Anda di halaman 1dari 8

NAMA : MARCO MOU

LEGENDA RAKYAT WATU MALADONG

Dahulu kala di Sumba, hiduplah seorang petani yang sehari hari mengerjakan kebun miliknya.
Pada suatu pagi, sang petani yang bermaksud melihat kondisi kebunnya sangat terkejut manakala
melihat tanaman miliknya hancur berantakan.

Ia mengamati sekeliling dan menemukan jejak babi hutan. Sang petani tak habis pikir bagaimana
babi babi itu bisa masuk ke dalam kebunnya yang sekelilingnya dipagar tinggi. Pintu masuk
kebunnyapun selalu tertutup dan dikunci kalau sang petani pulang ke rumah.

Rasa penasaran membuat sang petani memutuskan untuk menunggui kebunnya malam itu.
Dengan bekal tombak sakti warisan leluhurnya yang bernama Numbu Ranggata, sang petani
duduk diam diatas sebuah pohon sambil mengamati sekeliling.

Dugaan petani itu benar. Tak berapa lama ia menunggu, terdengarlah suara sekawanan babi
hutan mendatangi kebunnya. Sungguh aneh, kawanan babi itu mampu menembus tembok
pembatas kebunnya dengan mudah.

Sang petani mengamati seekor babi yang tengah asyik memakan umbi keladi persis dibawah
pohon tempat ia duduk. Karena penasaran, sang petani melempar tombak Numbu Ranggata
miliknya yang tepat mengenai perut babi sial itu.

Sekawanan babi hutan itu langsung pergi meninggalkan kebun begitu mengetahui ada
anggotanya yang terluka. Tombak Numbu Ranggata milik sang petani itupun ikut terbawa pergi.

Pagi pagi sekali sang petani mulai menyusuri jejak darah dari perut babi yang terluka. Kali ini
bukan hanya rasa penasaran yang ada dihatinya, sang petani juga resah karena tombaknya ikut
terbawa.

Tombak Numbu Ranggata miliknya itu harus kembali. Tombak itu adalah tombak sakti yang
diwariskan leluhurnya turun temurun.
Lagi lagi timbul keanehan. Jejak darah si babi hutan berhenti di tepi pantai. Sang petani bingung
bagaimana mungkin kawanan babi itu datang dari pulau lain. Hal itu membuat sang petani
termenung  beberapa saat di tepi pantai. Ia tak habis pikir apa yang sebenarnya terjadi.

Tiba tiba sang petani dikejutkan oleh sebuah suara yang menyapanya.

“Apa yang sedang kau lamunkan hai manusia ?”, tanya seekor penyu yang rupanya bisa
bercakap cakap.

Lagi lagi sang petani terkejut. Belum pernah ia bertemu dengan hewan yang mampu berbicara
layaknya seorang manusia.

Meski jantungnya masih berdebar kencang karena terkejut, sang petani menceritakan apa yang
dialaminya kepada si penyu.

“Aku akan mengantarmu ke pantai seberang jika kau mau”, tawar penyu kepada sang petani.
“Aku yakin kau akan menemukan apa yang kau cari disana”, ujarnya lagi.

Sang petani semula ragu untuk menerima tawaran penyu besar itu. Namun ketakutannya dikutuk
karena telah menghilangkan tombak sakti warisan leluhurnya, membuat sang petani akhirnya
setuju. Ia pun segera naik ke punggung penyu.

Si penyu bergerak membawa sang petani ke pulau seberang.

Setelah menempuh perjalanan sehari semalam, tibalah penyu dan sang petani di sebuah pulau
berpantai indah.

“Semoga kau menemukan apa yang kau cari disini”, kata penyu seraya pamit kepada sang petani.
“Jika kau memerlukanku, panjatlah sebuah pohon di pantai dan berteriaklah kearah laut, aku
akan datang menjemputmu”, pesannya lagi. 

Tak lama kemudian penyu itu kembali berenang ke tengah laut.

