Anda di halaman 1dari 11

Abdul Rauf Singkel

A. Riwayat Hidup

Ada dua legenda yang dikaitkan dengan Abdul Rauf Singkel. Legenda
pertama menyatakan bahwa ia adalah mubaligh pertama yang
mengislamkan Aceh (lihat Liaw Yock Fang, 1975: 198 dan Braginsky,
1998: 474). Legenda kedua menyatakan bahwa khotbah-khotbahnya telah
membawa “para pelacur” dari “bordil”, yang konon dibuka oleh Hamzah
Fansuri di ibukota Aceh, untuk kembali ke jalan yang benar (Snouck
Hurgronje dalam Braginsky, 1998: 474). Braginsky (1998) menegaskan
bahwa kedua legenda itu tentu saja tidak sesuai dengan kebenaran
sejarah.

Namun, tentang peranan Abdul Rauf sebagai mualim, ulama dan


pendakwah yang berpengaruh dalam kedua legenda tersebut, tentu saja
tidak bisa disangkal. Arah gagasannya selalu praktis. Sebagai seorang
mualim ia selalu menaruh perhatian besar pada murid-muridnya. Karya-
karyanya selalu bertolak dari perhatiannya yang demikian itu, yaitu untuk
membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati
mereka supaya tidak tertimpa musibah, memperteguh kesalehan mereka,
dan menghindarkan mereka dari tindakan salah dan tidak toleran (A. Johns
dalam Braginsky, 1998: 474).

Abdul Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdul Rauf bin Ali al-
Jawi al-Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada
awal abad ke-17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih
bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan
bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ini didasarkan perhitungan,
ketika Abdul Rauf kembali dari Mekah, usianya antara 25 dan 30 tahun
(lihat Abdul Hadi WM, 2006: 241). Namun, Abdul Hadi WM (2006)
menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena Abdul Rauf berada
di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661. Bila dalam
usia 30 tahun ia kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.

Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdul Rauf


tidak hanya belajar di Mekah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan
dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur di Madinah.
Di kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah,
yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani (Braginsky,
1998: 474). Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdul Rauf
menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan
dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama
tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu. Ia juga
menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al-Fakih, dan lain-
lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di India. Di
samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang
diamalkannya, antara lain Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah,
Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah (Braginsky, 1998: 474).

Sepeninggal Ahmad Kusyasyi, Abdul Rauf memperoleh izin dari Mula


Ibrahim Kurani untuk mendirikan sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661
hingga hampir 30 tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di Aceh. Liaw
Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa muridnya ramai sekali dan datang
dari seluruh penjuru Nusantara. Dan, karena pandangan-pandangan
keagamaannya sejalan dengan pandangan Sultan Taj al-‘Alam Safiatun
Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675), Abdul Rauf kemudian
diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan mufti atau kadi dengan
sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif al-Rijal yang wafat tidak
lama setelah ia kembali ke Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 241-242). Selain
itu, ia juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak
berkuasanya seorang raja perempuan (lihat Mat Piah et.al, 2002: 61).

Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf


masih sempat menulis berbagai karya intelektual dan juga karya sastra
berbentuk syair—banyak di antaranya yang masih tersimpan sampai
sekarang.

Mulanya, ketika dititahkan oleh Sultanah untuk menulis Mir‘at al-Tullab


pada 1672, ia tidak bersedia karena merasa kurang menguasai bahasa
Melayu setelah lama bermukim di Haramayn (Arab Saudi). Tetapi setelah
mempertimbangkan masak-masak perlunya kitab semacam ini ditulis
dalam bahasa Melayu, ia pun mengerjakannya, dengan dibantu oleh dua
orang sabahat (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad dalam Abdul hadi
WM, 2006: 243). Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242)
mencatat bahwa karyanya tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan
fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis.

