Anda di halaman 1dari 17

BIOGRAFU DAN PEMIKIRAN ULAMA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Pelajaran

Ilmu Kalam ( Akidah Akhlak )

NANDO PRANATA
XII AGAMA 1

MAN 2 TASIKMALAYA

KABUPATEN TASIKMALAYA

2021
1. Biografi dan Pemikiran Syekh Muhammad Yasin Alfandani
a. Biografi
Syaikh Yasin mempunyai nama lengkap ‘Alam al-Din Abu Fayd
Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa bin Udik al-Fadani alMakki al-Syaf’i. (
al-Fadani,1985: V.) Gelar alFadani merupakan nisbah dari daerah Padang
Indonesia karena Syaikh Yasin merupakan keturunan dari Padang, Sumatera
Barat, Muhammad Khafdz Soroni dan M. Norzi bin Nasir, Ketokohan Syaikh
Yasin al-Fadani dan Sumbangannya dalam Disiplin Sanad, (T.tp., t.t.), hlm. 1.
Amirul Ulum, Musnid al-Dunya Syaikh Yasin ibnu Isa alFadani, (Yogyakarta:
Global Press, 2016), hlm. Xii. Indonesia, gelar al-Makki merupakan nisbah
dari tempat kelahirannya yaitu kota Mekkah Arab Saudi, dan al-Syaf’i
merupakan gelar untuk penganut Mazhab Imam Syaf’i.
Ayahnya bernama Isa dan kakeknya bernama Udik, sedangkan anaknya
bernama Muhammad dan Fayd. Oleh karenya Syaikh Yasin mempunyai
julukan Abu Fayd (ayahnya Fayd). Syaikh Yasin dilahirkan di kota Hayyi
Misfalah, Mekkah al-Mukarramah pada hari selasa tanggal 27 Sya’ban, tahun
1337 H/1917 M. kelahirannya membuat kebahagiaan tumbuh dalam diri kedua
orang tuanya. Keduanya berharap kelak anaknya akan menjadi ulama besar
yang akan meneruskan panji-panji yang dikibarkan Nabi Muhammad Saw.5 Di
masa anak-anak Syaikh Yasin diasuh dan dididik secara langsung oleh
ayahnya, Syaikh Isa al-Fadani dan ibunya Nyai Maimunah binti Abdullah al-
Fadani. Ia mendapatkan ilmu dasar-dasr agama Islam langsung dari ayahnya,
seperti ilmu membaca al-Qur’an, Tauhid, Fiqih, Gramatika Arab, dan lain-lain.
Ia juga mendapatkan ilmu membaca dan memahami al-Qur’an dari ibunya
yang notabennya adalah seorang yang hafal al-Qur’an. Atas bimbingan ibunya
kurang lebih berumur 8 tahun Syaikh Yasin mampu menghafal al-Qur’an
dengna baik dan benar. Menginjak usia 12 tahun (1927 M), Syaikh Yasin
diperintah ayahnya untuk mencari ilmu di madrasah Shaulathiyyah7 selama 6
tahun. Masyayikh Shaulathiyyah merasa kagum dengan kelebihan yang
dimiliki Syaikh Yasin.
b. Pemikiran Syaikh Yasin
Syaikh Yasin merupakan ulama modrn yang menguasai berbagai
keilmuan. Kealimannya telah diakui oleh banyak ulama, bahkan Syaikh Yasin
telah diakui sebagai ulama yang mewarisi kepakaran dan kedalaman ilmu
sekaliber alNawawi Dan al-Suyuti. Tidak hanya Ilmu yang Syaikh Yasin
kuasai. Namun, Syaikh Yasin menguasai Ilmu lengkap dengan sanadnya. Jika
dilihat dari kualitasnya, tidakbisa dipungkiri bahwa Syaikh Yasin
memperolehbanyak gelar dari Ulama lainnya. Diantaranya: Bakhr al-‘ulu>m
(Samudra ilmu), ‘Alam al-Di>n (rujukan agama), Musnid al-Hijaz (ahli sanad
tanah Hijaz)35 dan gelar yang paling terkenal adalah musnid al-Dunnya ‘ala>
al-It}laq. (ulama ahli sanad dunia). Gelar musnid yang Syaikh Yasin pegang
bukanlah sembarang gelar. Tidak semua orang ‘alim yang keilmuannya sudah
diakui mempunyai gelar tersebut. Gelar tersebut diperoleh karena Syaikh Yasin
telah menghidupkan keilmuan sanad yang telah redup dan mempunyai
keilmuan sekaligus sanadnya secara lengkap. Mempelajari kehidupan Syaikh
Yasin, betapa banyaknya kontribusinya terhadap keilmuan dan kajian sanad di
indonesia, alangkah baiknya jika kita memanifestasikan sedikit dari keilmuan
atau budi pekerti Syaikh Yasin. Sebagai pelajar yang mayoritas berstatus
sebagai santri minimal mempunyai sanad al-Qur’an yang sampai kepada Nabi
Muhammad Saw.
