Anda di halaman 1dari 26

Cerita Legenda Batu menangis dari daerah

Kalimantan Selatan

 Batu Menangis dari daehan Kalimantan Selatan. Dikisahkan pada zaman dahulu kala di
sebuah bukit yang jauh dari desa di Bumi Kalimantan hiduplah seorang orang tua miskin dan
seorang anak gadisnya. Sang ibu yang kesehariannya bekerja mencari sayuran yang nantinya
akan dijual di Pasar. Semua itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya dan anak gadisnya.

Anak itu sangat cantik, namun sayang kelakuannya sangat buruk. Dia sangat pemalas dan tidak mau
membantu ibunya sama sekali. Pekerjaannya setiap harinya hanyalah bersolek dan mempercantik
diri. Disaat sang Ibu baru saja pulang menuju rumahnya, dia dihadapkan oleh keluhan dari anak
gadisnya.

“Lama sekali sih Bu, aku lapar Bu! lihat di rumah tidak ada makanan apa-apa,” ucapnya sambil
menggerutu.

“Maaf ya nak, Ibu baru saja dari pasar, tapi kan masih ada sedikit lauk di meja,” jelasnya. Dengan
muka yang dipenuhi rasa lelah dia masih memaksakan diri menata barang belanjaan yang tidak
seberapa itu.

“Aku bosan makan-makanan itu, setiap hari hanya dengan daun singkong!”

Mendengar ucapannya itu Ibunya sangat sedih, tak mau memakan-makanan itu karena
memang hanya makanan itu yang bisa dimasak olehnya, dikarenakan dia tidak mampu
membeli daging ataupun ikan. Sang gadis pun sama sekali tidak peduli dengan kondisi dari
ibunya yang sedang kesulitan mencari uang.

Di malam yang sunyi, sang ibu yang sedang melamun memikirkan kondisi keuangannya,
dikejutkan oleh anak gadisnya anak meminta untuk dibelikan baju baru.

“Aku ingin baju baru, besok Ibu harus membelikannya untukku.”

Sang Ibu yang merasa kasihan, dia juga merasa tidak tega dengan anaknya, “Iya nak besok
Ibu akan membelikannya untukmu.”

Keesokan harinya mereka berangkat bersama menuju pasar yang cukup jauh dari bukit
tempatnya tinggal, untuk memberikan baju anaknya.

“Bu Jangan Jalan disampingku, ibu harus jalan di belakang, karena aku tak mau berjalan
bersama ibu. Aku tidak mau terlihat jelek di depan orang-orang yang melihatku. Ibu itu dekil,
aku malu. Pokoknya ibu jalan di belakangku titik!”

Mereka berdua akhirnya berjalan saling berjauhan, sang Ibu berjalan di belakang anaknya.
Akhirnya mereka berdua sampai di desa. Banyak pemuda yang melihat kecantikan sang
gadis, banyak para pemuda yang ingin berkenalan dengan sang gadis. Mereka pun mulai
bertanya kepada sang gadis

“Nona, jika boleh saya bertanya, mau ke manakah arah tujuanmu dan dari mana asalmu?”
tanya pemuda yang pertama.

“Aku sedang mencari baju baru.”

“Apakah orang tua yang berjalan di belakangmu itu ibumu?” tanya pemuda berikutnya yang
bertemu dengan dia.

“Bukan! dia adalah babuku,” jelasnya tanpa rasa bersalah mengatakan itu.

Ibunya yang mendengar itu sangat amat merasa sedih mendengarnya, tidak hanya sampai di
situ, setiap orang yang bertanya kepadanya tentang perempuan yang dibelakangnya, dia terus
menjawab dengan kata-kata yang menyakitkan.

Sampai pada suatu ketika ibunya sangat merasa sedih dan diapun berkata sambil
mengeluarkan air mata, “Oh anakku, tega nian kau mendurhakai ibumu ini yang sudah
sayang dan bersabar merawatmu, entah murka apa yang akan engkau terima dari Tuhan.”

Mendengar apa yang ibunya katakan, sang gadis menangis dan memohon ampun, tapi sayang
itu sudah terlambat. Perlahan-lahan kakinya berubah jadi batu, kemudian bagian tubuh yang
lainnya sampai sekujur badannya.

Semua orang yang melihat terkaget-kaget melihat peristiwa aneh itu. Batu itu akhirnya
dipinggirkan orang-orang dan disandarkan di tebing, hingga sekarang batu itu masih ada dan
dinamakan batu menangis.
Legenda Pahlawan – Kapitan Pattimura

Cerita pendek tentang pahlawan Kapitan Pattimura. Memiliki nama asli Thomas Matulessy, beliau
lahir di Negri Haria Pulau Saparua Maluku Selatan pada tanggal 8 Juni 1783.

Menurut buku biografi Pattimura versi Pemerintah yang pertama kali terbit. M. Sapija
menulis “Pahlawan Kapitan Pattimura termasuk turunan bangsawan, yang berasal dari Nusa
Ina (Serang)”

Ayahnya yang bernama Antonim Matulessy dan kakeknya bernama Kasimiliali Pattimura


mattulessy Pattimura adalah pahlawan yang berjuang berjuang melawan Belanda (VOC).
Dahulu Pattimura merupakan mantan Sersan pada tantara Inggris, namun tahun 1816 Inggris
kalah oleh Belanda.

Kembalinya kolonial Belanda pada tahun 1817 ditentang keras oleh rakyat, karena selama 2
abad belanda memonopoli perdagangan dan memiliki hubungan kemasyarakatan yang buruk.

Rakyat Maluku berusaha melawan dengan pimpinan Pattimura. Maryarakat Saparua


menobatkannya sehingga memiliki gelar Kapitan Pattimura.

Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. benteng Duurstede
berhasil direbut kembali, termasuk semua tentara Belanda ditaklukan bersama Resident
Johannes Rudolph van den Berg.

Pasukan Belanda yang dikirim untuk merebut benteng Duurstede, berhasil ditaklukan
pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai
pasukan Kapitan Pattimura, namun Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja.
Belanda yang tidak mau kalah, kembali menyerang dengan membawa pasukan dengan
senjata modern, akhirnya pasukan Kapitan Pattimura berhasil dikalahkan dan mundur.