Pengaruh Abdul Rauf juga mencapai umat Islam di Jawa. Braginsky (1998)
menyebutkan bahwa Abdul Rauf pernah berkunjung ke Banten.
Sedangkan Liaw Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa salah satu karya
Abdul Rauf dikutip dalam sebuah risalah sufi yang terkenal di Jawa.
Sementara itu, tarekat Syattariyah, yang juga banyak penganutnya di
Jawa, membubuhkan nama Abdul Rauf dalam silsilah para sufi besar
penganut tarekat tersebut. Sehingga, Abdul Rauf jelas dikenal oleh orang-
orang Jawa yang menganutnya.
Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdul Rauf adalah bahwa ia
berpenting sekali dalam menengahi silang pendapat antara Nuruddin al-
Raniri dan Hamzah Fansuri tentang aliran wujudiyyah. Braginsky (1998)
telah menguraikan pendekatan Abdul Rauf yang lebih sejuk dan damai
terhadap aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri tersebut.

Ketika wafat pada tahun 1693, Abdul Rauf dimakamkan di muara sebuah
sungai di Aceh, di samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh
orang Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 246), sehingga ia dikenal juga sebagai
Syeh Kuala atau Tengku di Kuala (Liaw Yock Fang, 1975: 198).

B. Pemikiran

1. Tasawuf
Dalam banyak tulisannya, Abdul Rauf Singkel menekankan tentang
transendensi Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Ia menyanggah
pandangan wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk
ciptaan-Nya. Dalam karyanya yang berjudul Kifayat al-Muhtajin, Abdul Rauf
berpendapat bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Dia
menciptakan Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad inilah Tuhan kemudian
menciptakan permanent archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah), yaitu alam
semesta yang potensial, yang menjadi sumber bagi exterior archetypes (al-
a‘yan al-kharijiyyah), bentuk konkret makluk ciptaan. Selanjutnya, Abdul
Rauf menyimpulkan bahwa walaupun a‘yan al-kharijiyyah adalah emanasi
(pancaran) dari Wujud Yang Mutlak, ia tetap berbeda dari Tuhan. Abdul
Rauf mengumpamakan perbedaan ini dengan tangan dan bayangannya.
Walaupun tangan sangat sukar untuk dipisahkan dari banyangannya, tetapi
bayangan itu bukanlah tangan yang sebenarnya (lihat Azyumardi Azra
dalam Osman, 1997: 174).

Secara umum, Abdul Rauf ingin mengajarkan harmoni antara syariat dan
sufisme. Dalam karya-karyanya ia menyatakan bahwa tasawuf harus
bekerjasama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap
syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh
pengalaman hakikat yang sejati. Pendekatannya ini tentu saja berbeda dari
pendekatan Nuruddin al-Raniri yang tanpa kompromi. Abdul Rauf
cenderung memilih jalan yang lebih damai dan sejuk dalam berinteraksi
dengan aliran wujudiyyah. Maka, walaupun ia menentang aliran yang
diajarkan oleh Hamzah Fansuri itu, ia tidak menyatakannya secara terbuka.
Lagipula, ia juga tidak setuju dengan cara-cara radikal yang ditempuh oleh
Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).

Menariknya, dalam karya-karyanya ia tidak menyebut Nuruddin al-Raniri,


yang karya-karyanya mungkin sekali telah dikenalinya, tetapi seolah-olah
mengisyaratkan peristiwa tragis yang pernah terjadi, melalui kutipan
sebuah hadis: “Jangan sampai terjadi seorang muslim menyebut muslim
lain sebagai kafir. Karena jika ia berbuat demikian, dan memang
demikianlah kenyataannya, lalu apakah manfaatnya. Sedangkan jika ia
salah menuduh, maka tuduhan ini akan dibalikkan melawan ia sendiri”
(Johns dalam Braginsky, 1998: 476).

Dengan caranya yang lebih damai ini, ia dapat menahan berkembangnya


heterodoksi dalam Islam yang disebabkan oleh tafsir yang kurang tepat
terhadap ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani (Abdul
Hadi WM, 2006: 241).