2. Biografi dan Pemikiran Sayyid Usman
1) Biografi Sayyid Usman
Sayyid Usman, dalam keterangan anaknya yang bernamaSayyid
Abdullah, adalah seorang Mufti Betawi yang dilahirkan 17 Rabiul Awal 1238 H.
Ia mempunyai ayah yang bernama lengkap Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar
bin Yahya yang lahir di Mekah. Sayyid Aqil bin Umar bin Yahya, kakeknya,
juga dilahirkan di Kota Suci tersebut. Adapun buyutnya, Sayyid Umar bin
Yahya, lahir di Hadramaut, tepatnya di kampung bernama Qârah al-Syaikh.
Gelar Sayyid yang tersemat di awal namanya memberi gambaran bahwa dirinya
tergolong sosok yang mempunyai silsilah hingga ke Nabi Muhammad SAW.
Menurut Muhammad Noupal yang meneliti manuskrip tulisan Sayyid Usman
yang berjudul Hâdzihi al-Syâjarah al-‘Âliyah fî al-Rawdhah al-Saniyah dan
‘Aqd al-Jumân fî Adâb Tilâwat al-Qur’ân, menemukan rincian lengkapnya
sebagai berikut: ‘Utsmân bin ‘Abdullâh bin ‘Aqil bin ‘Umar bin ‘Aqil bin Syekh
bin ‘Abdurrahmân bin ‘Aqil bin Ahmad bin Yahya bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Alwi
bin Muhammad Mawla al-Dawilah bin ‘Ali bin ‘Alwi bin Muhammad Fâqih
Muqaddam bin ‘Ali bin Muhammad Shâhib Mirbath bin ‘Ali Khala’ Qasam bin
‘Alwi bin Muhammad bin ‘Alwi bin ‘Ubaidillâh bin ‘Ahmad al-Muhâjir bin ‘Isa
bin Muhammad al-Naqib bin ‘Ali al- ‘Uraidhi bin Ja‘far Shâdiq bin Muhammad
al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husein bin ‘Ali bin Abi Thâlib dengan
Fâthimah binti Muhammad SAW. Sayyid Usman dilahirkan di tanah Betawi,
tepatnya di Pekojan. Wawancara yang dilakukan Nico J.G. Kaptein kepada
M.A. Alaydrus mengarahkan tempat kelahirannya di daerah Angke
yang berada sekitar 7 km sebelah barat Batavia. Peneliti asal Leiden University
itu juga mengkonversi tanggal lahir Sayyid Usman tersebut di atas dan
mendapatkan bahwa tanggal itu bertepatan dengan tanggal 1 Desember 1822.24
Sayyid Usman, sejak umur tiga tahun, telah ditinggal sang ayah yang kembali ke
negeri asalnya, yaitu Mekah, dengan berlayar. Dalam hal tersebut, si ayah
membawa putra sulungnya bernama Sayyid Hasyim bin Abdullah bin Aqil bin
Yahya. Sejak itu, Sayyid Usman diasuh oleh Syaikh Abdurrahman al-Mishri,
yaitu kakeknya dari pihak ibu. Ibunya sendiri bernama Aminah binti
Abdurrahman al-Mishri. Di bawah pengasuhan sang kakek, ia mendapat
berbagai macam pelajaran. Mengenai kakeknya, Rakhmad Zailani Kiki dari
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre)
menerangkan bahwa ia adalah suami dari salah satu anak perempuan Syaikh
Junaid, seorang ulama yang disebut sebagai poros keislaman di Betawi. Syaikh
Junaid ini adalah ulama yang lahir di Pekojan dan berpengaruh di Mekah
meskipun hanya enam tahun bermukim di sana. Ia adalah Imam Masjid al-
Haram dan Syaikh al-Masyâyikh terkenal di dunia Islam Sunni dan mazhab
Syâfi‘i sepanjang abad ke-18 dan 19.26 Selain itu, banyak data yang
mengungkapkan bahwa kakek Sayyid Usman tersebut adalah pakar dalam
bidang astronomi dan astrologi. Keahliannya itu di antaranya diajarkan pada
sang cucu, Sayyid Usman. Raja Ali Haji menulis sekilas tentang Syaikh
Abdurrahman al-Mishri diTuhfat al-Nafis, yang mengatakan “Raja Ahmad itu
pergi berulang-ulang mengaji ilmu falakiya kepada Syekh Abd al-Rahman Misri
di dalam Betawi itu.” Snouck Hurgrounje, dalam nasihat-nasihatnya semasa
kepegawaian di Hindia-Belanda 1889-1936, juga menceritakan kiprahnya di
bidang astronomi-astrologi yang berhasil menyelesaikan permasalahan arah
kiblat di masjid Palembang, meskipun mula-mula mendapat pertentangan dari
orang-orang berpengaruh di lingkungan Sultan, bahkan dilecehkan. Penjelasan
di atas, paling tidak, menggambarkan bahwa sosok Sayyid Usman adalah pribadi
yang memiliki kemuliaan dan kehormatan secara geneologi kehidupan. Ia lahir
dari seorang ayah yang mempunyai sanad hingga ke Rasulullah, dan ibu yang
mempunyai gen keilmuan mumpuni dalam diri Syaikh Abdurrahman al-Mishri
dan Syaikh Junaid Betawi. Ketika kecil hingga umur 19 tahun, ia juga langsung
diasuh oleh sang kakek, sehingga besar kemungkinan lingkungan yang
berkembang ketika ia tumbuh adalah lingkungan yang memiliki kultur keilmuan
yang kokoh. Kemuliaan itu juga tampak dalam riwayat pendidikannya.