Kapitan Pattimura ditangkap kembali oleh pasukan Belanda di Siri Sori, beberapa temannya
dia dibawa ke Ambon. Sesampainya di sana beliau terus dibujuk agar bersedia bekerjasama,
namun selalu ditolaknya.

Akhirnya Kapitan Pattimura mendapatkan hukuman gantung. Belanda yang masih ingin
memaksanya untuk bekerjasama, masih berusaha satu hari sebelum hukuman gantung, tetapi
masih saja ditolaknya, beliau menunjukkan sebuah contoh perjuangan sejati.

Di depan benteng Victoria Ambon tanggal 16 Desember 1817, eksekusi terhadap Kapitan
Pattimura pun dilakukan. Sebagai bentuk penghitmatan, setiap tanggal 15 Mei di Kota
Ambon diadakan acara memperingati perjuangan Pattimura. Masyarakat Ambon akan turun
kejalan menari Cakalele, sambil membawa Parang salawaku yang juga menjadi senjata
andalan Pattimura.

Kapitan Pattimura gugur sebagai pahlawan nasional dari perjuangannya dia Meninggalkan
pesan tersirat kepada waris bangsa ini agar sekali-kali Jangan pernah menjual kehormatan diri
keluarga terutama bangsa dan negara ini.
Legenda Cerita Malin Kundang Anak
Durhaka

Dahulu kala, hiduplah sebuah keluarga kecil berasal dari daerah pesisir pulau Sumatera.
Mereka memiliki seorang anak laki-laki yang sangat baik dan ramah, dia bernama Malin
Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat mengkhawatirkan, jangankan membeli
pakaian baru, untuk sekedar makan setiap hari saja mereka sulit. Itulah alasan utama
Ayahnya untuk mencari pekerjaan ke daerah lain.

Harapan terbesar mereka adalah Ayahnya pulang dengan selamat dan membawa pakaian
baru, uang yang banyak, dan bisa memperbaiki rumah tuanya yang surah rapuh dimakan
rayap. Setelah berbulan-bulan Ayahnya merantau, jangankan surat, kabar keberadaanya pun
tidak ada, Malin Kundang dan ibunya sangat kecewa dan sedih.

Kini Malin kecil sudah tumbuh dewasa, ia menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Malin
Kundang berpikir mencari pekerjaan di daerah lain, mengingat sulitnya mencari pekerjaan
yang layah di daerahnya, tentunya dengan harapan yang sama, bahwa ketika dia kembali ke
kampung halamannya, bisa menjadi orang kaya.

Akhirnya Malin Kundang pun ikut berlayar bersama dengan seorang pembuat kapal dagang
yang sukses di kampungnya. Sementara di kapal, Malin Kundang yang serba ingin tahu, terus
bertanya dan mempelajari ilmu pelayaran dari teman-temannya. Malin Kundang belajar
dengan tekun tentang pembuatan kapal, dan akhirnya dia sangat mahir dalam ilmu itu.
Lebih dari 10 pulau sudah dia kunjungi, namun sayangnya hari naaspun datang, tiba-tiba
kapal yang dinaiki Malin diserang oleh bajak laut. Semua harta benda itu disita, beberapa
anak buah kapal dibunuh oleh bajak laut. Malin yang sudah hafal seluk beluk kapal, dia
bersembunyi sampai tidak asa satu orang pun yang menemukannya, dia pun selamat.

Kapal itu dihancurkan para perompak, Malin Kundang terombang ambing di tengah laut
tanpa tahu arah. Nasib baik masih berpihak kepada Malin, dia terdampar di pantai. Tubuh
yang lemah tidak makan siang dan malam, Malin Kundang berusaha berjalan ke desa terdekat
dari pantai itu. Malin dibantu oleh warga desa itu, setelah menjelaskan apa yang sudah
menimpanya.

Betapa terkejutnya dia ketika melihat desa yang subur, berbeda dengan deta tempat
kelahirannya yang gersang dan susah air. Warganya yang ramah, menerima Malin dengan
baik, dengan keuletan dan ketekunannya di desa itu, Malin berhasil menjadi orang kaya. Ini
memiliki banyak kapal dagang dengan, lebih dari 100 orang yang bekerja padanya.

Karena merasa sudah sukses dan kaya, Malin menikahi seorang gadis, dia dan istrinya
berlayar ke seluruh dunia untuk berbulan madu. Akhirnya dia tiba di sebuah pulau di mana
dia dilahirkan. Semua orang yang mengenalnya, menyampaikan kabar baik kepulangan Malin
Kundang kepada ibunya.

Dengan hati yang sangat bahagia, ibunya membawa makanan kesukaan Malin Kundang,
tetapi sayangnya dia tidak mengenali ibunya. Dia berpura-pura, karena dia malu, Ibunya
datang dengan pakaikan jelek.

“Malin Kundang anak durhaka,” begitu warga menyebutnya. Kecewa dengan kelakuan
putranya ibunya mengutuk Malin ke batu. Malin Kundang yang gagah dan kaya raya itu pun
akhirnya perlahan tubunya menjadi batu. Malin berusaha untuk meminta maaf, namu sayang
Ibunya tidak bisa menarik kutukan itu sampai seluruh tubuhnya berubah menjadi batu
seutuhnya.
Legenda Asal Usul Gunung Merapi

Gunung Merapi berada di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di


beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten Magelang, Boyolali, dan
Klaten. Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu daerah yang kini ditempati oleh Gunung
Merapi masih berupa tanah datar. Oleh karena suatu keadaan yang sangat mendesak, para
dewa di Kahyangan bersepakat untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang ada di Laut
Selatan ke daerah tersebut. Namun setelah dipindahkan, Gunung Jamurdipa yang semula
hanya berupa gunung biasa (tidak aktif) berubah menjadi gunung berapi. Apa yang
menyebabkan Gunung Jamurdipa berubah menjadi gunung berapi setelah dipindahkan ke
daerah tersebut?

