Anda di halaman 1dari 9

CERITA RAKYAT: Paummisang, Kakek Pemakan Tebu dari Tinambung.

Pada zaman dahulu di daerah Tinambung Mandar, Sulawesi Barat, hidup seorang kakek sebatang
kara di sebuah rumah sederhana di tengah-tengah kebunnya. Saban hari si kakek menghabiskan
waktu untuk menanam sayur-sayuran, umbi-umbian, jagung, tebu, dan kelapa. Karena keuletan
dan ketelitian dalam merawat tanamannya, sehingga hasilnya pun cukup melimpah.

Kakek itu memiliki hobby yang aneh. Hampir tiap hari dia minum air tebu tanpa lebih dulu
memerasnya. Ia memilih langsung mengigiti batang tebu yang telah dikupas kulitnya. Kemudian
mengunyahnya hingga tinggal ampas. Kemudian ampas tebu tersebut ia kumpulkan di ruang
tengah rumahnya. Sehingga menggunung di dalam rumahnya.

Akibat kebiasaan tersebut, orang kampung memanggilnya Kanne Paummisang, yang artinya
dalam bahasa Mandar, Sulbar, kakek yang suka menumpuk ampas tebu di rumahnya.

Di mata penduduk, Kanne Paummisang dikenal sebagai orang yang ramah, baik hati, dan
dermawan. Hasil kebunnya yang melimpah tak pernah dinikmati sendiri, melainkan dibagi
kepada penduduk kampung yang membutuhkan. Bahkan ia sering mempersilahkan para tetangga
kebunnya untuk mengambil apa aja di kebunnya tanpa perlu minta izin terlebih dahulu.

Salah satu tetangga kebunnya adalah Kanne Golla. Pada suatu hari, Kanne Golla melintas di
kebun Kanne Paummisang. Ketika dia memandangi sekeliling, Kanne Golla tergiur melihat
tanaman jagung Kanne Maummisang yang sangat subur. Ia ingin sekali memetik beberapa
bongkol jagung itu. Namun, ia tetap merasa sungkan, meskipun sudah diizinkan sebelumnya.

Kanne Golla yang masih berdiri di tengah kebun itu tidak menyadari jika Kakek Paummisang
mengamatinya dari dalam rumah. Seperti biasa si kakek melihat ke arah kebun sambil
mengunyah batang tebu. Akhirnya Kakek Paummisang menghampiri Kanne Golla. Ia sempat
kaget kala disapa Kakek Paummisang.

Dengan senyum ramah, Kakek Paummisang mempersilakan Kanne Golla untuk memetik salah
satu hasil kebunnya. “Jika ada sesuatu yang menarik hatimu di kebunku ini, silahkan ambil
sesukamu. Tidak perlu sungkan,” ujarnya disambut senyum Kanne Golla. “Iya, sebenarnya aku
sangat tertarik melihat tanaman jagungmu. Jika berkenan, bolehkah aku memetiknya dua
bongkol?” tanya Kanne Golla dengan malu-malu. “Tentu saja boleh, saudariku! Kamu boleh
mengambil sekuat kamu membawanya,” jawab Kanne Paummisang sambil tersenyum. “Terima
kasih! Kamu memang orang yang baik hati dan dermawan,” Ucap Kanne Golla.

Setelah memetik beberapa bongkol jagung, Kanne Golla pun berpamitan pulang dengan perasaan
senang. Demikian pula Kanne Paummisang, ia merasa sangat senang jika hasil perkebunannya
bermanfaat untuk orang banyak. Sehingga tak heran jika ia kerap menawarkannya kepada siapa
pun yang lewat di kebunnya.
Demikan saat Pak Herdi lewat. Penduduk yang tinggal di kampung tak jauh dari kebun Kakek
Paummisang tersebut langsung dihadiahi beberapa bongkol jagung oleh si kakek. Pak Hari pun
senang bukan kepalang. “Terima kasih, Kanne Paummisang,” ucap Hardi.

“Sama-sama. Jika masih ada isi kebunku yang kamu senangi, silakan diambil ya,” ujar Kanne
Paummisang disambut pujian Pak Hardi. “Kanne memang orang yang dermawan!” ucap Hardi.

