Anda di halaman 1dari 17

BIOGRAFI SYAIKH ABDUR- RAUF AS-SINGKILY (SYIAH KUALA)

A. Riwayat Hidup

Ada dua legenda yang dikaitkan dengan Abdur Rauf Singkel. Legenda pertama

menyatakan bahwa ia adalah mubaligh pertama yang mengislamkan Aceh (lihat

Liaw Yock Fang, 1975: 198 dan Braginsky, 1998: 474).

Legenda kedua menyatakan bahwa khotbah-khotbahnya telah membawa para

pelacur dari bordil, yang konon dibuka oleh Hamzah Fansuri di ibukota Aceh,

untuk kembali ke jalan yang benar (Snouck Hurgronje dalam Braginsky, 1998:

474). Braginsky (1998) menegaskan bahwa kedua legenda itu tentu saja tidak

sesuai dengan kebenaran sejarah.

Namun, tentang peranan Abdu Rauf sebagai mualim, ulama dan pendakwah yang

berpengaruh dalam kedua legenda tersebut, tentu saja tidak bisa disangkal. Arah

gagasannya selalu praktis. Sebagai seorang mualim ia selalu menaruh perhatian

besar pada murid-muridnya.


Karya-karyanya selalu bertolak dari perhatiannya yang demikian itu, yaitu untuk

membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati mereka

supaya tidak tertimpa musibah, memperteguh kesalehan mereka, dan

menghindarkan mereka dari tindakan salah dan tidak toleran (A. Johns dalam

Braginsky, 1998: 474).

Abdur Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdur Rauf bin Ali al-Jawi al-

Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-

17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeh

Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun

1615 M.

Ini didasarkan perhitungan, ketika Abdur Rauf kembali dari Mekah, usianya

antara 25 dan 30 tahun (lihat Abdul Hadi WM, 2006: 241). Namun, Abdul Hadi

WM (2006) menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena Abdul Rauf

berada di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661. Bila dalam

usia 30 tahun ia kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.

Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdur Rauf tidak

hanya belajar di Mekah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di

bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur di Madinah. Di kota ini, ia belajar

kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan

penggantinya, Mula Ibrahim Kurani (Braginsky, 1998: 474). Dalam kata penutup

salah satu karya tasawufnya, Abdur Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang

cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini

merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu.
Ia juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al-Fakih, dan lain-

lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di India. Di

samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang diamalkannya, antara

lain: Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan

Naqsyabandiyah (Braginsky, 1998: 474).

Sepeninggal Ahmad Qusyasyi, Abdur Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim

Kurani untuk mendirikan sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661 hingga hampir 30

tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di Aceh. Liaw Yock Fang (1975)

menyebutkan bahwa muridnya ramai sekali dan datang dari seluruh penjuru

Nusantara.

Dan, karena pandangan-pandangan keagamaannya sejalan dengan pandangan

Sultan Taj Al-Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675),

Abdur Rauf kemudian diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan Mufti

atau Kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif Al-Rijal yang

wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 241-242).

Selain itu, ia juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak

berkuasanya seorang Raja perempuan (lihat Mat Piah et.al, 2002: 61).

Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdur Rauf masih

sempat menulis berbagai karya intelektual dan juga karya sastra berbentuk syair

banyak di antaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.


Mulanya, ketika dititahkan oleh Sultanah untuk menulis Mirat al-Tullab pada

1672, Ia tidak bersedia karena merasa kurang menguasai bahasa Melayu setelah

lama bermukim di Haramain (Arab Saudi).

Tetapi setelah mempertimbangkan perlunya kitab semacam ini ditulis dalam

bahasa Melayu, Ia pun mengerjakannya, dengan dibantu oleh dua orang sabahat

(Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad dalam Abdul hadi WM, 2006: 243). Oman

Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat bahwa karyanya tidak kurang

dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Quran

dan hadis.