Penekanannya tentang pentingnya syariat dalam tasawuf muncul dalam


Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang
yang Menempuh Jalan Tasawuf). Di dalam kitab ini, Abdul Rauf
menguraikan masalah zikir. Zikir adalah dasar dari tasawuf dan karena itu
merupakan metode yang penting dalam disiplin kerohanian sufi. Abdul
Rauf membagi zikir menjadi dua, yaitu zikr hasanah dan zikir darajat. Zikir
yang pertama tidak mengikuti aturan tertentu, sedangkan zikir yang kedua
terikat aturan yang ketat (Abdul Hadi WM, 2006: 241).

Zikir darajat dilakukan setelah seseorang bertobat, kemudian menjalani


upacara tertentu seperti duduk bersila menyilangkan dua kaki dan
berpakaian bersih, menghadap kiblat, memilih tempat yang gelap agar
dapat berkonsentrasi dan memejamkan mata. Setelah itu ia mulai berzikir,
mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah. Kalimat ini dibaca dengan irama
tertentu sambil menggoyang-goyangkan kepala. Zikir dilakukan dengan
nafas teratur, lidah menyentuh langit-langit bagian belakang, sembari
mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah dengan pikiran. Biasanya 24
kalimat itu diucapkan baru nafas dihela (Abdul Hadi WM, 2006: 244).

Abdul Rauf mengajarkan dua metode zikir, yaitu zikir keras (jabr) dan zikir
pelan (sirr). Zikir keras dimulai dengan zikir nafiy (pengingkaran) dan isbat
(penegasan), yaitu mengucap la ilaha Illa Allah berulangkali. Zikir ini
mengandung penegasan untuk mengingkari selain Tuhan dan peneguhan
bahwa satu-satunya Tuhan adalah Allah Ta‘ala. Ini dapat dibaca juga
dalam Syair Perahu. Di samping itu terdapat zikir gaib dengan mengucap
Hu Allah dan zikir penyaksian (al-syahadah) dengan mengucapkan Allah,
Allah. Zikir pelan dilakukan dengan nafas teratur, dengan membayangkan
kalimat la ilaha saat menghela nafas dan illa Allah saat menarik nafas ke
dalam hati. Tujuan zikir ini adalah pemusatan diri, bukan untuk
membayangkan kehadiran gambar Tuhan seperti dalam praktik Yoga
Pranayama (Abdul Hadi WM, 2006: 244-245).

Semua ajaran tasawuf didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama,
yaitu tauhid, tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam
menafsirkannya. Dasar pandangan Abdul Rauf tentang tauhid antara lain
tertera dalam kitab Tanbih al-Masyi. Ia mengajarkan agar murid-muridnya
senantiasa mengesakan al-Haq (Yang Maha Benar) dan menyucikan-Nya
dari hal-hal yang tidak layak baginya, yaitu dengan mengucap la ilaha Illa
Allah. Kalimat ini mengandung empat tingkatan tauhid. Pertama,
penegasan penghilangan sifat dan perbuatan pada diri yang tidak layak
disandang Allah. Tiga tingkatan tauhid berikutnya adalah uluhiya, yaitu
mengesakan ketuhanan Allah, sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat Allah, dan
zat, mengesakan Zat Tuhan (Othman Mohd. Isa dalam Abdul Hadi WM,
2006: 245-246).

Menurut Abdul Rauf, “Salah satu bukti keesaan Allah SWT adalah tidak
rusaknya alam. Allah berfirman, ‘Sekiranya di langit dan di bumi ini ada
tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa‘.”
Berangkat dari pengetahuan inilah kemudian ia membicarakan hubungan
ontologis atau kewujudan antara Pencipta dan ciptaan-ciptaan-Nya, antara
Yang Satu dan “yang banyak”, antara al-wujud dan al-maujudat. Alam
adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat mumkinat atau serba mungkin.
Oleh karena itu alam disebut sebagai sesuatu selain al-Haq (Oman
Fathurrahman dalam Abdul Hadi WM, 2006: 246).

