannya wajib
menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang menyaksikan peristiwa itu hanya satu
orang yang pandai berenang, maka waib al-kifa'i yang dikenakan kepada sejumlah orang itu
berubah menjadi wajib al-'aini bagi orang yang pandai berenang tersebut.
d.    Dilihat dari segi kandungan perintah.
Ø  Wajib al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti
sholat, puasa, dan harga barang dalam jual beli. Shalat dan puasa dikerjakan yang pada dirinya
adalah wajib, dan harga barang yang dibeli itu juga wajib ada dan wajib diserahkan.
Ø  Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya
firman Allah dalam surat al-Maidah:89, mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas,
memberi makan fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak.

2. Mandub
Para ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi 3 macam, antara lain:
a.     Sunnah al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak
mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Di antaranya adalah shalat-shalat
sunah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat fardu'), seperti shalat sunah
dua raka'at sebelum shubuh, dua raka'at sebelum dan setelah Zhuhur, dan berkumur-kumur
waktu berwudhu', adzan, berjama'ah.
b.    Sunnah ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila ditinggalkan tidak
berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar'i, seperti bersedekah, shalat sunnah dhuha dan

6
puasa setiap hari Senin dan Kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh disyari'atkan,
tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW. Sunah seperti ini disebut juga dengan istilah
mushtahab atau nafilah.
c.     Sunnah al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sehingga
apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela.
Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah SAW sebagai
manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini
dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka
disebut sunah Za'idah.

3. Haram
a.    Haram li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan Syar'i tentang keharamannya.
Misalnya memakan bangkai, babi, berjudi, meminum minuman keras, berzina, membunuh dan
memakan harta anak yatim. Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman pada zat (esensi)
pekerjaan itu sendiri. Akibatnya, apabila melakukan suat transaksi dengan sesuatu yang haram li
dzathihi ini, hukumnya menjadi batal, dan tidak ada akibat hukumnya.
b.    Haram li ghairihi
Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyari'atkan, tetapi dibarengi oleh sesuatu yang bersifat
mudarat bagi manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanya mudarat tersebut.
Misalnya, melaksanakan shalat dengan pakaian hasil ghashab (mengambil barang orang lain
tanpa izin), melakukan transaksi jual beli ketika suara adzan shalat Jum'at telah berkumandang,
pernikahan tahalal, puasa di Hari Raya Idul Fitri.
4. Makruh
Ulama hanafiyyah membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu:
a.    Makruh Tanzil
Yaitu sesuatu yang dituntut Syar'i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntunan yang tidak
pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama hanafiyyah ini sama dengan pengertian makruh di
kalangan Jumhur Ulama. Misalnya, memakan daging kuda yang dikemukakan di atas.
b.    Makruh Tahrim

7
Yaitu tuntutan Syar'i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang
pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan
emas bagi kaum lelaki, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW:
"Keduanya ini (emas dan sutera) haram bagi umatku yang laki=laki dan halal bagi wanita."
(H.R. Abu Daud, An-Nasai', Ibn Majah, dan Ahmad Ibn Hanbal).

5. Mubah
Pembagian mubah menurut ulama Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat
dan manfaat, antara lain:
a.     Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti
makan, minum, berpakaian dan berburu.
b.    Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan ini
sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini di antaranya, melakukan sesuatu dalam
keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak ada makanan lagi yang
mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka seseorang akan meninggal
dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini makan daging babi untuk sekedar
mempertahankan nyawa termasuk mubah. Atau sesuatu yang pada dasarnya wajib dilaksanakan,
tetapi karena darurat, maka boleh ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil, musafir
dan ibu yang menyusui anaknya.
Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara',
tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Misalnya
mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam, seperti mengawini bekas istri ayah (ibu tiri) dan
mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari'at islam yang
mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa orang yang telah melakukannya
sebelum islam dimaafkan.