Sayyid Usman, sebagaimana disebut sekilas di atas, mulai belajar
ilmu-ilmu Islam dari pengajaran yang diberikan oleh Syaikh Abdurrahman al-
Mishri, sang kakek. Hal itu karena ketika umur tiga tahun, ayahnya Sayyid
Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya pulang kembali ke Mekah. Rentang
waktu bersama sang kakek, ia mempelajari berbagai ilmu adab beserta adat
istiadat yang sopan. Ia juga dikenalkan ilmu-ilmu agama, yang dimulai dari
pengetahuan mengenai huruf Arab, cara membaca Alquran, tajwid, tauhid, fikih,
tasawuf dan ilmu-ilmu alat yang menjadi bagian tata bahasa Arab seperti saraf
dan nahu. Sayyid Usman juga diajari ilmu tafsir, hadis, astronomi, astrologi dan
ilmuilmu Islam lainnya. Ilmu-ilmu itu yang dalam perkembangannya menjadi
pengantar bagi Sayyid Usman mendalami ilmu-ilmu lain kepada guru-gurunya
di Mekah dan Hadramaut.
2) Pemikiran Pendidikan Sayyid Usman dalam Kitab
Sayyid Usman memandang pendidikan Islam sebagai solusi untuk
menghilangkan kejahatan yang timbul akibat tidak dipegangnya aturan
orangorang baik atau tidak diketahuinya adat kelakuan mereka. Secara ringkas
dapat juga dipahami bahwa pendidikan bertujuan memperbaiki tingkah laku
seseorang hingga menjadi orang yang baik. Orang baik, dalam hal ini adalah
pribadi yang terkumpul dalam dirinya kebaikan hati, kebaikan perangai,
kebijakan terhadap menilaidiri sendiri, halal dalam perbuatan dan selamat dalam
tingkah laku. Bijak menilai diri sendiri adalah bijak dalam meraih keuntungan
harta, kesenangan badan, ketenangan hati, dan kebaikan nama. Halal dalam
perbuatan adalah keterhindaran dari dosa terhadap Allah maupun perkara kepada
sesama manusia. Adapun selamat dalam tingkah laku, maksudnya adalah, tidak
melanggar aturanaturan agama dan juga tidak melanggar adat-istiadat yang
berkembang di negeri.
Dari itu juga terlihat bahwa pendidikan Islam yang dipahami Sayyid
Usman tidak hanya sebagai menjalankan nilai-nilai yang terkandung dari
agamaan sich, melainkan juga mempertimbangkan nilai yang berkembang dalam
suatu wilayah yang berbentuk adat-istiadat negeri. Hal ini tidak mengherankan
karena sebagai mufti betawi yang juga berkedudukan sebagai adviseur honorair
Belanda, Sayyid Usman perlu untuk memberikan kontribusi dalam melakukan
pengawasan, sebagaimana disinyalir oleh Ahmad Baso dalam karyanya yang
berjudulIslam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Reformisme Agama,
Kolonialisme dan Liberalismeyang mengatakan bahwa sosok Sayyid Usman
adalah penemuan kolonial Belanda terkait ordonansi-ordonansi yang mereka
tetapkan.87 Namun demikian, bukan berarti jabatannya yang disebut terakhir itu
yang menjadikan Sayyid Usman memerhatikan perihal adatistiadat negeri,
melainkan sosoknya sebagai mufti yang menjadikannya merasa perlu untuk
menjaga keselamatan masyarakat sebagaimanadiulas Muhammad Noupal terkait
dengan kedudukannya sebagai penasihat Snouck Hurgronje.