Alkisah, Pulau Jawa adalah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia. Konon, pulau ini pada
masa lampau letaknya tidak rata atau miring. Oleh karena itu, para dewa di Kahyangan
bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak miring. Dalam sebuah pertemuan, mereka
kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah gunung yang besar dan tinggi di tengah-
tengah Pulau Jawa sebagai penyeimbang. Maka disepakatilah untuk memindahkan Gunung
Jamurdipa yang berada di Laut Selatan ke sebuah daerah tanah datar yang terletak di
perbatasan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten
Magelang, Boyolali, serta Klaten Provinsi Jawa Tengah.

Sementara itu, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan terdapat dua orang
empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka adalah Empu Rama dan Empu Pamadi yang
memiliki kesaktian yang tinggi. Oleh karena itu, para dewa terlebih dahulu akan menasehati
kedua empu tersebut agar segera pindah ke tempat lain sehingga tidak tertindih oleh gunung
yang akan ditempatkan di daerah itu. Raja para dewa, Batara Guru pun segera mengutus
Batara Narada dan Dewa Penyarikan beserta sejumlah pengawal dari istana Kahyangan untuk
membujuk kedua empu tersebut.

Setiba di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri kedua empu tersebut yang
sedang sibuk menempa sebatang besi yang dicampur dengan bermacam-macam logam.
Betapa terkejutnya Batara Narada dan Dewa Penyarikan saat menyaksikan cara Empu Rama
dan Empu Pamadi membuat keris. Kedua Empu tersebut menempa batangan besi membara
tanpa menggunakan palu dan landasan logam, tetapi dengan tangan dan paha mereka.
Kepalan tangan mereka bagaikan palu baja yang sangat keras. Setiap kali kepalan tangan
mereka pukulkan pada batangan besi membara itu terlihat percikan cahaya yang memancar.
Legenda Asal Usul Kawah Sikidang Dieng

Kawah Sikidang Dieng  terkenal dengan fenomena kolam kawahnya yang bisa berpindah
atau melompat dalam satu kawasan yang luas. Itulah sebabnya Kawah Sikidang menjadi
salah satu dari banyak kawah di kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng yang paling diminati.
Berikut Legenda Asal usul Kawah Sikidang Dieng.

AIkisah, ada seorang putri cantik bernama Shinto Dewi. la tinggal di sebuah istana megah di Dataran
Tinggi Dieng. Kecantikan sang putri terkenal ke mana-mana. Namun, tidak ada satu pun laki-laki yang
berhasil melamarnya, karena Shinto Dewi selalu mensyaratkan mas kawin yang jumlahnya tak
terkira.

Seorang pangeran bernama Kidang Garungan tertarik melamar Shinto Dewi. la yakin
kekayaan yang dimilikinya dapat memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Shinto Dewi.
Kemudian, ia mengirimkan utusannya ke Dataran Tinggi Dieng untuk melamar.

“Kedatangan kami ke sini adalah untuk menyampaikan pinangan Pangeran Kidang


Garungan. Pangeran menyanggupi berapa pun besarnya mas kawin yang Putri ajukan,”” kata
utusan Pangeran Kidang Garungan.

Putri Shinto Dewi berpikir sejenak. Pangeran kaya raya yang sedang meminangnya ini
pastilah seorang yang tampan dan berwibawa. Jika tidak, pasti pangeran tersebut tidak akan
melamarnya.
Pinangan Pangeran Kidang Garungan pun diterima oleh Shinto Dewi. Pangeran Garungan
sangat senang ketika mendengar Iamarannya diterima. la segera mempersiapkan pesta
pernikahan.

Saat hari pernikahan tiba, Pangeran Kidang Garungan dan rombongannya datang ke
kediaman Shinta Dewi. Ketika bertemu dengan Sang Pangeran, Shinto Dewi sangat terkejut,
karena ternyata Pangeran Kidang Garungan adalah manusia berkepala kidang (kijang) atau
rusa.

Kemudian, Putri Shinto Dewi berpikir keras bagaimana cara membatalkan pernikahan
tersebut. Oleh karena itu, ia mengajukan sebuah persyaratan yang sulit kepada calon
suaminya itu.

“Kanda, ada satu syarat lagi yang harus Kanda penuhi jika ingin menikahiku. Daerah ini
kekurangan air bersih, Dinda ingin Kanda membuatkan sebuah sumur dalam waktu semalam.
Sumur tersebut harus dikerjakan oleh Kanda sendiri,”” ujar Putri Shinta Dewi.

“Baiklah, Dinda. Kanda akan memenuhi syarat tersebut,” jawab sang pangeran.

Pangeran Kidang Garungan mulai membuat sumur di lokasi yang ditunjuk oleh Putri Shinto
Dewi. Dengan kesaktiannya, ia menggali sumur hanya dengan menggunakan tangan dan
tanduknya. Ketika hari menjelang pagi, sumur yang sedang dibuat hampir jadi. Hal tersebut
membuat Putri Shinto Dewi panik.

Karena tak ingin menikah dengan pangeran berkepala kijang itu, Putri Shinto Dewi
mengerahkan pengawalnya untuk menimbun tanah yang sedang digali Pangeran Kidang
Garungan. Pangeran itu panik ketika tiba-tiba saja tanah mulai Iongsor dan menimbunnya.
Dengan mengerahkan kesaktiannya, timbullah ledakan dan Pangeran Kidang Garungan
berusaha keluar dari celah pada timbunan tanah tersebut.

Ketika terlihat Pangeran Kidang Garungan sudah hampir keluar dari dalam sumur yang
tertimbun tanah itu, pasukan Putri Shinto Dewi kembali menimbunnya.

Ketika itu, Pangeran Kidang Garungan sempat mengucapkan sumpahnya kepada Shinto
Dewi, “Kelak seluruh keturunan Putri Shinta Dewi akan mempunyai rambut gembel
(gimbal).”

Laiu, Pangeran Kidang Garungan tewas dalam timbunan tanah.