Setelah menyerahkan jagung itu kepada Pak Hardi, Kanne Paummisang kembali mengunyah
batang tebu dan membuang ampasnya ke ruang tengah rumah. Melihat hal itu, Pak Hardi hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Begitulah reaksi setiap penduduk saat melihat perilaku aneh
Kanne Paummisang.

Sementara kebiasaan Kanne Paummisang semakin hari semakin gawat. Bahkan tumpukan ampas
tebu sudah menyesaki rumahnya. Ia pun terkadang tertidur di atas tumpukan ampas tebu itu.
Lantaran sudah tidak ada lagi ruangan yang tersisa.

Kendati demikian, semakin hari Kanne Paummisang juga semakin dermawan kepada semua
penduduk. Siapapun yang lewat pasti akan dihadiahi hasil kebun. Sebagai bentuk terima kasih,
warga juga sering membawakan makanan ke rumah Kanne Paummisang.

Tetangga kebunnya Kanne Golla yang paling rajin. Ia biasa membawa ikan bakar, kue, gula
pasir, kopi, ke rumah Kanne Paummisang. Balas budi Kanne Golla memang sangat berarti begin
Kanne Paummisang. Sebab dia hidup sebatang kara.

Pada suatu hari, Kanne Golla datang mengantarkan makanan untuk Kanne Paummisang.
Setibanya di depan rumahnya, ia melihat pintu rumah itu tertutup rapat. Berkali-kali Kanne Golla
mengetuk pintu dan berteriak memanggil Kanne Paummisang, namun tidak mendapat jawaban
sama sekali.

Oleh karena penasaran, ia pun mencoba mendorong pintu rumah Kanne Paummisang. Rupanya,
pintu itu tidak terkunci, sehingga ia dapat masuk ke dalam rumah. Alangkah terkejutnya Kanne
Golla saat mendapati Kanne Paummisang tergeletak di atas tumpukan ampas tebunya.

Setelah diperiksa, rupanya Kanne Paummisang sudah tidak bernyawa. Akhirnya, Kanne Golla
segera memanggil orang-orang kampung untuk menguburkan jenazah Kanne Paummisang di
tengah-tengah kebunnya.

Kendati sudah meninggal, cerita kedermawanan Kanne Paummisang tetap harum bagi
masyarakat Mandar. Untuk mengenang kebaikan dan kedermawanan Kanne Paummisang, para
penduduk menamakan kampung mereka Kampung Paummisang. Kampung itu berada di sekitar
Tinambung, Polewali Mandar.
CERITA RAKYAT: Asal-Muasal Ikan Tuing-Tuing

Kisah Ikan Tuing- Tuing/Sumber: Buku Tuing-Tuing Dan Pancing Emas

PADA suatu masa, di Mandar, Sulawesi Barat, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh
seorang raja yang adil dan bijaksana. Namanya Arung Paria. Raja Arung mempunyai anak laki-
laki dan perempuan. Mereka hanya disapa Putra Raja dan Putri Raja saja karena menyebut nama
anak raja di masa itu sesuatu yang tabu. Kerajaan Arung Paria sangat kaya dan terkenal dengan
beragam pusakanya. Salah satunya adalah Pancing Emas.

Pada suatu pagi, awan masih agak gelap karena matahari belum bersinar sempurna. Raja Arung
Paria sudah duduk di singgasana. Para penggawa dan para hulubalang datang menghadap untuk
melaporkan perkembangan di negeri Mandar. Salah satu punggawa tampak cemas gemetaran.
Ternyata yang akan dilaporkannya sebuah kabar buruk; pusaka Pancing Emas lenyap! “Mohon
ampun, Baginda. Hamba teledor dalam menjaga pusaka Kerajaan,” katanya ketakutan.

Raja Arung Paria terkejut mendengar kabar tersebut. Ia lantas bergegas menuju ruang
penyimpanan pusaka untuk mengecek kebenarannya. Arung Paria pun murka. “Siapa pun yang
ketahuan menghilangkan Pancing Emas akan dijatuhi hukuman adat,” katanya. “Rakyat,
penggawa, hulubalang, atau keluarga kerajaan yang menjadi pelaku harus keluar dari istanaku,”
lanjut Raja Arung Paria.