Pengaruh Abdur Rauf juga mencapai umat Islam di Jawa. Braginsky (1998)

menyebutkan bahwa Abdul Rauf pernah berkunjung ke Banten. Sedangkan Liaw

Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa salah satu karya Abdur Rauf dikutip

dalam sebuah risalah sufi yang terkenal di Jawa.

Sementara itu, tarekat Syattariyah, yang juga banyak penganutnya di Jawa,

membubuhkan nama Abdur Rauf dalam silsilah para sufi besar penganut tarekat

tersebut. Sehingga, Abdur Rauf jelas dikenal oleh orang-orang Jawa yang

menganutnya.

Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdur Rauf adalah bahwa ia

berpenting sekali dalam menengahi silang pendapat antara Nuruddin al-Raniri

dan Hamzah Fansuri tentang aliran wujudiyyah. Braginsky (1998) telah


menguraikan pendekatan Abdul Rauf yang lebih sejuk dan damai terhadap

aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri tersebut.

Ketika wafat pada tahun 1693, Abdur Rauf dimakamkan di muara sebuah sungai

di Aceh, di samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh orang Aceh

(Abdul Hadi WM, 2006: 246), sehingga ia dikenal juga sebagai Syeh Kuala atau

Tengku di Kuala (Liaw Yock Fang, 1975: 198).

B. Pemikiran

1. Tasawuf

Dalam banyak tulisannya, Abdur Rauf Singkel menekankan tentang transendensi

Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Ia menyanggah pandangan wujudiyyah yang

menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam karyanya yang

berjudul Kifayat al-Muhtajin, Abdul Rauf berpendapat bahwa sebelum Tuhan

menciptakan alam semesta, Dia menciptakan Nur Muhammad. Dari Nur

Muhammad inilah Tuhan kemudian menciptakan permanent archetypes (al-ayan

al-kharijiyyah), yaitu alam semesta yang potensial, yang menjadi sumber bagi

exterior archetypes (al-ayan al-kharijiyyah), bentuk konkret makluk ciptaan.

Selanjutnya, Abdur Rauf menyimpulkan bahwa walaupun ayan Al-kharijiyyah

adalah emanasi (pancaran) dari Wujud Yang Mutlak, Ia tetap berbeda dari Tuhan.

Abdul Rauf mengumpamakan perbedaan ini dengan tangan dan bayangannya.

Walaupun tangan sangat sukar untuk dipisahkan dari banyangannya, tetapi

bayangan itu bukanlah tangan yang sebenarnya (lihat Azyumardi Azra dalam

Osman, 1997: 174).


Secara umum, Abdur Rauf ingin mengajarkan harmoni antara syariat dan

sufisme. Dalam karya-karyanya ia menyatakan bahwa tasawuf harus

bekerjasama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap syariat-

lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat

yang sejati.

Pendekatannya ini tentu saja berbeda dari pendekatan Nuruddin al-Raniri yang

tanpa kompromi. Abdur Rauf cenderung memilih jalan yang lebih damai dan

sejuk dalam berinteraksi dengan aliran wujudiyyah. Maka, walaupun ia

menentang aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri itu, ia tidak

menyatakannya secara terbuka. Lagipula, ia juga tidak setuju dengan cara-cara

radikal yang ditempuh oleh Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman,

1997: 174).

Menariknya, dalam karya-karyanya ia tidak menyebut Nuruddin al-Raniri, yang

karya-karyanya mungkin sekali telah dikenalinya, tetapi seolah-olah

mengisyaratkan peristiwa tragis yang pernah terjadi, melalui kutipan sebuah

hadis: Jangan sampai terjadi seorang muslim menyebut muslim lain sebagai

kafir. Karena jika ia berbuat demikian, dan memang demikianlah kenyataannya,

lalu apakah manfaatnya. Sedangkan jika ia salah menuduh, maka tuduhan ini

akan dibalikkan melawan ia sendiri (Johns dalam Braginsky, 1998: 476).