Sumur yang meledak itu lama-kelamaan menjadi sebuah kawah yang kemudian dinamakan
Sikidang. Sampai sekarang di Dataran Tinggi Dieng banyak orang yang mempunyai rambut
gimbal seperti kutukan Pangeran Kidang Garungan.
Legenda Sungai Kerbau Keramat

Sungai Mahakam memiliki banyak anak sungai, salah satu nya adalah Sungai Kerbau yang
mengalir melalui kota Samarinda, Kalimantan Timur. Masyarakat setempat mengkeramatkan
sungai karena sebuah peristiwa aneh yang terjadi beratus-ratus tahun yang lalu

Pada pertengahan abad ke-13 Masehi, tersebutlah seorang raja bernama Aji Maharaja Sultan
yang bertahta di Kerajaan Kutai Kartanegara. Ia merupakan Sultan Kutai Kartanegara ke-3
yang memerintah dari tahun 1360 hingga 1420 Masehi. Pada masa pemerintahannya, Aji
Maharaja Sultan mempunyai cita-cita tinggi yakni menyatukan kerajaan-kerajaan di sekitar
Mahakam seperti Kutai Martapura, Sri Bangun, Sri Muntai, Tanjung, dan Bahau agar berada
di bawah kekuasaan Kutai Kartanegara. Cita-cita sang Sultan pun terkabul dan Kutai
Kartanegara menjadi kerajaan yang makmur dan sejahtera. Selain memiliki sumber daya
alam yang melimpah, kerajaan ini juga mendapat upeti dari kerajaan-kerajaan taklukan.

Suatu hari, Aji Maharaja Sultan bermaksud memperindah kota kerajaannya. Ia juga ingin
istananya dihiasi dengan ukiran yang indah dan halus. Untuk itu, ia pun mengumpulkan para
pembesar kerajaan untuk membicarakan niat tersebut. Dalam sidang itu, Pangeran
Mangkubumi mengusulkan agar Baginda Aji Maharaja Sultan mendatangkan ahli pahat dari
Jawa.
“Jika sekiranya Baginda tidak keberatan, alangkah baiknya jika Baginda mendatangkan ahli
pahat dari abdi dalem[1] Raja Jawa. Mereka sangat mahir mengukir istana,” usul Pangeran
Mangkubumi.
“Hmmm… usulan yang bagus. Aku setuju usulan itu,” kata Baginda Aji Maharaja, ”Kalau
begitu, segera kirim utusan ke Jawa!”

Keesokan harinya, beberapa utusan berangkat ke Tanah Jawa. Setiba di sana, para utusan itu
langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada Raja Jawa. Dengan senang hati,
Raja Jawa pun berkenan mengirimkan dua orang pemahat ulungnya ke Kerajaan Kutai
Kartanegara.

Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, kedua pemahat yang kakak-beradik
tersebut akhirnya tiba di Kerajaan Kutai Kartanegara. Mereka pun disambut baik oleh
Baginda Aji Maharaja.

“Selamat datang di kerajaan kami, wahai utusan Raja Jawa,” sambut Baginda Aji Maharaja
dengan ramah, “Saya dengar kalian amat piawai mengukir kayu. Oleh karena itu, saya ingin
semua ruang istana ini diukir dengan bermacam-macam motif.”

“Ampun, Baginda. Kebetulan saja hamba dan adik hamba memiliki sedikit keahlian
memahat,” jawab salah seorang pemahat itu dengan merendah, “Tapi, kalau boleh hamba
tahu, motif apakah yang Baginda inginkan?”

“Aku ingin seni ukir Kutai, Bahau, Kenyah, dan Tunjung dipadukan dengan seni ukir Jawa,”
pinta Baginda Aji Maharaja.

“Baiklah, Baginda. Permintaan Baginda segera kami laksanakan,” kata pemahat.

Kedua pemahat kakak-beradik dari Jawa itu pun mulai bekerja dengan giat. Dengan tangan
terampil, satu per satu kayu-kayu gelondongan yang telah disiapkan mereka pahat menjadi
karya seni ukir yang mengagumkan. Konon, kedua pemahat itu dibantu oleh kekuatan gaib
sehingga dalam waktu singkat seluruh pekerjaan dapat mereka selesaikan dengan baik. Kini,
istana Kutai Kartanegara telah dipenuhi oleh ukiran-ukiran kayu dari berbagai macam motif.

Baginda Aji Maharaja amat terpesona dan terkagum-kagum menyaksikan hasil kerja kedua
pemahat itu. Sebagai ungkapan terima kasih, sang Baginda pun menganugerahi mereka
hadiah yang amat banyak. Tidak hanya itu, ia juga mengizinkan mereka tinggal di dalam
istana bersama keluarga raja. Sebagai abdi dalem, kedua pemahat itu sangat tahu dan selalu
menjaga adat beraja dan tata krama istana. Baginda Aji Maharaja pun semakin perhatian
kepada mereka.

Rupanya sikap Baginda Aji Maharaja kepada kedua pemahat tersebut dianggap berlebihan
oleh para pejabat istana. Mereka pun merasa iri dan dengki terhadap kedua pemahat dari
Jawa tersebut. Oleh karena itu, mereka berniat untuk menyingkirkan keduanya dari istana.
Suatu malam, mereka mengadakan rapat tertutup tanpa sepengetahuan sang Baginda.

“Alasan apa yang harus kita sampaikan kepada Baginda untuk mengusir kedua pemahat
keparat itu?” tanya salah seorang pejabat istana.
Tak seorang pun peserta sidang yang menjawab. Mereka semua sedang berpikir keras untuk
mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Beberapa saat kemudian, seorang pejabat istana
lainnya angkat bicara.

“Aku tahu caranya!” kata pejabat itu.

“Apakah itu? Cepat katakan!” desak peserta sidang lainnya.

“Kita fitnah kedua pemahat itu di hadapan Baginda. Kita tuduh mereka melakukan perbuatan
tidak senonoh terhadap dayang-dayang istana. Dengan begitu, Baginda pasti akan murka dan
mengusir mereka dari istana ini,’ ujar pejabat itu.
Seluruh peserta sidang menyetujui usulan tersebut. Keesokan harinya, mereka pun segera
menghadap Baginda Aji Maharaja untuk mengatakan tuduhan mereka kepada kedua pemahat
tersebut. Baginda pun terpancing amarahnya dan kemudian memutuskan akan mengusir
kedua pemahat tersebut dari istana. Namun, para pejabat yang dirasuki rasa iri justru
mengusulkan hal lain.
“Ampun, Baginda! Jika kedua pemahat itu dibiarkan hidup, mereka dapat bekerja pada raja
lain untuk membuat ukiran yang lebih indah dari istana ini,” ujar salah seorang pejabat istana.