8
C.    Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk
sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Bila firman Allah menunjukkan
atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, atau syarat, atau
penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan
hukum

Adapun contohnya yaitu :


1.      Firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab:
ِ ِ‫يَآاَيُّهَاالَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ آاِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الصَّلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬
.)6:‫(المائدة‬....‫ق‬
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri untuk mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada suku.”(QS. Al-Ma’idah:6)
Ayat di atas dapat dipahami bahwa mendirikan shalat menjadi sebab untuk mewajibkan
wudhu atau menjadikan sesuatu adalah sebab terhadap sesuatu.
2.      Firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
)‫اَل نِ َكا َح اِاَّل بِ َولِ ٍّي َو َشا ِه َدىْ َع ْد ٍل(روه احمد‬
Artinya :”Tidak syah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ahmad)
Dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan itulah yang dimaksud dengan
menentukan sesuatu menjadi sahnya sesuatu.
3.      Contoh mani’ atau penghalang seperti tercantum dalam hadist yang berbunyi :
ِ ‫ْس لِ ْلقَاتِ ِل ِمنَ ال ِم ْي َرا‬
)‫ث َش ْي ٌء (رواه النسائ والدا رقطنى‬ َ ‫لَي‬
Artinya:”Tidak sedikitpun bagian orang yang membunuh dari harta warisan (yang terbunuh)”.
(HR. Nasa’i dan Daraquthi dari Amrin bin Suaib dari ayahnya dan dari anaknya)
Hadist tersebut menunjukkan bahwa membunuh sebagai penghalang untuk mendapatkan
warisan.

9
D.     Macam-Macam Hukum Wadh’i

Para ulama fiqh menyatakan bahwa hukum wadh’i itu ada lima macam, yaitu :
1.      Sebab
a.       Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang
lain. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas
musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya.Hukum syara’
kadang-kadang diketahui melalui tanda yang menunjukkan bahwa perbuatan itu menjadi
kewajiban mukallaf. Misalnya: Perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera
100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dhuhur, dan terbenamnya
matahari menjadi sebab wajibnya shalat magrib. Apabila perzinaan tidak dilakukan, maka
hukuman dera tidak dikenakan. Apabila matahari belum tergelincir, maka shalat dhuhur belum
wajib. Dan apabila matahari belum terbenam, maka shalat mahgrib belum wajib.

Dengan demikian terlihat hukum wadh’i dalam hal ini adalah sebab, dengan hukum
taklifi,  keberadaan  hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’I
hanya sebagai petunjuk atau indikator untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama’
ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia.

b.      Pembagian sebab


Secara garis besar sebab ada dua macam, yaitu:
1)      Sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf.
Seperti dalam contoh tibanya waktu shalat dan menimbulkan wajibnya shalat. Dalam firman
Allah SWT.:
‫س‬ ِ ْ‫صاَل ةَ لِ ُدلُو‬
ِ ‫ك ال َّش ْم‬ َّ ‫اَقِ ِم ال‬...
Artinya:” dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir….( Q.S. Al-isra’ : 78 )
2)      Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Seperti pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan adanya qishas.
Dalam firman Allah SWT. :

10
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ْالث‬
‫صاصُ فِى القَ ْتلَى‬ َ ِ‫يَآ َأيُّهَاالَّ ِذ ْينَ َءا َمنُوْ ا ُكت‬.....
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuhHai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh….”( al-Baqarah:178)

2.      Syarat
a.       Pengertian syarat
Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum
syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi, adanya
syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.
Misalnya: Wudlu adalah salah satu syarat sahnya shalat. Sholat tidak dapat dilaksanakan, tanpa
berwudlu terlebuh dahulu. Akan tetapi apabila seseorang berwudlu, ia tidak harus melaksanakan
shalat.

b.      Pembagian syarat


Para ulama’ memberi uraian tentang pembagian syarat dengan berbagai tinjauan, akan
tetapi yang terpenting ialah bahwa ditunjau dari segi penetapannya sebagai hukum syara’, syarat
dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1)      Syarat Asy-syar’iyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang timbul padanya
yang ditentukan oleh syara’.
Misalnya: akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri namun agar akad nikah itu
sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian apabila akad atau tindakan
hukum tidak akan menimbulkan efekya kecuali apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi.
2)      Syarat Al-Ja’liyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang timbul padanya yang
ditentukan oleh mukallaf. Contohnya , seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya
dengan mengatakan: “ jika engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka talakmu jatuh satu”.
Dengan demikian talak tidak akan menimbulkan efeknya kecuali tidak terpenuhi syarat talak.