Dengan caranya yang lebih damai ini, ia dapat menahan berkembangnya

heterodoksi dalam Islam yang disebabkan oleh tafsir yang kurang tepat terhadap

ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani (Abdul Hadi WM, 2006:

241).
Penekanannya tentang pentingnya syariat dalam tasawuf muncul dalam Umdat al-

Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang

Menempuh Jalan Tasawuf). Di dalam kitab ini, Abdur Rauf menguraikan

masalah zikir. Zikir adalah dasar dari tasawuf dan karena itu merupakan metode

yang penting dalam disiplin kerohanian sufi. Abdur Rauf membagi zikir menjadi

dua, yaitu zikir hasanah dan zikir darajat. Zikir yang pertama tidak mengikuti

aturan tertentu, sedangkan zikir yang kedua terikat aturan yang ketat (Abdul Hadi

WM, 2006: 241).

Zikir darajat dilakukan setelah seseorang bertobat, kemudian menjalani upacara

tertentu seperti duduk bersila menyilangkan dua kaki dan berpakaian bersih,

menghadap kiblat, memilih tempat yang gelap agar dapat berkonsentrasi dan

memejamkan mata. Setelah itu ia mulai berzikir, mengucapkan kalimat La Ila ha

Illallah.

Kalimat ini dibaca dengan irama tertentu sambil menggoyang-goyangkan kepala.

Zikir dilakukan dengan nafas teratur, lidah menyentuh langit-langit bagian

belakang, sembari mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah dengan pikiran.

Biasanya 24 kalimat itu diucapkan baru nafas dihela (Abdul Hadi WM, 2006:

244).

Abdur Rauf mengajarkan dua metode zikir, yaitu zikir keras (jabr) dan zikir pelan

(sirr). Zikir keras dimulai dengan zikir nafiy (pengingkaran) dan isbat

(penegasan), yaitu mengucap la ilaha Illa Allah berulangkali. Zikir ini


mengandung penegasan untuk mengingkari selain Tuhan dan peneguhan bahwa

satu-satunya Tuhan adalah Allah Taala. Ini dapat dibaca juga dalam Syair Perahu.

Di samping itu terdapat zikir gaib dengan mengucap Hu Allah dan zikir

penyaksian (al-syahadah) dengan mengucapkan Allah, Allah. Zikir pelan

dilakukan dengan nafas teratur, dengan membayangkan kalimat la ilaha saat

menghela nafas dan illa Allah saat menarik nafas ke dalam hati. Tujuan zikir ini

adalah pemusatan diri, bukan untuk membayangkan kehadiran gambar Tuhan

seperti dalam praktik Yoga Pranayama (Abdul Hadi WM, 2006: 244-245).

Semua ajaran tasawuf didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama, yaitu

tauhid, tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam menafsirkannya. Dasar

pandangan Abdur Rauf tentang tauhid antara lain tertera dalam kitab Tanbih al-

Masyi. Ia mengajarkan agar murid-muridnya senantiasa mengesakan al-Haq

(Yang Maha Benar) dan menyucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak baginya,

yaitu dengan mengucap la ilaha Illa Allah.

Kalimat ini mengandung empat tingkatan tauhid. Pertama, penegasan

penghilangan sifat dan perbuatan pada diri yang tidak layak disandang Allah. Tiga

tingkatan tauhid berikutnya adalah uluhiya, yaitu mengesakan ketuhanan Allah,

sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat Allah, dan zat, mengesakan Zat Tuhan

(Othman Mohd. Isa dalam Abdul Hadi WM, 2006: 245-246).

Menurut Abdul Rauf, Salah satu bukti keesaan Allah SWT adalah tidak rusaknya

alam. Allah berfirman, Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan

selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa. Berangkat dari
pengetahuan inilah kemudian ia membicarakan hubungan ontologis atau

kewujudan antara Pencipta dan ciptaan-ciptaan-Nya, antara Yang Satu dan yang

banyak, antara al-wujud dan al-maujudat. Alam adalah wujud yang terikat pada

sifat-sifat mumkinat atau serba mungkin. Oleh karena itu alam disebut sebagai

sesuatu selain Al-Haq (Oman Fathurrahman dalam Abdul Hadi WM, 2006: 246).