Baginda Aji Maharaja terpengaruh. Hatinya amat cemas jika kedua pemahat itu benar-benar
melakukan hal tersebut karena ia tidak suka disaingi oleh raja lain, apalagi raja bawahannya.
Berkat kepiawaian para pejabat istana menyampaikan kata-kata bujukan, akhirnya sang
Baginda pun terpengaruh dan mempercayai kata-kata mereka.

“Baiklah, kalau begitu. Aku perintahkan kalian untuk segera menangkap dan menghukum
mati kedua pemahat itu!” titah Baginda Aji Maharaja.

Tanpa menunggu waktu, para pejabat istana pun segera menangkap kedua pemahat itu.
Keduanya diikat di sebuah tiang untuk dihukum gantung. Ketika hukuman itu akan
dilaksanakan, salah seorang dari pemahat itu bisa meloloskan diri. Rupanya, ia memiliki ilmu
sehingga dapat menghilang dalam sekejap mata. Namun, malang bagi pemahat yang lainnya
karena ia akhirnya mati di tiang gantungan. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia
sempat mengucap kata-kata kepada Bagida Aji Maharaja dan para pejabatnya.

“Sepuluh hancur luluh, sebelas jadi alas,” demikian pesan terakhir dari pemahat itu.

Menurut ahli ramal istana, maksud kata-kata pesan pemahat di atas adalah bahwa pada
pemerintahan raja ke-10, Kutai Kartanegara akan hancur dan pada pemerintahan ke-11,
ibukota kerajaan itu akan menjadi alas atau hutan. Perkiraan ahli ramal tersebut ternyata
benar. Pada masa pemerintahan Aji Sultan Aliyiddin (sekitar tahun 1752 M), Kerajaan Kutai
Kartanegara hancur diserang oleh perampok yang dikenal Bajak Sulu Kebuntalan dari
Filipina Selatan yang dipimpin Dato Tan Perana. Setelah itu, ibukota kerajaan pun menjadi
alas atau hutan yang kini menjadi sebuah kampung kecil bernama Kutai Lama.

Mayat si pemahat yang dihukum mati dibuang ke Sungai Kerbau. Ajaibnya, mayat itu tidak
hanyut ke arah hilir mengikuti aliran sungai, melainkan hanyut ke arah hulu muara sungai
dekat Kota Samarinda. Itulah sebabnya, Sungai Kerbau dianggap keramat. Oleh penduduk
setempat, mayat si pemahat itu dibuatkan makam di tengah-tengah sungai. Hingga kini,
makam itu dikeramatkan dan hampir setiap tahun dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai
daerah.
Cerita Fabel Kelinci dan Kura-kura

Sebuah hutan kecil di pinggiran desa menjadi tempat tinggal dari sekelompok binatang. Di
hutan tersebut sana ada  seekor kelinci yang amat sombong dan suka mengejek binatang lain
yang lemah. Binatang lain pun tak ada yang suka pada kelinci sombong itu.

Dan disuatu saat, si kelinci sombong tersebut berjalan mencari korban untuk diejek.
Kebetulan dia bertemu kura-kura dijalan, dan si kelinci pun berkata “Hei, kura-kura jalanmu
lambat sekali! tak secepat aku” kata kelinci mencibir.“Memang jalanku lambat, tapi yang
penting tetap selamat. Daripada cepat tapi jatuh dan terluka” jawab kura-kura. Kelinci yang
tak terima dengan perkataan kura-kura pun, akhirnya menantang kura-kura “Oke kalau
begitu! bagaimana kalau kita adu lari saja, kalau kau menang, aku beri hadiah apapun yang
kau minta,” kata kelinci yang angkuh. “Mana mungkin aku mau beradu lari denganmu. Kamu
kan sangat cepat sedang aku hanya bisa jalan pelan” kata kura-kura tahu diri. “Harus mau!
Kamu tidak boleh menolak tantangan dariku. Besok pagi aku tunggu kamu di bawah
beringin. Aku akan meminta srigala untuk menjadi pengadil,” kata kelinci. Kura-kura hanya
bisa terdiam sambil berkata, “Apa mungkin aku bisa mengalahkan si kelinci?”

Keesokan harinya kelinci yang sombong itu sudah menunggu di bawah pohon beringin.
Srigala sudah datang untuk menjadi wasit dan binatang-binatang lain hadir untuk
menyaksikan perlombaan tersebut. Setelah kura-kura datang, srigala berkata, “Peraturannya
begini. Kalian balapan lari dimulai dari sini, dan siapa yang sampai ke pohon yang disebelah
sana, maka dialah pemenangnya,” Semua yang hadir pun ngangguk-ngangguk. “Semuanya
bersiap… satu … dua … tiga … lari!” kata srigala memberikan sebuah aba-aba.

Kelinci langsung berlari sekencang mungkin mendahului kura-kura. Sementara itu kura-kura
berjalan dengan sangat lambat. “Ayo kura-kura, lari dong jangan cuma jalan…..!” teriak
Kelinci dari kejauhan sambil meledek kura-kura. “Kamu lama sekali kura-kura, kalau begitu
aku tunggu di sini ya…,” kata kelinci meledek. Kelinci pun duduk-duduk dibawah pohon
sambil bernyanyi, dan meledek kura-kura yang kesulitan berjalan. Karena hembusan angin
yang amat sejuk sejuk, tanpa disadari kelinci kemudian tertidur.

Kura-kura yang melihat kelinci tertidur pun diam-diam terus melangkah hingga mendekati
garis finish. Tepat saat kura-kura hampir menginjak garis finish, kelinci terbangun dan
dengan sekuat tenaga dia berlari  mengejar kura-kura yang disepelekannya. Namun apa daya,
semuanya sudah terlambat. Kaki kura-kura telah menyentuh garis finish dan Srigala telah
mengibarkan bendera finish saat kelinci masih berlari. Kura-kura jadi pemenang dan si
kelinci sombong terdiam membisu.