Para hulubalang dan para penggawa hanya diam. Raja Arung Paria lantas meminta mereka
mengumpulkan semua rakyat untuk mencari pelaku yang menghilangkan Pancing Emas tersebut.
Namun tidak ada satu pun yang mengaku. Namun, tiba-tiba Putra Raja datang dan bersimpuh di
hadapan ayahandanya. “Ampuni hamba, Ayahanda. Hamba ingin melaporkan siapa yang
menghilangkan Pancing Emas,” katanya. Suara Putra Raja itu memecahkan keheningan. “Siapa
yang pelakunya, Nak?” kata Raja. “Ayahanda, maafkanlah hamba. Hambalah pelakunya,” kata
Putra Raja. Ia mengaku menghilangkan Pancing Emas saat menggunakannya memancing di laut
secara diam-diam beberapa hari sebelumnya.

Laporan putra Raja itu sangat mengejutkan Raja Arung Paria dan para punggawa kerajaan. Sang
Raja kemudian menutup kedua telapak tangan ke mukanya. Dia teringat pada janjinya untuk
menghukum pelaku yang kini tak lain adalah putra kesayangannya itu. “Tinggalkan istana ini,
Nak! Pergilah! Susuri Pantai Mandar itu! Jangan berhenti sebelum kautemukan Pancing Emas
itu,” kata Raja Arung Paria.

Esok harinya, ketika matahari baru terbit, semua penggawa dan hulubalang, serta rakyat sudah
berjajar rapi di depan gerbang istana Kerajaan Arung Paria. Mereka semua hendak melepas sang
Putra Raja yang diganjar hukum adat. “Pergilah, Putraku. Jangan kembali ke istana sebelum
kautemukan Pancing Emas itu!” kata Raja sambil memeluk putranya. Putri Raja juga ikut
menangis sambil menyatakan keinginannya mendampingi kakaknya pergi dari kerajaan. “Saya
akan selalu bersama Kakak dalam menjalani hukum adat itu,” pinta Putri Raja sambil terus
menangis.
Tekad sang putri sepertinya sudah bulat, semua bujukan untuk tetap tinggal di Kerajaan
ditolaknya. Sang Raja akhirnya pasrah merelakan putra putrinya meninggalkan kerajaan mencari
Pancing Emas tersebut. Bahkan tanpa pengawalan karena terikat hukum adat. Maka berangkatlah
kedua kakak beradik itu.

Di perjalanan, Putra Raja membujuk sang adik untuk menunggunya di sebuah gubuk yang akan
dibuat Putra Raja. Ia tak tega sang adik ikut menanggung kesalahannya dan melakukan
perjalanan yang sangat berat. Kendati sempat menolak, akhirnya sang adik menuruti keinginan
Putra Raja untuk tinggal di gubuk.

Perjalanan pun dimulai seorang diri oleh sang Putra Raja. Sepanjang pantai Mandar sudah
disusurinya sampai benar-benar kehabisan tenaga. Namun Pancing Emas yang dicarinya tak
kunjung ditemukan. Putra Raja lalu berhenti di bawah pohon rindang yang tumbuh di pinggir
pantai. Kelelahan dan dinginnya angin pantai tak sadar membuatnya tertidur lelap.

Di dalam tidurnya Putra Raja itu bermimpi melihat kerajaan di dasar laut yang sangat gemerlap
karena terbuat dari emas dan bertatahkan berlian. Putra Raja lalu tersentak bangun karena
mimpinya itu. Putra Raja lalu melanjutkan perjalanannya walaupun hari telah larut malam.
Ketika melihat ke lautan, ia tiba-tiba melihat sebuah cahaya yang sangat terang. Putra Raja
kemudian memberanikan diri untuk berenang ke dasar laut mengikuti cahaya tersebut.

Betapa terkejutnya Putra Raja setelah tiba di dasar laut. Di sana berdiri sebuah Istana yang sangat
megah. Pintu istana berukirkan emas dan bertakhtakan berlian. Tampak beberapa pengawal
berjaga di depannya. Putra Raja memberanikan diri mendekati istana dan bertanya soal kerajaan
tersebut. Ternyata, nama kerajaan itu adalah Kerajaan Naungsasi.

Ketika berada di dekat pintu gerbang istana, sayup-sayup terdengar suara perempuan yang
merintih kesakitan. Putra Raja pun bertanya kepada penjaga istana ihwal suara itu. “Itu Putri
Dasar Laut yang sedang sakit,” ujar pengawal. Putra Raja kembali teringat pada mimpinya yang
persis dengan kejadian yang dialami saat itu.