3. Biografi dan pemikiran Muhammad Zainuddin Abdul Majid
a. Biografi
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid memiliki
nama kecil Muhammad Saggaf lahir di Kampung Bermi, Desa Pancor,
LombokTimur pada hari rabu 17 rabiul awal 1326 (1904 M). Dari pasangan
Tuan Guru Haji Abdul Madjid dan Hj. Halimatussa’diyah. Anak bungsu dari
enam bersaudara, yaitu, Siti Sarbini, Siti Cilah, Hajah Saudah, Haji
Muhammad Shabur dan Hajah Masyitah. Ketika Muhammad Saggaf dan
ayahnya pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah, ayahnya bertemu dengan
seorang ulama yang memiliki kepribadian dan akhlak mulia yaitu Syaikh
Muhammad Zainuddin Serawak. Sebab ketertarikkan inilah Muhammad
Saggaf diganti namanya menjadi Zainuddin oleh ayahnya sendiri setelah
menunaikan ibadah haji. Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Majid memulai pendidikan di dalam keluarga, belajar mengaji dan berbagai
ilmu agama diajarkan langsung oleh ayahnya, dimulai sejak berumur lima
tahun sampai sembilan tahun. Beliau memasuki pendidikan formal pada 17
Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan sebuah sekolah umum yang disebut
Sekolah Rakyat Negara (Sekolah Gubermen), di sekolah tersebut beliau belajar
selama empat tahun. Selain pendidikan formal, beliau juga diserahkan ayahnya
untuk belajar ilmu agama kepada Tuan Guru lokal saat itu, antara lain, Tuan
Guru Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad Sa’id dari Pancor, dan
Tuan Guru Abdullah Bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur.
Pola belajar yang dilakukan oleh Tuan Guru lokal ini masih sangat
tradisional (konservatif), yang dikenal dengan pola belajar halaqah, yaitu
muridmurid duduk bersila di atas tikar dan mendengarkan gurunya membaca
kitab yang sedang dipelajari. Setelah itu, murid-murid secara bergantian
membaca. Pada saat itu murid-murid yang mengaji di rumah seorang Tuan
Guru tidak dipungut bayaran. Sebagai gantinya mereka diharuskan bekerja
disawah Tuan Guru tersebut Sedangkan, Muhammad Saggaf, karena keinginan
kuat ayahnya agar beliau menjadi murid yang pandai, ayahnya sanggup
membayar dengan 200 ikat padi setahun (sekitar dua ton padi/gabah), sebagai
ganti kewajiban bekerja di sawah. Dengan kesediaan tersebut, ayahnya
bermaksud agar kegiatan proses belajarnya tidak terganggu dan tetap
konsentrasi terhadap apa yang dipelajarinya. Kondisi ekonomi keluarga TGH.
Abdul Madjid yang cukup baik, membuat beliau termasuk beruntung bisa
mengenyam pendidikan formal. Satu dari 845 anak yang bisa bersekolah di
seluruh Lombok saat itu. Pada umur tujuh belas tahun,Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid diajak oleh ayahnya untuk menunaikan
ibadah haji sekaligus untuk menuntut ilmu agama di Mekah. Setelah beberapa
hari musim haji selesai, Tuan Guru Haji Abdul Majid mencari guru untuk
anaknya hingga bertemulah dengan Penaklukan, Penjajahan, dan
Keterbelakangan 1870-1940 (Yogyakarta: Lengge, 2009), hal. 207 . Syaikh
Marzuqi seorang ulama keturunan Arab kelahiran Palembang yang mengajar di
Masjidil Haram. Tuan Guru Haji Abdul Majid menyerahkan anaknya kepada
Syaikh Marzuqi untuk menuntut ilmu. Setelah ayahnya pulang ke Lombok,
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid berhenti belajar
mengaji kepada Syaikh Marzuqi disebabkan tidak nyaman dan merasa tidak
mengalami perkembangan selama menuntut ilmu di sana. Namun, belum
sempat mencari guru baru, terjadi perang saudara di Saudi Arabia antara Fraksi
Wahabi melawan kekuasaan Syarif Husein. Peperangan ini menyebabkan
Masjidil Haram dalam keadaan sepi tanpa ada aktivitas pengajian. Pada saat itu