“Nah, sekarang siapa yang menang?” tanya kura-kura pada kelinci. “Ya, kamulah yang
menang,” jawab kelinci bengong. “Kamu masih ingat janji mu kan? Kalau aku menang, aku
boleh minta hadiah apa pun” Kata kura-kura mengingatkan. “Ya, … pilih saja hadiah yang
kau mau,” kata kelinci deg-degan. “Aku hanya minta satu hadiah dari kamu. Mulai sekarang
kamu jangan sombong, kamu harus menghargai semua binatang disini” kata kura-kura.
“Hanya itu?!” kata kelinci terkejut. “Ya, itu saja.” Kata kura-kura mantap. “Baik, aku berjanji
tidak akan sombong lagi, aku juga akan menghargai semua binatang disini, dan juga aku
minta maaf atas sifat sombongku,” kata kelinci disaksikan semua binatang.
Cerita Fabel Kancil dan Buaya

Pada suatu ketika, ada seekor kancil sedang duduk bersantai di bawah pohon. Ia ingin
menghabiskan waktu siangnya dengan menikmati angin sepoi-sepoi. Tetapi sesaat kemudian,
perut kancil pun keroncongan. Akhirnya kancil memutuskan untuk mendapatkan mentimun
yang berada di seberang sungai. Namun, tiba-tiba terdengarlah suara gemuruh air dari dalam
sungai. Ternyata sungai itu dihuni oleh buaya.

Kancil yang cerdik itu pun langsung mendapatkan sebuah ide  dan langsung menuju ke arah
sungai untuk menghampiri buaya. “halo buaya, apakah kamu sudah makan siang?” Tanya
kancil. Namun buaya itu hanya terdiam, nampaknya sedang tidur pulas menikmati sejuknya
angin. Si kancil yang mulai kelaparan pun memberanikan diri untuk mendekat, dan berkata
“hai buaya, aku punya banyak daging segar” Teriak sang kancil. Buaya itu tiba-tiba bangun
dan mengibaskan ekornya di air, lalu berkata “ada apa? Kau berisik sekali, mengganggu
tidurku saja” jawab buaya kesal. “sudah kubilang, aku punya banyak daging segar. Tapi aku
malas untuk memakannya. Kau tahu bukan kalau aku tidak suka daging? makanya aku ingin
memberikan daging segar itu untukmu” jawab kancil polos. “benarkah itu? Sebenarnya aku
dan juga teman-temanku belum makan sama sekali.” jawab sang buaya. “nah kebetulan, kau
tidak perlu khawatir karena kau punya teman yang baik sepertiku.” ujar kancil sembari
memperlihatkan deretan gigi runcingnya. “terimaksih kancil, ternyata hatimu begitu mulia.
Jauh beda dengan yang dikatakan oleh orang-orang. Mereka bilang kalau kau licik dan suka
memanfaatkan temanmu” jawab buaya tanpa ragu-ragu. Mendengar itu, kancil sebenarnya
agak kesal. Tapi dia bersabar demi bisa menyeberangi sungai “aku tidak mungkin sejahat itu.
Biarlah. Mereka hanya belum mengenalku saja, sebab selama ini sikapku terlalu cuek dan
tidak peduli dengan omong kosong seperti itu. Cerita kancil dan buaya.

Sekarang, panggilah teman-temanmu” ujar kancil. Buaya itu pun tersenyum lega, akhirnya
ada jatah makan siang hari ini. “teman-teman, keluarlah. Kita punya jatah makan siang
daging segar yang sangat menggoda. Kalian sangat lapar bukan?” Teriak buaya kepada
teman-temannya supaya keluar. Lalu munculah 8 ekor buaya. Kancil pun langsung berkata
“ayo berbaris agar aku bisa menghitung berapa jumlah daging segar yang kalian perlukan”.
Mendengar hal tersebut, seluruh buaya itu langsung berbaris rapi di sungai.

Tanpa ragu-ragu, kancil langsung melompat melewati ke- 9 ekor buaya sembari menghitung 
hingga akhirnya ia sampai di seberang sungai. dan mereka pun berkata “hey kancil mana
daging segar yang kau janjikan untuk kami?”. Kancil terbahak-bahak lalu berkata “betapa
bodohnya kalian, bukankah aku tak membawa sepotong pun daging segar di tangan? Itu
artinya aku tak punya daging segar untuk jatah makan siang kalian. Enak saja, mana bisa
kalian makan tanpa ada usaha?”. 9 ekor buaya itu kesal dan salah satu diantara mereka
berkata “akan ku balas semua perbuatanmu”. Kancil pun pergi meninggalkan para buaya itu
sambil berkata “hahahaha… rasakan itu buaya bodoh, aku mau pergi dulu mencari
mentimun”.
Cerita Fabel Serigala dan Tujuh Anak Domba

Disuatu saat, hiduplah seekor domba yang tinggal di tepian hutan bersama ketujuh anaknya.
Setiap harinya domba tersebut keluar untuk mencari makanan di hutan yang berada dekat
dengan rumah mereka.

Seperti biasa sebelum keluar rumah, sang domba memberitahu anak-anaknya supaya berjaga-
jaga dan berkata,”Serigala itu hewan yang sangat licik dan juga jahat, jadi apabila kalian
mendengar suara lolongan dan melihat empat kuku hitamnya, jangan pernah buka pintu ini.”

Dan suatu hari seekor serigala kebetulan sedang berjalan ke arah kandang si domba, serigala
itu berasa begitu gembira karena anak-anak domba telah ditinggalkan oleh ibunya. Ia pun
langsung mengetuk pintu dengan kuat, lalu berteriak ”Cepat buka pintunya, ini ibu sudah
pulang!” Tetapi anak anak domba itupun berkata,”Ini bukanlah suara ibu kami, suara ibu
kami sangat lembut dan halus.”

Serigala pun menggunakan cara lain dengan mengambil kapur lalu memakannya, kononnya
hal ini dilakukan untuk melembutkan suara si sreigala. Dan benar saja suara si serigala
menjadi lembut. Kemudian ia kembali mengetuk pintu kandang domba.”Cepat buka
pintunya, ibu membawa banyak makanan yang enak untuk kalian” Walaupun suara serigala
telah menjadi lembut, tetapi anak-anak kambing melihat kuku hitam dan tajam itu,lalu
berkata,”Kamu bukan ibu kami. Kamu itu serigala kerana kuku yang kamu miliki itu hitam
dan juga tajam.”

