A. Riwayat Hidup
Ada dua legenda yang dikaitkan dengan Abdur Rauf Singkel. Legenda pertama
pelacur dari bordil, yang konon dibuka oleh Hamzah Fansuri di ibukota Aceh,
untuk kembali ke jalan yang benar (Snouck Hurgronje dalam Braginsky, 1998:
474). Braginsky (1998) menegaskan bahwa kedua legenda itu tentu saja tidak
Namun, tentang peranan Abdu Rauf sebagai mualim, ulama dan pendakwah yang
berpengaruh dalam kedua legenda tersebut, tentu saja tidak bisa disangkal. Arah
membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati mereka
menghindarkan mereka dari tindakan salah dan tidak toleran (A. Johns dalam
Abdur Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdur Rauf bin Ali al-Jawi al-
Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-
17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeh
Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun
1615 M.
Ini didasarkan perhitungan, ketika Abdur Rauf kembali dari Mekah, usianya
antara 25 dan 30 tahun (lihat Abdul Hadi WM, 2006: 241). Namun, Abdul Hadi
WM (2006) menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena Abdul Rauf
berada di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661. Bila dalam
Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdur Rauf tidak
hanya belajar di Mekah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di
kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan
penggantinya, Mula Ibrahim Kurani (Braginsky, 1998: 474). Dalam kata penutup
salah satu karya tasawufnya, Abdur Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang
cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini
merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu.
Ia juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al-Fakih, dan lain-
samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang diamalkannya, antara
Sepeninggal Ahmad Qusyasyi, Abdur Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim
Kurani untuk mendirikan sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661 hingga hampir 30
tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di Aceh. Liaw Yock Fang (1975)
menyebutkan bahwa muridnya ramai sekali dan datang dari seluruh penjuru
Nusantara.
Sultan Taj Al-Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675),
Abdur Rauf kemudian diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan Mufti
atau Kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif Al-Rijal yang
wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 241-242).
berkuasanya seorang Raja perempuan (lihat Mat Piah et.al, 2002: 61).
Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdur Rauf masih
sempat menulis berbagai karya intelektual dan juga karya sastra berbentuk syair
1672, Ia tidak bersedia karena merasa kurang menguasai bahasa Melayu setelah
bahasa Melayu, Ia pun mengerjakannya, dengan dibantu oleh dua orang sabahat
(Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad dalam Abdul hadi WM, 2006: 243). Oman
Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat bahwa karyanya tidak kurang
dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Quran
dan hadis.
Pengaruh Abdur Rauf juga mencapai umat Islam di Jawa. Braginsky (1998)
Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa salah satu karya Abdur Rauf dikutip
membubuhkan nama Abdur Rauf dalam silsilah para sufi besar penganut tarekat
tersebut. Sehingga, Abdur Rauf jelas dikenal oleh orang-orang Jawa yang
menganutnya.
Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdur Rauf adalah bahwa ia
Ketika wafat pada tahun 1693, Abdur Rauf dimakamkan di muara sebuah sungai
di Aceh, di samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh orang Aceh
(Abdul Hadi WM, 2006: 246), sehingga ia dikenal juga sebagai Syeh Kuala atau
B. Pemikiran
1. Tasawuf
al-kharijiyyah), yaitu alam semesta yang potensial, yang menjadi sumber bagi
adalah emanasi (pancaran) dari Wujud Yang Mutlak, Ia tetap berbeda dari Tuhan.
bayangan itu bukanlah tangan yang sebenarnya (lihat Azyumardi Azra dalam
bekerjasama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap syariat-
lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat
yang sejati.
Pendekatannya ini tentu saja berbeda dari pendekatan Nuruddin al-Raniri yang
tanpa kompromi. Abdur Rauf cenderung memilih jalan yang lebih damai dan
radikal yang ditempuh oleh Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman,
1997: 174).
hadis: Jangan sampai terjadi seorang muslim menyebut muslim lain sebagai
lalu apakah manfaatnya. Sedangkan jika ia salah menuduh, maka tuduhan ini
heterodoksi dalam Islam yang disebabkan oleh tafsir yang kurang tepat terhadap
ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani (Abdul Hadi WM, 2006:
241).
Penekanannya tentang pentingnya syariat dalam tasawuf muncul dalam Umdat al-
masalah zikir. Zikir adalah dasar dari tasawuf dan karena itu merupakan metode
yang penting dalam disiplin kerohanian sufi. Abdur Rauf membagi zikir menjadi
dua, yaitu zikir hasanah dan zikir darajat. Zikir yang pertama tidak mengikuti
aturan tertentu, sedangkan zikir yang kedua terikat aturan yang ketat (Abdul Hadi
tertentu seperti duduk bersila menyilangkan dua kaki dan berpakaian bersih,
menghadap kiblat, memilih tempat yang gelap agar dapat berkonsentrasi dan
Illallah.