beliau bersama temannya, Sayyid Syeikh Muhsin al-Musawa sempat belajar
sastra dengan spesifikasi syair-syair Arab kepada Syaikh Muhammad Amin al-
Kutbi. Awal kedatangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Majid juga ditandai dengan runtuhnya kekhalifahan Ottoman Turki,
b. Pemikiran Tuan Guru
Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid Sepulang dari menuntut
ilmu selama dua belas tahun di Tanah Suci Mekah, Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid dipercayai oleh masyarakat untuk menjadi
imam dan khatib. Selain itu, beliau sering melakukan safari dakwah ke
berbagai tempat di Pulau Lombok. Setelah mempunyai reputasi di masyarakat,
beliau mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama pesantren al-Mujahidin
pada tahun 1934 M. Mulanya pesantren al-Mujahidin menerapkan
pembelajaran dengan sistem halaqah. Namun dinilai tidak efektif, sistem
halaqah diganti dengan sistem klasikal, sistem klasikal ini pun mengalami
banyak kendala sehingga dibentuklah sistem semi klasikal. Berdirinya
pesantren alMujahidin menimbulkan kecurigaan pemerintah Hindia Belanda,
sehingga pemerintah mengirim mata-mata untuk memantau aktivitas di
pesantren. Pemerintah Hindia Belanda merasa terancam dengan berdirinya
pesantren. Pada suatu waktu, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Majid dipanggil untuk menghadap pemerintah seperti yang
diillustrasikan oleh Tuan Guru Haji Yusuf Makmun, sebagai berikut:
“untuk apa mendirikan pesantren ?” tanya pemerintah Hindia Belanda
“Saya mendirikan pesantren untuk mengajar anak sasak agar mereka belajar
tentang agamanya secara maksimal ” jawab Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid. “Saya curiga anda menanam doktrin untuk melawan
pemerintah” “Kalau pemerintah wajib kami dukung, ajaran Islam mengajarkan
untuk membantu, tunduk dan taat kepada pemerintah” kata Tuan Guru Kyai
Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Meski pemerintah berkali-kal
mendatangi atau memanggil Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Majid untuk menghadap, diplomasi yang dilakukannya membuat
pesantren al-Mujahidin tetap aman dan terhindar dari gangguan pemerintah.
Maka, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dengan bebas
menanam doktrin kepada masyarakat dan muridmuridnya untuk melawan
penjajah, bukan melawan pemerintah, sebab saat itu yang memerintah adalah
penjajah. Pesatnya perkembangan pesantren al-Mujahidin, mendorong Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid untuk membangun sebuah
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di pulau Lombok. Setelah
bangunan fisik madrasah dianggap selesai, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid mengajukan permohonan pendirian madrasah kepada
pemerintah Hindia Belanda Kontrolier Oost Lombok di Selong, Lombok Timur
4. Biografi dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
a. Biografi
Syekh Muhammad Al-Banjari dilahirkan di Desa Lok Gabang pada hari
kamis 15 safar 1122, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari pasangan
Abdullah dan Aminah. Anak ini pada masa kecil diberi nama Muhammad Ja’far,
setelah menjelang remaja kemudian diberi nama Muhammad Arsyad. Beliau
mendapatkan pendidikan dasar keagamaan dari ayahnya. ketika berusia tujuh
tahun , ia telah mampu membaca Al-Qur’an secara sempurna. Dikala usia yang
masih kanak-kanak itu, sudah tampak ketinggian intelegensinya pada pandangan
orang tua dan masyarakat sekitarnya. Sultan Tahlilillah yang berkuasa di Banjar
waktu itu, bertemu dengan Al-Banjari dan tertarik oleh kecerdasan anak tersebut
terutama dalam kemampuannya melukis keindahan alam yang mengagumkan.
