Anda di halaman 1dari 6

Dahulu, hidup sepasang suami isteri petani. Mereka sudah tua..

Walaupun saling mencintai, mereka sering merasa kesepian


karena tidak pernah ada tawa riang dan celoteh anak-anak di
rumah mereka.

Menjelang suatu musim dingin, walaupun sudah bekerja keras,


hasil ladang mereka hanya menghasilkan sebuah melon. Pak tani
membawa melon itu pulang. Isteri petani mengeluh karena panen
mereka musim itu tidak berhasil baik.

Tiba-tiba, melon itu berbicara kepada mereka. “Kalau begitu,


anggap saja aku anak kalian.”
“Tapi kau melon,” kata pasangan itu. “Bagaimana kau menjadi
anak kami?”

“Kalian menanam dan merawatku dengan baik, maka aku anak


kalian, bukan?”

Mereka menyebut melon itu Anak Melon. Anak Melon tumbuh


dengan cepat menjadi seorang pemuda. Ia rajin dan kuat sekali.
Ia dapat melakukan pekerjaan di ladang kecil itu sendiri, dari
membajak, menanam, menyiram dan menyiangi ladang. Pak dan
ibu tani tidak perlu lagi khawatir karena berkat Anak Melon
mereka selalu punya persediaan makanan.

Tiga tahun berlalu, terjadi perang. Para ayah dan ibu meratapi
putera-putera mereka yang dipaksa menjadi tentara dan ikut
berperang. Banyak di antara pemuda-pemuda itu yang tidak
pernah kembali ke rumah mereka.

Kaisar mengirim seorang petugas untuk mencari para pemuda ke


rumah-rumah.  Pada suatu hari, petugas itu datang ke rumah pak
tani. Ia ingin membawa Anak Melon.

“Aku mohon, tuan.” kata pak tani, “Jangan ambil anak kami. Ia
bahkan bukan anak manusia. Ia berasal dari melon.”

“Aku tak peduli anakmu itu melon atau labu,” kata petugas itu.
“Ia harus ikut dengan kami.”

Pak dan ibu tani terus memohon. Akhirnya, sambil tertawa-tawa,


petugas itu berkata, ”Tak mau menyerahkan anakmu? Baiklah.
Kuberi tahu kau, cara agar anakmu tidak perlu ikut berperang.”

"Bagaimana, tuan?" tanya bu tani penuh harap.

"Kumpulkan emas.”

“Emas.... Berapa. Tuan?”

“Tidak banyak” kata petugas itu. “Asal cukup untuk menutup


jalan dari rumahmu sampai gerbang istana dengan emas.”

Pak tani hampir pingsan. Itu jumlah yang sangat banyak. “Aku
belum pernah melihat uang emas, apalagi memilikinya.”

“Kalau begitu,” kata petugas sambil tersenyum, “Lebih baik


anakmu ikut saja dengan kami.”

“Tunggu dulu!” Anak Melon muncul dari dalam rumah. “Aku bisa
menyediakan emas itu,” katanya.

“Kau bisa?” kata petugas. “Aku akan bermurah hati. Kau punya
waktu dua hari. Bila kau gagal. Kau harus ikut denganku dengan
suka rela.”

“Baiklah,” jawab Anak Melon. “Dua hari lebih dari cukup


untukku.”

"Bagus, nak,” kata petugas. “Asal aku bisa berjalan di atas emas
dari pintu rumahmu sampai gerbang istana raja, kau dan orang
tuamu kubebaskan.”

Petugas itu pergi sambil menyeret beberapa pemuda yang terikat


rantai.
“Bagaimana kau bisa mendapatkan emas sebanyak itu, nak?”
tanya bu tani. ia mulai menangis.

“Percayalah padaku,” kata Anak Melon. “Aku akan mendapatkan


emas itu. Kalian tidak usah khawatir.”

“Bagaimana caranya?” tanya bu tani. “Waktu kita tidak banyak.”

“Ayah, ibu,” kata Anak Melon, “Pergilah mencari seekor anjing


betina yang hanya punya tiga kaki.”

“Dan satu ikan yang seluruh tubuhnya merah, serta satu ikan
yang seluruh tubuhnya putih tanpa noda.”

“Di mana ada binatang seaneh itu?” kata orang tuanya.

“Kalian akan menemukan binatang itu.” Kata Anak Melon.


“Carilah di tepi sungai dan di gunung.”

Sore harinya, pasangan petani itu membawa pulang seekor


anjing betina berkaki tiga, satu ikan merah dan satu ikan putih.

Anak Melon memasak kedua ikan itu dan memberikannya kepada


anjing berkaki tiga. Ia lalu pergi ke rumpun bambu, mencari
sebatang bambu yang kecil tapi kuat.

“Ayah,” kata Anak Melon, “Besok pagi, bawalah anjing itu ke


istana. Begitu keluar dari rumah kita, pukul anjing dengan
tongkat bambu ini. Lakukan terus sampai ayah tiba di gerbang
istana.”

Esoknya, pak tani keluar rumah membawa anjing berkaki tiga. Ia


memukul anjing itu dengan tongkat bambu. Tiap kali dipukul,
anjing itu buang kotoran, tapi yang dikeluarkannya adalah
sebongkah kecil emas.

Demikianlah, orang tua itu berjalan ke istana sambil terus


memukul anjing dengan tongkat bambu. Ketika tiba di gerbang
istana, seluruh jalan yang dilaluinya tertutup emas.

Kaisar mendapat laporan tentang kejadian itu. Ia segera pergi


melihatnya sendiri.

Pak tani menjelaskan kepada Kaisar bahwa ia datang untuk


memenuhi  syarat dari petugas yang datang ke rumahnya, agar
anakya tidak perlu pergi berperang.

“Baiklah,” kata Kaisar. “Aku menyatakan bahwa anakmu terbebas


dari kewajiban pergi ke medan perang.”

Kemudian Kaisar memerintahkan para pengawal untuk segera


mengumpulkan semua emas itu dan membawanya ke gudang
harta.

Ribuan pengawal dikerahkan untuk mengumpulkan emas itu.


Mereka memasukkan emas ke dalam karung-karung dan
membawanya ke gudang Kaisar.

Pak tani pulang ke rumah dengan perasaan lega karena Anak


Melon tidak perlu meninggalkan mereka. Mereka bertiga hidup
bahagia dengan bertani seperti semula.

Beberapa tahun kemudian, timbul bau yang tidak sedap di sekitar


istana. Bau itu makin lama makin kuat sehingga orang-orang di
sekitar istana sulit bernafas, bahkan muntah-muntah atau jatuh
sakit.

Kaisar memerintah para pengawal untuk mencari sumber bau itu.


Akhirnya mereka menemukan bahwa bau itu tersebar dari
gudang harta Kaisar. Gudang dibuka. Di sana masih ada
tumpukan karung yang diisi dengan emas dari pak tani, tapi...
isinya bukan lagi emas, melainkan kotoran anjing yang sangat
bau dan dikerumuni lalat!

Kaisar sangat marah. Ia memerintah untuk menangkap keluarga


petani itu. Para pengawal mencari ke seluruh penjuru negeri,
namun tidak menemukan Anak Melon dan orang tuanya.

Anda mungkin juga menyukai