Biasanya 24 kalimat itu diucapkan baru nafas dihela (Abdul Hadi WM, 2006:
244).
Abdur Rauf mengajarkan dua metode zikir, yaitu zikir keras (jabr) dan zikir pelan
(sirr). Zikir keras dimulai dengan zikir nafiy (pengingkaran) dan isbat
satu-satunya Tuhan adalah Allah Taala. Ini dapat dibaca juga dalam Syair Perahu.
Di samping itu terdapat zikir gaib dengan mengucap Hu Allah dan zikir
menghela nafas dan illa Allah saat menarik nafas ke dalam hati. Tujuan zikir ini
seperti dalam praktik Yoga Pranayama (Abdul Hadi WM, 2006: 244-245).
Semua ajaran tasawuf didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama, yaitu
tauhid, tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam menafsirkannya. Dasar
pandangan Abdur Rauf tentang tauhid antara lain tertera dalam kitab Tanbih al-
(Yang Maha Benar) dan menyucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak baginya,
penghilangan sifat dan perbuatan pada diri yang tidak layak disandang Allah. Tiga
sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat Allah, dan zat, mengesakan Zat Tuhan
Menurut Abdul Rauf, Salah satu bukti keesaan Allah SWT adalah tidak rusaknya
alam. Allah berfirman, Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan
selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa. Berangkat dari
pengetahuan inilah kemudian ia membicarakan hubungan ontologis atau
kewujudan antara Pencipta dan ciptaan-ciptaan-Nya, antara Yang Satu dan yang
banyak, antara al-wujud dan al-maujudat. Alam adalah wujud yang terikat pada
sifat-sifat mumkinat atau serba mungkin. Oleh karena itu alam disebut sebagai
sesuatu selain Al-Haq (Oman Fathurrahman dalam Abdul Hadi WM, 2006: 246).
2. Syariat
Abdur Rauf Singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. Yang terpenting
Syara dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab ini merupakan kitab Melayu
terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak terbit, kitab ini menjadi rujukan
Dalam kitabnya ini, Abdur Rauf tidak membicarakan fikih ibadat, melainkan tiga
cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii, yaitu hukum mengenai
dan hukum tentang jinayat atau kejahatan (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM,
2006: 243).
Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual beli, hukum
piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang
hilang, dan lain-lain. Bidang yang berkaitan dengan perkawinan mencakup soal
nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain.
3. Tafsir
Dalam bidang tafsir, Abdur Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman al-
Mustafid. Pada hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari kitab
tafsir yang lain, yaitu tafsir al-Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh muridnya,
agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-Kazin (Riddel dalam Braginsky,
1998: 275).
yang pertama, yang seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir dan bukan karangan
4. Sastra
tentang Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kemakhlukan
antara keduanya. Jadi, karya sastra Abdur Rauf yang berupa syair ini masih
Abdur Rauf-lah yang telah mengarang Syair Makrifat. Dalam syair ini, dibahas
tentang empat komponen agama Islam, yaitu iman, Islam, tauhid, dan makrifat,
komponen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa hanya orang yang paham akan
makna semuanya yang layak disebut sebagai orang yang telah menganut agama
yang sempurna.
C. Karya
Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36
kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Quran dan hadis,
di antaranya adalah:
mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.
Melayu).
atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa Melayu).
Murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri sangat ramai, tetapi yang dapat
dipastikan ada beberapa ulama besar yang sangat terkenal menyebarkan Islam di
beberapa tempat di seluruh dunia Melayu. Antara mereka ialah, Baba Daud bin
Agha Ismail bin Agha Mustata al-Jawi ar-Rumi. Beliau ini berasal daripada
Aceh sehingga menjadi ulama yang tersebut ini. Keturunan beliau pula ada yang
berpindah ke Pattani, sehingga menurunkan ulama terkenal yaitu Syeikh Daud
Setelah berkhidmat di Mekah dikirim oleh saudara sepupu dan gurunya Syeikh
ke Kota Bharu, Kelantan, beliau dikenal dengan gelaran Tok Daud Katib.