Kemudia Sultan memohon kepada orang tua Al-Banjari untuk membawanya ke
Istana agar mendapat pendidikan di kalangan Keraton. Permintaan Sultan pun
dipenuhi oleh orang tuanya. Sejak saat itu, di usia yang baru delapan tahun, ia
diperlakukan sebagai anak kandung oleh Sultan. Di didik bersama-sama dengan
anakanak Sultan yang lain untuk belajar mengaji Al-Qur’an dan beberapa
cabang ilmu pengetahuan agama lainnya. Setelah mencapai usia yang cukup
untuk berkeluarga, ia dikawinkan oleh Sultan dengan seorang perempuan warga
Istana yang bernama Bajut. Pada saat istrinya sedang hamil, waktu itu beliau
berumur sekitar 30 tahun kemudian Sultan memberangkatkannya ke Mekah
untuk menunaikan ibadah Haji sekaligus bermukim di sana untuk menuntut
ilmu. Al-Banjari menuntut ilmu di tanah haram (Mekkah) selama 30 tahun
bersama sahabat-sahabat karibnya yang berasal dari tanah air antara lain: `Abd
al-Shamad al-Falimbani, `Abd al-Rahman al-Mashri dan `Abd alWahhab Bugis
dari guru-gurunya di berbagai disiplin ilmu antara lain: Syekh `Atha’illah bin
Ahmad al-Mishri, Syekh Ahmad bin `Abd alMun`im al-Damanhuri, Syekh
Sayyid Abul Faidh Muhammad Murtadha bin Muhammad al-Zabadi, Syekh
Hasan bin Ahmad`Akisy al-Yamani, Syekh Salim bin `Abd Allah al-Bashri,
Syekh Shiddiq bin `Umar Khan, Syekh `Abd Allah bin Hijazi al-Sharqawi,
Syekh `Abd al-Rahman bin `Abd al `Aziz al-Maghrabi, Syekh Sayyid `Abd al-
Rahman bin Sulaiman al-Ahdal, Syekh `Abd al-Rahman bin `Abd al-Mubin al-
Fathani, Syekh `Abd al-Ghani bin Syekh Muhammad Hilal, Syekh `Abid al-
Sandi, Syekh `Abdul Wahhab ath-Thanthawi, Syekh Sayyid `Abd Allah
Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Jauhari, Syekh Muhammad Zein bin
Faqih Jalaluddin Aceh. Ketika di Mekkah, al-Banjari mendapatkan kesempatan
untuk mengajar di Masjid al-Haram. Setelah merasa cukup belajar di Mekkah, ia
bersama ketiga sahabatnya itu bermaksud untuk melanjutkan belajar ke Mesir.
Sebelum ke Mesir, mereka mampir di Madinah dan tinggal di rumah Syekh
Muhammad bin `Abd al-Karim al-Samman, seorang ulama di bidang tasawuf.
Di sana mereka memperdalam ilmu tasawuf sehingga al-Banjari mendapatkan
ijazah dengan kedudukan sebagai khalifah. Madinah baru saja kedatangan
seorang Syekh dari Mesir yakni Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi yang
mengajar di Masjid Nabawi. Mereka ikut belajar kepada Syekh al-Kurdi
bersama-sama dengan siswa siswa yang lain. Setelah kurang lebih lima tahun
belajar di Madinah, mereka mohon izin kepada al- Kurdi untuk melanjutkan
pendidikan ke Mesir sebagaimana niat mereka sebelum tinggal di Madinah.
Akan tetapi Syekh al-Kurdi tidak setuju, bahkan menyarankan agar ketiga orang
itu kembali saja ke tanah air. Al-Kurdi mengatakan bahwa ilmu yang mereka
peroleh selama belajar di tanah suci sudah sangat memadai untuk dikembangkan
di kampung halaman mereka. Mereka mematuhi anjuran al-Kurdi dan akhirnya
mereka kembali ke tanah air, pada tahun 1186 H./1772 M11. Dalam perjalanan
ke Banjar, al-Banjari mampir beberapa lama di Pulau Penyengat Riau, bahkan
al-Banjari sempat mengajar di sana. Setelah itu, mereka juga mampir di Betawi
menjadi tamu `Abd al-Rahman Mashri yang sama-sama pulang dari tanah
haram.
b. Pemikiran
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (kemudian disebut al-Banjari) pada
masyarakat Banjar tidak diragukan lagi. Khazanah pemikiran keislaman yang ia
tinggalkan, hingga sekarang menjadi teladan dan inspirasi untuk membangun
masyarakat. Popularitas al-Banjari, tidak hanya dikenal di bumi Kalimantan atau
tanah melayu, akan tetapi juga di Asia Tenggara. Salah satu bidang keagamaan
yang menjadi perhatian al-Banjari adalah masalah fikih. Salah satu pemikiran al-
Banjari mengenai masalah fikih, diulas panjang lebar dalam sebuah kitab
berjudul Sabil al-Muhtadin li alTafaqquhi fi Amri al-Din. Pemikiran inovatif al-
Banjari dibidang fikih, tidaklah muncul begitu saja. Banyak peristiwa penting
dan alasan strategis yang melatarikemunculannya, khususnya yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat Banjar waktu itu. Isu-isu strategis tersebut,
tidak lain karena latar belakang kondisi sosiokultur masyarakat Banjar itu
sendiri, yang bersinggungan dengan pokok-pokok hukum Islam. Pemikiran fiqih
kearifan lokal yang dapat kita temukan dalam kitab sabil al-Muhtadin yang
ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari contohnya; ‘Jamban Terapung
(Istinja’)’.