Serigala mendapat akal. Dia kemudian mewarnai kuku hitamnya dan mengubahnya supaya
menyerupai kuku induk domba. Serigala sekali lagi mengetuk pintu kandang domba. Anak
anak domba yang melihat kuku putih itu langsung menyangka bahwa ibu mereka telah
pulang dan merekapun membuka pintu. Setelah anak anak domba membukakan pintu,
serigala langsung menerkam dan menelan enam ekor anak domba sekaligus. Anak domba
yang selamat bersembunyi di bawah tumpukan rumput. Setelah kenyang, serigala tertidur di
bawah pohon.

Tak begitu lama, ibu domba pun tiba dirumah, tapi ia tak mendapati anaknya. Ia terus
mencari anak-anaknya. akhirnya Ibu domba ini menemukan satu anaknya yang sedang
bersembunyi di bawah tumpukan rumput. Anak domba itu memberitahu ibunya apa yang
telah terjadi. Ibu domba merasa begitu sedih dan berkata,”Serigala itu pasti tidak pergi jauh
dari sini. Mari kita pergi mencarinya sekarang juga!”

Akhirnya mereka menemukan serigala yang sedang tidur lelap. Ibu domba melihat ada
sesuatu yang bergerak di dalam perut si serigala dan percaya itu merupakan anak anaknya
yang telah di telan. Tanpa membuang waktu ibu domba pun menyuruh anaknya untuk
mengambilkan sebuah gunting dan jarum.

Dengan sangat hati-hati ibu domba membelah perut serigala dengan menggunakan gunting
dan mengeluarkan keenam anaknya. Anak anak domba ini tidak mengalami luka kerana sang
serigala hanya menelan dan tidak mengunyah mereka. Melihat anak anaknya masih hidup, ia
merasa begitu gembira.

Ibu domba menyuruh anak anaknya mencarikan sebuah batu untuk diisi ke dalam perut
serigala. sehabis memasukkan batu kedalam perut si serigala, ibu domba lalu menjahit
kembali perut serigala. Tak lama setelah itu serigala pun bangun dan ia masih kekenyangan
dan merasa begitu haus. Serigala mencoba berjalan ke tepi danau namun ia tidak dapat
berjalan cepat kerana perutnya amat berat.

Karena perutnya begitu berat, saat si serigala ini membungkuk untuk meminum air, ia pun
terjatuh ke dalam sungai dan akhirnya tenggelam. Ibu domba dan anak anaknya berasa sangat
gembira melihat serigala yang terjatuh kedalam danau. Dan Semenjak hari itu mereka tidak
lagi diganggu oleh si serigala dan mereka hidup dengan aman dan damai.
Cerita Fabel Kucing Kota Dan Kucing Desa
Kisah Fabel Ikan Tongkol dan Ayam (Riau)

Zaman dahulu, di Pulau Natuna dan Anambas, semua hewan saling bersahabat, baik yang
hidup di darat maupun di laut. Di antara mereka yang berteman baik adalah bangsa ayam dan
bangsa ikan tongkol.

Suatu ketika, bangsa ayam mendatangi bangsa ikan tongkol untuk mengabarkan adanya pesta
dengan zikir bardah (doa atau puji-pujian berlagu) pada malam bulan purnama.

“Kalian harus datang karena pesta sebesar ini belum tentu ada di tahun depan. Pokoknya,
kalian akan rugi kalau tidak bisa menyaksikan kemeriahannya!” seru bangsa ayam.

Mendengar berita tersebut, bangsa ikan tongkol menyambut gembira. Mereka memang sudah
lama ingin menyaksikan zikir bardah yang disertai tetabuhan rebana dari jarak dekat.
Apalagi, acara tersebut berlangsung pada saat bulan purnama, saat air laut pasang.

“Baiklah, sahabatku, kami akan datang. Terima kasih atas undangan kalian,” kata pemimpin
Ikan tongkol.

“Aku pun bahagia karena kita bisa berpesta bersama di darat,” jawab bangsa ayam.

”Namun, sebelumnya aku mohon pertolongan kalian. Berkokoklah sebelum fajar


menyingsing saat air laut akan surut. Jangan sampai terlambat karena rakyatku pasti akan
celaka,” pinta pemimpin Ikan tongkol.

“Tenang saja. Tanpa kau minta, kami pasti akan berkokok Jauh sebelum Matahari terbit. Itu
sudah menjadi pekerjaan kami setiap hari!” seru sang ayam meyakinkan.
Saat yang ditunggu pun akhirnya tiba. Ketika bulan purnama tiba dan air laut pasang,
segerombolan ikan tongkol berbondong-bondong menuju daratan. Air pasang membawa
mereka hingga di bawah panggung tempat zikir badar berlangsung.

Mereka terlena dengan alunan rebana, lantunan zikir, dan juga pantun. Acara terus
berlangsung hingga larut malam. Bangsa ayam tentu saja ikut larut dalam kegembiraan.
Mereka pun terlena dengan kemeriahan pesta.

Semua yang hadir dalam acara tersebut baru tertidur menjelang pagi. Bisa dipastikan, mereka
semua terlambat bangun. Begitu pula dengan ikan tongkol. Mereka tentu saja terkejut karena
Matahari sudah meninggi dan air laut telah kembali surut.

Beberapa di antara mereka yang berdiam dekat dengan batu karang berlarian menuju lekuk
karang yang banyak airnya. Namun, sebagian lagi tidak bisa menuju ke tengah laut karena
pantai telah mengering. Mereka pun menggelepar-gelepar di kolong panggung tempat pesta
semalam.

“Hoiii…!!! Ada ikan terdampar. Ayo, kita tangkap…” seru para nelayan.

Suara tersebut mengagetkan bangsa ayam. Mereka semua langsung terbangun.

“Celaka!!! Apa yang harus kita lakukan. Bangsa ikan tongkol pasti marah pada kita!” terlak
pemimpin bangsa ayam.

Dalam kepanikan itu, bangsa ayam pun menuju pantai. Mereka tidak tega melihat sekian
banyak ikan tongkol mati dan ditangkap manusia.

Dari arah karang, pemimpin ikan tongkol berseru, ”Hai, bangsa ayam… mana janji kalian!?
Aku tidak akan pernah memaafkan kelalaian kalian sampai kapan pun.”