Adapun Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi di atas beliau inilah yang
menyempurnakan karya gurunya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang
berjudul Turjumanul al-Mutafid atau yang lebih terkenal dengan Tafsir al-
Baidhawi Melayu, yaitu terjemah dan tafsir al-Quran 30 juzuk yang pertama
Naskhah asli tulisan tangan Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi itu dimiliki
oleh keturunannya Tok Daud Katib, lalu naskhah itu diserahkan kepada guru dan
Dari naskhah yang asli itulah diproses oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain
al-Fathani, Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani dan Syeikh Idris bin Husein
Kelantan sehingga terjadi cetakan pertama di Turki, di Mekah dan Mesir pada
peringkat awal. Nama ketiga-tiga ulama itu yang dinyatakan sebagai Mushahhih
(Pentashhih) pada setiap cetakan tafsir itu kekal diletakkan di halaman terakhir
lanjutan daripada cetakan yang dilakukan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani dan dua
orang muridnya itu (keterangan lanjut mengenai ini lihat buku Khazanah Karya
Murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang lain pula ialah Syeikh
Burhanuddin Ulakan. Beliau inilah yang disebut sebagai orang yang pertama
Di Jawa Barat, Indonesia terkenal seorang murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-
Fansuri yang dianggap sebagai seorang Wali Allah. Beliau ialah Syeikh Abdul
Adapun mengenai Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi yang berasal dari tanah Bugis
ada riwayat menyebut bahawa beliau juga murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-
Fansuri. Riwayat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi itu adalah
sahabat Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, sama-sama belajar kepada Syeikh
Walau bagaimanapun, selembar silsilah yang ada pada penulis, yang ditemui di
Syathariyah kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu. Memang diakui
bahawa Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi ialah orang pertama menyebarkan Tarekat
Tetapi berdasarkan manuskrip Mukhtashar Tashnif Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-
Fanshuri oleh Syeikh Abdur Rauf bin Makhalid Khali-fah al-Qadiri al-Bantani
bahawa Syeikh Yusuf al-Mankatsi adalah cucu murid kepada Syeikh Abdur Rauf
(Malaysia) pula, yang paling terkenal ialah Syeikh Abdul Malik bin Abdullah
Terengganu atau lebih popular dengan gelar Tok Pulau Manis yang mengarang
Ada yang meriwayatkan bahwa Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-
Fathani pernah belajar kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Tetapi
dalam penelitian penulis tidaklah demikian. Yang betul ialah ayah Syeikh Abdur
Rahman Pauh Bok itu, yaitu Syeikh Abdul Mubin bin Jailan al-
Fathani dipercayai adalah sahabat Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri karena
sama-sama belajar kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi dan Syeikh Ibrahim al-
bin Ali al-Fansuri di sini setakat ini dulu dan penyelidikan lanjut masih sedang
dijalankan.
E. Pengaruh
Syeh Abdur Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di kepulauan
Nusantara. Dua muridnya juga masyhur, yaitu Syeh Jamaluddin al-Tursani dan
ketatanegaraan terkenal dan pernah menjadi Kadi Malik al-Adil di istana Aceh
Hukam (Bahtera Para Hakim), yang merupakan perluasan baik terhadap Taj al-
seorang ulama dari Makassar. Ulama inilah yang mendampingi Sultan Ageng
2006: 246).
Pada saat Abdur Rauf menjadi mufti, Aceh adalah kesultanan yang sangat penting
di dunia Melayu karena menjadi tempat persinggahan para jemaah haji. Orang
dari Jawa dan daerah lain di Indonesia yang pergi naik haji, harus singgah di
Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit pula dari jemaah haji belajar agama dan
ilmu tasawuf kepada Abdur Rauf (A.H. Johns dalam Liaw Yock Fang, 1975: 197).
Mungkin inilah sebabnya tarekat Syattariyah agak populer di Jawa dan nama
Abdul Rauf sering disebut dalam silsilah tarekat tersebut. Sebuah karangan Abdur
Rauf, yaitu Dakaiik al-Huruf, dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi,
sebuah risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa (Liaw Yock Fang, 1975:
197).
Bersama dengan Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf Singkel menunjukkan bahwa
pasang surut gagasan dan praktek religius dan mistisisme di dunia. Gagasan dan
praktek ini berakar pada Al-Quran dan kehidupan komunitas Islam awal, tetapi
Perdebatan yang terjadi di Aceh, dan juga di dunia Melayu pada umumnya, tidak
bersifat unik bagi daerah ini saja, karena telah muncul juga di berbagai belahan
dunia Islam lainnya. Menurut Piah dkk (2002), Aceh menangkap gagasan dan