2. Syariat
Abdul Rauf Singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. Yang
terpenting adalah Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li
al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu
Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab ini merupakan
kitab Melayu terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak terbit, kitab ini
menjadi rujukan para kadi atau hakim di wilayah Kesultanan Aceh. Dalam
kitabnya ini, Abdul Rauf tidak membicarakan fikih ibadat, melainkan tiga
cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii, yaitu hukum mengenai
perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum
perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau kejahatan (Ali Hasmy dalam
Abdul Hadi WM, 2006: 243).
Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual beli,
hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan,
sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa,
wakaf, hukum barang hilang, dan lain-lain. Bidang yang berkaitan dengan
perkawinan mencakup soal nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak,
rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain. Sedangkan jinayat mencakup hukuman
pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zinah, hukum
membunuh, dan lain-lain (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).

3. Tafsir
Dalam bidang tafsir, Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman al-
Mustafid. Pada hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari
kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir al-Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh
muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan lainnya,
dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-Kazin
(Riddel dalam Braginsky, 1998: 275). Walaupun kitab ini tergolong sebagai
tafsir, tetapi Braginsky (1998) menganggapnya sebagai terjemahan
lengkap Al-Qur‘an dalam bahasa Melayu yang pertama, yang seperti
lazimnya berbentuk sebagai tafsir dan bukan karangan eksegesis yang
rinci.

4. Sastra
Walaupun kuatrin terpisah-pisah, yang tidak lain merupakan bait-bait syair,
terkadang terdapat dalam Bustan as-Salatin karya Nuruddin al-Raniri,
tetapi penerus tradisi penulisan “syair religius-mistik” adalah Abdul Rauf
Singkel. Braginsky (1998: 491-484) telah membahas syair-syair tesebut
dan menyimpulkan bahwa dalam syair-syairnya, Abdul Rauf Singkel
menegaskan tentang Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu pihak, dan
sifat kemakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain, yang menyebabkan
adanya perbedaan mutlak di antara keduanya. Jadi, karya sastra Abdul
Rauf yang berupa syair ini masih memiliki hubungan yang sangat erat
dengan keyakinan tasawufnya.

Dalam sebuah naskah yang disalin di Bukit Tinggi pada 1859, diberitakan
bahwa Abdul Rauf-lah yang telah mengarang Syair Makrifat. Dalam syair
ini, dibahas tentang empat komponen agama Islam, yaitu iman, Islam,
tauhid, dan makrifat, dan tentang makrifat sebagai pengenalan sufi yang
memahkotai keempat komponen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa
hanya orang yang paham akan makna semuanya yang layak disebut
sebagai orang yang telah menganut agama yang sempurna.

Karya ini, yang digubah kurang lebih sezaman dengan perluasan syair dari
bidang puisi agama ke bidang-bidang sastra lainnya, terutama “sastra
sejarah” seperti Syair Perang Mengkasar, dari beberapa segi sangat
membenarkan tentang adanya pengaruh karya-karya Hamzah Fansuri.
Pengaruh ini bukan saja terhadap kelahiran syair saja, tetapi juga
perkembangannya, mulai dari syair-syair singkat yang mirip dengan gazal
sampai ke syair-syair panjang yang terdiri dari beberapa ratus stanza atau
bahkan lebih banyak lagi. Bahwa Syair Makrifat penuh dengan parafrase
dari karya-karya Hamzah Fansuri, sama sekali tidak mengherankan jika
mengingat bahwa Abdul Rauf sendiri dengan bangga menegaskan asal-
usulnya yang “dari bangsa Hamzah Fansuri”. Contoh gema citra-citra
Hamzaf Fansuri tersebut adalah berikut ini:

Abdul Rauf 
“Sebiji kelapa ibarat sana, Lafaznya empat sama ma‘na, Di situlah banyak
orang terkena, Sebab pendapat kurang sempurna. Kulitnya itu ibarat
syariat, Tempurungnya itu ibarat tarekat Isinya itu ibarat hakikat,
Minyaknya itu ibarat ma‘rifat (Iskandar dalam Braginsky, 1998: 492) 