2. Syariat

Abdur Rauf Singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. Yang terpenting

adalah Mirat al-Turab fi Tashil Marifah Al-Ahkam Al-Syariyyah li al-Malik al-

Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum

Syara dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab ini merupakan kitab Melayu

terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak terbit, kitab ini menjadi rujukan

para kadi atau hakim di wilayah Kesultanan Aceh.

Dalam kitabnya ini, Abdur Rauf tidak membicarakan fikih ibadat, melainkan tiga

cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii, yaitu hukum mengenai

perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan,

dan hukum tentang jinayat atau kejahatan (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM,

2006: 243).

Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual beli, hukum

riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-

piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang

hilang, dan lain-lain. Bidang yang berkaitan dengan perkawinan mencakup soal

nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain.

Sedangkan jinayat mencakup hukuman pemberontakan, perampokan, pencurian,


perbuatan zinah, hukum membunuh, dan lain-lain (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi

WM, 2006: 243).

3. Tafsir

Dalam bidang tafsir, Abdur Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman al-

Mustafid. Pada hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari kitab

tafsir yang lain, yaitu tafsir al-Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh muridnya,

Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan lainnya, dengan mengambil

agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-Kazin (Riddel dalam Braginsky,

1998: 275).

Walaupun kitab ini tergolong sebagai tafsir, tetapi Braginsky (1998)

menganggapnya sebagai terjemahan lengkap Al-Quran dalam bahasa Melayu

yang pertama, yang seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir dan bukan karangan

eksegesis yang rinci.

4. Sastra

Walaupun kuatrin terpisah-pisah, yang tidak lain merupakan bait-bait syair,

terkadang terdapat dalam Bustan as-Salatin karya Nuruddin al-Raniri, tetapi

penerus tradisi penulisan syair religius-mistik adalah Abdur Rauf Singkel.

Braginsky (1998: 491-484) telah membahas syair-syair tesebut dan

menyimpulkan bahwa dalam syair-syairnya, Abdur Rauf Singkel menegaskan

tentang Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kemakhlukan

(muhadas) manusia di pihak lain, yang menyebabkan adanya perbedaan mutlak di

antara keduanya. Jadi, karya sastra Abdur Rauf yang berupa syair ini masih

memiliki hubungan yang sangat erat dengan keyakinan tasawufnya.


Dalam sebuah naskah yang disalin di Bukit Tinggi pada 1859, diberitakan bahwa

Abdur Rauf-lah yang telah mengarang Syair Makrifat. Dalam syair ini, dibahas

tentang empat komponen agama Islam, yaitu iman, Islam, tauhid, dan makrifat,

dan tentang makrifat sebagai pengenalan sufi yang memahkotai keempat

komponen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa hanya orang yang paham akan

makna semuanya yang layak disebut sebagai orang yang telah menganut agama

yang sempurna.

C. Karya

Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36

kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Quran dan hadis,

di antaranya adalah:

1. Dakaik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa al-

mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.

2. Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).

3. Mirat Al-Turab Fi Tashil Marifah al-Ahkam al-Syariyyah li al-Malik al-

Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum

Syara dari Tuhan, bahasa Melayu).

4. Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai Orang-orang

yang Menempuh Jalan Tasawuf).

5. Tanbih Al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi Penempuh

Tarekat al-Qusyasyi, bahasa Arab).

6. Bayan Al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa Melayu).


7. Bidayah Al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).

8. Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah, bahasa

Melayu).

9. Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).

10.Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawy.

11.Syarh Latif Ala Arba Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan Terperinci

atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa Melayu).

12. Al-Mawaiz al-Badiah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).

13. Kifayat al-Muhtajin.

14. Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).

15. Syair Makrifat.

16. Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).