Sang petani berjalan menyusuri pantai sambil berharap menemukan seseorang tempat ia
bertanya. Tak memerlukan waktu lama matanya menangkap sebuah rumah sederhana tak jauh
dari tempatnya berdiri. Ia segera menghampiri rumah itu dan mengetok pintunya. Sang petani
berharap empunya rumah bisa memberinya petunjuk.

Pemilik rumah itu adalah seorang nenek yang tinggal seorang diri. Setelah memberikan sang
petani sedikit makan dan minum, si nenek menanyakan apa maksud kedatangan sang petani ke
pulau itu. Ia mendengarkan cerita sang petani sambil terkadang menganggukkan kepala tanda
mengerti.

“Aku paham ceritamu. Babi babi yang merusak kebunmu adalah babi jadi jadian dari pulau ini”,
kata si nenek. “Mereka adalah sekelompok manusia yang mempunyai ilmu gaib. Mereka
merupakan orang orang yang menguasai pulau ini ”, tambahnya lagi.

Kelihatannya si nenek tahu pasti tentang penduduk pulau tempatnya berdiam.

Sang petani  sungguh senang karena pertanyaannya tentang babi babi yang merusak kebunnya
terjawab sudah. Namun demikian ia tak dapat meninggalkan pulau itu tanpa membawa pulang
tombak saktinya, Numbu Ranggata.

Beruntunglah nenek yang baik hati itu mau melatih sang petani beberapa jurus ilmu sakti yang ia
miliki.

Setelah beberapa hari tinggal di rumah nenek itu, sang petani segera pergi ke perkampungan
sesuai petunjuk si nenek. Disana ia tinggal sebagai pendatang yang diterima bekerja pada
seorang penduduk yang cukup berada. Dari hari ke hari sang petani terus memasang telinganya
dengan baik. Ia senantiasa menyimak setiap pembicaraan orang di sekitarnya. Sang petani
berharap segera memperoleh informasi yang ia perlukan.

Pada suatu malam tanpa sengaja sang petani mendengar percakapan tuannya tentang kepala suku
mereka yang sedang sakit. Sudah banyak tabib yang mencoba mengobatinya, bahkan yang
didatangkan dari pulau pulau lain, namun semuanya gagal. Sang kepala suku masih saja
terbaring sakit.
Sang petani memberanikan diri untuk mengobati kepala suku itu. Ia pun memohon bantuan
tuannya untuk dibawa ke kepala suku. Sang petani menduga kepala suku dan keluarganya adalah
orang orang sakti pemilik ilmu gaib seperti yang diceritakan si nenek.

Keesokan harinya, dengan ditemani tuannya, sang petani berhasil menemui kepala suku. Atas
ijin keluarga yang mulai putus asa, sang petani diijinkan untuk melihat kondisi kepala suku.
Rupanya firasat petani itu benar adanya. Matanya langsung tertuju pada perut sebelah kanan
kepala suku yang terus meneteskan darah. Ia teringat akan tombaknya yang menancap di perut
seekor babi jadi jadian tempo hari.

“Kalau boleh saya menebak, apakah perut bapak tertikam sebilah tombak ?”, tanya sang petani
langsung pada kepala suku.

Kepala suku dan seluruh anggota keluarganya yang ada di ruangan itu terkejut. Mereka tak
menyangka sang petani mengetahui penyebab sakitnya kepala suku.

Kepala suku mengangguk perlahan seraya berkata, “Ya, perutku tertikam tombak”, ujarnya
pelan. “Jika kau berhasil mengobati lukaku ini, aku akan memberikan apa saja yang kau mau”,
janjinya lagi.

Kepala suku berharap sang pendatang di kampungnya itu mampu mengobatinya.

“Baiklah..”, kata sang petani singkat. “Besok pagi aku akan kembali membawa ramuan untuk
bapak minum”, ujarnya lagi.

Sang petani dan tuannya segera pamit pulang.

Sore itu sang petani datang lagi menemui nenek tua di tepi pantai. Sang nenek  memberinya
ramuan untuk mengobati kepala suku.