Hamzah Fansuri
“Misal kelambir sebuah dengan kulitnya, dengan tempurungnya, dengan
isinya, dengan minyaknya. Yang syariat seperti kulit[nya]; yang tarekat
seperti tempurungnya; yang hakikat seperti isinya; yang ma‘rifat seperti
minyaknya (Attas dalam Braginsky, 1998: 492)
Sumber: Braginsky, 1998: 492

Yang juga menarik dalam syair ini adalah perkembangan selanjutnya pada
citra simbolis Hamzah Fansuri yang lain, yaitu citra pohon, yang
memainkan peranan sangat penting dalam karya-karya Hamzah Fansuri.
Dalam Syair Makrifat, pohon melambangkan kesatuan empat komponen
agama menurut Abdul Rauf:
“Fakir khabarkan suatu pendapat,
Tatkala mencari ilmu ma‘rifat,
Sepohon kayu cabangnya empat,
Buahnya diambil tiada dapat.

Kayunya tinggi bukan kepalang,


Buahnya banyak tiada terbilang,
Warnanya indah amat cemerlang,
Hendak diambil dibawa pulang...

Adalah ibarat fakir yang hina,


Sepohon kayu tiada sempurna,
Cawang dan dahan tiada berguna.

Jikalau sempurna pohon itu,


Cawang dan dahan terhimpun situ,
Buah dan bunga di sanalah tentu,
Baiklah fakir hati di situ.

Baik-baik kita tuan menerima,


Kepada pohonnya ialah sempurna,
Daun dan buah tiada sama,
Masing-masing berlainan nama”
(Iskandar dalam Braginsky, 1998: 492-493).

Lambang pohon, di samping lambang perahu (atau kapal), burung dan


rumah (atau tempat pemjuaan), merupakan salah satu “simbol besar” yang
terpenting dalam tasawuf Melayu. “Simbol besar” ini, yang melambangkan
suatu keutuhan yang berkembang secara organis, berperanan antara lain
sebagai sarana untuk memadukan simbol-simbol yang lebih khusus
(“simbol kecil”). Dalam kesatuan yang tak terpisah-pisahkan. “Simbol
besar” ini juga besar arti pentingnya sebagai alat untuk musyahadah
(meditasi sufi). Adapun “simbol-simbol kecil” mewujudkan pengertian yang
berkorelasi dengan bagian-bagian pohon, yaitu cabang, daun, bunga, dan
lain-lain.
Ciri khas lain dari Syair Makrifat ini adalah sifat kehati-hatian dan
kecermatan Abdul Rauf dalam pengungkapan ide-ide tasawuf, yang
umumnya dianggap sebagai khas baginya, sebagai mubaligh tasawuf yang
selalu asing dari ekstrimitas apapun. Untuk membuktikan kesimpulan
tersebut, cukuplah dengan membandingkan bagaimana Abdul Rauf dan
Hamzah Fansuri menafsirkan hadis yang masyhur ini: “Barangsiapa
mengenal dirinya sendiri (Man ‘arafa nafsahu), dia pun mengenal
Tuhannya (Fa-qad‘arafa Rabbahu)”.

Perbedaan penafsiran hadis oleh Abdul Rauf dan Hamzah Fansuri
Abdul Rauf 
“Jika tuan menuntut ilmu, 
Ketahui dahulu keadaanmu,
Man ‘arafa nafsuhu kenal dirimu,
Fa-qad ‘arafa Rabbahu kenal Tuhanmu 

Hamzah Fansuri
“Sabda Rasul Allah: Man ‘arafa nafsuhu,
Bahwasanya mengenal akan Rabbahu,
Jika sungguh engkau ‘abdahu (hamba-Nya),
Jangan kau cari Illa Wajhahu (selain wajah-Nya)
Wajah Allah itulah yang asal kata,
Pada wujudmu lengkap sekalian rata...”

