Tiga tahun berlalu, terjadi perang. Para ayah dan ibu meratapi
putera-putera mereka yang dipaksa menjadi tentara dan ikut
berperang. Banyak di antara pemuda-pemuda itu yang tidak
pernah kembali ke rumah mereka.
“Aku mohon, tuan.” kata pak tani, “Jangan ambil anak kami. Ia
bahkan bukan anak manusia. Ia berasal dari melon.”
“Aku tak peduli anakmu itu melon atau labu,” kata petugas itu.
“Ia harus ikut dengan kami.”
"Kumpulkan emas.”
Pak tani hampir pingsan. Itu jumlah yang sangat banyak. “Aku
belum pernah melihat uang emas, apalagi memilikinya.”
“Tunggu dulu!” Anak Melon muncul dari dalam rumah. “Aku bisa
menyediakan emas itu,” katanya.
“Kau bisa?” kata petugas. “Aku akan bermurah hati. Kau punya
waktu dua hari. Bila kau gagal. Kau harus ikut denganku dengan
suka rela.”
"Bagus, nak,” kata petugas. “Asal aku bisa berjalan di atas emas
dari pintu rumahmu sampai gerbang istana raja, kau dan orang
tuamu kubebaskan.”
“Dan satu ikan yang seluruh tubuhnya merah, serta satu ikan
yang seluruh tubuhnya putih tanpa noda.”