Menurut si pengawal, sudah banyak tabib yang mengobati, tetapi sang putri belum juga sembuh.
“Apakah Tuan tahu tabib hebat yang bisa menyembuhkan putri raja kami?” tanya penjaga yang
lainnya. Lantaran penasaran, Putra Raja pun menawarkan diri. “Saya bukan tabib, Tuan. Akan
tetapi, saya ingin mencoba mengobati penyakit Putri Dasar Laut itu,” ucapnya.

Penjaga istana itu tampak terkejut. Ia bergegas masuk ke dalam istana dan mengabarkannya
kepada sang raja Kerajaan Naungsasi. “Raja mengizinkan Tuan untuk masuk ke dalam istana,”
kata penjaga setelah melapor ke raja.

Putra Raja akhirnya bertemu dengan Raja Kerajaan Naungsasi. Sang Raja rupanya sudah pasrah
kepada siapapun yang berniat baik menyembuhkan putrinya. Putra Raja lalu meneliti tubuh sang
putri untuk mencari sumber penyakitnya. Rupanya, di bagian leher tampak sesuatu yang
bersinar. Maka Putra Raja lantas berusaha membuka mulut sang putri. Tak disangka, benda yang
bersinar itu adalah Pancing Emas yang selama ini dicarinya. Pancing emas itu bersarang di
tenggorokan sang putri.

Ia menduga itulah sumber penyakit dari sang putri. Maka Putra Raja dengan pelan mengeluarkan
pancing emas tersebut. Lalu menyimpannya untuk dikembalikan ke Kerajaan Arung Paria.
Setelah itu, sang putri menjadi sembuh dan bisa berbicara lagi.

Raja Kerajaan Naungsasi sangat gembira. Kegembiraan itu juga dirasakan oleh semua penggawa
dan seluruh rakyat Kerajaan Naungsasi. Rakyat berbondong-bondong datang ke istana untuk
melihat sosok yang berhasil menyembuhkan Putri Dasar Laut itu.

Sebagai tanda terima kasih, Raja Kerajaan Naungsasi meminta Putra Raja untuk memilih hadiah.
Ia berjanji akan memberi apapun yang dimintanya. Putra Raja hanya tersenyum. Ia lalu
memandangi langit-langit kerajaan yang berisi sejumlah sangkar burung. Di dalamnya tampak
sejumlah burung yang selama ini menjadi kesayangan sang raja.

Perhatian Putra Raja sempat membuat perasaan Raja Kerajaan Naungsasi berdebar-debar. Ia tak
bisa menyembunyikan rasa khawatir jika Putra Raja meminta burung-burung kesayangannya itu.
Ia pun berusaha mengalihkan perhatian sang Putra Raja. “Anak muda! Apakah kamu
menginginkan emas dan berlian?”

Namun mata Putra Raja tak pernah lepas dari burung-burung tersebut. “Saya tidak ingin hadiah
yang lain, kecuali burung-burung ini,” kata Putra Raja. Asa Raja Kerajaan Naungsasi agar Putra
Raja memilih hadiah yang lain pun pupus. Akhirnya, Raja Naungsasi mengabulkan permintaan
buah hatinya. Akan tetapi, burung-burung itu tidak diserahkan secara langsung. “Saya akan
mengirimkan burung-burung ini kepadamu setahun sekali dalam musim timur. Yakinlah, saya
tidak akan ingkar janji,” kata Raja.

Putra Raja sangat senang dan bergegas kembali ke daratan. Putra Raja kemudian menemui sang
adik dan kembali menyusuri Pantai Mandar menuju Kerajaan Arung Paria. Sesampainya di
istana Kerajaan Arung Paria, Putra Raja lalu menunjukkan Pancing Emas kepada raja dan para
penggawa dan hulubalang. Seisi kerajaan pun gembira.

Putra Raja kemudian menceritakan pengalamannya di Kerajaan Naungsasi kepada Raja Arung
Paria. Ia juga mengisahkan bahwa Raja Naungsasi akan mengirim burung-burung miliknya
setiap tahun sekali pada musim timur melalui Laut Mandar.