Abdul Rauf
Kenal dirimu muhadas semata,
Kenal Tuhanmu kadim Zatnya,
Tiada bersamaan itu keduanya,
Tiada semisal seumpamanya” (Iskandar dalam Braginsky, 1998: 494) 

Hamzah Fansuri
“Tuhan kita itu tiada bermakan (bertempat),
Zahirnya nyata dengan rupa insan,
Man ‘arafa nafsuhuI suatu burhan (bukti),
Fa-qad ‘arafa Rabbahu terlalu bayan (nyata)” (Drewes dan Brakel dalam
Braginsky, 1998: 494)

Sumber: Braginsky, 1998: 492

C. Karya
Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang
dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-
Qur‘an dan hadis, di antaranya adalah:
1. Daka‘ik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa al-
mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.
2. Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).
3. Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-
Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-
hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu).
4. Umdat al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai Orang-
orang yang Menempuh Jalan Tasawuf).
5. Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi
Penempuh Tarekat al-Qusyasyi, bahasa Arab).
6. Bayan al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa
Melayu).
7. Bidayah al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).
8. Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah,
bahasa Melayu). 
9. Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).
10. Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawy.
11. Syarh Latif ‘Ala Arba‘ Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan
Terperinci atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa
Melayu).
12. Al-Mawa‘iz al-Ba‘diah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).
13. Kifayat al-Muhtajin.
14. Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).
15. Syair Makrifat.
16. Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).
17. Majmu al-Masa‘il (Himpunan Petranyaan).
18. Syam al-Ma‘rifat (Matahari Penciptaan).

D. Pengaruh
Syeh Abdul Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di
kepulauan Nusantara. Dua muridnya juga masyhur, yaitu Syeh Jamaluddin
al-Tursani dan Syeh Yusuf al-Makasari. Jamaluddin al-Tursani adalah
seorang ahli hukum ketatanegaraan terkenal dan pernah menjadi Kadi
Malik al-Adil di istana Aceh pada awal abad ke-18 M. Ia terkenal berkat
karya hukum ketatanegaraannya yang komprehensif, Syafinat al Hukam
(Bahtera Para Hakim), yang merupakan perluasan baik terhadap Taj al-
Salatin maupun Bustan al-Salatin. Sedangkan Syeh Yusuf al-Makasari
adalah seorang ulama dari Makassar. Ulama inilah yang mendampingi
Sultan Ageng Tirtayasa dalam perjuangannya melawan kolonialisme
Belanda (Abdul Hadi WM, 2006: 246).

Pada saat Abdul Rauf menjadi mufti, Aceh adalah kesultanan yang sangat
penting di dunia Melayu karena menjadi tempat persinggahan para jemaah
haji. Orang dari Jawa dan daerah lain di Indonesia yang pergi naik haji,
harus singgah di Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit pula dari jemaah haji
belajar agama dan ilmu tasawuf kepada Abdul Rauf (A.H. Johns dalam
Liaw Yock Fang, 1975: 197). Mungkin inilah sebabnya tarekat Syattariyah
agak populer di Jawa dan nama Abdul Rauf sering disebut dalam silsilah
tarekat tersebut. Sebuah karangan Abdul Rauf, yaitu Dakai‘ik al-Huruf,
dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, sebuah risalah ilmu
tasawuf yang sangat penting di Jawa (Liaw Yock Fang, 1975: 197).

Bersama dengan Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel menunjukkan


bahwa Islam, sebagaimana yang dipraktekkan di Asia Tenggara, adalah
bagian dari pasang surut gagasan dan praktek religius dan mistisisme di
dunia. Gagasan dan praktek ini berakar pada Al-Qur‘an dan kehidupan
komunitas Islam awal, tetapi kemudian berkembang ke berbagai arah yang
berbeda-beda. Perdebatan yang terjadi di Aceh, dan juga di dunia Melayu
pada umumnya, tidak bersifat unik bagi daerah ini saja, karena telah
muncul juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Menurut Piah dkk
(2002), Aceh menangkap gagasan dan praktek-praktek ini dan
mengeskpresikannya dengan cara yang rumit dan menantang bagi kaum
Muslim yang memahami keimanan mereka melalui medium bahasa
Melayu.

Anda mungkin juga menyukai