11
3.      Mani’
a.       Pengertian Mani’
Menurut bahasa berarati “ penghalang “. Sedangkan dari segi istilah yang dimaksud
dengan mani’ adalah:
ْ ‫ب اَيْ ب‬
ُ‫ُطاَل نُه‬ َ َ‫ع َعلَى ُوجُوْ ِد ِه َع َد ُم ُو َجوْ ِدال ُح ْك َم َأوْ َع َد ُم ال َّسب‬ ِ ‫ب ال َّش‬
ُ ‫ار‬ َ َّ‫َما َرت‬
“ sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan hukum atau ketiadaan
sebab, maksudnya batalnya sebab itu.”
Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan
kewarisan (waris-mewarisi ). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan bagian warisan
dari harta ayah atau suami yang wafat sesuai dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak
mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah tersebut.
( H.R.Bukhari-Muslim ). Jadi, yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan warisan itu
karena membunuh orang yang mewarisi.

b.      Pembagian Mani’


Para ulama’ membagi mani’ dari sisi pengaruhnya bagi sebab dan hukum menjadi dua macam :
1)      Mani’ yang menghalangi adanya hukum
Yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adanya hukum syara’, ialah ketetapan
asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang berlakunya hukum syara’ yang
umum. Misalnya: hukum syara’ yang umum menyatakan wajib shalat bagi setiap mukallaf, baik
laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, syara’ juga menetapkan, haid dan nifas merupakan
penghalang bagi wanita untuk dikenakan kewajiban meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan
selama haid atau nifas.

2)      Mani’ yang menghalangi hubungan sebab


Yaitu ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang bagi
lahirnya musabbab/ akibat hukum dari suatu sebab syara’ yang berlaku umum. Misalnya:
jumlah harta yang telah mencapai kadar nishab dan telah dimiliki selama satu tahun ( haul )
merupakan sebab bagi kewajiban mengeluarkan zakat. Akan tetapi, ketetapan syara’ juga

12
menyatakan bahwa keadaan berhutang merupakan penghalang ( mani’ ) bagi seseorang untuk
dikenakan kewajiban zakat.

c.       Kaitan antara sebab, syarat, dan mani’


Dari rumusan definisi dan penjelasan diatas, terlihat bahwa antara sebab, syarat, dan
halangan terdapat hubungan yang saling terkait. Mani’ ada bersamaan dengan sebab dan syarat,
dan berakibat tidak adanya hukum disebabkan keberadaan mani’. Misalnya, matahari telah
tergelincir sebagai penyebab disebabakannya shalat dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib
berwudlu sebagai syarat sah shalat. Tetapi jika wanita yang akan shalat itu sedang haid yang
menjadi penghalang ( mani’ ) maka hukumnya menjadi tidak ada, karena wanita dalam keadan
haid tidak boleh melaksanakan shalat.

4.      Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad


a.       Pengertian Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad
1)      Ash-Shihah secara bahasa Sah atau Shihah (‫ ) الصححة‬atau shahih ( ‫ ) الصحيح‬lawan dari (
‫ ) المريضة‬yang artinya sakit. Secara istilah, para ahli ushul fiqih merumuskan definisi sah dengan
:
‫ت ْاآلثَا ُر ال َّشرْ ِعيْةةُ َعلَى الفِع ِْل‬
ِ َ‫ص َل ال َّسبَبُ َوت ََوفَّ َر ال َّشرْ طُ َوا ْنتَفَى ال َمانِ ُع تَ َرتَّب‬ ْ ‫ت ََرتُّبُ ثَ ْم َرتِ ِه ْال َم‬
َ ‫ فَِإ َذا َح‬.‫طلُوْ بَ ِة ِم ْنهُ شَرْ عًا َعلَ ْي ِه‬
“ Tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi,
halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.”