Dan janji tersebut akhirnya ditepati oleh Raja Naungsasi. Setiap memasuki musim timur, langit
Laut Mandar dipenuhi burung-burung yang terbang berkelompok. Namun burung itu bentuknya
unik lantaran bersisik seperti ikan. Putra Raja kemudian memberi nama burung tersebut sebagai
tuing-tuing atau dalam bahasa Indonesia dikenal bernama ikan terbang.
Sejak itu, ikan tuing-tuing menjadi sajian dalam pesta-pesta kerajaan. Ikan itu sampai sekarang
masih menjadi sajian yang terkenal di daerah Mandar. Bahkan menjadi sumber mata pencaharian
masyarakat Sulbar.

Kesimpulan
Kerajaan di mandar yg berdiri dipimpin oleh raja arung Paria yg mengalami tragedi yaitu
pancing emas yg merupakan salah satu pusakanya lenyap
Legenda I Karake Lette Hadapi Kerajaan Gowa

DAHULU kala Kerajaan Balanipa, Mandar, Sulawesi Barat tengah dilanda petaka. Kerajaan ini
diserang oleh Kerajaan Gowa dengan jumlah pasukan yang besar. Sementara Balanipa hanya
memiliki sedikit pasukan. Kala itu Balanipa hanyalah kerajaan kecil yang selama ini hidup
dengan damai.

Raja (Mara’dia) Balanipa lantas memutuskan melakukan sayembara agar para pemuda bersedia
menjadi prajurit. Kelak jika menang, mereka akan mendapatkan hadiah.

Pengumuman segera disebarkan ke seluruh pelosok negeri. Membuat semua pemuda tertarik
untuk ikut ambil bagian. Termasuk di kalangan pemuda di suatu kampung, di lereng gunung. Di
sana tinggal seorang laki-laki setengah baya yang cacat kakinya bernama I Karake’lette, yang
dalam bahasa Mandar artinya si kaki rusak.

Dia juga ingin mengikuti sayembara. Para pemuda di sekitarnya lantas tertawa mengejek karena
tidak mungkin lelaki tua yang cacat mengikuti sayembara. Para peserta sayembara adalah
pemuda yang juga to barani (sebutan bagi pemberani di Mandar).

Mendengar ejekan tersebut, I Karake’lette diam saja. Namun tekadnya sudah bulat. Ia kemudian
menyampaikan niatnya untuk ikut sayembara kepada punggawa Kerajaan Balanipa. Sayang,
jawaban punggawa juga mengejek dan menyuruh dia pulang ke rumahnya. I Karake’lette pun
pasrah dan kembali ke kampungnya dengan rasa kecewa.

Sayembara pun digelar. Dipilihlah pemuda-pemuda yang kuat, tangkas, dan gagah berani untuk
memperkuat pasukan Balanipa. Mereka kemudian dilatih dengan berbagai keterampilan pedang
dan strategi perang. Setelah mahir berperang, para pemuda lalu diberangkatkan ke Teluk Mandar
tempat bala tentara Kerajaan Gowa akan mendarat. Bermacam-macam senjata seperti tombak,
pedang, dan panah dijadikan bekal untuk berperang.

Akhirnya hari peperangan pun tiba. Tampak pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh sang
raja datang dari laut hendak merapat ke dermaga pelabuhan Mandar. Pasukan Balanipa segera
bersiap. Tak mau tunggu lama, ketika pasukan Kerajaan Gowa mulai turun dari kapal, serentak
pasukan Balanipa menyerang. Terjadilah pertempuran sengit. Mereka saling serang dengan
senjata andalannya. Pasukan Balanipa bertempur dengan gagah berani. Pasukan Gowa juga
begitu berhasrat untuk menguasai kerajaan Balanipa.

Sayang, jumlah pasukan yang jauh lebih banyak, lebih kuat, dan lebih terlatih, membuat
Kerajaan Gowa menang. Sementara prajurit dari Balanipa mulai kocar-kacir. Banyak di
antaranya yang gugur. Hingga pada akhirnya, Panglima Perang Kerajaan Balanipa memutuskan
untuk mundur ke Kota Raja, tempat Kerajaan Balanipa. Adapun pasukan Kerajaan Gowa
memilih beristirahat sejenak sebelum melanjutkan peperangan ke kota Raja Balanipa.
Panglima perang Balanipa lantas melaporkan kekalahannya kepada sang raja. Kegusaran pun tak
bisa disembunyikan Raja Balanipa. Namun apa hendak dikata, pasukan yang telah dikumpulkan
dalam sayembara banyak yang gugur. Tak banyak lagi pemuda yang bisa diandalkan untuk
berperang. Bagaimana caranya untuk mengalahkan pasukan kerajaan Gowa kalau begini?
Gumam sang raja. Namun dia tak menyerah. Lebih baik mati daripada menyerahkan tanah
Mandar ke orang Gowa. Sang raja pun terus berusaha mencari strategi untuk mempertahankan
kerajaannya.