17. Majmu al-Masail (Himpunan Petranyaan).

18. Syam al-Marifat (Matahari Penciptaan).

D. Murid-Murid Dan Keturunan

Murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri sangat ramai, tetapi yang dapat

dipastikan ada beberapa ulama besar yang sangat terkenal menyebarkan Islam di

beberapa tempat di seluruh dunia Melayu. Antara mereka ialah, Baba Daud bin

Agha Ismail bin Agha Mustata al-Jawi ar-Rumi. Beliau ini berasal daripada

keturunan ulama Rom yang berpindah ke Turki, keturunannya pula pindah ke

Aceh sehingga menjadi ulama yang tersebut ini. Keturunan beliau pula ada yang
berpindah ke Pattani, sehingga menurunkan ulama terkenal yaitu Syeikh Daud

bin Ismail al-Fathani.

Setelah berkhidmat di Mekah dikirim oleh saudara sepupu dan gurunya Syeikh

Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani ke Kota Bharu, Kelantan untuk

memimpin Matbaah al-Miriyah al-Kainah al-Kalantaniyah. Lalu beliau berpindah

ke Kota Bharu, Kelantan, beliau dikenal dengan gelaran Tok Daud Katib.

Adapun Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi di atas beliau inilah yang

menyempurnakan karya gurunya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang

berjudul Turjumanul al-Mutafid atau yang lebih terkenal dengan Tafsir al-

Baidhawi Melayu, yaitu terjemah dan tafsir al-Quran 30 juzuk yang pertama

dalam bahasa Melayu.

Naskhah asli tulisan tangan Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi itu dimiliki

oleh keturunannya Tok Daud Katib, lalu naskhah itu diserahkan kepada guru dan

saudara sepupunya Syeikh Ahmad al-Fathani.

Dari naskhah yang asli itulah diproses oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain

al-Fathani, Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani dan Syeikh Idris bin Husein

Kelantan sehingga terjadi cetakan pertama di Turki, di Mekah dan Mesir pada

peringkat awal. Nama ketiga-tiga ulama itu yang dinyatakan sebagai Mushahhih

(Pentashhih) pada setiap cetakan tafsir itu kekal diletakkan di halaman terakhir

pada semua cetakan tafsir itu.

Turjumanul Mustafid yang diterbitkan sampai sekarang adalah merupakan

lanjutan daripada cetakan yang dilakukan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani dan dua
orang muridnya itu (keterangan lanjut mengenai ini lihat buku Khazanah Karya

Pusaka Asia Tenggara, jilid 1, 1990:157-172).

Murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang lain pula ialah Syeikh

Burhanuddin Ulakan. Beliau inilah yang disebut sebagai orang yang pertama

sebagai penyebar Islam di Minangkabau (Sumatera Barat) melalui kaedah

pengajaran Tarekat Syathariyah.

Di Jawa Barat, Indonesia terkenal seorang murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-

Fansuri yang dianggap sebagai seorang Wali Allah. Beliau ialah Syeikh Abdul

Muhyi Pamijahan.Sepanjang catatan sejarah, beliau dianggap orang pertama

membawa Tarekat Syathariyah ke Jawa Barat dan selanjutnya berkembang hingga

ke seluruh tanah Jawa.

Adapun mengenai Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi yang berasal dari tanah Bugis

ada riwayat menyebut bahawa beliau juga murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-

Fansuri. Riwayat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi itu adalah

sahabat Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, sama-sama belajar kepada Syeikh

Ahmad al-Qusyasyi dan Syeikh Ibrahim al-Kurani.

Walau bagaimanapun, selembar silsilah yang ada pada penulis, yang ditemui di

Kalimantan Barat, menyebut Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi menerima Tarekat

Syathariyah kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu. Memang diakui

bahawa Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi ialah orang pertama menyebarkan Tarekat

Syathariyah di Tanah Bugis atau seluruh Sulawesi Selatan.


Bahkan dianggap juga beliau sebagai orang pertama menyebarkan pelbagai

tarekat lainnya, diantaranya Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.