Maksudnya, sesuatu perbuatan dikatakan sah apabila terpenuhi sebab dan syaratnya, tidak
ada halangan dalam melaksanakannya, serta apa yang diinginkan syara’ dari perbuatan itu
berhasil dicapai. Misalnya: seseorang melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun, syarat, dan
sebab, serta orang yang shalat itu terhindar dari mani’ atau terhalang. Apabila shalat dhuhur akan
dilakdanakan, sebab wajibnya shalat itu telah ada yaitu matahari telah tergelincir, orang yang
akan shalat itu telah berwudlu, dan tidak ada mani’ dalam mengerjakan shalat tersebut maka
shalat yang dikerjakan tersebut sah.

13
2)      Al- Bathl secara etimologi batal yang dalam bahasa arabnya al-buthlan (‫ البطالن‬ ) yang
berarti rusak dan gugur hukumnya. Secara terminologi menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’,
yang mengatakan batal adalah :

‫ع‬ ِ َ‫ف ال َّشرْ ِع ِّي ع َْن اِ ْعتَبَا َر ِه َوآث‬


ِ ْ‫ار ِه فِى نَظَ ِر ال ٍّشر‬ َ َّ‫ت ََج ُّز ُد الت‬
ِ ُّ‫صتر‬
“ Tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari sasarannya, menurut pandangan syara’.”

Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhui ketentuan yang
ditetapkan oleh syara’, sehingga apa yang dikehendaki syara’ dari perbuatan tersebut lepas sama
sekali (tidak tercapai). Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi rukun atau tidak memenuhi
syarat, atau suatu perbuatan dilaksanakan ketika ada mani’ (penghalang). Perbuatan seperti itu
dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya, dalam persoalan ibadah yaitu orang yang
melaksanakan ibadah sholat harus memenuhi rukun dan syaratnya, apabila ada penghalang
seperti haid atau nifas maka sholatnya tidak sah atau batal.

Sedangkan dalam bidang muamalah, misalnya dalam transaksi jual beli apabila yang
melakukannya adalah orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum (seperti anak kecil
atau orang gila) maka hukum jual beli tersebut tidak sah.

Dengan demikian baik dalam bidang ibadah maupun dalam bidang muamalah, keabsahan
suatu perbuatan ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun, syarat, dan penyebab perbuatan
itu, dan tidak mani’ untuk melaksanakan perbuatan itu. Tetapi apabila perbuatan itu tidak
memenuhi syarat, rukun, dan sebabnya belum ada, atau ada mani’, maka perbuatan itu menjadi
batal.

Disamping istilah sah dan batal, dalam fiqih islam juga dikenal dengan istilah fasad, yang
posisinya diantara sah dan batal.

3)      Al-Fasad Secara etimologi, fasad (‫ ) الفساد‬berarti ”perubahan sesuatu dari keadaan yang
semestinya (sehat).” Dalam bahasa indonesia berarti “rusak”. Dalam pengertian terminologi
menurut jumhur ulama bahwa antara batal dan fasad mengandung esensi yang sama, yang

14
berakibat kepada tidak sahnya perbuatan itu. Apabila sesuatu perbuatan tidak memenuhi syarat,
rukun, dan tidak ada sebabnya, atau ada mani’ terhadap perbuatan tersebut, maka perbuatan itu
disebut fasad atau batal.

Menurut ulama Hanafiyyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan dengan
batal, yaitu fasad. Menurut mereka fasad adalah “terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur
akad.” Artinya, akad itu pada dasarnya adalah sah, tetapi sifat akad itu tidak sah. Misalnya,
melakukan jual beli ketika panggilan shalat jum’at berkumandang. Jual beli dan shalat jum’at
sama-sama memiliki dasar hukum. Akan tetapi jual beli itu dilaksanakan pada waktu yang
sifatnya terlarang untuk melakukan jual beli, maka hukumnya menjadi fasad atau rusak

5.      ‘Azimah dan Rukhshah


‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh hambanya
sejak semula. Maksudnya belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan oleh Allah.
Misalnya, jumlah shalat dhuhur adalah empat reka’at. Jumlah reka’at ini ditetapkan Allah sejak
semula, dimana tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah reka’at shalat dhuhur. Hukum
tentang shalat dhuhur tersebut adalah empat reka’at, disebut dengan ‘Azimah.