‘Bagi masyarakat Banjar khususnya yang bertempat tinggal dipinggiran
sungai, sebagai kearifan lokal membuat jamban terapung di atas rakit. Al-
Banjari tidak secara langsung menyebut jamban terapung, namun dapat
dimengerti dalam tulisannya yang menguraikan tentang pembuatan ukuran
jamban dengan tingginya dua pertiga hasta atau lebih dan lebarnya tiga hasta
atau kurang dengan hasta manusia. Jamban yang dibangun di atas rakit oleh
masyarakat Banjar bahkan melebihi ukuran yang diuraikan oleh al-Banjari.
Maka terhadap keadaan rakit yang selalu berubah arah mengikuti perubahan arus
aliran air sungan dibangun jamban di atas rakit tersebut, maka al-Banjari
menulis boleh saja orang membelakangi atau menghadap arah kiblat ketika
sedang qadha hajat. Oleh karena itu pemikiran hukum tentang jamban terapung
erat kaitannya dengan kearifan masyarakat Banjar. Ijtihad yang dilakukan oleh
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di atas merupakan salah satu akhlak
sesorang ketika ingin beristinjak, walaupun kadangkala cara beristinjaknya
menghadap atau membelakangi kiblat karena berada terapung diatas air
sehingga setiap saat arahnya bisa berubah dengan mengikuti arus air tersebut.
Maka dengan begitu syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari menghendaki supaya
jamban terapung di beri dinding untuk pembatasnya. Oleh karena itu dapat
disumpulkan bahwa tujuan dari penetapan hukum tentang jamban terapung itu
termasuk dalam kategori kebutuhan takhshiniyat.
5. Biografi dan pemikiran KH. Ahmad Dahlan
a. Biografi
Muhammadiyah ialah suatu organisasi yang berdasarkan agama Islam,
sosial, dan kebangsaan, sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di
Indonesian sebelum perang dunia II dan juga sampai sekarang ini. Organisasi
atau perkumpulan ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H
oleh KH. Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan yang sewaktu mudanya bernama Muhammad Darwis,
lahir tahun 1285 H atau 1868 M di kampung Kauman Yogyakarta. Ayahnya
seorang Ulama bernama Abu Bakar bin KH. Sulaiman pejabat khotib di Masjid
besar kesultanan Yogyakarta, ibunya adalah putri H. Ibrahim bin KH. Hassan
pejabat penghulu kesultanan. Melihat garis keturunannya ini maka ia adalah
anak orang yang berada dan berkedudukan baik dalam masyarakat.
Semasa kecilnya Ahmad Dahlan tidak pergi ke sekolah karena orang-
orang Islam pada waktu itu melarang anak-anaknya memasuki sekolah
Gubernemen. Sebagai gantinya, ahmad Dahlan diasuh serta dididik mengaji oleh
ayahnya sendiri. Kemudian ia meneruskan pelajaran tafsir dan hadits serta
bahasa arab kepada beberapa Ulama lain di Yogyakarta dan sekitarnya. Dengan
bantuan kakaknya ( nyai Haji Saleh ), pada tahun 1890 ia pergi ke Mekkah dan
belajar disana selama satu tahun. Ide reformasi yang telah meresap dihatinya
dengan dasar ilmu-ilmu yang diperolehnya, demikian pula pengalaman
keagamaan yang ia alami di Mekkah, mendorong ia melakukan perubahan-
perubahan yang berarti dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin ditanah
airnya.
b. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang Pendidikan Islam
Usaha muhammadiyah di bidang pendidikan
1) Dasar dan fungsi lembaga pendidikan yang menjadi dasar pendidikan
muhammadiyah, adalah :
a. tajdid: kesediaan jiwa berdasarkan pemikiran baru untuk mengubah
cara berfikir dan cara berbuat yang sudah terbiasa demi mencapai
tujuan pendidikan.
b. Kemasyarakatan : antara individu dan masyarakat supaya diciptakan
suasana saling membutuhkan. Yang dituju adalah keselamatan
masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
c. Aktivitas : anak didik harus mengamalkan semua yang diketahuinya
dan menjadikan pula aktivitas sendiri sebagai satu cara memperoleh
pengetahuan yang baru.
6. Biografi dan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M
bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan Ulama penganut
madzhab yang sering menyebut dirinya sebagai golongan Ahlusunnah wal Jama’ah
dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. Pendiri
pesantren Tebuireng dan perintis Nahdatul Ulama salah satu organisasi
kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga
mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan
berpidato. Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang,
Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang
secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari,
pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja
Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang
menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang
santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai
Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang. Semenjak kecil hingga
berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan
langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk
menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi
kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena
kepandaian yang dimilikinya. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak
usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi
santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban),
Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di
pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya
sebagai menantu.