“jika kepala suku itu telah sembuh, selain tombak Numbu Ranggata milikmu, mintalah juga batu
yang disebut Watu Maladong miliknya. Batu itu mampu menciptakan sumber air dan
menumbuhkan tanaman palawija dimana saja yang kau kehendaki”, kata si nenek lagi.
Sang petani tertarik sekali atas usul si nenek, iapun menyetujuinya. Si nenek memberinya
beberapa jurus ilmu sakti lagi kepada sang petani. Si nenek tahu kepala suku itu tak akan
memberikan Watu Maladong dengan  cuma cuma. Ia pasti akan mengajak sang petani mengadu
kesaktian lebih dulu.

Sungguh ajaib, ramuan sakti yang diberikan sang petani kepada kepala suku langsung membuat
lukanya sembuh. Kepala suku seketika itu juga merasa dirinya pulih seperti sediakala. Hatinya
sungguh senang. Ia sangat berterima kasih kepada sang petani.

“Apa yang kau minta sebagai balasan atas jasamu menyembuhkanku ?”, tanya kepala suku
kepada sang petani.

“Kalau tak keberatan, ada dua permintaanku”, kata sang petani sambil menatap  kepala suku.
“Aku minta tombak yang menghujam perutmu dikembalikan. Sesungguhnya tombak itu adalah
milikku yang merupakan warisan dari leluhurku”, kata sang petani perlahan.

Wajah kepala suku merah padam mendengar ucapan sang petani. “Berarti orang ini mengetahui
rahasia keluargaku yang bisa menjadi babi jadi jadian”, pikirnya sambil mencoba menahan
amarah.

“Bukankah ia yang melemparkan tombaknya ke perutku sewaktu aku berwujud seekor babi ?”,
ujar kepala suku dalam hati sambil menatap tajam kearah sang petani.

“Baiklah..”, kata kepala suku singkat dengan suara bergetar. “Aku akan mengembalikan
tombakmu”, katanya singkat. “Lalu apa permintaanmu yang kedua ?”, tanyanya tak sabar.

Sang petani semula ragu mengutarakan keinginannya. Tapi mengingat kampung halamannya
memerlukan mata air dan tanaman palawija yang bisa tumbuh subur disana, akhirnya ia berkata.

“Aku menginginkan Watu Maladong milikmu”, ujarnya dengan suara sedatar mungkin.
“kampungku memerlukannya”, tambahnya lagi sambil mengamati reaksi kepala suku.

Kepala suku bagaikan disambar petir mendengar permintaan sang petani.


“Tentulah orang ini bukan orang sembarangan”, pikirnya mengambil kesimpulan. “Kalau tidak,
bagaimana mungkin ia tahu Watu Maladong kepunyaanku ?”, gumamnya perlahan sambil
menahan tubuhnya yang mulai gemetar menahan emosi.

“Kau tahu kesaktian Watu Maladong milikku bukan ?”, tanya kepala suku. Sang petani 
mengangguk. “Aku akan memberikannya padamu dengan satu syarat”, ujar kepala suku dengan
tegas.

“Kau harus bisa mengalahkan kesaktianku lebih dulu”, kepala suku berkata sambil berdiri. “Jika
kau setuju, aku menunggumu nanti malam untuk bertempur di tanah lapang belakang rumahku”.

Sang petani setuju. Ia kembali ke rumah si nenek di tepi pantai sambil membawa Numbu
Ranggata yang dikembalikan kepala suku kepadanya.

“Tak usah gentar”, kata si nenek kepada sang petani yang terlihat ragu. “Sesungguhnya kaupun
memiliki kesaktian sebagai pemilik Numbu Ranggata”, ujar si nenek pelan. “Kau bisa
mendatangkan petir dengan mengarahkan tombakmu ke langit”, lanjutnya lagi. “Petir itu akan
menyambar siapa saja yang menjadi lawanmu”.

Sang petani mendengarkan kata kata si nenek dengan seksama.