Tetapi berdasarkan manuskrip Mukhtashar Tashnif Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-

Fanshuri oleh Syeikh Abdur Rauf bin Makhalid Khali-fah al-Qadiri al-Bantani

bahawa Syeikh Yusuf al-Mankatsi adalah cucu murid kepada Syeikh Abdur Rauf

al-Fansuri, tertulis, karena kata ini daripada Syeikh Yusuf (al-Mankatsi/al-

Maqasari) turun daripada Syeikh Muhyuddin Karang (Pamijahan), turun daripada

Syeikh Abdur Rauf al-Asyi.

Murid Syeikh Abdur Rauf bin Alial-Fansuri di Semenanjung Tanah Melayu

(Malaysia) pula, yang paling terkenal ialah Syeikh Abdul Malik bin Abdullah

Terengganu atau lebih popular dengan gelar Tok Pulau Manis yang mengarang

berbagai-bagai kitab di antaranya Kitab Kifayah.

Ada yang meriwayatkan bahwa Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-

Fathani pernah belajar kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Tetapi

dalam penelitian penulis tidaklah demikian. Yang betul ialah ayah Syeikh Abdur

Rahman Pauh Bok itu, yaitu Syeikh Abdul Mubin bin Jailan al-

Fathani dipercayai adalah sahabat Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri karena

sama-sama belajar kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi dan Syeikh Ibrahim al-

Kurani. Sebagai pengenalan awal penyelidikan murid-murid Syeikh Abdur Rauf

bin Ali al-Fansuri di sini setakat ini dulu dan penyelidikan lanjut masih sedang

dijalankan.
E. Pengaruh

Syeh Abdur Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di kepulauan

Nusantara. Dua muridnya juga masyhur, yaitu Syeh Jamaluddin al-Tursani dan

Syeh Yusuf al-Makasari. Jamaluddin al-Tursani adalah seorang ahli hukum

ketatanegaraan terkenal dan pernah menjadi Kadi Malik al-Adil di istana Aceh

pada awal abad ke-18 M.

Ia terkenal berkat karya hukum ketatanegaraannya yang komprehensif, Syafinat al

Hukam (Bahtera Para Hakim), yang merupakan perluasan baik terhadap Taj al-

Salatin maupun Bustan al-Salatin. Sedangkan Syeh Yusuf al-Makasari adalah

seorang ulama dari Makassar. Ulama inilah yang mendampingi Sultan Ageng

Tirtayasa dalam perjuangannya melawan kolonialisme Belanda (Abdul Hadi WM,

2006: 246).

Pada saat Abdur Rauf menjadi mufti, Aceh adalah kesultanan yang sangat penting

di dunia Melayu karena menjadi tempat persinggahan para jemaah haji. Orang

dari Jawa dan daerah lain di Indonesia yang pergi naik haji, harus singgah di

Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit pula dari jemaah haji belajar agama dan

ilmu tasawuf kepada Abdur Rauf (A.H. Johns dalam Liaw Yock Fang, 1975: 197).

Mungkin inilah sebabnya tarekat Syattariyah agak populer di Jawa dan nama

Abdul Rauf sering disebut dalam silsilah tarekat tersebut. Sebuah karangan Abdur

Rauf, yaitu Dakaiik al-Huruf, dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi,

sebuah risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa (Liaw Yock Fang, 1975:

197).
Bersama dengan Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf Singkel menunjukkan bahwa

Islam, sebagaimana yang dipraktekkan di Asia Tenggara, adalah bagian dari

pasang surut gagasan dan praktek religius dan mistisisme di dunia. Gagasan dan

praktek ini berakar pada Al-Quran dan kehidupan komunitas Islam awal, tetapi

kemudian berkembang ke berbagai arah yang berbeda-beda.

Perdebatan yang terjadi di Aceh, dan juga di dunia Melayu pada umumnya, tidak

bersifat unik bagi daerah ini saja, karena telah muncul juga di berbagai belahan

dunia Islam lainnya. Menurut Piah dkk (2002), Aceh menangkap gagasan dan

praktek-praktek ini d;an mengeskpresikannya dengan cara yang rumit dan

menantang bagi kaum Muslim yang memahami keimanan mereka melalui

medium bahasa Melayu.

Anda mungkin juga menyukai