Kondisi yang genting tersebut sampai ke telinga I Karake’lette, si orang tua yang cacat.
Keinginan membela Kerajaan Balanipa yang sempat redup karena ditolak, kini kembali
membara. Ia lantas menghadap ke Raja Balanipa. Namun seperti yang sebelumnya, I
Karake’lette juga merasa bakal ditolak. Hal itu lantaran raja tertawa terbahak-bahak mendengar
tekad I Karake’lette.

Namun tawa sang raja terhenti ketika melihat wajah I Karake’lette yang tanpa keraguan. Ia
sangat bersungguh-sunggu ingin membantu raja Balanipa melawan Kerajaan Gowa yang
perkasa. Sang raja lantas bertanya, apa yang diinginkan I Karake’lette jika menang melawan
Raja Gowa? I Karake’lette hanya menggeleng. Dia hanya ingin menunjukkan bakti dan cintanya
kepada tanah Balanipa.

Akhirnya Raja Balanipa setuju. Berangkatlah I Karake’lette ke Teluk Mandar untuk berperang.
Dia lantas menyelinap ke atas kapal yang ditumpangi oleh Raja Gowa. Di sana para pemimpin
kerajaan sedang berpesta pora merayakan kemenangan. Kondisi tersebut membuat mereka
lengah, sehingga I Karake’lette berhasil mendekat ke singgasana Raja Gowa. Betapa kagetnya
Raja Gowa melihat kehadiran I Karake’lette. Saat hendak ditangkap, I Karake’lette menantang si
raja untuk berduel. Ia mengatakan jika Raja Gowa menang, seluruh isi kerajaan Balanipa akan
diserahkan kepadanya. I Karake’lette berjanji mempertaruhkan nyawa pada janji tersebut.
Namun, jika Raja Gowa kalah, harus segera angkat kaki dari wilayah Balanipa dan tidak boleh
kembali lagi ke tanah Mandar.

Raja Gowa sangat marah mendengar tantangan tersebut. Dia lantas menerima tantangan itu. Di
pikirannya lelaki cacat itu tak mungkin menang karena kondisinya. Si raja tak menyangka
tantangan I Karake’lette berbeda. Ia mengeluarkan dua buah jeruk nipis dan sebilah keris dari
sakunya. I Karake’lette mengatakan jika Raja Gowa dapat membelah dua jeruk nipis yang di
lemparkannya, maka dia menjadi pemenang. Sebaliknya bila I Karake’lette yang berhasil
membelah dua jeruk yang dilemparkan sang raja, I Karake’lette lah pemenang. Raja Gowa setuju
dengan aturan main pertarungan itu.

Pertarungan pun dimulai, I Karake’lette yang duluan melemparkan jeruk nipis disambut ayunan
keris Raja Gowa. Sayang, sabetan keris meleset. Sang raja lantas kaget karena tak mampu
membelah jeruk tersebut. Dia semakin kaget lantaran kedua jeruk tersebut bisa terbelah dengan
sabetan keris I Karake’lette. Karena kalah, Raja Gowa sangat marah. Dia lalu menyerang I
Karake’lette. I Karake’lette menghindar dengan gesit. Dia berbalik menyerang sehingga Raja
Gowa tertusuk oleh keris I Karake’lette dan tewas seketika.
Di tengah kebingungan pasukan Kerajaan Gowa lantaran kehilangan pemimpinnya, I
Karake’lette segera keluar kapal dan kembali ke Kota Raja Balanipa. Sesampainya di sana, dia
disambut meriah oleh rakyat Kerajaan Balanipa dan rajanya. Mereka berterima kasih karena
telah menyelamatkan kerajaan. Sebagai hadiah Raja Balanipa mengangkat I Karake’lette
menjadi punggawa kerajaan dan memberikan sebidang tanah yang luas untuk I Karake’lette dan
anak cucunya. Sementara pasukan Kerajaan Gowa segera angkat kaki dari Teluk Mandar.

Anda mungkin juga menyukai