“Satu hal yang perlu kau ketahui”, si nenek berkata sambil memandang kearah laut. “Jurus
andalan mereka adalah mengguncang bumi. Jangan panik jika bumi mengguncangmu. Diam saja
dan menyatulah dengan bumi. Niscaya goncangannya akan segera berhenti”, lanjut si nenek
membuka rahasia kepala suku.

Setelah mendengar penjelasan si nenek, petani itu yakin dirinya akan menang bertarung melawan
kepala suku. Ketika matahari mulai terbenam, ia berangkat menuju rumah kepala suku dengan
membawa tombak saktinya.

Seluruh keluarga kepala suku telah berkumpul di lapangan belakang rumah mereka.
“Lawanlah putra sulungku”, kata kepala suku sambil berdiri menyambut kedatangan sang petani.
“Jika kau berhasil mengalahkannya maka itu berarti kau telah mengalahkanku”, katanya seraya
menepuk nepuk pundak seorang pemuda yang berdiri di sampingnya.

Pertempuranpun dimulai. Setelah beradu kesaktian lewat perkelahian sengit, sang petani dan
putra kepala suku sama sama tangguh. Mereka telah bertempur selama dua jam lebih ketika
akhirnya putra kepala suku menggunakan jurus andalannya.

Ia segera memejamkan mata, menunjuk bumi dengan kedua belah telapak tangannya dan
seketika itu juga bumi tempat sang petani berdiri berguncang dengan hebatnya.

Sang petani teringat akan kata kata si nenek. Iapun  segera berbaring sambil memegang Numbu
Ranggata di tangan kanannya. Matanya terpejam, ia membiarkan tubuhnya seolah olah menyatu
dengan bumi. Sang petani merasakan bumi terbelah dan ia tertelan bumi. Meski sedikit panik, ia
terus memejamkan mata sambil menenangkan diri. Cukup lama sang petani merasakan tubuhnya
terguncang sebelum akhirnya guncangan itu semakin berkurang. Kira kira satu jam kemudian
sang petani mendapati dirinya berada dalam posisi terlentang di atas tanah tempatnya berdiri.
Sang petani bersyukur dirinya baik baik saja.

Tak mau membuang waktu, sang petani segera mengarahkan tombak saktinya kearah langit
malam. Tak lama kemudian petir menyambar nyambar  membelah langit yang gelap. Sinarnya
sungguh menyilaukan mata. Sebuah petir yang diikuti suara menggelegar menyambar tubuh
pemuda lawannya. Tubuh sang pemuda itu hangus  terbakar. Seketika itu juga sang pemuda
tewas.

Kepala suku dan seluruh keluarganya memekik. Mereka terkejut melihat kematian sang pemuda.
Meski menahan kesedihan yang begitu mendalam, kepala suku berjiwa besar dan menerima
kekalahannya. Ia menyerahkan Watu Maladong  yang sedari tadi dibawanya kepada sang petani.

“Batu ini ada tiga”, katanya sambil menyerahkannya kepada sang petani.

“Ketiga batu ini akan mengeluarkan air di tempat yang kau inginkan. Ketiganya juga akan
menumbuhkan padi, jagung, dan jewawut di tanah kelahiranmu kelak”, tambahnya.
Kepala suku dan seluruh keluarganya mengantarkan sang petani ke pinggir desa.

Sang petani yang membawa Numbu Ranggata dan Watu Maladong itupun singgah di rumah
nenek  yang telah menolongnya untuk pamit. Ia memanjat pohon kelapa di depan rumah si nenek
dan memanggil penyu yang segera datang untuk membawanya pulang kembali ke Sumba. Ia
naik ke punggung penyu dan menghilang di lautan.

Watu Maladong yang dibawa sang petani memberikan empat mata air di Sumba yaitu mata air
Nyura Lele di Tambolaka, mata air Weetebula di Weetebula, mata air Wee Muu di perbatasan
Wewewa Barat dan Wewewa Timur dan mata air Weekello Sawah di Wewewa Timur yang
bentuknya menyerupai juluran lidah seekor naga. Ketiganya juga menumbuhkan padi, jagung,
dan jewawut di tanah Sumba.

Anda mungkin juga menyukai