7. Biografi dan pemikiran KH Kholil Bangkalan
a. Biografi
KH Kholil Bangkalan Madura Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung
Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan,
ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat
sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang
sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan
nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari
menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani
telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif
memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya. Mbah Kholil
kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai
pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai
Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari
Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid
Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah
kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak
Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya. Oleh
ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang
menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh
dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham
Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi
harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka
orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba
ilmu.
b. Pemikiran-pemikiran Pendidikan Islam KH. Muhammad Kholil Bangkalan
1) KH. Muhammad Kholil Bangkalan Belajar sambil Bekerja Selama di
Keboncandi, Kholil belajar kepada Kiai Nur Hasan Sidogiri. Sembari
mondok di pesantren Sidogiri Kholil bekerja menjadi buruh batik untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya (Masyhuri, 2017). Selanjutnya
Kholil juga pernah belajar di sebuah pesantren di Banyuwangi. Pemilik
pesantren di Banyuwangi ini memiliki kebun kelapa yang luas. Selama di
Banyuwangi selain belajar di pesantren ia menjadi buruh pemetik kelapa di
kebun gurunya. Untuk setiap pohon, dia diupah 2,5 sen. Uang diperoleh ia
tabung untuk selanjutnya nanti dipergunakannya sebagai bekal perjalanan
untuk belajar ke tanah suci Makkah.
2) KH. Muhammad Kholil Bangkalan Belajar ke Tanah Suci Tahun 1849 M,
ketika berusia 24 tahu, Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah.
Sebelum berangkat ke Makkah ini Kholil sempat dinikahkan dengan Nyai
Asyik, anak perempuan Lora Putih (Masyhuri, 2017). Konon selama di
tanah Arab, ia lebih banyak makan kulit buah semangk daripada makanan
lain yang lebih layak. Ini cukup mengherankan teman-temannya waktu itu.
Diantara teman seangkatannya antara lain Syekh Nawawi Banten dan Syekh
Katib Minangkabau. Kebiasaan makan kulit buah semangka tersebut
kemungkinan besar dipengaruhi ajaran tirakat ngrowot (vegetarian) dari
Imam Ghozali, salah seorang ulama yang sangat dikaguminya.
Sepengetahuan teman-temannya, Kholil tidak pernah mendapat kiriman
uang dari tanah air. Ia dikenal pandai mencari uang. Diantara caranya
mencari uang adalah dengan menulis risalah tentang ibadah yang kemudian
ia jual untuk membiayai kebutuhan hidupsehari-harinya. Tidak hanya itu
Kholil juga pandai menulis khat (kaligrafi). Di Makkah Muhammad Kholil
menekuni berbagai bidang ilmu keagamaan. Konsistensi yang dimiliki Kiai
Kholil tak pernah luntur meskipun beliau mengenyam pendidikan ilmu
agama ke Mekkah. Bahkan, ke’aliman beliau dalam bidang ilmu keagamaan
diakui oleh beberapa sahabat maupun gurunya yang melihat secara langsung
bagaimana petualangan intelektual-spiritualnya yang semakin matang.
Ketika belajar di Makkah, Kiai Kholil menekuni berbagai bidang ilmu
keagamaan, baik yang esoterik (bathin) maupun yang eksoterik (dhohir).
Bagi Kiai Kholil, ilmu agama yang bersifat esoterik maupun yang bersifat
eksoterik adalah sama-sama pentin, keduanya harus dipraktikkan secara
seimbang. Tidaklah mengherankan bila ketekunannya dalam memahami
ilmu keagamaan, membuatnya mempunyai setumpuk karomah, sebagai
sebuah kekuatan dan keistimewaan bagi orangorang yang dekat dengan
Tuhan (Takdir, 2016).
Pendidikannya di Makkah benar-benar memberikan dampak signifikan
bagi pembersihan hati dari segala dosa, sebagaimana pengembaraan Nabi
Muhammad Saw untuk mencapai ekstase agama menuju surga. Derajat
kesufian yang ada dan melekat dalam diri Kiai Kholil tak luput dari peran
masyayikh yang secara langsung mengajar beliau. Ketika di Makkah, beliau
mempelajari banyak ilmu agama kepada para ulama Nusantara yang
bermukim di sana, diantara Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Umar Khatib
Bima, Syaikh Ahmad Khatib Sambas, dan Syaikh Ali Rahbini. Di Mekkah,
Kiai Kholil tidak sekadar mempelajari ilmu dzahir, tapi juga mempelajari
ilmu batin ke beberapa guru spiritual yangmenguasai langsung ilmu
kerohanian atau dunia tasawuf. Bahkan, Kiai Kholil berguru ilmu tarekat
kepada Syaikh Ahmad Khotib Sambas, Beliau adalah pendiri dan penganut
organisasi tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah.

Anda mungkin juga menyukai