“Maafkan kami.… Kalian lihat kan, kita semua terlambat bangun!” seru bangsa ayam.

Ikan tongkol sudah tidak peduli dengan permintaan maaf bangsa ayam.

“Perhatikanlah wahai bangsa ayam. Kami akan memangsa bangsa kalian sebagai balasan atas
kematian rakyat kami. Kalaupun tidak mendapatkan tubuh kalian, bulu-bulu kalian pun akan
kami makan!”

Sejak saat itu, bangsa ayam bermusuhan dengan bangsa ikan tongkol. Hingga saat ini, para
nelayan di Kepulauan Natuna dan Anambas Kepulauan Riau selalu menggunakan bulu ayam
jantan yang diambil dari bagian tengkuk sebagai umpan memancing ikan tongkol di lautan.
Cerit Fabel Buaya yang Ingin Menyantap Gajah (Lampung)

Pak Buaya terkenal sebagai hewan yang rakus dan serakah. Setiap hari, tak kurang dari
seekor kambing atau sepuluh ekor bebek disantapnya. Hal ini tentu meresahkan hewan lain
yang sering mencari makan dan minum di pinggir sungai. Kerakusan Pak Buaya membuat
mereka harus sangat hati-hati agar tidak menjadi santapannya.

Hewan-hewan yang gelisah dan merasa terancam ini pun berkumpul untuk mengadakan
pertemuan. Pak Kambing ditunjuk memimpin rapat itu. Ia dianggap lebih pintar di antara
hewan lain.

“Jalan satu-satunya agar kita selamat dan hidup tenang adalah menyingkirkan Pak Buaya dari
sungai,” ujar Pak Kambing saat membuka rapat.

“Benar, Pak Kambing. Cuma kami tak tahu caranya. Apalagi, Pak Buaya sangat buas. Tak
seekor hewan pun yang berani kepadanya,” seru tupai lantang.

“Nah, untuk itulah kita semua berkumpul di sini. Masalah ini harus kita pecahkan bersama,”
sahut bebek.
“Bagaimana kalau kita lawan saja? Kalau kita semua yang ada di sini bersatu untuk
melawannya, Pak Buaya pasti kalah,” usul sapi.

Pak Kambing menggelengkan kepala tanda tidak setuju.

“Kita tidak akan melawan kekerasan dengan kekerasan. Bisa-bisa, kita semua akan binasa
dan mati dengan sia-sia.”

“Benar kata Pak Kambing. Kita semua pasti akan kalah, apalagi Pak Buaya juga memiliki
banyak teman. Mereka akan menganggap kita semua sebagai hidangan pesta yang lezat,” kata
bebek lagi.

Akhirnya, semua hewan yang ada di dalam rapat itu terdiam dan mulai berpikir mencari cara yang
tepat untuk mengalahkan Pak Buaya.

Aku tahu apa yang harus kita lakukan!” seru Pak Kambing memecah keheningan.

“Ide Pak Kambing pasti cemerlang,” kata sapi tak sabar.

“Begini, kita semua tahu, Pak Buaya adalah hewan yang rakus. Namun, kita juga tahu, ia
adalah hewan bodoh. Besok, aku akan pergi ke pinggir sungai. Aku akan memintanya
menemui gajah.”

“Hati-hati, jangan sampai engkau yang menjadi santapan Pak Buaya!” seru kelinci
memperingatkan.

Keesokan hari, Pak Kambing pergi ke pinggir sungai untuk menjalankan idenya. Ia memang sengaja
berlama-lama menunggu kehadiran Pak Buaya sambil selalu waspada. Pak Kambing tidak ingin
dirinya dijadikan santapan Pak Buaya.

Pak Buaya akhirnya muncul dan berjalan menuju ke arah Pak Kambing. Sebelum dekat, Pak
Kambing segera menyapanya. “Hari ini kau pasti sangat lapar. Namun, kalau kau
menyantapku sekarang, dirimu pasti akan menyesal. Soalnya, aku tahu tempat hewan yang
sangat besar yang bisa membuatmu kenyang dan tidak makan selama satu minggu.”

“Oh ya, di mana itu?” Pak Buaya yang rakus memang selalu tidak sabar kalau mendengar
makanan yang banyak.

“Tenang dulu, Pak Buaya. Tidak usah terburu-buru. Hewan itu bernama gajah. Ia tinggal di
hulu sungai ini. Memang agak jauh dari sini. Akan tetapi, kalau kau sudah menemukannya,
aku jamin kau suka. Jumlah mereka sangat banyak sehingga kau tidak perlu khawatir
kelaparan. Kalau dibandingkan dengan yang ada di sini, jauh sekali. Hewan di sini kecil-kecil
dan jumlahnya semakin sedikit karena kau selalu memangsanya,” kata Pak Kambing.

”Baiklah. Aku harap engkau tidak berbohong. Aku akan datang ke sana. Toh, tempat itu tidak
terlalu jauh. Aku cukup berenang selama empat hari saja. Terima kasih atas informasimu, Pak
Kambing,” ujar Pak Buaya senang.

Tanpa membuang waktu, Pak Buaya berenang menuju hulu sungai. Meski belum pernah bertemu
dengan gajah, Pak Buaya sangat yakin akan menemukan hewan itu dengan mudah. Setelah
menempuh perjalanan yang panjang, Pak Buaya melihat sekelompok hewan bertubuh besar sedang
minum di sungai. Wajah Pak Buaya terlihat gembira.

“Inilah hewan yang diceritakan Pak Kambing. Mereka memang sangat besar. Sekali santap,
aku pasti akan merasa kenyang selama satu minggu,” pikir Pak Buaya.

Pak Buaya pun berjalan mendekat ke arah gajah-gajah itu. Sebelum sampai di tempat yang
dituju, seekor gajah telah melihatnya. Sadar akan bahaya yang mengancam, salah satu dari
gajah yang paling besar mendekati Pak Buaya dan menginjak Pak Buaya dengan salah satu
kakinya.

Karena tidak diduga, Pak Buaya tidak sempat menghindar atau melakukan perlawanan. Pak
Buaya akhirnya mati karena tubuhnya diinjak sang gajah.

Anda mungkin juga menyukai