Adapun yang dimaksud al-Rukhshah sebagian ulama’ ushul fiqih ialah :


َ ‫ْف َع ِن ال ِعبَا ِد فِي َأحْ َوا ِل َخا‬
‫صة‬ ِ ‫َما ُش ِر َع ِمنَ اَألحْ َك ِام لِ ْلت َْخفِي‬
“Hukum-hukum yang disyari’atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keadaan tertentu.”
Adapun contonya yaitu :
a.       Rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan syari’at yang umum
diharamkan, karena darurat atau kebutuhan. Contohnya, boleh memakan daging babi jika
keadaan darurat, diman tidak terdapat makanan selain itu yang jika tidak dimakan maka jiwa
seseorang akan terancam. Berdasarkan firman Allah :
ّ ‫وقد ف‬....
‫صا ل لكم ما حرمعليكماال مااضطر رتماليه‬
Artinya:…”padahal sesungguhnya Allah yelah menjlaskan kepada kamu apa yang diharamkan-
Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (QS. Al-An’am:119)

15
b.      Rukhshah untuk meninggalkan yang menurut aturan syri’at yang umum diwajibkan, karena
kesulitan melaksanakannya. Contohnya, barang siapa dalam keadaan sakit atau berpergian pada
bulan ramadhan, maka ia diperbolehkan untuk buka puasa. Sebagaimana firman Allah :
‫فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِر ْيضًا اَوْ عَلى َشفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن اَي ٍَّام اُ َخ َر‬
Artinya: “…Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka puasa), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain…” (QS. Al- Baqarah: 184)

D.    Perbedaan Hukum Takhlifi dan Hukum Wadh’i


Ada beberapa perbedaan antara hukum al-takhlifi dengan hukum wadh’I yang dapat
disimpulkan dari pembagian hukum di atas perbedaan dimaksud, antara lain adalah:
a.       Dalam hukum al-takhlifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan meninggalkan, atau
memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’I hal ini tidak ada, melainkan
mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduannya bisa
dijadikan sebab, penghalang , atau syarat.
b.      Hukum al-takhlifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan ,
ditinggalkan atau melakukan pilihan untuk bertbuat atau tidak berbuat . sedangkan hukum al-
wadh’I tidak dimaksudkan agar langsung di lakukan mukallaf. Hukum al-wadh’i ditentukan
syari’ agar dilaksanakan hukum takhlifi.
c.       Hukum al-takhlifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau
meninggalaknnya, karena dalam hukum al-takhlifi tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan
kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan hukum al-wadh’i hal
seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqqah dan haraj dalam hukum al-wadh’i adakalanya
dapat dipikul mukallaf (seperti menghindarkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan) dan
adakalanya diluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat
dzuhur).
Hukum al takhlifi ditunjukan kepada para mukallaf, yaitu oaring yang telah baligh dan berakal .
sedangkan hukum al-wadh’i ditunjukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf, maupun
belum, misalnya anak kecil dan orang gila.

16
17
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hukum ialah bekasan dari titah Allah atau sabda Rosul. Apabila hukum syara’, maka yanh
dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia. bahwasanya hukum syara’
terbagi menjadi dua yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum takhlifi ialah dituntut melakukan atau tidak melakukan atau dipersilahkan untuk
memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Khitab Allah yang mengandung tuntutan.
Hukum Wad’I adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang
mengandung persyaratan, sebab atau mani’, dengan 5 macam yakni sebab, syarat, mani’, sihah
atau batil, azimah dan rukhsah.
Dalam hukum al-takhlifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan meninggalkan, atau
memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’I hal ini tidak ada, melainkan
mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduannya bisa
dijadikan sebab, penghalang , atau syarat.
Al-Hakim itu ialah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah
ialah para RosulNya. Beliau-beliaulah inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada
ummat manusia. Yang diperselisishkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap
perbuatan mukhallaf sebelum rosul dibangkitkan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rahmat. 2010. IlmuUshulFiqihcet.IV. Bandung: CV PustakaSetia.


Haroen, Nasrun. 1996. UshulFiqih 1. Jakarta: Logos.

Khallaf Abdul Wahab, ilmu usul fiqih, semarang:DINA UTAMA, 1994


Umam khoirul, dkk. Ushul fiqih 1,Bandung,CV Pustaka Setia.2000
Umam airul,dkk. Ushul fiqih 1,IAIN Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai